BUDDHA KULA - Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha


(bagian I: Kahyang Buddhan dalam Budha bali dalam konteks Siwa Buddha)

    Suatu pagi seorang anak muda yang penuh semangat, bertanya kepada saya, dengan nada penuh rasa ingin tahu; jika Hindu di Bali itu berisikan ajaran Siwa-Buddha, buddhanya Bali seperti apakah? Pertanyaan itu tidak saya jawab segera, saya jadikan pertanyaan juga kepada para penganut Buddha Bali, yang mewarisi tradisi yang memang agak berbeda. Anak muda itu jelas membayangkan isi pelajaran agama di sekolah dan barangkali sudah mencari-cari, seperti apa isi ajaran bagi penganut siwa-buddha mengenai Kahyang Buddhan (ajaran budha bali).

    Dalam tradisi maguru sisia, belajar kahyang buddhan, yang dikenalkan di luar tradisi pengetahuan kependetaan dapat dimulai dengan mengenalkan kecirian ajaran Buddha Bali dari yang disebut Triyaksara; huruf tiga yang suci dan mempunyai kekuatan gaib. Ketiga huruf ini dikenalkan secara pelahan kepada penganut Buddha bali secara pola pengajaran pengasuhan; sebab dalam tradisi Buddha bali dikenali apa yang dimaksudkan dengan mandala, yang terbagai dua, yang niskala, itu adalah asrama jiwa dan yang lainnya adalah wilayah geografis. Bagi pengasuhan asrama jiwa maka dikenalkan awalannya adalah Triyaksara ini,: pengajaran untuk memahami proses penyatuan pengucapan untuk mencapai kesatuan pikiran yang diucapkan dalam batin secara terus menerus. Pengajaran triyaksara ini adalah mengenalkan disiplin awal, yang kelak akan menjadi otomasasi dalam diri, sebab tujuannya adalah menjadi perilaku; dimana Triyaksara ini akan mengenalkan kemudian apa yang disebut Bayu, Sabda dan Hidep, ini yang kemudian dipahami sebagai Tri Kaya bajra yang berisikan Kaya, Wak, Citta. Tujuan awalnya adalah mencapai Wahya Suka: kebahagiaan manusia sebagai manusia yang hidup di dunia, tidak di wilayah angan-angan. Inilah langkah kecil menuju Mahodaya, kebahagiaan lahir dan batin. Dalam proses ini dkenalkan pula huruf suci Buddha bali yaitu : Hrih, sedangkan penganut siwa huruf sucinya Ongkara.

    Buddha di Bali menyebut nama lain Buddha dengan sebutan Sang Hyang Sinamaya, yang justru akan ditemukan dalam keadaan batin yang tenang. Kadang juga disebut Bajra Satwa atau Bajra jnana. Karena itu proses sembahyang yang khusuk dalam konteks Buddha bali itu adalah proses pendekatan ketenangan hati, ini yang dimaksud juga proses yang ada dalam wilayah Buddha Kula, siapa saja yang mencapai sinamaya, merasakan, melihat dan memahami ketenangan batin, walau sekejap saja, itu yang dimaksud sang sisia dalam asrama jiwa. Ini yang akan mendorong dialog dalam diri mengenalkan apa yang dimaksud dengan Dharma Cakra, yaitu perputaran kehidupan Buddha, dia itu tiada sang jiwa yang berputar. Langkah kahyang Budhan ini biasanya juga disertai mengenalkan Panca Tathagata, yakni Akshobya, ratnasambhawa, Amitabha, Amoshasiddha dan wairocana. Pengenalan ini adalah bertujuan untuk tahap mengenalkan 'Ambek temen' yaitu penguatan bati memegang kesucian dan kebenaran.

    Kahyang Buddhan di Bali bukan pengajaran yang bersifat seperti di dalam kelas ataukah proses sistematika, yang mengenalkan tingkatan, tapi proses pengasuhan, dan yang diutamakan bukan pengingatan hapalan berbagai istilah tapi pada perilaku, apabila tahap pertama dianggap sudah cukup maka proses berlanjut mengenalkan apa yang disebut dengan Boddi cita; ini adalah Sang Hyang Mudra dan Sang Hyang Bajra. Kedua bagian ini akan menjadi ciri kebudaan, yang akan dapat dilihat oleh sang guru atau Guru Buddha. Pada tahap ini dikenalkan mengenai Boddi satwan, Rajas dan Tamas, ini disebut dengan Tri Guna. Dalam tahap Boddhi satwam ini biasanya dikenalkan cara-cara memusatkan batin yang ini justru yang disebut dengan Mudra, Mudra biasanya dikenal sebagai gerak tangan suci, yang dilakukan oleh para pendeta disaat melakukan puja semadi. Namun dalam pengajaran Jnana Buddha, Murda diartikan sebagai cara memusatkan batin. Tujuannya adalah mencapai Sang Hyang Bajra Ganta. Dan dalam tahap ini akan dikenali kemudian sisia atau asuhan, anak, ponakan, dst: yang berhak mendapatkan cakrawartya Bhiseka, menjadi Guru Budha dalam lingkungan terbatas. Biasanya anak tertua mengajarkan adiknya, demikian seterusnya. Tata kramanya, biasanya adalah sikap ketaatan kepada sang guru, apakah itu ayah-ibu dan kakak atau pengajarnya, para penganut Buddha bali jika dalam proses ini akan menunjukan sikap ketaatan yang luar biasa.

    Tata susila memegang peran dalam Kahyang Buddhan di Bali, yang bukan semata-mata mengenalkan etiket, tetapi justru diawali dengan posisi pengenalan Anggranasika, posisi diam, menenangkan diri dengan mata melihat ujung hidung. Barulah tata susila dikenalkan yaitu dimulai dengan Sad Paramita, kemudian prinsip perilaku seperti; Pranati pati wirati yakni tidak membunuh, sekalipun dalam peperangan, sekalipun dalam kelaparan, kemudian addata dana wirati yaitu tidak boleh memiliki niat, selintaspun menginginkan benda, hak atau kewajiban yang miliki oleh orang lain, jika memerlukan hanya dapat bila mendapatkan izin. Kemudian prinsip yang ketiga adalah Kama Mithyacara Wirati, tidak membiarkan hati dan pikiran terikat oleh asmara, atau kesukaaan pada yang dirasakan oleh semua indera, dibolehkan tahu, tapi tidak terikat.

    Kahyang Budhan juga mengenalkan apa itu Catur Paramitha: metri, Karuna, Mudita dan Upeksa, namun ditekankan pada pengasuh Kaya (tindakan): dikenalkan apa yang disebut dengan duhka duhkata, penjelmaan berulang yang lebih buruk kadarnya dari penjelmaan yang dahulu, kemudian sangskara Duhkata, penjelmaan berulang-ulang yang tidak menunjukan perubahan, kemudian Parinama Duhkata, yakni penjelamaan yang kadarnya membaik dibandingkan dengan sebelumnya.

(bagian 1, Buddha Kula)

No comments:

Post a Comment