Teater Bali: Di Era NARAMANGSA - Manusia Memakan Kemanusiaannya (bag.III): "Membandingkan Monolog Dengan Topeg Pajeg"


"Membandingkan Monolog Dengan Topeg Pajeg"
By. Cok sawitri

Seni pertunjukan Topeng Bali  memiliki tempat yang khusus; tak semata sebagai seni pertunjukan, yang menghibur, namun juga seni topeng ini menjadi bagian dari perlengkapan upacara agama. Dalam tradisi seni topeng Bali dikenal Topeng Panca dan Prembon, yang biasanya ditujukan sebagai seni hiburan; kemudian Topeng Pajeg; yang salah satu pemerannya akan menjadi bagian pelengkap penyempurnaan upacara yakni pada peran Topeng Dalem Sidhakarya.


Topeng dapat diartikan sebagai penutup wajah yang dibuat dari kayu; yang dibentuk dalam wajah-wajah imaji berbagai tokoh yang ada dalam prinsip pemeranan seni pertunjukan topeng; terbagi dalam dua kategori, yakni topeng bungkulan; jenis topeng ini tidak bisa mengucapkan dialog secara langsung akibat dari bentuknya yang tertutup, dimana bentuk mulut ditutup rapat, dapat pula diartikan sebagai yang utuh menutup seluruh wajah, kemudian topeng sibakan; menutupi sebagian wajah, dapat digunakan untuk menyampaikan dialog, karena desain bagian mulutnya bergerak secara fleksibel.

Dalam pakem perannya dalam tradisi seni topeng Bali dikenal peran pangelembar ini biasanya dikenali dalam bentuk topeng keras dan topeng tua, kemudian peran penasar (punakawan) yakni topeng kelihan dan topeng cenikan, topeng yang digunakan topeng sibakan. Kemudian pemeran Ratu yang terdiri dari topeng dalem atau patih, tipenya topeng bungkulan. Sedangkan untuk bondres pada lazimnya menggunakan topeng sibakan.

Berbagai jenis topeng itu, dimunculkan dalam topeng Panca (manca|); artinya pemeranannya berkisar diantara lima penokohan; pemainnya minimal empat, kemudian topeng Prembon adalah campuran topeng Panca dengan pemeran-pemeran dalam seni tari Arja; seperti pengalihan peran ratu ke dalam pengkostuman arja seperti mantra manis ataukah mantri buduh, galuh dsbnya. Jenis ketiga adalah topen g Pajeg; berbagai peran dengan memakai topeng dimainkan oleh satu orang dengan pengakhiran dipanggungkannya peran Dalem Sidhakarya; dikategorikan topeng wali dan atau ada yang menempatkan sebagai tari wali; hanya pada peran Dalem Sidhakarya.

Topeng Pajeg dalam cara pandang teater modern; khususnya dari seni monolog, dimasukan dalam kategori monolog klasik, disamping dikenal monolog drama dan komedi;  menjadi dasar penjelasan bahwa monolog adalah seni pertunjukan yang memberi ruang panggung bagi pemeran untuk menampilkan kemampuan dirinya dalam memasuki berbagai peran dalam satu kisah yang dipanggungkan.

Bagaimana membandingkan Topeng Pajeg dengan monolog dalam seni teater modern saat ini; dan bagaimana kemudian memberi arti hubungan keduanya dalam menguatkan argumentasi bahwa seni teater modern di Bali memiliki akar pada tradisinya sendiri (?)

Pada monolog; ada satu naskah yang memang ditujukan untuk pementasan oleh pemain tunggal, yang dapat diadaptasi dari buku, naskah drama, dsbnya; yang diadaptasi sedemikian rupa menjadi naskah monolog. Demikian juga pada topeng Pajeg; bahwa karena tujuannya adalah kelengkapan upacara maka kisah yang dimainkan adalah kisah dari babad saat kekuasaan kerajaan Gelgel; khususnya ketika penguasa Bali melakukan upacara dan munculnya seorang tokoh, yang diidentifikasikan sebagai orang gila, yang mengaku-aku sebagai saudaranya penguasa Bali; yang kemudian membuktikan kegilaannya dengan kutukan akan terjadinya epidemic bagi seluruh tanaman dan binatang; peran inilah yang kemudian memunculkan peran Dalem Sidhakarya; yakni peringatan bahwa segala macam kebijakan pemimpin tak hanya mempertimbangkan sekala (ukuran nyata) namun juga pertimbangan niskala (ukuran di luar kenyataan yang diyakini lahiriah). --Yang menjadi titik perhatian adalah bagaimana topeng Pajeg ini membagi peran kepada satu pemain topeng; yakni biasanya dalam adegan pembuka dimulai dengan hadirnya pemain ini menarikan topeng pangelembar; diawali peran patih, lalu topeng tua dan kemudian penasar kelihan; pada penasar kelihan mulai terjadinya pemaparan kisah yang tengah dimainkan; kisah itu tentang bagaimana ia bergerak sebagai narator mewakili kekisruhan negara yang dilanda gosip yang menjurus mencemarkan nama baik sang raja; sang penasar  kelihan bergerak kemudian dalam kerangka pengkisahan akan menghadap kepada penguasa Bali untuk menyampaikan rumor yang dikategorikan menghina dan mencemar nama baik penguasa itu; yakni tentang adanya orang gila yang mengaku-ngaku sebagai saudara raja; yang berseru-seru di semua sudut keramaian; dari pasar sampai tempat permandian; lalu pemain penasar hadir ke dalam panggung, memainkan kecirian gerak sebagai penasar setelah itu memberi putaran langkah dan narasi saat kembali ke balik panggung, mengganti topengnya; keluar kembali dengan menarikan dirinya dalam peran sebagai raja Bali, sebagai Dalem; selanjutnya pemain Dalem akan bertukar peran menjadi peran penasar cenikan yang karakternya lebih lucu-lugu dan asal-asalnya namun masih dalam konteks berkaitan dengan narasi yang dibawakan oleh peran penasar kelihan, selanjutnya pemeran penasar cenikan berganti menjadi peran orang gila yang mengaku-ngaku sebagai saudara raja; lalu kembali pemain topeng tunggal itu memasuki peran sebagai penasar kelihan dengan perubahan emosi yang berkaitan dengan perilaku peran gila yang mengaku-ngaku sebagai saudara raja; perhatikan, bagaiman menjalinkan kisah, dan ketika pergantian ke peran Dalem dipentaskan dalam proses moving cepat yang seketika memberi emosi pada penceritaan, lalu penasar kelihan dimunculkan lagi dalam situasi puncak kisah; yakni menarasikan keadaan epidemik yang melanda tanah bali; tempo musik dipercepat; silih berganti  pemain topeng tunggal ini memasuki peran dengan berbagai topeng sibakan yang disediakan ; yakni berbagai peran dalam masyarakat; yang hasilnya dipanggung adalah usaha hiruk pikuk pencarian si orang gila itu; untuk mencari kebenaran dan kisah pun bergulir; penasar kelihan menjadi penarik kesimpulan; yakni memerankan pengakuan akan pentingnya kehadiran Dalem Sidhakarya, yakni bahwa orang yang mengaku-aku sebagai saudara dalem itu bukanlah orang gila, namun memang benar saudara penguasa Bali, yang ternyata sakti mandraguna, yang tujuannya bergaya gila untuk memberi peringatan kepada saudaranya akan pentingnya melakukan upacara tak semata-mata sempurna dalam pandangan kasat mata belaka; namun melakukan upacara semestinya juga sempurna dari niat dan tulus iklas di hati. Karena itu dalam menyempurnakan semua upacara di Bali; akan ditutup dengan prosesi penari Dalem Sidhakarya melakukan peruwatan ke seluruh arah mata angin; tujuannya, mengingatkan siapapun melakukan upacara, janganlah arogan kepada pihak manapun, sekalipun itu seorang yang tengah dilanda sakit jiwa!

Syarat pemain topeng Pajeg, yang akan memainkan berbagai karakter khusus dan khas itu, tidak hanya pandai menari, tak hanya jago menembang, namun juga disyarati pembersihan diri; minimal eka jati  (mewinten ageng) sebab pemain topeng Pajeg di akhir kisah akan melakukan ruwatan. Namun yang harus diperhatikan adalah bagaimana model pembabakan; lalu lintas pergantian karakter dan bagaimana teknik memasuki dari satu peran ke peran yang lain, dimana panggung tetap terasa penuh dengan emosi cerita? bagaimana dapat berbagai tipe karakter itu dengan tanjakan maupun dengan lambat tetap dalam keutuhan pemanggungan?

Memang kisah dalam topeng Pajeg selalu kisah yang sama; yakni kisah Dalem Sidhakarya dalam kerangka kepentingan upacara. Sebaliknya, jika memainkan bukan kisah Dalem Sidhakarya maka adegan penutupnya tidak diadakan prosesi ruwatan.  Namun pertanyaannya untuk kemanfaatan kini, dapatkah seseorang mendapatkan keyakinan dirinya menarikan topeng Pajeg walau kisahnya mungkin hapal di luar kepala, tanpa proses yang berliku dan teruji diberbagai panggung dengan kemampuan menguasai semua jenis tarian topeng yang ada (?)

Ini bagian yang dapat dijadikan perbandingan untuk perenungan; bagaimana pemain topeng ini; mendasari dirinya pada dasar tari topeng, untuk membedakan peran topeng pangelembar dengan topeng ratu maupun topeng bebondresan. Syarat pertamanya adalah mahir menarikan perbedaan tarian topeng keras, manis, dll,  --bahkan memasuki peran topeng tua itu sungguhlah gerak yang tidak mudah; belum lagi memasuki peran pengkisahan menjadi narator dengan tembang dan dialog kepada penonton; dialog tunggal itu guna membangun dinamika panggung dengan memasuki peran topeng bondres misalnya yang sering dianggap lebih ringan; yang menuntut stamina vocal dan keragaman wawasan; tetaplah tidak mudah! Belum lagi syarat mental; yakni syarat pembersihan diri sebab akan melakukan ruwatan.

Topeng Pajeg Bali menjadi model monolog klasik yang menuntut seseorang pemain untuk tak hanya sanggup memasuki berbagai peran, namun membedakan teknik menarikan topeng bungkulan; yang prinsip tariannya tanpa dialog, namun pada gesture tubuh dan gerakan topeng yang relatif ‘beku’ harus dapat menjadi komunikatif; sampainya pesan kepada penonton. Sebaliknya saat memasuki peran penasar kelihan ataukah cenikan; memainkan topeng sibakan dan mengharuskan melakukan dialog yakni menjabarkan cerita; kemudian peran bondres; masih dengan topeng sibakan; yakni memainkan peran berbagai figure dalam masyarakat keseharian dalam satu situasi yang ditentukan kisah itu; yakni suasana sebuah kerajaan saat menjelang upacara dan terjadilah bencana matinya tanaman dan ternak akibat kutukan seseorang yang dituduh sebagai orang gila; yang mengaku-ngaku sebagai saudaranya penguasa Bali.

Pemeran topeng Pajeg; memiliki kesyaratan yang harus dipenuhi:  yakni menguasai seluruh model, jenis, tarian topeng. Kedua, paham kisah dengan detailnya; paham aturan ruwatan dalam kaitannya dengan tata krama upacara, dan sudah tentu paham jalinan dengan gamelan (musik) yang mengiringinya.

Kini, bandingkan dengan monolog dalam seni teater modern; yang sering terpleset dikira sebagai pembacaan cerpen; pembacaan cerpen juga menuntut perubahan karakter suara untuk menghadirkan berbagai karakter yang ada dalam cerpen itu. ----Nah,  Monolog tetaplah seni peran yang menuntut sang pemain memainkan secara tunggal semua peran yang disediakan oleh naskah; menggambarkan situasi, tempat kejadian juga bagaimana mengkaitkan dengan peran-peran yang kadang implisit ada dalam naskah; melalui dialog tunggalnya dan seluruh modal dalam dirinya; yakni dari gesture, moving, dll. Ada yang sejalur dengan monolog klasik (topeng pajeg); bahwa seorang pemain dalam seni monolog melakukan penanda pada karakter khusus untuk dipelajari dan dilatihnya; karakter khusus dalam topeng pajeg ditemukan di beberapa prinsip kecirian peran yakni pada pangelembar; topeng keras dan topeng tua, kemudian pada topeng ratu; para peran dalem, patih, dll, kemudian pada penasar kelihan dan cenikan; kecirian itu pada pola gerak tari dan ekspresinya; penghayatan melalui berbagai gerak yang menjadi isyarat yang ditafsir oleh penonton; hampir mendekati pantomim.

Sedangkan pencarian karakter khusus pada monolog adalah mencari tokoh yang jadi peran sentral dalam kisah dan sekaligus akan menarasikan kehadiran perubahan peran-peran lain baik dengan perubahan karakter suara maupun dengan gesture. Masing-masing akan memulai dengan menetapkan tujuan dari masing-masing karakter khusus itu dan kaitannya dengan karakter lain yang ada dalam kisah yang akan dimainkan. --Dalam hal ini peran kemampuan olah vocal; pemahaman akan kekhasan dari kecirian berbagai karakter memiliki tantangannya; bagaimana memainkan peran yang berkaitan dengan peran khusus itu jika itu peran yang tak bisa ditandai semata-mata dengan perubahan karakter vocal; jika itu cadel, terbata-bata, suara sumbing, sengau, serak, dll; dengan mudah; namun bagaimana jika perubahan itu oleh peran yang berkaitan adalah figure yang datar, tak berciri? Biasanya kekuatan narasi, mengarahkan dialog kepada penonton adalah salah satu teknik yang dipakai; demikian pula dalam topeng Pajeg; penasar yang berperan sebagai narator; sering akan membawa arah dialog kepada penonton.  Lalu bagaimana kehadiran sang tubuh ‘fisik’ diatas panggung; dalam diam tak bicara, menuangkan bayangan karakter pikiran ke dalam wujud diam (?) dan bagaimana kadar emosi, perubahan simultan atau tanpa jeda, dari satu tokoh ke tokoh lain, apakah perubahan itu seperti gaya dalang melakukan percakapan?

Di atas panggung,pemain monolog adalah dalang sekaligus wayangnya; situasi, posisi berdiri, pergerakan, dan yang terpenting adalah membangun sejarah yang dimainkan sebagai peran khusus; menjadi kewajiban yang mendorong pemain menemukan pola berdialog yang berbeda dengan berbagai peran yang berkaitan; untuk menjadi bagian dari jalinan kisah. Pada topeng pajeg; berbagai kesulitan itu sangat terbantu dengan topeng sibakan, yang tetap harus disertai perubahan gesture sehingga topeng dengan peran tertentu tidak terhenti hanya sebagai topeng penutup wajah semata.

Membandingkan Topeng Pajeg dengan seni monolog; memberi suatu inspirasi yang tidak hanya meluas sekaligus juga menggugah bagaimana sesungguhnya memulai memasuki proses latihan monolog itu; apakah membaca naskah berulang-ulang hingga paham; menandai karakter khusus; lalu mulai mendengar suara sendiri untuk menandai karakter vocal yang dibutuhkan; dan kemudian memahami pola pemanggungan, ruang yang akan menuntut peruangan dari akibat permainan peran itu. Karena itu, tidaklah mudah memberikan penilaian; sebab jelas proses menuju pencapaian sebagai pemain topeng Pajeg tidaklah mudah, demikian pula untuk menuju sebagai pemain monolog.

Pertanyaannya kemudian; apakah perbandingan ini akan membuka ruang untuk sejenak menarik nafas; bahwa sesungguhnya banyak hal yang tidak kita pahami baik dalam proses pelatihan topeng Pajeg maupun dalam proses monolog itu; anehnya, kenapa masih juga mengira monolog itu mudah dipentaskan, hanya  disebabkan oleh pertanyaannya kepada siapa yang berani dan cukup nekad untuk pentas sendirian di panggung yang sesungguhnya tak pernah sunyi itu ? Juga masih saja mengira referensi kebaruan proses cipta seni dipengaruhi dari luar negeri (dengan senyum membaca; dari sana!)

No comments:

Post a Comment