Banyak sekali yang kini bertanya, apakah Hindu Bali mempunyai kitab suci? Atau beberapa kawan penganut Hindu dalam langgam baru berseru: kita mesti back to weda (?) Seakan Agama Hindu Bali ini ‘tersesat’. Saya memilih tidak memperdebatkan, sebab ini adalah soal keyakinan. Bagaimana Agama Hindu Bali membangun bangunan spiritualitas, bagaimana membangun pola pengajarannya secara gugon tuwon. Salah satu Kitab yang disucikan dalam pengajaran Hindu Bali adalah Lontar Siwa Gama. Dalam keseharian sebenarnya isi ajaran ini melingkupi keseharian umat Hindu di Bali. Namun karena terbagi dalam 21 sargah, artinya akan bertahun-tahun memerlukan waktu memahaminya. Maka dahulu orang-orang mewarisikan pengetahuan Siwa Gama ini justru melalui masatua. Dipetik menjadi suntingan-suntingan kisah dengan segala improvisasi, sehingga dalam kisah-kisah yang seolah terpisah-pisah itu ajaran Gama Siwa diwariskan, dan dalam masatua itu, tidak disampaikan mantram-matram sucinya. Yang dituju adalah pemahaman untuk membangun perilaku. Jadi sasarannya adalah bangunan spiritualitas, bukan menjadi tubuh ‘religius’ dengan kefanatikan buta.
Dalam pelajaran-pelajaran Agama Hindu Bali di era tahun 50-an, dikenal apa itu tatwa, tata susila dan upacara. Tiga kerangka agama Hindu Bali ini sesungguhnya diambil dari kitab suci Siwa Gama. Bait-bait suci dalam Siwa Gama ini disampaikan dengan cara berkisah (tutur), jadi memerlukan waktu dan kesabaran untuk membacanya. Belajar agama, itu beda dengan melajah Gama! (perhatikan kalimat ini). Karena itu, di awal manuscript suci ini dimulai dengan pengajaran widhitatwa, polanya justru dalam bentuk dialog antara seorang pemimpin bernama Raja Pranaraga dengan pendeta istana bernama Bagawan Asmaranatha, dalam dialog diawalan inilah dituturkan mengenai tatwamahasunya; ini sebenarnya antisipasi jika umat Hindu Bali ditanya; apakah kalian monotheis? Apakah Pantheisme? Ataukah Animisme? Dalam kitab suci ini; pernyataan suci dalam bahasa sansekerta dari kitab weda disampaikan: ekam ewa adwityam brahman, eko narayanad na dwityo’sti kascit, ekam sat wiprah bahuda wadanti. Bagaimana kemudian mengingatkan keterbatasan manusia yang terbatas dalam menggambarkan hakekat. Disebutkan kemudian, ini cara agama Hindu Bali menyebut tuhannya dengan berbagai nama: Sang Hyang Widhi, Sanghyang Adi Suksma, Sanghyang Titah, Sanghyang Anarawang, Sangyang Licin, Sanghyang Acintya, Sanghyang Taya dan Sanghyang Tunggal.
Tuhan disebut Ida Sang Hyang Widi, sebab Tuhan merupakan asal dan tujuan kembalinya alam semesta ini; dengan indah dituliskan seperti ini: Apa nimitta pwa sira ingaran Sang Hyang Widi, apa sira sangkan paran ing rat kabeh. Bahkan dalam dialog itu suci itu, sang raja yang mewakili ketidakyakinannya akan keyakinannya bahkan mempertanyakan: syapa sang sinanggah Widhi? Itulah dijawab dengan tenang oleh Bhagawan, sang guru: tan hyan sanghyang Adisukma. Pada bagian ini (sargah) menjelaskan keagungan tuhan itu, seolah menjawab semuaa pertanyaan kekinian, yang mengira Hindu Bali; berhala, kafir, dll, bahkan menjawab yang menyerukan agar keindia-indian. Jawabannya adalah: Tuhan dikala disebut Sanghyang Adisuksma karena tuhan maha gaib, adi artinya utama, suksma artinya tak nyata, tak berupa, tak berwajah. Dalam kemahagaiban itu justru mengarahkan, menuntun, itu yang disebut Sang Hyang Titah. Dengan cemerlang dituliskan seperti ini: asing lwih pinaka pangajyan ing rat kabeh, yatika denira sinanggah Sanghyang Titah. Seka ning sabda suksma sinanggah utama.
Dalam pola asuh orang Bali di masa lampau, maka dalam bagian ini biasanya akan dimulai dengan menceritakan mengenai penciptaan dunia; asal muasal kesemestaan. Bhuwana Agung itu; Bahwa tidak ada yang tahu, di dunia ini, mengapa Sang Hyang Adisukma ingin menciptakan dunia; tak elok bagi siapapun untuk menerka-nerka. Yang dapat diketahui adalah ketia Hyang Adi Sukma ini beryoga; yoga pertama di bhuwana agung, tak terbayang dimana dan bagaimana rupa itu, itu disebut Ekaksana. Itu sebabnya manusia hingga akan melihat cahaya gemerlapan, tetapi pada awalnya ada cahaya gemerlapan yang lebih gemerlap; itulah yang disebut windhu, ini tanpa rupa, tanpa warna. Para pujangga konon memberi nama akan kerinduan melihat cahaya gemerlapan itu dalam semadhinya dengan sebutan Sang Hyang Meleng, sedang para Yogi Agung di Bali menyebutnya dengan Sanghyang Macongol, sedangkan kaum awam, yang masih dirangsuki hasrat kesakten; membayangkan sebagai anak kecil, super kecil, itu disebut wewelan. Awalan sargah ini memang mengenalkan widhitatwa dan ‘kasunyaan’; itu sebabnya tak terbayangkan, terjangkau oleh kedangkalan pengetahuan dan kemampuan manusia biasa. Dilanjutkan kemudian bahwa Sang Hyang Adiksukma melakukan Yoga kedua; ini disebut Rwangksana, saat itulah awalnya di bhuwana agung diciptakan atmatatwa dan mayatatwa, ini dalam bahasa gaulnya disebut purusa pradana, para yogi agung menyebutnya dengan itu atmatatwaatma, sedangkan kaki buyut, mereka yang awam menyebutnya: rama-rena.
Orang Bali dalam pengajarannya melalui tutur, melalui kisah, menyimpan ingatannya secara genetis dan perilaku, disebutkan saat Yoga ketiga: ini disebut tigaksana, ini yang kemudian dikenal dengan Tri Pramana; bayu (nafas) sabda (suara), idep (pikiran/ batin), tri purusa,tranyatah karana, trigunatatwa, dalam pengajaran yang lebih mendalam; ini disebut Sanghyang Triwindu, itu yang dinamakan Sakala-Niskala-Sunyata (nyata-tak nyata- kosong). Dalam tradisi pengasuhan ini juga disebut dapurtiga, namun sering dalam kaula siwa gama; ini yang dalam mata pelajaran (kalau boleh meminjam istilah masa kini): disebut Pradanatatwa. Dalam tradisi tutur, ini dianalogkan dengan bagaikan bayi dalam kandungan. Itulah kadang orang tua sering mengucapkan: kendeng! Yogi Agung akan menyebutnya itu Mahawindu, para pencari keagungan tuhan yang awam: menyebutnya sandyawela. Masih dalam kisah suci awal peciptaan disebutkan mengenai Yoga keempat disebut: patangksana, ini selalu akan menjadi cerita menarik dalam pengasuhan di Bali, yakni ketika diciptakan Sanghyang Catur Suksma dan Catur Bhuta: arah utara selatan timur barat; ini disebut sebagai Graha, dan para sastrawan menyebutnya Taranggana, yang awam menyebutnya ‘samar’.
Pada pengajaran Kaula Siwa Gama ini, memang tidak semerta mengenalkan mantram-mantram, yang dihapal atau diucapkan, seperti tata cara agama lain dalam mengenalkan keagamaannya melalui teks. Bait suci dalam Kaula Siwa gama ini justru sifatnya argumentatif, artinya ada dialog-dialog yang sangat kritis.
Baru dikisahkan kemudian bagaimana terciptanya Panca Tan matra, Panca mahabhuta dan Panca Wibhuta, ini kejadiannya pada Yoga kelima Sanghyang adisukma. Jadi dalam keyakinan siwa gama; penciptaan itu bersifat revolusioner; menderap, perubahannya itu daat seketika terjadi hingga tak disadari oleh manusia itu sendiri. Baru dalam Yoga keenam yang disebut Nemksana, bagian dalam pewarisannya diceritakan dengan dramatik kadangkala bahwa bagaimana disumbat bulan, bintang dan matahari, agar muncul bumi, lautan, dan dibayangkan awalannya itu dalam proses pemunculannya seperti akar raksasa yang menjulur, seperti gelombang ombak yang tak terbayangkan besarnya lalu merentang, melengkung, membanting-banting dirinya seperti pecahan-pecahan pelangi. Para sastrawan biasanya menyebutkan itu dengan kalimat yang menyerikan, antara takjub dan takut; itu disebut gana-gana, sebab tak terbayangkan besarnya, panjangnya, rupanya bagaikan telor raksasa yang tak terukur. Itu sebabnya awalan bumi, lautan itu diawal penciptaannya disebut Andabhuwana (telor dunia), jika hendak bergaya sedikit; ini disebut dengan yoga stiti caksusan, maka dalam bahasa keseharian ini yang disebut kabyudhayan. Lagi proses peciptaan terjadi, yakni pada Yoga ketujuh, disebut Pitungksana, ini proses terciptanya manusia, diikuti penciptaan hewan, , burung, ikan binatang, tumbuhan-tumbuhan; dst. Yang melata, yang bersuara, yang berjalan, yang melayang; semuanya itu awalnya seperti bibit. Itulah pertemuan antara pancatanmaatra dengan Pancamahabhuta menjadi Pancendriya dan Pancakarmendiya; jadi terjadi bing-bang yang maha besar kala itu, adanya keserempakan sekaligus perbedaan pada bentuk dan rupa dalam bhuwana alit. Ini awalan adanya bhuwana alit, masih prematur sekali, ini disebut oleh para yogi agung sebagai sariraguhya, ini juga disebut paramanuh.
Pada dasarnya Siwa Gama sudah menduga bahwa kelak keyakinan itu akan dibenturkan dengan hitungan matematika; bagi yang tak bisa lagi membedakan mana keyakinan, mana persoalan untung rugi, bahkan ingin rasional; ketika sang raja, mewakili ketidaksabaran memahami ajaran Siwa Gama ini, bertanya soal luas semesta dan bumi, dijawab dengan penuh kesabaran; bahwa letak bumi diciptakan oleh Sang Hyang Widi adalah seratus yojana letak bumi ke bawah, seratus ribu Yojana luar ruang angkasa yang ke atas, dua ratus ribu yojana luas alam semesta hingga ketepi. Ini disebutkan dalam pembayangan sebagai “ukuran’ sehingga para pujangga mencoba untuk menjelaskan agar manusia yang penuh ketidakpuasan soal angka ini memahami; diberikan patokan bahwa widhi Yojana itu, sebanding dengan sepuluh ribu depa, tapi hitunglah dari saptawindu. Pada awalnya, bumi dikitari empat samudera, di situ bersemayam Sanghyang Mahagiri, dilengkapi tujuh sungai agar bumi menjadi stabil. Dalam kitab ini juga disebut; bahwa kenyinyiran manusia bertanya soal keyakinannya, kadang menjemukan, sebab itu pertanda dia tak akan me-gama. Karena itu tak mau dijawab dengan detail.
(BERSAMBUNG, MOHON SABAR, tiang mase nak kari melajah)
Dalam pelajaran-pelajaran Agama Hindu Bali di era tahun 50-an, dikenal apa itu tatwa, tata susila dan upacara. Tiga kerangka agama Hindu Bali ini sesungguhnya diambil dari kitab suci Siwa Gama. Bait-bait suci dalam Siwa Gama ini disampaikan dengan cara berkisah (tutur), jadi memerlukan waktu dan kesabaran untuk membacanya. Belajar agama, itu beda dengan melajah Gama! (perhatikan kalimat ini). Karena itu, di awal manuscript suci ini dimulai dengan pengajaran widhitatwa, polanya justru dalam bentuk dialog antara seorang pemimpin bernama Raja Pranaraga dengan pendeta istana bernama Bagawan Asmaranatha, dalam dialog diawalan inilah dituturkan mengenai tatwamahasunya; ini sebenarnya antisipasi jika umat Hindu Bali ditanya; apakah kalian monotheis? Apakah Pantheisme? Ataukah Animisme? Dalam kitab suci ini; pernyataan suci dalam bahasa sansekerta dari kitab weda disampaikan: ekam ewa adwityam brahman, eko narayanad na dwityo’sti kascit, ekam sat wiprah bahuda wadanti. Bagaimana kemudian mengingatkan keterbatasan manusia yang terbatas dalam menggambarkan hakekat. Disebutkan kemudian, ini cara agama Hindu Bali menyebut tuhannya dengan berbagai nama: Sang Hyang Widhi, Sanghyang Adi Suksma, Sanghyang Titah, Sanghyang Anarawang, Sangyang Licin, Sanghyang Acintya, Sanghyang Taya dan Sanghyang Tunggal.
Tuhan disebut Ida Sang Hyang Widi, sebab Tuhan merupakan asal dan tujuan kembalinya alam semesta ini; dengan indah dituliskan seperti ini: Apa nimitta pwa sira ingaran Sang Hyang Widi, apa sira sangkan paran ing rat kabeh. Bahkan dalam dialog itu suci itu, sang raja yang mewakili ketidakyakinannya akan keyakinannya bahkan mempertanyakan: syapa sang sinanggah Widhi? Itulah dijawab dengan tenang oleh Bhagawan, sang guru: tan hyan sanghyang Adisukma. Pada bagian ini (sargah) menjelaskan keagungan tuhan itu, seolah menjawab semuaa pertanyaan kekinian, yang mengira Hindu Bali; berhala, kafir, dll, bahkan menjawab yang menyerukan agar keindia-indian. Jawabannya adalah: Tuhan dikala disebut Sanghyang Adisuksma karena tuhan maha gaib, adi artinya utama, suksma artinya tak nyata, tak berupa, tak berwajah. Dalam kemahagaiban itu justru mengarahkan, menuntun, itu yang disebut Sang Hyang Titah. Dengan cemerlang dituliskan seperti ini: asing lwih pinaka pangajyan ing rat kabeh, yatika denira sinanggah Sanghyang Titah. Seka ning sabda suksma sinanggah utama.
Dalam pola asuh orang Bali di masa lampau, maka dalam bagian ini biasanya akan dimulai dengan menceritakan mengenai penciptaan dunia; asal muasal kesemestaan. Bhuwana Agung itu; Bahwa tidak ada yang tahu, di dunia ini, mengapa Sang Hyang Adisukma ingin menciptakan dunia; tak elok bagi siapapun untuk menerka-nerka. Yang dapat diketahui adalah ketia Hyang Adi Sukma ini beryoga; yoga pertama di bhuwana agung, tak terbayang dimana dan bagaimana rupa itu, itu disebut Ekaksana. Itu sebabnya manusia hingga akan melihat cahaya gemerlapan, tetapi pada awalnya ada cahaya gemerlapan yang lebih gemerlap; itulah yang disebut windhu, ini tanpa rupa, tanpa warna. Para pujangga konon memberi nama akan kerinduan melihat cahaya gemerlapan itu dalam semadhinya dengan sebutan Sang Hyang Meleng, sedang para Yogi Agung di Bali menyebutnya dengan Sanghyang Macongol, sedangkan kaum awam, yang masih dirangsuki hasrat kesakten; membayangkan sebagai anak kecil, super kecil, itu disebut wewelan. Awalan sargah ini memang mengenalkan widhitatwa dan ‘kasunyaan’; itu sebabnya tak terbayangkan, terjangkau oleh kedangkalan pengetahuan dan kemampuan manusia biasa. Dilanjutkan kemudian bahwa Sang Hyang Adiksukma melakukan Yoga kedua; ini disebut Rwangksana, saat itulah awalnya di bhuwana agung diciptakan atmatatwa dan mayatatwa, ini dalam bahasa gaulnya disebut purusa pradana, para yogi agung menyebutnya dengan itu atmatatwaatma, sedangkan kaki buyut, mereka yang awam menyebutnya: rama-rena.
Orang Bali dalam pengajarannya melalui tutur, melalui kisah, menyimpan ingatannya secara genetis dan perilaku, disebutkan saat Yoga ketiga: ini disebut tigaksana, ini yang kemudian dikenal dengan Tri Pramana; bayu (nafas) sabda (suara), idep (pikiran/ batin), tri purusa,tranyatah karana, trigunatatwa, dalam pengajaran yang lebih mendalam; ini disebut Sanghyang Triwindu, itu yang dinamakan Sakala-Niskala-Sunyata (nyata-tak nyata- kosong). Dalam tradisi pengasuhan ini juga disebut dapurtiga, namun sering dalam kaula siwa gama; ini yang dalam mata pelajaran (kalau boleh meminjam istilah masa kini): disebut Pradanatatwa. Dalam tradisi tutur, ini dianalogkan dengan bagaikan bayi dalam kandungan. Itulah kadang orang tua sering mengucapkan: kendeng! Yogi Agung akan menyebutnya itu Mahawindu, para pencari keagungan tuhan yang awam: menyebutnya sandyawela. Masih dalam kisah suci awal peciptaan disebutkan mengenai Yoga keempat disebut: patangksana, ini selalu akan menjadi cerita menarik dalam pengasuhan di Bali, yakni ketika diciptakan Sanghyang Catur Suksma dan Catur Bhuta: arah utara selatan timur barat; ini disebut sebagai Graha, dan para sastrawan menyebutnya Taranggana, yang awam menyebutnya ‘samar’.
Pada pengajaran Kaula Siwa Gama ini, memang tidak semerta mengenalkan mantram-mantram, yang dihapal atau diucapkan, seperti tata cara agama lain dalam mengenalkan keagamaannya melalui teks. Bait suci dalam Kaula Siwa gama ini justru sifatnya argumentatif, artinya ada dialog-dialog yang sangat kritis.
Baru dikisahkan kemudian bagaimana terciptanya Panca Tan matra, Panca mahabhuta dan Panca Wibhuta, ini kejadiannya pada Yoga kelima Sanghyang adisukma. Jadi dalam keyakinan siwa gama; penciptaan itu bersifat revolusioner; menderap, perubahannya itu daat seketika terjadi hingga tak disadari oleh manusia itu sendiri. Baru dalam Yoga keenam yang disebut Nemksana, bagian dalam pewarisannya diceritakan dengan dramatik kadangkala bahwa bagaimana disumbat bulan, bintang dan matahari, agar muncul bumi, lautan, dan dibayangkan awalannya itu dalam proses pemunculannya seperti akar raksasa yang menjulur, seperti gelombang ombak yang tak terbayangkan besarnya lalu merentang, melengkung, membanting-banting dirinya seperti pecahan-pecahan pelangi. Para sastrawan biasanya menyebutkan itu dengan kalimat yang menyerikan, antara takjub dan takut; itu disebut gana-gana, sebab tak terbayangkan besarnya, panjangnya, rupanya bagaikan telor raksasa yang tak terukur. Itu sebabnya awalan bumi, lautan itu diawal penciptaannya disebut Andabhuwana (telor dunia), jika hendak bergaya sedikit; ini disebut dengan yoga stiti caksusan, maka dalam bahasa keseharian ini yang disebut kabyudhayan. Lagi proses peciptaan terjadi, yakni pada Yoga ketujuh, disebut Pitungksana, ini proses terciptanya manusia, diikuti penciptaan hewan, , burung, ikan binatang, tumbuhan-tumbuhan; dst. Yang melata, yang bersuara, yang berjalan, yang melayang; semuanya itu awalnya seperti bibit. Itulah pertemuan antara pancatanmaatra dengan Pancamahabhuta menjadi Pancendriya dan Pancakarmendiya; jadi terjadi bing-bang yang maha besar kala itu, adanya keserempakan sekaligus perbedaan pada bentuk dan rupa dalam bhuwana alit. Ini awalan adanya bhuwana alit, masih prematur sekali, ini disebut oleh para yogi agung sebagai sariraguhya, ini juga disebut paramanuh.
Pada dasarnya Siwa Gama sudah menduga bahwa kelak keyakinan itu akan dibenturkan dengan hitungan matematika; bagi yang tak bisa lagi membedakan mana keyakinan, mana persoalan untung rugi, bahkan ingin rasional; ketika sang raja, mewakili ketidaksabaran memahami ajaran Siwa Gama ini, bertanya soal luas semesta dan bumi, dijawab dengan penuh kesabaran; bahwa letak bumi diciptakan oleh Sang Hyang Widi adalah seratus yojana letak bumi ke bawah, seratus ribu Yojana luar ruang angkasa yang ke atas, dua ratus ribu yojana luas alam semesta hingga ketepi. Ini disebutkan dalam pembayangan sebagai “ukuran’ sehingga para pujangga mencoba untuk menjelaskan agar manusia yang penuh ketidakpuasan soal angka ini memahami; diberikan patokan bahwa widhi Yojana itu, sebanding dengan sepuluh ribu depa, tapi hitunglah dari saptawindu. Pada awalnya, bumi dikitari empat samudera, di situ bersemayam Sanghyang Mahagiri, dilengkapi tujuh sungai agar bumi menjadi stabil. Dalam kitab ini juga disebut; bahwa kenyinyiran manusia bertanya soal keyakinannya, kadang menjemukan, sebab itu pertanda dia tak akan me-gama. Karena itu tak mau dijawab dengan detail.
(BERSAMBUNG, MOHON SABAR, tiang mase nak kari melajah)
No comments:
Post a Comment