NAMA saya Nagari. Umur, tiga puluh tahun. Tanpa harus dijelaskan, saya sudah paham. Sore itu, sehabis mandi dan rambut saya masih basah, pintu kamar kontrakan saya diketuk berulang kali. Tiga orang lelaki dengan sorot mata sopan menjemput saya. Dari jip yang menanti di halaman, kemudian dari deru mesinnya yang tipis, tak kalah tipis dari udara sore itu, ditambah lagi tutur sapa mereka yang berat dan tegas, tanpa harus dijelaskan, saya paham apa yang tengah terjadi.
Mereka, tiga orang lelaki itu, membawa saya ke sebuah rumah. Sebuah rumah dengan lantai licin dan dingin. Lantai yang membentuk lorong panjang, membelah puluhan pintu-pintu kamar yang saling berhadapan. Kemudian langit-langitnya begitu tinggi dan bila melangkah atau berbisik, tembok-temboknya memantulkan kembali suara-suara bercampur desir yang aneh. Rumah itu mirip hotel tua yang sudah dipensiunkan. Udara yang bergerak di dalamnya terasa demikian uzur.