rasa jerih itu hendak dihadapkan dengan seruan! Mungkin ini cara paling mudah memecahkan kegelisahan. rasa jerih tidaklah timbul dan berjangkit dalam sekejap. sejak awal, semua tahu pokok sebabnya, tapi tentu saja semua merasa berada dalam temperatur yang berbeda, merasa ada dalam tanjakan-tanjakan yang berbeda, itu sebabnya ketika ada alasan untuk jerih, dilupakan dengan mudah sebab asalnya rasa jerih itu berpinak-pinak. Bahkan dalam keseharian pun ada yang merasa dalam derajat suhu tubuh yang berbeda; merasa lebih tahu, lebih bijak, lebih jernih, lebih padat dalam memahami kadar hubungan antar manusia, dan tentu, minus perasaan-perasaan sentimental, kenakalan dan jungkir balik romantisme yang sesekali menjadi keniscayaan.
bagaimana rupa para penyeru? tanya seorang teman, yang bangun kesiangan dan setengah malas menatap televisi,"Oh,teror lagi? Dimana...Oh..." hampir dipastikan, segera dibuatnya kopi, ditolehnya berulangkali televisi dan wajah reporter yang jelas berusaha nampak tidak ada dalam rasa jerih, berusaha sedemikian rupa terbebas dari cekaman rasa jerih.
Tapi cekaman itu tetap terasa. rasa jerih itu penyakit menular, kata temanku sambil menyeruput kopi, ia ingat bagaimana susahnya melawan rasa jerih, rasa pedih dan rasa tak berdaya. tak tahu mesti berkata apa. Rasa jerih itu virus. virus itu pasti ada pembiaknya. Lalu di televisi para komentator pun silih berganti memberi pendapat, ungkapan, analisa, semuanya seolah-olah tahu persis duduk soal, pangkal sebabnya, tapi semuanya adalah bagian rasa jerih yang paling sukses: menduga-duga dan gelisah, saling menyalahkan dan saling berusaha untuk tidak jerih, tapi tetap jerih. lalu seruan pun dimulai; pilihan kata, ekspresi...semua adalah wajah yang menurut temanku: wajah rata-rata yang kelak karena jerih akan melakukan jungkir balik kejernihan pikirannya. akan kelak sembunyi atas nama pekerjaan, atas nama keyakinan, atas nama tidak mau ribut-ribut, atas nama untuk kelanjutan usaha, atas nama apa saja akan kelak sekali waktu: duduk semeja, dalam satu ruangan dengan para pembiak rasa jerih.
bagaimana wajah para penyeru? temanku kembali berusaha mencari dalam chanel tivi yang lain, mencari wajah penyeru yang akan menghadapi rasa jerih dengan seruan. lalu ia tersenyum dan kembali membuat kopi; lalu mengambil hp," aku mau mengirim sms sama seorang teman, yang dulu dijerihkan oleh pendapat-pendapat akan perilakuku", katanya dengan santai. Tentulah itu jungkir balik yang tidak terpahami, apa hubungannya dengan kesibukan mencari wajah para penyeru dan kegiatan yang dilakukan adalah mengirim sms kepada seseorang yang barangkali masih berjaga jarak akibat jungkir balik oleh pendapat bahkan mungkin masih terlilit perasaan-perasaan sentimental?
rasa jerih, kata temanku tidak akan selesai bila urusan dengan hati sendiri, tidak selesai. ganjalan dalam keseharian sudah menumpuk. ketika terjadi teror, yag harus diobati adalah berbagai teror yang pernah teralami oleh kawan, teman, kenalan, serta saudara-saudara sendiri. barulah mendengarkan para penyeru; kata temanku seakan tidak lagi tertarik dengan riuhnya berita mengenai rasa jerih yang berkembang biak menjadi wajah yang pedih dan kalah, bahkan sampai pula pada titik dimana merasa akan mengalami jungkir balik martabat dan harkat seakan teror itu hanya terjadi sekali ini, dan di sini saja.
rasa jerih sungguh menemukan wajahnya saat para penyeru menyampaikan seruannya.....
bagaimana rupa para penyeru? tanya seorang teman, yang bangun kesiangan dan setengah malas menatap televisi,"Oh,teror lagi? Dimana...Oh..." hampir dipastikan, segera dibuatnya kopi, ditolehnya berulangkali televisi dan wajah reporter yang jelas berusaha nampak tidak ada dalam rasa jerih, berusaha sedemikian rupa terbebas dari cekaman rasa jerih.
Tapi cekaman itu tetap terasa. rasa jerih itu penyakit menular, kata temanku sambil menyeruput kopi, ia ingat bagaimana susahnya melawan rasa jerih, rasa pedih dan rasa tak berdaya. tak tahu mesti berkata apa. Rasa jerih itu virus. virus itu pasti ada pembiaknya. Lalu di televisi para komentator pun silih berganti memberi pendapat, ungkapan, analisa, semuanya seolah-olah tahu persis duduk soal, pangkal sebabnya, tapi semuanya adalah bagian rasa jerih yang paling sukses: menduga-duga dan gelisah, saling menyalahkan dan saling berusaha untuk tidak jerih, tapi tetap jerih. lalu seruan pun dimulai; pilihan kata, ekspresi...semua adalah wajah yang menurut temanku: wajah rata-rata yang kelak karena jerih akan melakukan jungkir balik kejernihan pikirannya. akan kelak sembunyi atas nama pekerjaan, atas nama keyakinan, atas nama tidak mau ribut-ribut, atas nama untuk kelanjutan usaha, atas nama apa saja akan kelak sekali waktu: duduk semeja, dalam satu ruangan dengan para pembiak rasa jerih.
bagaimana wajah para penyeru? temanku kembali berusaha mencari dalam chanel tivi yang lain, mencari wajah penyeru yang akan menghadapi rasa jerih dengan seruan. lalu ia tersenyum dan kembali membuat kopi; lalu mengambil hp," aku mau mengirim sms sama seorang teman, yang dulu dijerihkan oleh pendapat-pendapat akan perilakuku", katanya dengan santai. Tentulah itu jungkir balik yang tidak terpahami, apa hubungannya dengan kesibukan mencari wajah para penyeru dan kegiatan yang dilakukan adalah mengirim sms kepada seseorang yang barangkali masih berjaga jarak akibat jungkir balik oleh pendapat bahkan mungkin masih terlilit perasaan-perasaan sentimental?
rasa jerih, kata temanku tidak akan selesai bila urusan dengan hati sendiri, tidak selesai. ganjalan dalam keseharian sudah menumpuk. ketika terjadi teror, yag harus diobati adalah berbagai teror yang pernah teralami oleh kawan, teman, kenalan, serta saudara-saudara sendiri. barulah mendengarkan para penyeru; kata temanku seakan tidak lagi tertarik dengan riuhnya berita mengenai rasa jerih yang berkembang biak menjadi wajah yang pedih dan kalah, bahkan sampai pula pada titik dimana merasa akan mengalami jungkir balik martabat dan harkat seakan teror itu hanya terjadi sekali ini, dan di sini saja.
rasa jerih sungguh menemukan wajahnya saat para penyeru menyampaikan seruannya.....
No comments:
Post a Comment