Ketakutan itu....

kata yang bijak, ketakutan itu datang dari perasaan yang terikat akan harapan kedamaian, tetapi tidak tahu bagaimana membangun kedamaian. sudah terlalu banyak kedukaan yang teralami oleh usia hidup; kedukaan dalam hidup pribadi, kedukaan dengan kerabat, deretan alasan kedukaan juga tiba dari masa lalu akan berlanjut pula ke masa depan. Setiap niat dan tindakan untuk mengatasi pelbagai kedukaan akan berdampak pada pengalaman, yang belum tentu mengobati apalagi menghapuskan rasa pedih akibat kedukaan. Bisa jadi itu bibit baru untuk kekerasan baru: mereka menyebutnya dendam yang berdiam di hati. Itu kata yang bijak disebut sebagai duka lara.

kata yang pemberani, mari kita hadapi ketakutan, kita kenali dengan gagah. Pikiran, tindakan dan kata harus dinyatakan untuk melawan ketakutan itu, apapun bentuknya itu: tidak boleh ada ketakutan dalam diri kecuali kepada Tuhan, katanya dengan gagah berani. Resep itu jadi cikal bakal para ksatria pembela kebenaran, yang sudah barang tentu tidak akan ikut terlibat dalam debat kebenaran itu apa. Kebenaran dari siapa? Maka sang pemberani satu per satu akan berakhir oleh waktu, ketakutan tetap tumbuh dimana-mana. dari generasi ke generasi para pembela kebenaran melawan ketakutan, ketakutan tetap pula diwariskan dengan suburnya.
Teror itu, kata yang bijak penyebab kedukaan, disela keheningan, dalam kerisauan tak tahu bagaimana caranya menghadapi kenyataan hidup. dengan suara tak berirama yang bijak berkata, seseorang itu telah membangun secara berantai jembatan ikatan: ikatan ketakutan adalah mata rantai pertama mendorong manusia menjadi cerdik dan penuh semangat melahirkan cara membentengi diri dari ketakutan: dari pangan, sandang, sampai papan, semua itu adalah hasil mata rantai ketakutan manusia sesungguhnya. Namun ketakutan tetap ada yakni kepada manusia itu sendiri. di situ mata rantai menjadi lebih beraneka: ada mata rantai yang mencabangi mata rantai ketakutan itu, yakni kepentingan-kepentingan atas dasar kesamaan kecirian. Ada mata rantai atas dasar warna kulit, ada karena asal kelahiran, ada karena agama. mata rantai ikatan itu melahirkan sentimen dan juga solidaritas lalu kecirian, bahkan kemudian fanatisme. perang di masa lalu atau bentrok antara mata rantai di masa kini, kadang pemicunya sungguh menakjubkan, pemicunya itu bisa karena patahati, asmara yang tak sampai, persaingan naik kuda, atau tidak sengaja bersinggungan di pasar. Namun pemicu awal itu terlupakan, disebabkan proses waktu justru melupakan akal sehat menilainya. Apalagi kalau itu disebabkan kekuasaan, ini menyangkut kekayaan. kekuasaan adalah jembatan kekayaan, impian paling sexy bagi manusia untuk mengatasi ketakutan akan hidup. Walau dunia kerja di ciptakan agar manusia secara adil mendapatkan bekal melawan ketakutan akan hidupnya, tetap saja mata rantai ekonomi melahirkan ketakutan-ketakutan baru: kemiskinan daa kecemburuan.Maka mimpi dan impian para pemberanilah yang maju ke depan, sepertinya hendak membela, namun kedukaan lahir dimana-mana. demikian terus berputar, silih berganti, hingga suatu kali teror itu menemukan bentuknya, mengatasnamakan apa saja: campuran fanatisme, sentimen dan kecirian para pembela kebenaran, yang tentu saja melahirkan kedukaan dan ketakutan.

mata rantai itu, kata yang bijak tak bisa dihadapi dengan hujatan, dengan tuduhan bahkan dengan kekerasan. hanya keteladan dari setiap pribadi. kemauan setiap orang untuk membangun mata rantai baru, dimulai dari sekitarnya, yang terdekat, topiknya adalah kedamaian dan kasih sayang, ini pun resikonya tak berdampak apa-apa, sebab para pewarta kedamaian sering jatuh dalam kemunafikan baru, menjadi kultus yang akan memancing juga hujatan baru, kedukaan baru.

lalu dengan risau: kita pasti akan bertanya, lalu apa yang harus dilakukan? budha berkata, apapun itu, kata yang benar, tindakan yang benar, niat yang benar, tak akan berjalan sebagai kebenaran pabila tidak disertai oleh moral yang benar. dan moral adalah kesepakatan sosial, yang memerlukan pemimpin yang tidak dipilih berdasarkan ketakutan akan identitas-indentitas tertentu. sekali suatu wilayah, pemimpinnya percaya dia berhutang budi karena identitas kesukuan, identitas agama, maka dia sesungguhnya tengah membangun kedukaan,memancing sentimen dan fanatisme, yang kelak menjadi semai kekerasan. karena itu: kekerasan itu tak mungkin dihadapi dengan kekerasan, apalagi dengan hujatan dan kutukan, itu bukan keberanian, itu justru kepengecutan baru, sebab tidak mengobati kedukaan.

cara termudah, namun membutuhkan keyakinan adalah: tersenyum dari dalam hati, yakinkan diri di sekitar kita semua manusia tak ada yang sempurna, maka keterikatan pertama akan terlepas, prosesnya masih lama, yakni mencari sang pemberani untuk menyuarakan, untuk menepuk kekerasan dengan kelembutan; dan itu pasti tidak dengan cara fashion religius atau fashion humanis, karena isi dunia adalah berbagai mata rantai, yang cabangnya sudah membelit kemana-mana, hanya senyum dari hati, hanya niat dan tindakan berbagai, kemauan untuk menyapa dan melupakan kedukaaan-kedukaan pribadi adalah langkah awal menepis ketakutan akan teror dalam pikiran itu.

yang bijak tidak tersenyum, tidak juga memberi harapan. sebab dunia selalu memerlukan pahlawan, keluih angin dengan menggigil: nah, itu sebabnya, kedukaan tak akan selesai. sekali kamu maju, seakan tengah melangkah berjuang: jauh dalam hati, engkau ingin disebut pahlawan, saat itulah semai kedukaan tengah muncul dalam bentuk putik harimu.....duhai. tak ada pilihan, selain berdoa: semoga semua mahluk bahagia, dan sms seorang teman: mari makan siang bersama, tanpa beban dan tak usah risau apa hasilnya...nanti!

No comments:

Post a Comment