MERAYAKAN SUMPAH PEMUDA bersama mahasiswa :Tengah menuju SEBUAH KONSEP DAN IMPIAN YANG KOSONG


Kini secara berbisik atau lebih sering terucap diam-diam dalam hati, tentang nasib persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Setelah Indonesia memasuki era reformasi (1998-2009), politik praktis menjadi kegiatan terpenting dan utama bagi kehidupan kenegaraan Indonesia. Hampir dipastikan proses demokratisasi yang diimpikan setelah era orde baru, yakni demokrasi liberal (teramat liberal) menyebabkan terjadinya kesibukan jadwal pemilihan pemimpin pusat dan daerah demikian padat dengan biaya mahal telah menjadi 'wajah reformasi'. Politik kini menjadi komiditi utama, melahirkan demikian banyak politisi dadakan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Hasil dari proses 13 tahun ini; persoalan utama negara tidaklah teratasi secara signifikan; dari masalah kemiskinan, perekonomian, kesehatan, korupsi: semuanya bermuara pada mentalitas penjaringan kepemimpinan negara tidak berubah; malah kian hari kian menjelaskan pola kroni diadaptasi kini dengan sentiment dan fanatisme yang lebih meluas, yakni solidaritas agama dan kedaerahan. 'Instanisasi' di semua lini serentak terjadi. Kejenuhan masyarakat kemudian dialihkan kepada pesona kehidupan religius, yang jatuh kemudian kepada fashion, yakni pada kedangkalan bukan kedalaman proses pencarian hidup dalam kebaikan dan kedamaian, toleransi dan solidaritas semakin nyata menipis ditengah gegap gempita kebebasan menyatakan pendapat.

Kebebasan itu juga melahirkan proses kritis terhadap ideology; Pancasila sebagai dasar negara, cara pandang, mendasari semua kerangka kerja dan perilaku dalam hubungan antar warga dalam keindonesia pelahan disingkir, dan akhirnya (secara ragu harus berani dinyatakan) bahwa kepentingan politik; persatuan dan kesatuan melemah disebabkan proses perubahan 'kesetiaan' kepada ideology yang secara hukum silih berganti mendapat penguatan dari pihak legislatif melalui berbagai produk undang-undangnya. Yang pertama adalah politik yang menyangkut kepartaian, dimana partai boleh memilih bebas dasar cara pandang dan perjuangannya; maka bermunculan partai-partai berdasarkan 'agama' yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian otonomi khusus menambahkan keistimewaan aceh, dimana syariat islam memasuki tata krama pemerintahan. Berbarengan dengan itu bermunculan isu moralisasi berdasarkan agama tertentu; berbagai gerakan yang semula nampak malu-malu kemudian menjadi fashion, politik yang membutuhkan dukungan massa mendorong kemudian fragmentasi; menjelaskan mengenai makna mayoritas dan minoritas berdasarkan keyakinan. Hanya dalam jangka sepuluh tahun, pancasila, ideology Indonesia menjadi kata-kata pemanis saja. Media, pilihan-pilihan kata para pejabat semuanya menuju fashion religius dan fashion humanis, maka tindakan-tindakan yang aneh pun bermunculan mengatasnamakan agama tertentu, disiarkan dengan semangat oleh media di Indonesia. Berbagai pendapat terdorong membelah antara kehidupan sebagai warga negara ataukah warga umat agama.

Indonesia yang multicultural, memiliki sejarah yang panjang dan jelas mengenai berbagai daerah yang kini bergabung dengan Indonesia, semua daerah sebelum bergabung dengan Indonesia adalah wilayah-wilayah berdaulat walaupun dijajah (namun tidak semua dalam konteks dijajah). Latar belakang masing-masing daerah mengapa bergabung dengan Indonesia tidak pernah dijelaskan secara lugas dan tuntas; bahkan dilupakan bahwa nama Indonesia di era tahun 30-an sampai 50-an gaungnya sebagai pemersatu bangsa belumlah demikian kuat dikenal. Tafsir sejarah mengenai keindonesiaan mulai terasa di era orde baru yang memang memberi tekanan kepada peristiwa politik di jawa yang dinyatakan sebagai hari-hari sejarah nasional; dari hari kartini sampai sumpah pemuda, dst, semua peristiwa keindonesiaan terjadi di jawa, dan tafsir sejarah di era orde baru memang terhenti pada cara pandang pemerintah; sehingga terjadilah proses yang tidak seimbang dengan ingatan-ingatan sejarah yang terjadi di berbagai daerah. Tafsir yang kuat yang digunakan adalah bagaimana perjuangan Indonesia dilakukan seakan bersenjata, memberi tempat tentara adalah pahlawan yang menjadikan Indonesia demikian kuatnya. Hampir dipastikan semua daerah akan memiliki pahlawan revolusi, bali misalnya memiliki pahlawan revolusi kemerdekaan yakni I Gusti Ngurah Rai, kemudian sederet nama pahlawan yang diera mulainya militer membangun strukturnya dikuatkan dengan berbagai perayaan. Peristiwa kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya perjuangan masyarakat dan diplomasi menjadi samar harus tumpah tindih dengan bambu runcing atau dikenal dengan masa revolusi kemerdekaan, yang melahirkan angkatan 45. Karena itu ketika era reformasi tiba: kekritisan terhadap militer dan kekuasaan yang terpusat menjadi lambang perlawanan; di situ terjadilah kegamangan, sebab pancasila berada dalam area lambang negara yang dijaga pula oleh tata krama keamanan negara, di era reformasi menjadi agak dienggani untuk dibela sebab di era orde baru gerakan P4 dan dwi fungsi selalu berkaitan dengan kekuasaan ditangan Soeharto dan kroninya.

Dalam kerangka itu, pertanyaan mendasar itu adalah: apakah bangsa dan negara Indonesia akan bertahan lama? Apabila sampai detik ini dibiarkan kerancuan posisi tata krama agama dengan tata krama negara memasuki kebijakan-kebijakan instrumental bahkan sudah memasuki structural, cultural keorganisasian pun mulai dipengaruhi oleh upaya 'penyucian' oleh simbol, tata krama agama tertentu. Pertanyaan yang lain, mengapa proses demokratisasi tidak menghasilkan kepemimpinan yang kuat baik di pusat maupun di daerah? Pertanyaan-pertanyaan lain akan bersusulan sebagai tanda akan kerisauan nasib bangsa dan negara yang kedaulatannya justru melemah oleh perilakunya sendiri dan martabatnya pun dihadapan dengan negara lain menurun secara dratis.

Jika di era orde baru, ketakutan untuk bersikap terbuka dan kritis terhadap pemangku kepentingan yang ada dalam lingkaran elite telah melahirkan sikap mental' asal bapak senang', KKN dan korupsi bersama dan berakhir dengan gerakan massa yang cukup anarkis (peristiwa Kudatuli sampai Peristiwa Mei), juga gerakan itu hampir tanpa rancangan dan solusi untuk ke luar dari persoalan akibat perilaku elite negara saat itu. Kini di era reformasi, perilaku elite besar dan elite kecil yang menggunakan sentimen keyakinan dan solidaritas primodial membuat jerih banyak pihak untuk mengkritisinya; sensitifitas yang ada saat ini sangat menakuti banyak pihak untuk berani secara jujur, jernih, dengan bukti-bukti kuat untuk membangun dialog: betapa pentingnya reformasi dibebaskan dari kepentingan-kepentingan politik sempit yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, namun akhirnya ternyata dalam prakteknya adalah jual-beli kepentingan untuk kepentingan golongan bahkan individu tertentu yang memasukan jargon-jargon moralisasi atas nama agama tertentu.

Pecah belah bangsa dahulunya dikenali hanyalah politik kolonial; apabila mengingat peristiwa tahun 1928, yang dipicu pernyataan perdana menteri Belanda yang pernah menjadi menteri daerah jajahan dan panglima penyerbuan aceh; bahwa wilayah hindia belanda adalah wilayah-wilayah yang terpisah dengan perbedaan suku, agama, ras dan golongan; dinyatakan bahwa konsep negara Indonesia adalah konsep kosong! Yang disebarkan dengan 'famplet', sehingga para pemuda waktu itu menjawabnya dengan Kongres Pemuda II. Sebuah kegiatan yang dinyatakan dengan “Perapatan Pemuda-Pemudi” Indonesia, yang digagas Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI); organisasi radikal non kedaerahan, yang berproses sejak tahun 1915; dimana di tahun itu telah dimulai lahirnya berbagai organisasi kedaerahan di Batavia dan sekitarnya. Ada rentang 13 tahun dari tahun 1915 menuju 1928, yang melahirkan sumpah pemuda: mengenai bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia dan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Tentu bukan proses individual dan tanpa pengorbanan. Jelas merupakan gerakan sipil, yang kelak mendorong kelahiran organisasi Indonesia Muda di tahun 1930-an. Kongres Pemuda II tidak hanya melahirkan sumpah pemuda semata, namun yang harus dipahami adalah keberanian untuk melawan cara pandang yang meniadakan potensi persatuan Indonesia dalam kebhinnekaannya. Nama M. Yamin sejak kongres pemuda II itu mulai bergaung, mewakili Jong Sumatera, M, Yamin kelak menggali banyak hal untuk mewujudkan bagaimana sebenarnya bentuk negara Indonesia yang berbhinneka itu. M. Yamin banyak sekali menggunakan refrensi sejarah nusantara (negara kertagama, berbagai prasasti dan jatuh bangun kerajaan-kerajaan di seluruh wilaya nusantara) untuk menyampaikan gagasan-gagasannya; karena itu, sejarah, pendidikan, hukum adat, bahasa dan budaya (keragaman agama/keyakinan) menjadi modal pemahaman penting akan terbentuknya proses penetapan ideology. Bahwa sejak awal pemikiran kebangsaan yang satu itu, bahasa yang satu itu dan tumpah darah yang satu; tidaklah meniadakan kenyataan kebhinnekaan yang ada.

Bandingkan kini sejak orde baru jatuh dan era reformasi yang tengah berlangsung : berentang waktunya 13 tahun juga. Dan pemecah belahnya itu jelas harus dipaparkan untuk kemudian mendorong para pemuda, rakyat Indonesia untuk merevitalisasi sumpah pemuda itu. Menjadikannya kerangka gerakan untuk menyelamatkan Indonesia yang berbhinneka; bermartabat dan kuat kedaulatannya.
Krisis multidimensi yang dialami oleh Indonesia saat ini; disebabkan oleh berbagai sebab, namun pastilah ada akar pokoknya yang jadi sebab. Peristiwa tahun 1965-an, pastilah ada akar pokok sebabnya, tidak dalam bingkai kepentingan politik semata; demikian pula peristiwa 1998: reformasi itu tidaklah mungkin terjadi tanpa akar pokok sebab yang membuat seluruh rakyat menginginkan dominasi penguasa orde baru ditumbangkan.Kini, tugas pemuda adalah mencari akar sebabnya apa dan mengapa: dan janganlah mengulang dua kesalahan yang terjadi; saat orde lama tumbang lalu orde baru berkuasa; kesalahan yang terbesar adalah membiarkan model penguasaan negara dilakukan dengan terpusat dan militeristik, segala perbedaan pendapat ditiadakan, jargon ekonomi diutamakan; sehingga mentalitas yang muncul adalah mentalitas oportunis; yang berlanjut sampai kini. Masalah utama KKN, Korupsi dan sistem rekrutmen pemangku kekuasaan hanya berganti cara saja; namun tidak mengubah mentalitas, dimana rakyat tetap terabaikan haknya, namun terus menerus harus memenuhi kewajibannya tanpa berdaya untuk mendapatkan perlindungan negara dan pelayanan dari pemerintah. Di era demokrasi ini kejenuhan rakyat telah mencapai tahap apatis terhadap proses demokrasi itu sendiri. Seolah-olah semua rakyat dapat menyuarakan pendapatnya! Seakan-akan suaranya dalam pemilu menentukan. Namun perhatikanlah bagaimana cara pengelolaan suara rakyat itu dalam parlemen (?). Rakyat saat ini hanyalah dimanfaatkan oleh elite untuk mendapatkan kekuasaan; tidak perduli dengan cara apapun bahkan dengan menggunakan sentimen solidaritas keagamaan pun itu tetap dianggap sebagai bagian kebebasan.

Kini kita harus menemukan 'pisau bedah' maha tajam untuk memahami kenapa terjadi simpang siur dalam kerangka memperbaiki mentalitas bangsa. Gerakan moralisasi, yang kini sudah melahirkan fashion religius; seolah-olah telah taat beragama, menjauhi perilaku dosa, rajin sembahyang dan terus menyerukan kesiapan masuk surga itu dipicu oleh kesadaran bahwa kemerosotan bangsa adalah karena kemerosotan moral.

Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata 'moral' yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata 'etika', maka secara etimologis, kata 'etika' sama dengan kata 'moral' karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata 'moral' sama dengan kata 'etika', maka rumusan arti kata 'moral' adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Pembedanya hanya asal bahasanya yakni 'etika' dari bahasa Yunani dan 'moral' dari bahasa Latin. Untuk melengkapi, pengertian 'Moralitas' (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan 'moral', hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Pengertian ini akan berbeda dengan moral religius yang berasal dari keyakinan tata krama beragama. Itu sebabnya ada norma sosial yang merupakan kesepakatan dalam rentang wilayah tertentu dengan proses pengalaman sama dalam hubungan dan kepentingan sosialnya. Indonesia yang bhinneka jelas akan mengalami ketegangan bila tata laku sosialnya diseragamkan dengan tata laku agama tertentu. Sebab perilaku : menyangkut cara, kebiasaan, adat istiadat adalah kesepakatan sosial yang menjadi ibunya segala perarturan dalam hubungan antar manusia. Negara ini pun adalah kesepakatan antar manusia. Indonesia digagas tidak oleh satu orang atau oleh satu agama; namun jelas melalui proses dialog yang melahirkan kesepakatan, karena itu moral kebangsaannya adalah Pancasila; yang menjadi inti tata krama, 'religinya negara', religi itu artinya yang mengikat, tempat berpaling ketika tak jelas arah. Jadi mentalitas bangsa harus diobati dengan memahami dan memperilakukan pancasila itu, kemudian menguatkan kesadaran akan kebhinnekaan.

Kini, apakah kesadaran akan kebangsaan, cinta tanah air, dsbnya itu hanyalah ilusi semata? Yang gempitanya hanya pada hari perayaan dengan berbagai pidato-pidato yang kosong dalam penerapannya? Sebab proses untuk menghargai jalannya sejarah, mengenai peristiwa 28 oktober misalnya tidaklah bisa hanya sebatas perayaan. Kalangan pemuda dan pemudi misalnya jika mengambil spirit ini sebagai modal gerakan untuk mendorong kemajuan bangsa harus mencermati diri terlebih dahulu:

Pertama, memahami apa krisis kebangsaaan yang akan menjadi ancaman perpecahan bangsa? Kedua, bagaimana strategi yang akan dipilih untuk menuangkan kepahaman itu dalam gerakan yang tidak merugikan kehidupan sosial? Ketiga, pemuda dan pemudi mesti dengan tekun melakukan pemberdayaan diri baik melalui pengetahuan maupun perbaikan perilaku. Atau memilih berdiam sebagai mayoritas yang diam untuk mengakui sesungguhnya Indonesia sebagai negara tengah memasuki konsep dan impian yang kosong, kering dan menunggu musim, dimana daunnya akan berguguran, akarnya akan tercerabut, karena ketakutan untuk menyuarakan: negara kita adalah berdasarkan pancasila bukan berdasarkan agama tertentu.

(bahan dialog di IHDN, Denpasar, Bali)

No comments:

Post a Comment