BUDDHA KULA II - Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha


(bagian II: Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha)

    Kahyang Buddhan (ajaran Buddha)  Bali pada proses pengasuhannya tidak membedakan dengan tegas mana yang bagian Jnana Margga, mana yang bagian Karma Margga, apalagi tattwa. Semuanya mengalir dalam proses komunikasi keseharian. Pada kesempatan yang luar biasa, diperkenalkan kemudian  Arya Satyani, yang mengenalkan empat hal pengertian yakni mengenai dukkha  (penderitaan), samudaya (sebab), nirodha (penindasan), dan magga (jalan). Keempat pengertian itu berkaitan satu sama lainnya,seperti mempelajari putaran sebab akibat; bahwa derita itu ada sebabnya, namun sebab itu dapat ditindas, dan itu ada jalan ke luarnya. Perputaran ini sebenarnya mengenalkan logika dan pelatihan nalar. Kadang akan muncul kelucuan-kelucuan dari hasil percakapan dan pengalaman mengenali Arya Satyani ini.

    Pada ujung pengajaran yang sifatnya perilaku itu, barulah dikenalkan pratitya samutpada, bahwa semua pokok itu bergantungan, yang berakar pada 12 pokok permulaan: jeruji dua belas yakni: Jara marana, umur tua dan mati, yang bergantung kepada jati (kelahiran), kelahiran ini bergantung kepada bhawa yaitu eksistensi lampau, yang bergantung kepada upadana yaitu pelekatan kepada makanan dan minuman segala kebutuhan hidup, ini yang bergantung kepada tanha (rasa kehausan), yang bergantung kepada wedana yaitu emosi yang disebut juga renjana, ini bergantung kemudian phassa yakni sentuhan, kontak akibat kesan pengamatan, yang bergantung kemudian kepada ayatana yaitu indera dengan sasarannya, ini kemudian bergantung kepada nama-rupa yaitu kepada roh dan benda atau keadaan lahir dan batin, bergantung kemudian kepada winnana (kesadaran), yang bergantung kepada sankhara pembentukan karma, ini yang bergantung kepada awidya, yaitu ketidaktahuan. Ketidaktahuan ini dalam kahyang budhan di bali sifatnya kosmis berkaitan dengan tabiat dari alam semesta yang asasi: pada dukkha, anicca dan an-atta.

    Ketika sampai pada pengenalan 12 jeruji ini biasa disertakan pengenalan parama guhya dan maha guhya, kedua hal ini diawali dengan pengenalan dasa paramita dari inilah dikenalkan apa yang disebut dengan bharala-bharali; mengenalkan bharala-bharali adalah kesempatan menyampaikan sejarah dan margga Buddha Bali disamping  proses menuju praktik yoga Buddha bali; apabila menganggap bharala melayang-layang diangkasa maka itu bagian dari mula yoga, apabila menganggap bharala dalam jasmani sendiri itu bagian madya yoga, jika pembayangan bharala ada di seluruh permukaan bumi itu wasana yoga, jika telah sanggup membayangkan bharala dalam sunyata mandala (mandala niskala): itu anta yoga. Bharala itu tak lain parama guhya yakni rupa, wisesa dengan nyata dan yakin, namun jalan menuju parama guhya itu dilalui dengan maha guhya: yakni yoga dan bhawana.

    Proses pengenalan yoga ajaran dari yang disebut Sri Dignaga Pada ini; sesungguhnya upaya memahami desaning bhinawa, yakni pertama, Sasti bhawana: berusaha terhadap penghilangan nafsu keinginan, kemudian Usmi Bhawana berusaha menghilangkan dengki iri hati, ketiga Urddha bhawana berusaha melawan kebingungan dalam diri, kemudian agra bhawana; berusaha memikirkan musnahnya mala petaka di dunia. Karena itu pengajaran pertama itu adalah: Yoga dan Bhawana, yaitu mengenalkan proses meletakkan batin ke dalam titik pusat satwam, ini langkah pertama mengenal Sinamaya, dia itu dalam semadi di sebut Bharala dan pasangannya yakni Bharali.

    Proses Yoga dan Bhawana ini juga adalah persiapan bagi yang tertarik untuk menyiapkan diri menjadi pendeta. Seraya mengenalkan Sila: diartikan kebajikan, janji dalam diri yang tak henti diusahakan secara terus menerus sebagian bagian menentukan dari proses latihan Samadhi yaitu: pertama, berlatih berkata-kata benar, kedua, perbuatan yang benar, ketiga; hidup yang benar, keempat usaha yang benar,  kemudian kelima ingatan yang benar. Pengajaran sila ini menegaskan bahwa pendidikan karakter kebuddhan lebih utama melalui pengasuhan, interaksi secara terus menerus dengan disiplin yang kadang memang terkesan keras. Bahwa Sila akan menggembleng individu-individu ini terbiasa menghadapi Sang Buddha Guru: bahwa sekali pun itu orang tua, kakak ataukah sahabat, yang dipilih menjadi Buddha Gurunya, maka Sang Sisia walau tidak ada ikatan formal, akan melatih dirinya dalam proses dialog yang penuh dengan sor singgih, kadang nampak tanpa bantahan; sebab pengujian kejujuran, kebaikan, kesabaran, dstnya selalu harus dilakukan disetiap kesempatan. Proses ini tak akan pernah berhenti.

    Kembali pada Yoga dan Bhawana maka dikenalkan kembali Catur Satyani serta dasa paramita secara tetap dan berulang-ulang. Sebab setelah proses ini akan dikenalkan tattwa yakni mengenai Adwaya: dua huruf suci: Am, Ah, kemudian mengenalkan mengenai kecakapan batin: Adwaya Jnana. Dalam konteks bertutur maka adwaya-adwaya jnana ini dikenalkan sebagai purusa pradana. (bagian II, Buddha Kula.)


(bagian I: Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha)
(bagian II: Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha)

No comments:

Post a Comment