INONG

batu jeurat, puan dan tuan
dari kompeni sampai TNI
serpihan asal seribu ombak: marah
marahku mengaum dialiran sungai-sungai
sebab tuhaku kaum tak sempat menulis kisah didaun atau kertas
sebab pena anak batu pedang, percik darah di kain kafan ; itu riwayatku
telah menjadi silsilah
periksalah tujuh ke atas cabang selemparan batu
kakekku mengayunkan pedang; menulis kematian dibelukar seulawah inong ataukah agam
lalu abu mengepit rencong diantara paha
mewariskan peluru dalam kenduri tujuh hari
dalam lepas empat puluh empat hari:
aku desing hari!
mengantar roh pulang ke rumah asal
sampai batu tumbuh
buahnya
pohon belimbing buluh sembilu
diracik mamak mengasamsuntikan susu
melarut dalam pusaran kental santan
tumbuhlah aku pagar-pagar pedang
melepas biji-biji dalam sangrai kopi

tariklah satu serup buat heningkan diri
lepaslah pula rasa kecut selagi musuh tidur
saatnya mamak menanak nasi lemak
mengingat bayang-bayang memantul dari kerudung
mengombak perih meretakkan kulit telur pecah dijemari
lembaganya meriapkan lendir dalam warna menyilau
aku tak tahu mengapa, kupu-kupu tak serupa asal
ulat tak perlu kenal wajah kepompongnya
allah, beri aku seribu wajah

batu ditanam disetiap badan mati
diundi diatas meja saat gelas-gelas melepuhkan kopi
menghitung jumlah yang hidup, menutup mengganti yang mati
setiap tangan menunjuk penghidup batu

aku batu mainan melupakan pilu waktu
anginlah bertugas menangisi kematian batu batu
sambil mencecap rasa kopi merasakan kecutnya asap sunti

aku tak lebih mambang
rahim saban pagi
melahirkan semua arah dan wajah tak terkira pilunya
menggerus duka masa masa ; satu kawan pergi ngambang di langit, airmata meneteskan di pipi nisan, sungai-sungai memiliki tuan
buat penggantiku, batu ditanam, hiduplah batu!
membuatku ngambang sampai kini
saban pagi

(cok sawitri, aceh, 2008)

No comments:

Post a Comment