Lelaki Tua di Hari kemerdekaannya


Cerpen
LELAKI TUA DI HARI KEMERDEKAANNYA

BY. Cok Sawitri

Sebagai pelanggan, dia terlalu tua buat ingat segala macam hal di masa lampau dengan rinci.Kadang kami curiga dia sebenarnya masih muda, namun tubuhnya menua sebab ingatannya masih terlalu bagus dan ceritanya tak pernah berulang. Pikirannya masih tajam dan masuk akal, jauh dari kesan itu obrolan orang pikun. Dia mengaku berusia 90tahun bahkan dia pernah curiga bahwa usianya mungkin lebih dari 90 tahun,"sebab aku tak ingat tahunnya, tapi dinyatakan merdeka, aku telah menikah…"  Sayangnya, anak dan istrinya telah mati karena suatu sebab yang tak pernah dia ceritakan.


Dia punya rumah kecil, dibalik lorong-lorong kota ini. Dia tak pernah takut untuk kehabisan uang, dia dapat pensiunan juga ada sejumlah simpanan. Tetapi dia hidup sendiri. Orang-orang yang kini tinggal di kota ini tak lagi mengenalinya," semua tetanggaku pindah, semua menjual rumah mereka,entah pergi kemana anak-anak mereka..,,merantau, entah. Pasti banyak alasan.Terlalu lama, enam puluh tahun lebih. " itu suaranya yang paling murung, " dulu,semua orang berjuang mempertahankan kota ini, satu sama lain saling kenal, lalu setelah empat puluh tahun, semua pergi…sekolah, bekerja, bangkrut…mati, hidup itu begitulah."

Dia mungkin orang asli kelahiran kota ini yang masih tersisa, perkembangan kota yang pesat telah membuat wajah kota ini berubah juga penghuninya. “Enam puluh tahun kami bangga menyumbangkan tanah, menyumbangkan uang, kami ingin memajukan negeri…" dengan senyum pahit dia menutup mulutnya,"tapi kami tidak sempat menikmati kenyamanan dan kebebasan itu, tiba-tiba kota ini meledak dalam kemajuan yang aneh, orang-orang memerlukan tanah tak hanya untuk kantor, tetapi untuk sekolah, habis itu untuk perumahan pejabat,memerlukan toko, tempat kursus, hotel kecil…rumah sakit…terminal, halte…tiba-tiba semuaa tanah diseputaran kampung kecil ini habis…ada rumah di perempatan jalanitu, digusur, diganti rugi, pemiliknya telah pindah lama dengan bangga…"

Lalu lelaki itu diam, dan orang-orang sulit membayangkanbahwa perempatan jalan besar itu dahulu ada jejeran rumah, kemudian diseberangnya ada sekolah rakyat, sulit membayangkan bahwa dahulu jalan besar,berbagai fasilitas perkantoran, toko, ruko, rumah sakit….bahkan terminal ituadalah perkampungan. Lalu kemana orang-orang itu? yang berjuang merebut kemerdekaandan merelakan tanah dan kekayaannya untuk membangun kota ini?

“Hal yang tak terduga dari kemerdekaan adalah kesepakatanyang bisa terlupakan oleh perubahan sikap politik, saat berjuang dahulu, kami tak memikirkan bahwa membangun pemerintahan itu ternyata bukan soal membangun kantor dan administrasi…ternyata, persoalannya siapa yang akan duduk di kantor itu dan itu memerlukan persaingan yang disebut pemilihan dan pengangkatan. Dantidak pernah kami pikirkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan harus dilakukan dengan persaingan-persaingan, entahlah…" Lelaki tua itu terdiam lama, dahinya berkerut,"setelah kemerdekaan, terlalu banyak kematian sia-sia yang harus terjadi dibandingkan ketika kami berperang…"

“ah, mungkin dia korban politik…"
“kalau dia korban politik, pasti dia sudah tidak tinggal di sini"

Lelaki tua itu menggelengkan kepalanya," Kami dahulu ada partai, tetapi untuk menjadi wakil kami musyawarah. Kami riang, membuat banyak pertunjukan, tetapi entahlah…entah mengapa, kota ini begitu cepat maju dibandingkan kota-kota lain. Tiba-tiba dibangun berbagai hal tanpa kompromi…taman kota,hutan kota, perluasan sungai…entahlah, katanya untuk pariwisata, untuk kesehatan…kampung-kampung menyempit, dan semua penghuninya tiba-tiba menjadi beban..mereka waktu itu menganggap kami itu biang kekumuhan, biang perkelahian…"
“Oh…"

Lelaki tua itu menarik nafas, orang-orang dari jauh datangke kota ini, sementara kami menyingkir dengan sukarela setelah berpikir kami tak bisa mengikuti keriuhan jalan, tak ada halaman untuk tanam pohon, semuanya menjadi petak rumah, tempat kost, bedeng…dan suatu hari, kampung-kampung terbakar, kecuali rumah lelaki tua itu.

Kami menatap lama lelaki tua itu, yang selalu datang disiang hari, duduk dekat jendela, memesan kopi dan jajan, lalu sorenya datang untuk menanti jam makan malam.

Hari ini entah mengapa kami ingin dia bercerita, sebenarnya siapa dia, sehingga begitu runut bercerita soal kota ini. Dan benarkah seluruh penghuni kota ini bukanlah penduduk asli kota yang dahulu diimpikan dan diperjuangkan? Jadi untuk siapa semua kemajuan ini?
“ah, revolusi…perjuangan itu hanya meminang pejuang yangakhirnya hidup sia-sia, pengorbanan itu hanyalah gegap gempita di jam-jam itu,setelah itu kemiskinan, keperluan hidup menelan seluruh tujuan awal…"

“tapi bukankah seharusnya warga di sini dipertahankan?"
“Itu pikiran idealis, seperti mimpi kami di masa lalu,membebaskan diri dari penjajahan, membangun, bersekolah….kemajuan itu memakanapa saja, tanah, pohon, juga ingatan dan kebaikan…"

Lelaki tua itu tersenyum datar, matanya memandang kejauhan.Bendera-bendera mulai dikibarkan, suara gerak jalan terdengar, semayup terdengar nyanyian perjuangan.

Lelaki tua itu tersenyum," bukankah itu namanya perjuangan?...berkorban segalanya, bukan? Selamat hari kemerdekaan nak.."

“Tapi mengapa warga di sini dipinggirkan bahkan mungkin dipindahkan paksa?"

Lelaki tua itu menoleh,"tidak ada yang memaksa, kebakaran besar, keperluan perluasan kota, penataan kota…banyak hal termasuk ketidakmampuan kami ikuti perkembangan kemajuan itu, tidak ada yang dapat disalahkan. Sebab banyak dahulu tetangga-tetangga bersemangat untuk menjadi calo penjual tanah, ikut proyek ini-itu, dan ketika waktu berganti, selera penguasa kota berbeda, mereka tergusur, dan tak ada lagi tempat buat singgah,sebab semua tanah dan halaman telah menjadi toko dan ruko, lalu mulai hidup mengemper….dan kebakaran itu…menyebabkan banyak dari kami bertukar tanah denganuang, pindah jauh dari pusat kota ini…begitu jauh, hingga kadang jika anak keturunan mereka ke sini, tak akan percaya kakeknya, buyutnya dahulu lahir diantara keriuhan kota indah ini…"

“Seharusnya mereka dihargai…"
“ah, dihargai? Itu kata yang paling menyulitkan…harga-hargalah yang memukau kami, lalu harga-harga mematikan mati dari kota ini…"

Lelaki tua itu dengaan senyum, dua generasi sudah cukup untuk membuat segalanya lupa. Bagaimana bisa menyebutkan warga asli, penduduk pendatang, bukankah kita satu bangsa dan bahasa?

“Tapi rasanya tidak adil…"

Lelaki tua itu tersenyum lebar," Itulah pengorbanan…"

“Pengorbanan buat apa?"

“untuk semua ini.." diangkatnya cangkir, dinikmatinya kopi dengan dahi mengkerut. Semuanya seperti bergerak dengan alami, jika kini dicari sebabnya, tidak akan ditemukan sebabnya, bahkan mungkin apa yang kini tertata indah, lorong perumahan, jalanan lebar, fasilitas yang menakjubkan, semua itu dipikirkan dan dikerjakan untuk menuju suatu impian, ketika terjaga, kenyataan itu merengut seluruh impian.

Lelaki tua kembali diam, lalu jika ada yang bertanya,kembali dia bercerita, kembali membuat semua orang tertegun-tegun. Selalu begitu, menjelang perayaan kemerdekaan, lelaki itu akan banyak bercerita tentang banyak hal, lalu hari-hari lain, selebihnya, dia akan diam dekat jendela, duduk memandang kejauhan dengan tatapan datar, tanpa kedip sekalipun.Tanpa keluh sedikit pun, namun semua tahu lelaki itu terlalu panjang usianya,dan terlalu mustahil untuk percaya, bila seluruh penghuni kota megah ini, tak ada satu pun warganya yang masih tersisa, “semua warga asli ini sudah lenyap, dahulu kami berjuang, dan berjuang adalah menyongsong kematian…Benarkah? Seluruh penduduk lama tak ada lagi di kota ini, kecuali dia, lelaki tua yang masihtersisa, sebatangkara.

(BATANGHARI, 17 bulan delapan, cok sawitri)