Tukang Ramal

dengan kemeja mahal, berdasi keren, Mister Ramal, itu sebutannya, menyapaku saat selesai memesan tiket. Apa kabar, sudah lama tidak ketemu, dimana sekarang, dalam rangka apa di ibu kota? aku tersenyum dan mengajaknya duduk di serambi depan kantin dekat loket pemesanan tiket. Aku tak perlu menjawab pertanyaan Mister Ramal, sebab dia toh peramal. Maka kutanyakan, apa ramalan setelah presiden terpilih? tanyaku dengan senyum sambil memesan kopi. Mister Ramal tersenyum lebar. Aku tahu, senyumnya adalah senyum berpikir, menimbang-nimbang,"Ramalan
ku jelas....terang benderang.." jelasnya sambil mengijinkan aku merokok dan dia pun akhirnya memesan secangkir kopi." Dua bulan ke depan, banyak orang akan pontang-panting mencari peluang kemungkinan menjadi menteri...kalau ga ada peluang, minimal dekat-dekat lingkaranlah...yang semula berjarak, takut kelihatan pro sana-sini, dua bulan ke depan seperti tersiram lampu terang...yang anti neolib dan pro rakyat akan duduk semeja, yang moralis dan liberal kayaknya sudah lamaaa bertukar makanan, mereka kini justru akan bersitegang..."
aku senyum,"terus...teruss..." aku meniru gaya teman-teman yang syok mau ngobrol, tapi sebenarnya tidak tahu apa yang mestinya diobrolkan. Mister Ramal tersenyum,"Lalu lima bulan ke depan mulai ada selisih, salah paham.....ontar-ontaran di koran...juga ada yang mulai itung-itungan... merasa berjasa tapi tidak diajak berembug, juga ada yang tiba-tiba merasa paling berkuasa...eh, maksudku yang paling bisa memberi jalan kepada semua orang.."

Lalu? Aku mengisap rokokku dan menikmati kopi, yang hambar karena airnya tidak terlalu dididihkan. Mister Ramal,"Nah, setelah itu, akan muncul bulan-bulan kecewa, lalu munculah mereka yang semula bulan madu, menjadi kecewa...kembali menjadi tukang kritik, menjadi aktivis pluralisme, aktivis gender...menyoroti ekonomi....semuanya akan sibuk untuk mencitrakan diri seolah-olah tidak pernah ada di sekitar meja makan yang sama..."

Aku tersenyum lebar, menatapi wajah Mister Ramal. Wajah yang segar tanpa beban, wajah yang bisa hadir dimana-mana, tertawa-tawa seperti badut yang ramah.
"Lalu bagaimana dengan nasib kami?" tanyaku berusaha sedikit serius. Berusaha nampak percaya ramalannya," Iyah...sama sajalah, seperti menanti curahan air di pancuran, kalau masih ada batu di bawahnya, bisa ada percikan air ke kita...tapi kalau batunya digeser....yah, tetap tidak berubah. Namun yang membuat kita bisa tersenyum, kita akan menyaksikan dari dekat, wajah-wajah yang terbakar malu setelah merasa berjasa, lalu menjadi penjilat ludahnya sendiri. Juga kita akan melihat wajah-wajah yang memucat ketika menceramahkan kemanusiaan dan keadilan, juga kita akan melihat wajah yang kusam saat berusaha menyampaikan : di sini masih ada halaman kebebasan....sebab mereka sebenarnya sudah mencicipi makanan yang sama, di meja sama di bawah satu pohon, dimana tak mungkin bayangan mereka terhapuskan....lalu angin akan mementalkan merekaa."

Aku tertawa kecil, Mister ramal mulai berpuisi, ini bagian yang paling kusuka. Mister Ramal pun ikut tertawa kecil sembari menatapku,"menurutmu, apakah ramalanku akan tepat...?
Aku mengangguk,"Pasti, sebab dua bulan lagi, para juru warta menyadari musim panen telah usai, pestanya pun sudah selesai...mulai berhitung untuk keuntungan dari mana, untuk membela siapa...tenanglah...kita minum kopi, kita tunggu ramalan yang baru, lebih menjurus ke wajah-wajah yang berminyak menyembunyikan rasa malu.."

Mister ramal pun tertawa, mulai merapal, menetapkan ramalannya. Jurus jitu telah disiapkan bagi siapa saja yang kecewa justru disaat merayakan pesta kemenangan. Yang pasti memerlukan ramalan untuk menenangkan hati dari guncangan kecewa.

No comments:

Post a Comment