Surat Cinta

bila kau baca surat ini,
ingatlah gunung yang menjulang
sepi sendiri dipayungi langit
hilang kata, hilang lenguh
tak terjangkau gumam angin

bila kau baca surat ini,
ingatlah kisah kematian kama
melepas panah bunga
luluh mengabu kerna kekasihnya tiba
ah, walau semua musim meratapi
bahkan musim semi berlinang airmata
tak juga mekar kembali

Maukah Engkau Jadi Kekasihku

maukah engkau jadi kekasihku
memandang nirwana
sebagai belantara yang tak bersemai
duduk menanti
rembulan pecah ke bumi
jadi cahaya yang membuat senyum melambung

memang tak kumiliki kesetiaan juga usia
tidaklah merentang mengikat impian
hatiku adalah malam
setiap mimpi warnanya berganti

Sebab Kau Pergi

sebab kau pergi
airmata kukembalikan pada embun
semua keharuman kupinjamkan pada melati
biarkan musim semi menjenguk perih hari-hari

aku sendiri
tak ada satu musim yang sudi menahanmu
juga semua bunga luruh saat kuminta membujukmu
sebab kau pergi
rindu kukembalikan kepada angin
pilu kuserahkan kepada ranting

MERAYAKAN SUMPAH PEMUDA bersama mahasiswa :Tengah menuju SEBUAH KONSEP DAN IMPIAN YANG KOSONG


Kini secara berbisik atau lebih sering terucap diam-diam dalam hati, tentang nasib persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Setelah Indonesia memasuki era reformasi (1998-2009), politik praktis menjadi kegiatan terpenting dan utama bagi kehidupan kenegaraan Indonesia. Hampir dipastikan proses demokratisasi yang diimpikan setelah era orde baru, yakni demokrasi liberal (teramat liberal) menyebabkan terjadinya kesibukan jadwal pemilihan pemimpin pusat dan daerah demikian padat dengan biaya mahal telah menjadi 'wajah reformasi'. Politik kini menjadi komiditi utama, melahirkan demikian banyak politisi dadakan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Hasil dari proses 13 tahun ini; persoalan utama negara tidaklah teratasi secara signifikan; dari masalah kemiskinan, perekonomian, kesehatan, korupsi: semuanya bermuara pada mentalitas penjaringan kepemimpinan negara tidak berubah; malah kian hari kian menjelaskan pola kroni diadaptasi kini dengan sentiment dan fanatisme yang lebih meluas, yakni solidaritas agama dan kedaerahan. 'Instanisasi' di semua lini serentak terjadi. Kejenuhan masyarakat kemudian dialihkan kepada pesona kehidupan religius, yang jatuh kemudian kepada fashion, yakni pada kedangkalan bukan kedalaman proses pencarian hidup dalam kebaikan dan kedamaian, toleransi dan solidaritas semakin nyata menipis ditengah gegap gempita kebebasan menyatakan pendapat.

PATAH

rum telah menghapus tanda, semua ranting meletupkan kuncup,hp ataukah fisbuk, percakapan-percakapan itu menusuk jauh; tak terduga khasiatnya; debar dada menuju sesak.walau seluruh tanda mengisyaratkan ramalan yang menjauh; mungkin tak mungkin tak; o, bujukan betapa menggetarkan rasa sepi; ditawarkan senja yang lembut, duduk hangat; mencecap langit merah serta membiarkan semua kuncup bermekaran. Telah dibungkus sedemikian rupa, seperti sepotong roti kesukaan yang kan disimpan untuk camilan; tetaplah aromanya mengusik lidah, menegangkan wajah. Rum ingin terisak, kenapa mesti menghapus tanda-tanda, hp tak bernomor ataukah fisbuk tanpa status; itu kemayaan yang masyuk. Dari mana kuasa rindu memasuki urat hati? Meliuk selalu bikin ada nyeri yang berulangkali kambuh; tapi jemari regang, pikiran buntu; juga tak mungkin tak; jatuh cinta kepada bayangan; itu percakapan pengisi sela hari agar pulsa tak terbuang percuma; tapi seluruh jendela seolah barisan nama; tak terbaca, kemana kau, kenapa tak ada sms, tak sapa atau puisi yang menggetarkan. Rum mendecak; kegilaan seperti apa yang menaikan rasa tak sabar jadi ratu; lihatlah, semua kata indah juga ditulis untuk ribuan orang. Hati lemah selalu kuat membantah; kubikin kau balik merindukanmu. Kuhapus tanda; kebingungan ini harus kau miliki. Tapi rum tercekat; dua kali sms tiba isinya salam, sekali kemudian hanya sapaan, lalu barisan nama itu tak memuat satu nama. Rum terisak, mengeja seluruh pucuk di ranting pohon; kenapakah pula aku biarkan; bujuk rayu menusuk rindu, perihnya kini menetes. Semua pucuk telah dipapas; semua tanda telah dihapus. Rum menarik nafas. Tak lagi temukan, tanda yang bisa membangun percakapan..

Sehari Setelah Kau Putuskan Cinta

sehari setelah kau putuskan cinta
aku nyalakan lilin di hati
meminta mata menjenguk jauh
tolong lihatlah seperti apa wajah luka hatiku
mencintai dengan sungguh
kegagahan dalam kesetiaan
terasa membuatku menjadi pencinta yang agung

oh, kesopanan, tatakrama percintaan
membuatku wajib patahati ketika cinta terputuskan
menjadi santun atas nama kedewasaan
harus iklas karena dalil dikuasakan

sehari setelah kau putuskan cinta
hingga batang lilin habis, tak juga dikabarkan
dari dalam hati
seperti apa wajah luka hati
seperti apa wajahku kini

(denpasar, cok sawitri, koleksi)

Kaukah Gadis Yang Tinggalkan Airmata di Bahuku?

Kaukah gadis yang tinggalkan airmata di bahuku
bikin semua gerimis hilang akal
tak sanggup menghapus;
harum itu milikmu
memahat di hamparan sunyi
sesekali menjelma mimpi
taman warna yang pedih
tiap tangismu mekar di lamunan

ah, di sini,
tak ada cinta abadi
aku pengecut untuk bertahan
bersetia untuk satu hati

duhai, sejak kali pertama
kujelaskan lewat sajak
"hidupku untuk semua hati"
kaukah tinggalkan ikat rambut
di sela buku-buku ingatan
bikin aku jadi pandir
hilang akal
menghirup udara sepi
sepi

SMARADHANA

selagi bisa,
berbaringlah disebelahku
dengar angin membujuk cuaca
menenangkan risaumu
"perayu seperti aku tak miliki cinta,
hanya kata
yang membuatmu mengapung di awan"


selagi mampu
deraikanlah airmata
biarkan isak menyemut diantara senyap
desah itu, hatimu yang mengawang
"bintang miliki kedip, bulan miliki kemurungan,
tak adakah hari yang membuatmu
letih melamunkan perjalanan…"

HARI RAYA KUNINGAN : Rangkaian penghormatan kepada Sang Bumi


Hari raya kuningan atau juga disebut tumpek kuningan selalu jatuh pada hari sabtu (saniscara) kliwon wuku kuningan, berdasarkan kalender Caka Bali; hari raya kuningan selalu berangkaian dengan Hari raya Galungan, datangnya enam bulan sekali. Perayaan kuningan sedikit berbeda dengan perayaan galungan, secara mitologi, misalnya umat Hindu di Bali percaya bahwa pada hari Kuningan para leluhur yang telah distanakan dari Galungan akan kembali ke sunyaacintya, ke ruang yang tak terbayangkan. Namun secara tatwa (filsafat), baik galungan dan kuningan adalah perayaan kelahiran bumi, orang Bali menyebutnya sebagai otonan bumi, (jangan diartikan sebagai ulang tahun), namun pada hari itu ditetapkan sebagai penghormatan kepada semesta, kepada anugrah tuhan yang berkelimpahan pada hidup manusia, dimana sang bumilah sang ibu yang memberikan pala bungkah, pala bija, aneka bahan makanan dari sarwa prani (yang hidup) dan bermanfaatkan bagi kehidupan. Pada hari galungan sesungguhnya tak cuma badan manusia, namun isi rumah, isi dapur disucikan kembali, kembali diajak mengingat posisi fungsinya masing-masing; dari saluran air sampai sapu, dari segala macam alat dapur sampaipun perkakas lainnya, semua yang membantu kehidupan manusia diperlakukan dengan hormat, demikian pula persembahan; dihaturkan dengan keanekaragaman buah-buahan; keragaman biji-bijian, isi laut dan isi bumi; secara jatu (dipilih) dipersembahkan baik dalam penjor maupun banten (sajen); yang menandai bahwa manusia berhutang budi tak cuma kepada sesama manusianya namun kepada seluruh mahluk hidup di dunia.

Dengan Nakal Kusimpan Kerlip Matamu

isengku,
sekapur sirih
telah meminang senyum manismu
jadi pakis pagi hari
dalam rimba anganku.
angin yang cemburukah
atau matahari yang risau
"hati-hati tak ada hati yang tak jatuh di sini,"
bisikan itu melajulah jauh ke hati
membuatmu guncang saat bertukar tatap denganku
ah, dengan nakal kusimpan kerlip matamu
berkediplah bintang di dadamu
"jernihkan pikiranmu, jernihkan…"
sebelum hujan turun tak dimusimnya

Terjaga Aku

selagi di luar hujan turun
rasa sepi mendinginkan hati
sendiri aku
berapa tahun lagi ingatan ini merapuh
dari bayanganmu?
lagi juga
rasa getir menikam kepala
kian tegas digelap hujan, wajahmu
menggasing aku dalam ketermanguan
rasa lelah mengunang
berkecipak air di halaman
di bawah lampu itu berkilau
seribu dusta dan keluh kesah
jadi pukau
berapa tahun lagi ingatan ini merapuh
sembuhkan perih
yang mencurah selalu
sebab cinta tak lagi di hati
sebab waktu t inggalkan aku

selagi di luar hujan turun
lagi, bayangmu melintas di semua silir air
disemua kemilau kecipak air
merapuhkan pikiran
sendiri aku
memantun sepi
digasing rasa pilu

(ubud, hari kedua, cok sawitri, 2009)

Tak Terkira Kuyupnya Aku

tak terkira kuyupnya mata
saat langkah hari berlalu
membawamu

setangkai daun jatuh
sembilulah aku
mestinya kukatakan padamu
jangan pergi, duduklah di sini
izinkan aku bacakan satu puisi
tentang mimpi yang mencuri lelapku
pada senja yang muram
entah jemarimu atau aku
memetik semua kembang
lalu harum tubuhmu mendekap erat
melekat dikulit lengan
menjatuhkan hatiku; tak terkira kuyupnya

saat langkah hari berlalu
membawamu
entah jemarimu atau aku
kembali memetik setangkai kembang
harumnya melimbungkan aku.

(ubud, hari ketiga, cok sawitri, 2009)

Bukan Hariku


pernah kutulis di angin
sajak cinta untukmu
hujan mengaburkan, matahari menghanguskan
namun abunya pastilah sampai di hatimu

pernah airmataku menetes tanpa alasan
memerihkan ingatan
seperti menghadapi kematian
hampa demikian dada
kukira-kira engkau seperti yang kupikirkan
gamang menegakan diri dalam keriuhan hari
antara tepuk tangan dan tawa riang
semoga abu itu membuat nafasmu tersendak

Jangan Biarkan Gadis Itu Jatuh Cinta

jangan biarkan gadis itu jatuh cinta
matamu telah lupa rupa airmata
hati siapa mendatar usai digaru?
hanya mata bajak yang paham akan hal itu

“ingat kasih, sita yang agung pun ditelan bumi, akhirnya”

tak terhitung namun harus dihitung
rupa hujan dengan tetesnya
keluh ranting kehilangan bunganya
hatimu mendingin saat musim memancang seribu matahari sekalipun!

‘tak ada keharuman yang tak jatuh kebumimu!
”tak ada usia yang tak temui akhir hari”

jangan biarkan gadis itu jatuh cinta
walau harimu memasuki musim bunga
semua hati adalah ranting
yang patah saat bunga ditampar angin
sungguh, tak akan terkira pedihnya
seperti wajah hujan yang engkau lupa
tetesnya luruh jauh ke segala musim

(cok sawitri, ubud 2009)