Hari raya kuningan atau juga disebut tumpek kuningan selalu jatuh pada hari sabtu (saniscara) kliwon wuku kuningan, berdasarkan kalender Caka Bali; hari raya kuningan selalu berangkaian dengan Hari raya Galungan, datangnya enam bulan sekali. Perayaan kuningan sedikit berbeda dengan perayaan galungan, secara mitologi, misalnya umat Hindu di Bali percaya bahwa pada hari Kuningan para leluhur yang telah distanakan dari Galungan akan kembali ke sunyaacintya, ke ruang yang tak terbayangkan. Namun secara tatwa (filsafat), baik galungan dan kuningan adalah perayaan kelahiran bumi, orang Bali menyebutnya sebagai otonan bumi, (jangan diartikan sebagai ulang tahun), namun pada hari itu ditetapkan sebagai penghormatan kepada semesta, kepada anugrah tuhan yang berkelimpahan pada hidup manusia, dimana sang bumilah sang ibu yang memberikan pala bungkah, pala bija, aneka bahan makanan dari sarwa prani (yang hidup) dan bermanfaatkan bagi kehidupan. Pada hari galungan sesungguhnya tak cuma badan manusia, namun isi rumah, isi dapur disucikan kembali, kembali diajak mengingat posisi fungsinya masing-masing; dari saluran air sampai sapu, dari segala macam alat dapur sampaipun perkakas lainnya, semua yang membantu kehidupan manusia diperlakukan dengan hormat, demikian pula persembahan; dihaturkan dengan keanekaragaman buah-buahan; keragaman biji-bijian, isi laut dan isi bumi; secara jatu (dipilih) dipersembahkan baik dalam penjor maupun banten (sajen); yang menandai bahwa manusia berhutang budi tak cuma kepada sesama manusianya namun kepada seluruh mahluk hidup di dunia.
Karena itulah sering diartikan sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma, yakni kemenangan kesadaran akan kehidupan ini bukan hanya milik sendiri. Yang adharma adalah ketika mengira manusia dapat semena-mena kepada alam ini.
Tumpek kuningan perayaannya memiliki tanda yakni adanya sulanggi, yang berisikan nasi kuning, juga simbol apsara-apsari bahkan kadang dilengkapi gandek dan payung, yang dibuat dari janur sebagai tanda akan harapan kemakmuran dan ucapan terima kasih yang tak terhingga atas segala anugrah kehidupan.
Perayaan-perayaan di Bali seringkali diartikan oleh yang tidak memahami; mengira umat Hindu memuja pohon, batu dan isi alam; sesungguhnya perayaan-perayaan di Bali adalah cara untuk mengajak manusia untuk rendah hati, mengajak kembali manusia untuk menghormati isi bumi : dari binatang sampai danau. Tak cuma menghormatinya, namun memberi tempat dan memeliharanya dengan hormat. Tidak semata mengeksploatasi. Karena itu bagi orang bali, melewati jalan sunyi pun diwajibkan tetap santun, permisi saat melewatinya, itu pertanda kerendahan hati tengah diuji, sebab isi bumi ini tak cuma manusia.
Keangkuhan manusia mengira dirinya sebagai tuan, itulah bhuta yang menggoda hidup manusia; saat galungan ada tiga bhuta yang patut diingat, yakni sebagai tiga sebab manusia menjadi sombong dan angkuh menghadapi alam; yang pertama bhuta galungan; kelemahan dalam diri manusia yang merasa selalu ditantang untuk menguasai, merasa harus lebih dari yang lain; bhuta ini digambarkan sebagai sifatnya menyerang, memiliki daya tempur yang tak kenal lelah. Kemudian Bhuta dungulan, ini adalah sifat manusia dengan ambisinya; hasrat mengungguli yang lainya, yang sering kemudian diterapkan dalam perilaku, kemudian bhuta amangkurat: manusia mengira dirinya akan menguasai dunia dan akherat bahkan mengira dirinyalah yang akan menentukan isi sorga. Mengira bhuwana agung dan bhuwana alit itu dapat serentak ditaklukan; hingga sering manusia menipu dirinya dalam perilaku seolah-olah suci. Ketiga bhuta ini diajarkan kepada umat Hindu di bali secara simbolik dan tutur, tidak dalam bentuk doktrin, sebagai tujuannya adalah kesadaran, dasarnya adalah karma phala.
Nah, rangkaian Galungan kini menuju hari raya kuningan, kembali lagi manusia yang pelupa diingatkan akan segala sesuatu yang dimiliki itu tidak abadi; pertemuan, kelahiran, segalanya akan kembali ke acintyasunya, namun tak usah pesimis, selama manusia sanggup untuk terus menerus mengingatkan dirinya untuk rendah hati: menghargai dan menghormati isi alam yang diwujudkan dengan pemeliharaan, jauh dari pengerusakan maka hidup manusia di muka bumi akan bersahabat dengan alam. Karena itu, ketika menyeru akan hidup bagi sarwa prani (serba yang berpotensi hidup dan menghidupi) adalah pertanda kemauan untuk menjaga alam; tujuan praktisnya adalah toleransi kepada alam ;sama sebanding dengan menghindari bencana. Dimana saja ketika alam tidak lagi diperlakukan dengan penghargaan, tanpa penghormatan; seakan benda mati yang hanya bertugas dieksploatasi disitulah segala macam bhuta dan penyakit akan tiba lambat ataukah cepat.
Tumpek kuningan adalah harapan akan kesediaan manusia untuk menutup rangkaian perenungan jauh ke dalam diri manusia, untuk bersedia menjaga sang bumi dan isinya agar hidup menjadi jagadhita. Demikianlah, semoga damai di hati, di bumi dan di semesta.
(cok sawitri, 2009)
No comments:
Post a Comment