BUDDHA KULA IV - Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha


(bagian I: Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha)
(bagian II: Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha)
(bagian III: Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha)
(bagian IV: Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha)

    Ada kemudian pertanyaan, yang tentu saja disebabkan oleh cara berpikir bahwa syarat agama itu seragam, seperti apakah kitab suci agama siwa-buddha? Siapa nabinya? Dst. Pertanyaan standar dan mendasar yang menjelaskan bahwa betapa diperlukan anjangsana dalam kerangka hubungan antar agama dan kepercayaan; bahwa agama di dunia tak cuma bersyarat seperti tradisi agama-agama monoteisme, bahwa agama adalah keyakinan, bukan mengikuti kriteria satu keyakinan dan tidak berdasarkan patron definisi tertentu. Namun jelas dalam konteks Buddha Bali, yang garisnya dari Mahayana, yang dipengaruhi oleh tantra dan menyebutkan dirinya melalui berbagai kecirian yang ditemukan dalam Kitab Sang Kamahayanikan: sebagai Wajrayana memiliki berbagai kitab suci; yang dibedakan untuk kitab suci puja bagi pendeta dan kitab bacaan suci bagi penganutnya. Karena itu jelas akan berbeda tata krama pembelajaran agamanya, terutama dalam hubungan murid dengan Buddha guru, sang guru yang mengasuh pengetahuannya mengenai Kahyang Kebuddhan.

    Bahwa wajrayana atau bajrayana berkaitan dengan tantra dapat dimulai dengan pemahaman Dhyani Buddha ini kelak disamakan dengan lima bentuk Tathagata atau disebut juga Panca Jina, lima bentuk itu adalah sebutan lain bagi Buddha: ketika disebut sebagai wairocana, diartikan sebagai dia yang memberi sinar cahaya atau ia yang cerdas, ketika dipanggil akshobya itu artinya, dia yang tak tergoda, kemudian jika dipanggil Ratna Sambhawa, dia adalah permata yang dilahirkan, bila disebut Amitabha, dia merupakan sinar cahaya yang tak terbatas, dan jika disebut Amoghasidhi, bermakna dia yang selalu berhasil. Kelima sebutan ini akan berkaitan dengan tanah, akasa, air, api dan angin; hakekat dari lima indera, lima penjuru mata angin dan juga panca aksara: merupakan konsep Buddha dalam kaitannya dengan tantra.

    Kemudian dalam beberapa ayat permulaan dalam Sang kamahayanikan ada yang disebut 'IM' sebutan itu adalah kepada Icwara; yang kemudian mengenalkan sebutan Adi Buddha. Kemudian bandingkan bagaimana Kahyang Buddhan mengajarkan pembagian masa ; atita, wartamana dan anagata ; lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Bandingkan dengan konteks Yuga, dimana setiap yuga mengenalkan nama-nama Buddha sebelum Sakyamuni. Dari ini maka awal pembeda antara Hinayana dengan Mahayana dalam konteks Kahyan Buddhan Bali: bahwa Bodhimule; tempat asalnya Buddha, aturan mantra, cara menggunakan mantra dan lafalnya, akan menjadi pembeda. Juga winaya berbagai aturan dari kependetaan hingga tata krama pengajaran antara guru dengan murid. Karena itu Tryaksara adalah pegangan utama; huruf tiga suci ini menentukan jalan menuju kebuddhaan.

    Pada pengajaran Satyadwaya yang berkaitan dengan Sunya, dimana satya dibedakan menjadi dua yaitu Smrtisatya sebagai kebenaran relatif, kemudian Paramartha sebagai kebenaran absolute, bandingkan dengan pengetahuan Kamoksaan, dimana moksa atau nirvana hakekat yang absolute juga.  Yang menarik adalah dalam perubahan zaman seperti sekarang, ketika ketertarikan akan pengetahuan Buddha meluas; ada juga yang bertanya dengan naïf: kenapa Buddha Bali tidak se’ngtrend’ Buddha Tibet misalnya; dalam kaitan sesungguhnya dalam Kahyang Buddhan bali ada yang disebut dengan wajra bhumi, yang di Tibet disebut S(C)apata Hrdaya dengan lambang air, mantram ini dikenal dalam tradisi kepanditaan bali sebagai Mahasamaya; ini berkaitan dengan Bajrodaka; panah air, petir air, ini dimaknakan sebagai asal muasal penciptaan yang lahir dari Ongkara: Ah, Hum. Perhatian kisah Ksirarnawa dalam tradisi Brahman (?).

    Perhatikan pula bagaimana kahyang Buddhan bali mengenalkan keciriannya sekaligus pertanda dari asal ajarannya: sebutan Bajradhara kemudian sebutan Guhyapati. Bahwa dalam kaitan manah (pikiran) dan alam semesta; bahwa sebutan "IM" bukankah itu seruan kepada Icwara gelar kepada Bajradara atau nama lain Buddha dalam ajaran tantrayana (?): bandingkan juga dalam konteks ajaran Tibet bahwa  Bajrasatwa dan bajradhara juga dikenali sebagai boddhisatwa, karena itu dalam pengasuhan Kahyan Buddhan pengertian dharma tidaklah sederhana: Sarbwa-dharma meliputi 24 jenis. Kemudian kaitan bajrasatwa yang diibaratkan sebagai prakrti, yang tidak dibedakan pula dengan pradana. Bandingkan dengan ajaran Hindu bahwa Prakrti dapat diartikan dengan badan wadag sakalanya, sedangkan purusa adalah niskalanya atau non phisik. Dan tentu saja kelak ketika membaca beberapa kisah yang berkaitan dengan Boddhimule: dikenalkan pula kisah bubuksah-gagaking: menandai bahwa diperlukan keluasan untuk mengenalkan kahyang kebuddhan ini; berkaitan dengan proses kesejarahan dari era medang ke sirwijaya hingga dang hyang astapaka. (bagian IV, cok sawitri)

No comments:

Post a Comment