Cerita Serial: Kalki Bagian 6

Cerita Serial: Kalki
Bagian 6


    Pere!
    Sang Pemilik Kaum Mayian, warung yang terletak diantara lorong-lorong di tengah area kota. Larung ingat wajah itu, wajah Pere! ditariknya nafas, berdiri tenang dikejauhan memandang atap bangunan-bangunan di area demarkasi, sengaja ia berjarak, mengambil rentang pandang saat mengamati. Nalurinya berkata, akan terjadi sesuatu yang tak mungkin terelakan. Kini, ia harus memasuki area kota, yang sibuk dengan kampanye demokrasinya, bermimpi membalikan jalannya kenyataan. Sejarah telah usang, hilang wibawa, negara-negara dengan sistemnya telah menyerpih kemanusiaan-kemanusiaan dalam kaum-kaum, dalam faksi-faksi bahkan suku-suku dalam bangsa-bangsa pun tercerai, semua kekecewaan telah serempak menghabiskan sistem tata kepemimpinan dimanapun di dunia.
    Larung mengatupkan gerahamnya. Matanya makin lurus melepas pandangan. Memasuki kota dengan jalur formal disaat-saat kaum kota merayakan kerepublikan mereka, itu sangat aman.  Walau area demarkasi rentan dengan penyerangan, tetapi area ini jauh lebih aman dibandingkan dengan menggunakan jalan pintas. Tentara Negara Kota sangat telengas untuk urusan pengamanannya, selalu memiliki alasan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada siapapun disaat seperti sekarang ini.
    Larung bertimbang untung ruginya, mengukur segala hal dengan cermat. Kemudian ia melangkah pelahan menuruni jalanan tanah, seperti yang dilakukan banyak orang lainnya, yang memilih jalan setapak menuju area demarkasi; di jalur lain ada jalan beraspal, namun itu jalur-jalur kendaraan dengan berbagai tujuan, terlalu melelahkan jika diseberangi, juga pengawasan teramat ketat bahkan kadang berlebihan.
    Saat Larung memasuki area demarkasi; beberapa kereta telah diparkir di tepi jalan, truk dan kendaraan-kendaraan kecil berjejer rapi dengan symbol-simbol kaum dan faksi-faksi yang melindungi mereka. Tanda peringatan untuk tak mengganggu perayaan demokrasi sudah terpasang, nampak jelas dimana-mana memperingatkan berbagai hal yang biasanya dilakukan bagi yang menentang segala macam mimpi untuk mewujudkan negara kembali.
Larung menghela nafasnya dengan berat dan mengayun langkah diantara ayunan langkah-langkah kaki orang-orang yang entah apa tujuannya ke area demarkasi, entah kendaraan apa yang akan dipilih untuk memasuki area kota; ada kereta bawah tanah, ada bis, banyak model kendaraan yang dapat disewa untuk memasuki area kota.
    Area Demarkasi walau terkesan sebagai area bebas, namun sebenarnya dibawah pengawasan Tentara Negara Kota; ini adalah kesepakatan ratusan tahun lalu; yang kadang menjadi alasan untuk terjadinya ketegangan-ketegangan. Di area ini transaksi perdagangan, transaksi informasi biasanya terjadi  dengan cara sebebas-bebasnya, namun semua tahu, sebebas apapun harus dengan hati-hati sekali.
    "Selamat datang…Selamat datang di area bebas: Demarkasi Timur…."
    Layar televisi hologram tingkat superplasma dinyalakan tepat di area kedatangan dan keberangkatan, siaran cuma satu: laporan persiapan kampanye Bangsing Hasan, penguasa kota yang mencalonkan dirinya kembali dengan saingannya seorang politisi muda: Jaya Hasbi. Wajah keduanya silih berganti ditayangkan, kadang berpedar karena getaran kereta yang datang dan pergi. Kadang membuat mata tertarik untuk melihat, selebihnya kebanyakan orang tak peduli. Di semua sudut nampak kedai-kedai makanan, souvenir, berbagai peralatan rumah; semua kaum seakan-akan terwakili di semua kedai, padahal semua kedai itu milik kaum pedagang yang sudah barang tentu dari zaman ke zaman menikmati keuntungan dalam situasi apapun!
    Larung menuju sebuah kedai, "sebaiknya minum kopi dan makan dahulu, sebelum memasuki kota dan menemui Pere" putusnya dalam hati.
Diantara keramaian dan keriuhan area demarkasi, Larung melangkah tenang. Suara-suara berbagai manusia mirip dengungan, keluh kesah, caci maki juga nyanyian; campur aduk dan membuat hati dilanda ketidaknyamanan. Sedang televisi sibuk menghadirkan analisa politik, siapakah yang akan memenangkan pemilihan umum, apakah Bangsing Hasan ataukah Jaya Hasbi?
    "Paketan atau special?"
    "Paketan…" Larung memilih makanan box. Jika tak habis, bisa dibawa saat menuju area perkotaan. Dipilihnya duduk di sudut, meja kecil yang akan menjauhkannya sedikit dari dengung suara-suara yang mirip dengung jutaan lebah itu.
    "Kerusuhan terjadi lagi…"
    Larung memasang telinganya dengan baik-baik, mengunyah makanan dengan tenang sesekali menyeruput kopinya, telinganya terus terpasang; diantara dengung keriuhan suara-suara yang tak jelas itu, jelas didengarnya ada yang melakukan transaksi informasi, "hebatnya sama sekali tidak diberitakan di satlet kaum kota juga kaum mayian agaknya telah bungkam…Semua link seolah-olah mengesankan keadaan sedang damai seratus persen! Padahal dalam link kami; dari  berbagai penjuru bumi, di semua area kota ada kerusuhan, ini bukan kerusuhan kecil, ini serentak dan massif…"
    "Penculikan pun makin sering terjadi, banyak area demarkasi melaporkan kehilangan orang, tetapi tak ada tindakan sama sekali. Kelompok mana yang memback-up penculik ini? Kalau bukan kaum pedagang, siapa lagi?"
    "entahlah..."
    Larung berusaha menebak-nebak, siapa dengan siapa yang bertransaksi ini, kaum mana dengan kaum apa?
    "berita bawah tanah lebih menakutkan, faksi kaum putih terpecah-pecah, semua tengah mengejar Sang Penyanyi…"
    "Isu sengaja dihembuskan seakan Sang Penyanyi terakhir terlihat di area kota demarkasi timur, artinya Sang Penyanyi tak jauh-jauh dari wilayah garis khatulistiwa?"
    "Mungkin saja, kaum gunung memiliki sistem yang paling tertutup…"
    "Ah, mereka tak akan melakukan konspirasi itu, walau ideology mereka memang kemanusiaan di bumi, tetapi mereka tahu persis resikonya jika kini terlibat dalam ketegangan politik global. Dan link kaum gunung belum memberitakan apapun soal itu, baik secara bahasa sandi maupun lelucon menyebut akan adanya Sang Penyanyi. Aku pikir, kerusuhan di semua kota-kota di dunia, isu Sang Penyanyi; ini satu paket…perang nampaknya akan terjadi lagi, hanya saja kali ini kita tak tahu apakah faksi dalam kota yang radikal yang mensetting semua keanehan ini, termasuk sikap kaum mayian…"
    "satu-satunya kunci pembuka, kaum mayian…"
    "entahlah…apakah mereka juga sebagian budak yang dilepaskan?"
    Larung menyeruput minumannya, pikirannya bekerja dengan hati-hati. Yang tak terungkap sejak dahulu adalah para penculik ini dan bagaimana dewan keuangan melakukan standar nilai uang, yang kini tak lagi menggunakan mata uang atas nama negara tertentu, uang kini dikeluarkan oleh Dewan Keuangan Bumi, dan semua kaum terwakili dalam dewan keuangan itu.
    "memburu para penculik…" Larung tersentak sendiri dengan inspirasi dalam kepalanya, segera ia melangkah meninggalkan kedai itu, menuju pintu pejalan, lebih baik dirinya kembali ke gunung dan mengusulkan pertemuan tertutup; strategi harus dibangun, kaum mayian tak dapat dilibatkan saat ini sebagai sumber informasi.
    Berjalan adalah kebiasaan yang hampir hilang di bumi ini, dan kaum gunung menjadikannya sebagai senjata pergerakan, ratusan tahun kaum gunung berupaya menemukan teknik berjalan yang menyaingi kecepatan kendaraan. Generasi kaum gunung kini dikenal sebagai pejalan cepat dan pejalan layang, dan krisis energy memang kemudian teratasi setelah berbagai bahan bakar bermunculan, namun semua kaum, semua wilayah di muka bumi ini tak lagi dapat sembarangan berjualan kendaraan, sebab bahan bakarnya berbeda-beda merumitkan proses produksi kendaraan. Kaum gunung memiliki bahan bakarnya sendiri segala macam minyak dari tanaman, biooil kaum gunung adalah salah satu yang asset yang paling diincar saat ini.
    "Larung…"
    Larung terus melangkah tak menoleh dan tak bereaksi walau namanya ada yang memanggil. Tubuhnya melewati pintu pemeriksaan, telinganya mendengar namanya dipanggil kembali, namun ia tak akan menoleh di pintu pemeriksaan. Kaki Larung terus melangkah menuju arah Timur, menuju jalan yang menjadi milik kelola Kaum Gunung.
    "Larung…"
    Kereta-kereta dan truk-truk masih terparkir rapat, artinya banyak kaum gunung masih ada di kota dan banyak kaum lain juga sedang ada di pasar kaum gunung. Larung memelankan langkahnya, keramaian seperti ini membuat hatinya lebih nyaman untuk memastikan ada yang memanggilnya.
    "Kau memanggilku?"
    "Iya.."
    "belokan pertama di dekat bunker penjualan bahan bakar…" Larung dengan suara berdesis, tanpa menoleh menyahuti pemanggilnya dan memberi petunjuk dimana dapat bertemu.
    Tiba-tiba hujan luruh dengan deras. Larung mengibas jaketnya yang seketika berubah menjadi mantel penahan hujan. Demikian juga orang-orang nampak seketika memakai mantel penahan hujan dengan aneka warna-warni; payung-payung seketika terkembang. Hujan deras disertai petir seperti biasa bersamaan dengan matahari yang benderang. Cuaca yang lumrah ditahun 2500-an
    Dekat bunker penjualan bahan bakar ada kedai besar milik kaum gunung. Larung mencapai tempat itu saat kilatan petir seperti hendak membelah tanah. Larung menepis ujung jaketnya, seketika mantel hujannya kuncup menjadi jaket yang sedikit basah ujungnya dan segera ia melangkah ke meja paling sudut. Kedai telah penuh sesak, banyak yang tengah berteduh dan duduk-duduk dengan obrolan tak jelas, mengisi waktu buat menanti hujan reda atau istirahat sejenak dari kesibukan. Ah, di sini tak ada televisi superplasma milik kaum kota, aroma kedainya pun berbeda… Larung memanggil pelayan dan memesan minuman dan makanan: Kopi hangat, pisang semental dibakar…
    Larung menanti pesanannya saat itu telinganya menangkap jelas, langkah sepasang kaki begitu halus dan teratur, tak ada detaknya, Larung tersenyum, saat menyadari orang yang memanggilnya telah memasuki kedai, kibasan jaketnya pun sangat halus, artinya bukan penduduk biasa. Larung dengan tatapan beku menatap ke arah pemilik langkah halus itu, "Pere?" desisnya dengan kerut didahi.
    Pere memperlihatkan giginya, tersenyum lebar, segera ia duduk di depan Larung, "sorry, aku memanggilmu di pintu…"
    "Tak apa, kau mau memesan apa?" Larung menyela cepat. Mengalihkan percakapan.
    "Hujan…" keluh pere
    "tak akan lama…"
    Pere mengangguk, memesan menu yang sama dengan Larung.
    "apa kabarmu?" Larung dengan suara mirip gumam, mata yang cermat berusaha menangkap keadaan sekitarnya. Kedai ini bukanlah kedai hanya bagi kaum gunung…segala macam kaum dapat singgah di sini.
    "Baik…" sahut Pere dengan mata berkerjap, melepas isyarat. Larung mengangguk, "Hayolah kita minum dan makan, setelah hujan reda kita memburu jamur di hutan…"
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki"
    Pere mengerutkan dahi, Larung tersenyum,"biarkanlah, mereka pengamen.."
    "Masih juga nyanyian itu beredar, padahal santer dimana-mana dikatakan, Sang Penyanyi menghilang…"
    "Hayolah, buat apa kita pedulikan. Nyatanya, masih mereka bernyanyi, tak ada yang hilang…Isu di masa kampanye kaum kota, selalu dengan tujuan yang tak terduga,"
    Deru hujan tiba-tiba terhenti dan kini berganti dengan desiran angin yang membawa udara yang teramat dingin,"hujan es sebentar lagi…"
    "Ya…"
    Larung memastikan pantauannya, betapa banyak mata-mata yang hilir mudik, menyaru mencari tempat berteduh ke kedai yang dikelola kaum gunung ini. Dan beberapa kaum putih, juga duduk di meja dekat jalan, seperti biasa berkerudung dengan wajah yang memucat; lalu dari kaum nelayan, kaum pedagang…..Larung menggeliatkan punggungnya, berusaha menahan debaran jantungnya; walau samar firasatnya mengatakan, disekitar kedai yang penuh sesak ini ada juga orang-orang tersamar entah itu dari kelompok teroris, separatis, atau kelompok petualang…
    Tiba-tiba petir menyambar demikian dahsyat disertai suara ledakan Guntur, lalu hologram bermunculan dengan suara yang membuat bulu kuduk meremang; "segera menyingkir, amok dikota baru saja terjadi, ada faksi yang melakukan serangan ingin menguasai kota…."
    Dalam gemuruh ledakan Guntur dan kilatan petir, suara-suara cemas berdengung, kegelisahan meruak terasa menyengat disemua sudut warung. Semua pengunjung warung mencoba mencari koneksi dalam tablet mereka dan menggunakan signal pemeta agar dapar dapat gambar terkini dari koordinat yang diinginkan. Larung menatap Pere,"kau sudah tahu rupanya…"
    "Iya, pengungsian akan segera menuju perkampunganmu…" desisnya.
    Larung mengangguk dan segera berdiri, Pere mengikuti. Keduanya tanpa menoleh kiri dan kanan melesat dalam desau angin dingin dibawah kilatan petir dan badai guntur. Perang mungkin akan terjadi lagi! Aungan sirine terdengar tak lama kemudian, siul elang bersahut-sahutan, prajurit kaum gunung bermuncul dari berbagai semak, area yang semula adalah perbatasan sunyi dengan area demarkasi kini telah dibentengi oleh tembok-tembok yang dengan otomatis bermunculan dari balik tanaman-tanaman. Semua area perkampungan dimanapun pastilah kini menyalakan bentengnya.
    Perang akan dimulai lagi?
    "ketika zaman kali mencapai puncaknya, ketika lapar tak menemukan makanannya, para pemangsa pikiran menjadi nyata, saat itulah mari menyambut Kalki…"

(BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment