Ketakutan itu....

kata yang bijak, ketakutan itu datang dari perasaan yang terikat akan harapan kedamaian, tetapi tidak tahu bagaimana membangun kedamaian. sudah terlalu banyak kedukaan yang teralami oleh usia hidup; kedukaan dalam hidup pribadi, kedukaan dengan kerabat, deretan alasan kedukaan juga tiba dari masa lalu akan berlanjut pula ke masa depan. Setiap niat dan tindakan untuk mengatasi pelbagai kedukaan akan berdampak pada pengalaman, yang belum tentu mengobati apalagi menghapuskan rasa pedih akibat kedukaan. Bisa jadi itu bibit baru untuk kekerasan baru: mereka menyebutnya dendam yang berdiam di hati. Itu kata yang bijak disebut sebagai duka lara.

Selamat Jalan Guru: KAN KUBACA HURUF ITU....

keberuntunga saya, beberapa tahun lalu, ditemani uni eci (yessy sakti), putri Gusmiati Suid adalah berkunjung ke pagar ruyung, dan bertemu dengan sang guru, guru silat kumanggo yang melahirkan banyak juara silat dunia. sang guru yang tinggal di tengah ladang tebu, bambu dan beraneka pohonan; saya masih ingat, jalan menuju rumahnya jalan tanah ditumbuhi rumputan juga di teras rumahnya seekor anjing pemburu menyalak saat kami memasuki rumahnya; rumah yang sederhana, rumah seorang guru besar, lampu pijar yang muram dan korden pembatas antara ruang tamu dengan ruang tengah....
lalu dia sungguh sang guru, yang tahu persis apa yang diperlukan seorang murid, dia tahu, saya tidak akan tertarik gerakan silat atau belajar bersilat, maka dia ajarkan pada saya tentang prinsip yang mendasari, menjiwai gerakan silat itu: huruf suci, katanya, huruf alif!...saya tersenyum saat saya jelaskan tentang tubuh dalam huruf, yang ada juga dalam ajaran tantrayana. Lalu kami berdua terlibat percakapan yang sangat intens soal huruf dalam tubuh. Bagaimana hubungan gerakan dengan angin, juga bagaimana caranya meringankan hati, bukan meringankan tubuh....

Para Penyeru Kebanggaan...

rasa jerih itu hendak dihadapkan dengan seruan! Mungkin ini cara paling mudah memecahkan kegelisahan. rasa jerih tidaklah timbul dan berjangkit dalam sekejap. sejak awal, semua tahu pokok sebabnya, tapi tentu saja semua merasa berada dalam temperatur yang berbeda, merasa ada dalam tanjakan-tanjakan yang berbeda, itu sebabnya ketika ada alasan untuk jerih, dilupakan dengan mudah sebab asalnya rasa jerih itu berpinak-pinak. Bahkan dalam keseharian pun ada yang merasa dalam derajat suhu tubuh yang berbeda; merasa lebih tahu, lebih bijak, lebih jernih, lebih padat dalam memahami kadar hubungan antar manusia, dan tentu, minus perasaan-perasaan sentimental, kenakalan dan jungkir balik romantisme yang sesekali menjadi keniscayaan.

SEMBILU..........

kita tak tahu, berapa banyak orang yang alami hal ini; gejalanya tak kasat mata. tiba-tiba hati merasa risau, seperti ada yang menyusup di antara sela jantung dan hati. Ini mungkin namanya sembilu. tapi orang yang mengalami serangan 'risau' ini sering jatuh dalam kebingungan, sebab munculnya tiba-tiba, seringkali ditengah kesibukan kerja atau disaat dalam kondisi fokus mengerjakan sesuatu. Lalu trap! risau itu pun muncul, menjelma menjadi sembilu. seperti ada yang menyedot isi dada dalam tarikan nafas yang kuat,"Susah saya jelaskan!" keluh seorang teman, melalui telpon kemarin malam,"Aku takutnya, ada yang menelepatiku...Siapa yah.." keluhnya lagi dengan suara tersendat.

Lamunan

melamunkan yang menari dalam diri
perempuanku tanpa dendang
diam merasakan : gerak meriak tipis
berdenyut dikedalaman
hilang nafas
udara beku di titik pejam
kadang kalau melayang tinggi ke langit,
kadang kalau diam beku dalam wajah gelap
melamunkan yang menari dalam diri
tanpa sayap
mengepak dalam ngambang yang asing
rasanya perih
rasanya jeri
mendingin dalam lorong bertembok putih
menyinar mataharikah dikedalaman
bertemu tanpa tindakan kaki
perjalanan begitu luas, katanya
lalu
jatuh juga dalam tersengal
dijerat sesat dalam risau
menusuk ingatan akanmu
yang tak bosan menari, jadi penghuni setia dalam lamunan
memberi nyata saat senyaplah kamar
ketika memandang kesendirian yang mengasingkan
di sini, diantara jumat yang para penjaga langit
menertibkan lamunan

(cok sawitri, 2008)

Tukang Ramal

dengan kemeja mahal, berdasi keren, Mister Ramal, itu sebutannya, menyapaku saat selesai memesan tiket. Apa kabar, sudah lama tidak ketemu, dimana sekarang, dalam rangka apa di ibu kota? aku tersenyum dan mengajaknya duduk di serambi depan kantin dekat loket pemesanan tiket. Aku tak perlu menjawab pertanyaan Mister Ramal, sebab dia toh peramal. Maka kutanyakan, apa ramalan setelah presiden terpilih? tanyaku dengan senyum sambil memesan kopi. Mister Ramal tersenyum lebar. Aku tahu, senyumnya adalah senyum berpikir, menimbang-nimbang,"Ramalan

Melempar Handuk Dengan Denging Serangga

denging itu bukan serangga yang kasmaran, tapi kegeraman yang tak dapat ditindas dari pikiran. orang kalah itu, menyakitkan dan melelahkan. Walau berkali-kali kalah, tetap tidak ada orang yang terlatih untuk kalah. Malam tak mengijinkan cecak berdecak, sebab tak ada yang mesti dikomentari. tapi siapakah yang menang, malam memang lebih kelam dalam hal ini, dengan berjingkat namun pasti menghembuskan gelapnya walau seluruh lampu menyala terang, tak ada yang menang. Ini hanya onani atau masturbasi saja. biarkanlah. di puncak lelah mereka pun akan alami, perasaan yang sama. soal waktu, soal giliran. Tapi denging serangga itu berdalil lain, pikiran melompat ke sana ke mari, mulai berputar-putar, rasa mual telah membuat seluruh jantung berdebar sakit. apakah ini semacam pelatih tinju melempar handuk? atau semacam adu ayam tanpa taji, sampai dipatuk habis pun semua seolah lupa; pada bagian yang menyakitkan itu. denging itu! denging itu!
Yah, malam menyerahkan kepada rasa kantuk, mungkin tidur akan melemaskan ketegangan atau mulai berpikir masa bodoh,biarkan saja mereka demikian; merasa menang, besok satu per satu akan mengeluh, mencaci, menggerutu, tidak puas, dan saat itu ditontoni saja seperti nonton bulan purnama, siapa yang pucat, siapa yang tertutup awan, siapa yang pula yang merasa senyap dan tersingkirkan. Pasti mirip perasaan itu, miriplah demikian.
denging serangga itu makin mengeras, malam berusaha membujuk untuk lelap, namun tetap seringai lain bermain di kepala, seperti kayu kering tinggal menunggu percik api. Pasti jadi denging ribuan serangga, yang akan menutup wajah bulan, menutup langit malam, membungkam semua senyuman. Kali ini cecak tak mau diam, berdecak dalam kengerian.

Puisi Kering (Gadis di Bawah Pohon Ara)

KERING

gadis daun yang terhempas
melayang jatuh ditampar angin
batu-batu menjepit sampai kais tongkat merobek urat
wajah hijau sisa memburat dalam kuning pucat ;
tak kembali walau air dibasuhkan

gadis daun gugur dalam janji tak bermusim
tiap kali ibu memanggil
;saat senja memandang sungai
siapa rindu
mengering airmata dalam derak tipis daun-daun
itukah aku dalam tidur ;
dukaku dalam teriak damai yang kering

(cok sawitri, peurelak, aceh 2008)

Rumah Ikan Asin

perempuan yang satu ini lagi mencari kesedihan dalam diri;
membayangkan sebuah rumah dengan ladang pinang, pohon nilam
dan barisan ngom, bila saatnya jemari menganyam kehangatan
buat tidur nanti.
perempuan yang satu ini membiarkan diri, duduk ditepi baring
memandang hati-hati barisan ikan yang tergantung,"maukah engkau kembali?"
ke laut yang tenang
aku telah dewasa, tak lagi menangisi yang lampau
lalu sendat itu riuh dibalik gerai jilbab
tak ada kesedihan di sini
walau tak enak, dibiarkan mata nampak saat angin menjenguk
memangnya hari tak miliki ratap pedih lagi
riwayat itu nak, rumah ini kokoh akan cerita kematian
membuai setelah kau putuskan: pergi dalam ketenangan
perempuan itu lagi mencecap garam
ditinggal angin saat terjaga di rumah berhiaskan ikan asin
digayut lelap dalam lampau rasa asin
ingatan! ingatan! nanti menua dalam hari lalu
tak satu serpih debu boleh membuat tetes airmata
kecuali, saat bayangan bebaring disebelahmu
berdinding ayun barisan ikan asin
mesra pedihku membiarkaan percik garam mengeringkan kepedihan

(cok sawitri, aceh 2008)

INONG

batu jeurat, puan dan tuan
dari kompeni sampai TNI
serpihan asal seribu ombak: marah
marahku mengaum dialiran sungai-sungai
sebab tuhaku kaum tak sempat menulis kisah didaun atau kertas
sebab pena anak batu pedang, percik darah di kain kafan ; itu riwayatku
telah menjadi silsilah
periksalah tujuh ke atas cabang selemparan batu
kakekku mengayunkan pedang; menulis kematian dibelukar seulawah inong ataukah agam
lalu abu mengepit rencong diantara paha
mewariskan peluru dalam kenduri tujuh hari
dalam lepas empat puluh empat hari:
aku desing hari!
mengantar roh pulang ke rumah asal
sampai batu tumbuh
buahnya
pohon belimbing buluh sembilu
diracik mamak mengasamsuntikan susu
melarut dalam pusaran kental santan
tumbuhlah aku pagar-pagar pedang
melepas biji-biji dalam sangrai kopi

Sahaja Hati

perempuanku
barisan pohon asam melepas nafas angin
jadi juga desau panas menyentuh bola mata, sendatkan nafas
lidah cut sudah kering mencecap
rasa asam sunti dalam gasingan sendok di gulai
tak lagi nampak wajah belimbing buluh yang menghitam
sudah kikis dijerang matahari berhari-hari
atau melarut dalam waktu
melaju lewati pohon-pohon berlari
jadi peninabobok,” suatu hari aku berlari diantara pohon-pohon, sungai dan gunung,
menyimpan rasa asam sunti sebelum desing itu menggelantung di batang belimbing,
barisan kedondong pagar ;cabang bak pedang, menancap
tegak hati menghapus airmata ”

perang istirahat kini, luka merapat dibebat
memarnya seperti lelaki bermain batu, setiap pilihan adalah jalan menutup
ah, usai asal tanam batang, pagar pohon merapat berdiri
segelas kopi melanjutkan permainan batu
“aku sembunyi dalam hati
dalam setiap hirup
membiarkan tak satu pun tahu
hatiku asam sunti dalam larutan bumbu”

perempuanku
tegak berbaris seperti pohon asam melepas desau
ngilu meramu airmatamu
sepanjang tarikan nafas piluku

(cok sawitri, aceh, maret 2008)

Kelelahan membuat saya berbaring

kelelahan tiba-tiba menghampiri saya, membuat nafas menjadi lebih lambat. denyut di hati lebih terasa, seperti ada yang tengah menikam. Entah. saya tidak usai bekerja keras juga tidak tengah mengerjakan sesuatu, namun terasa benar, kelelahan menghampiri saya, mengajak saya untuk diam, untuk tidak bereaksi terhadap apapun...termasuk dengan pesan-pesan pendek yang menambah kelelahan adalah pembaringan saya, diam untuk tidak menjelaskan apapun. selalu demikian, suatu ketika perlu jarak untuk membuat semua orang mengerti, bahwa akan menambah kelelahan kalau saya memberi tanggapan risalah hati; tak mungkin, hampir memuakan jika setiap kali, saya berada di suatu sudut, dimana saya menjadi sumber dari pertanyaan dan prasangka. kelelahan menjemput saya, membuat saya berbaring dan tak perduli...

Jalanan Yang Memucatkan Warna..

Jalan yang semestinyalah meriah tetap muram, sungguh susah untuk mengatakan tengah ada diantara warna-warni penampilan manusia. Biarpun mereka telah memakai segala macam model busana, seakan hendak menantang para desain, berapa lagi kreasimu? kemarikan! akan kukenakan; baju, sepatu, topi sampai gelang kaki, semua hendak keinginan telah tumpah untuk mencoba, menjadi pemandangan yang semestinya menakjubkan, namun herannya tak lagi menggoda, kecuali sesekali di tepi jalan seorang perempuan gila, bersepatu basket, menggunakan rok panjang dengan memeluk keranjang, meneriakan,"'sayaaang.... sayaaaang" suara itu tanpa rasa kerinduan, tanpa kegetiran, namun membuat hati kelat, muram. Lalu di sela mobil yang memadat, seorang pengamen dengan make up seronok berlenggang-lengok menyanyikan lagu yang mengundang senyum," bapak-bapak ibu-ibu....siapa yang punya anak..."

Penutup Makan Siang

siang diakhiri dengan sepiring bihun dan abon gurih, segelas air putih dan ditutup jus jeruk. sebatang rokok dinyalakan, tentu, sambil membiarkan pikiran tersenyum; andai kamu di sini sekarang, pastilah menu yang dimakan akan berbeda: pastilah makanan yang 'steril', sup asparagus, salad yang mininum kalori kemudian teh hijau yang bikin lidah kelat, tentu, usai itu, tak ada asap rokok. Percakapan pun akan terhenti sebab sesekali ada yang menelponmu, atau menyapamu, atau tak ada yang mesti dipercakapkan kecuali, apakah kamu mau makanan penutup? mungkin sebangsa cake, yang barangkali lebih baik diganti dengan es cream saja. Kemudian aku mesti ke smoking area, duduk di sana dengan diawasi matamu yang tak sabar. Lalu berjalan diantara lorong-lorong sejuk karena air conditioner di tiup-tiup oleh kipas angin raksasa. Siang diakhiri dengan perpisahan di depan pintu, kembalilah ke kantormu, dan aku kembali ke dalam, memesan sepiring bihun dan abon gurih di ruang bebas merokok sambil memesan kopi; lalu secara tiba-tiba harus membaca pesan yang masuk ke layar HP: jangan lupa, nanti malam dinner dengan teman-teman...(pesan singkat itu kuhapus). mari dulu makan, melepas diri dari bayangan bahwa makanan itu sebab kesakitan datang ditubuh; bihun pedas dengan abon yang gurih terbukti membuat pikiranku jadi lembut saat mengingatmu dibandingkan jika yang kumakan salad dan sup atau teh hijau sebagai penutup, semua itu pasti akan membuat pikiranku kelat saat membayangkanmu!

Silau Mengingatmu

silau yang menusuk hatiku, membuat ingatan akan kamu, melipat jumlahnya, terlalu pandir mereka nerka, apakah engkau mengingatku? dalam ruang yang kedap atau dalam doa; sungguh meminta bayanganku lenyap. sebab silau makin menusuk. mengeringkan lidah, meredupkan mata. bila senja nanti, kita berjalan dan menghabiskan makan malam yang sederhana, berlauk percakapan tentang kerinduan, segelas red wine akan menutupnya di pipi sebagai cium kasih, sambil bertukar bisik: engkau wangi, terlalu kurus dari yang kubayangkan...lalu silau itu kian merambat, mulai mengaburkan pandangan. membuatku lelah dan menyimpulkan, engkau tak akan merendahdiri untuk hal-hal itu.biarpun ingatan itu kian melipat, namun silau itu membuatmu yakin: dalam ruang yang kedap kita simpan semua niat; biarkan beku, menjadi batu.