Ritus Dewi Sri

MUNGKINKAH MUARA TRADISI MADAHA?

Cukup lama, sungguh lama, pertanyaan-pertanyaan muncul dalam kepala, bila menyaksikan tari rejang dalam upacara-upacara besar agama Hindu di Bali.Selalu pertanyaan itu henti pada penjelasan; rejang sebagai tari wali atau sebagai gambaran penyambutan kepada turunnya batara-batar(?) Bahkan Tradisi Rejang hingga kini selalu dilakukan menjelang hari Kuningan di berbagai desa yang berkaitan jika dicermati adalah 'jejak ritus' peninggalan Mpu Kuturan.

Sebuah manuskrip cukup tua, dari kekayaan 'kosa kata'nya mengisyaratkan ketuaan: manuskrip itu berjudul Hempu Kuturan: berisikan tata upacara kepada sawah, kepada Dewi Sri, Rambut Sedana. Berisikan pula mengenai tata krama terhadap mrana (wabah hama) seperti tikus (termasuk mrateka tikus), burung, ulat, khususnya berbagai hal yang berkaitan pertumbuhan padi di sawah, termasuk empelan, bawungan, tata cara upacara alih fungsi sawah bahkan membangun sawah.  Manuskrip ini memberi gambaran bait-bait suci dari era Mpu Kuturan. Sejak pembacaan awal, misalnya,"yan angrawuhken Nini, hunggwaniya ring bale hagung, manguyu-nguyu, 3, dina. Subak ika, yan wus hangaci-haci, saha rentheng, hunggahakna ring lumbung, phalaniya murah ikang pari, mwang sadhana, sing tinandur padha wredhi" ---Kata 'Bale Agung'  adalah nama yang paling khas dari adanya tri kahyangan tiga. Pada Pura Puseh di desa-desa tua dan juga pada Desa Bali Kunaakan selalu ditemukan nama satu bangunan bernama Bale Agung. Dalam awalan ini penjelasan mengenai usabha desa begitu tegas menyampaikan tujuannya adalah untuk pemarisudha; pembersihan dan penyucian, namun yang menarik adalah seluruh inti upacara ini bermuara pada Dewi Sri sebagai pujaan.

Sejak lama sering terdengar nama lontar dharma pemaculan, mengenai soal persawahan dan hari-hari melakukan kegiatan di sawah dengan upacaranya. Jika dibandingkan dengan manuskrip ini, Hempu Kuturan memberi banyak jawaban mengenai ritus Ngusabha, ritus-ritus suci kuna di Bali yang sampai kini diwarisi, yakni pada desa-desa tua di Bali; Dewi Sri dan Rambut Sadana ( perhatikan pula pada manuskrip-manuskrip suci lainnya) dalam Agama Hindu di Bali adalah Btara-Btari yang sangat tua sebagai pusat tujuan upacara. Menjadi menarik kemudian bahwa dalam manuskrip ini; pelaksanaan piodalan dan upacara-upacara di Pura Puseh  memberi penjelasan bahwa kehadiran tari rejang itu sama dan sejajar kehormatannya dengan posisi perlengkapan banten. Jadi bukan hiburan atau dengan tujuanmenghantarkan ataukah menyambut; ini adalah kelengkapan persembahan.

Yang paling menakjubkan tentunya adalah Ritus kepada Dewi Sri; dari tata krama memperlakukan sawah, sungai, dari menanam hingga memotong padi; bahkan membersihkan pundukan dan memangkas rumput  ternyata ada bait sucinya. Isyarat yang dapat dipahami era Mpu Kuturan merancang- bangun Desa pakraman, bahwa pada era itu kemajuan pengairan telah mencapai tingkat yang sempurna, pengelolaan sawah juga demikian. Sebab sebutan aungan misalnya; lorong jalur air menembus bukit sungguh dijelaskan dengan detail.  Jadi, dalam manuskrip ini Ritus Dewi Sri menjadi dasar dan pengikat seluruh rangkaian upacara hingga ke Pura Puseh. Sejak lama, selalu dugaan bahwa budaya agraris adalah ibu religi agama bali ini juga seni budaya dan peradabannya, ketika membaca manuskrip ini menegaskan pernyataan-pernyataan itu tak hanya 'struktur' dan runutan juga bait-bait sucinya memberi pengetahuan suci yang menakjubkan bahwa kemungkinan pemujaan dewi sri dan bhatara sadhana adalah sungguh tua (bandingkan dengan Tantu Pagelaran atau manuskrip suci lainnya misalnya mengenai Canting Kuning).

Yang menarik adalah munculnya Puja Daha dalam manuskrip ini, dalam ritus Dewi Sri yang begitu runut dan detail; dari menanam padi (dalam manuskrip ini disebut; pari), perubahan sebutan nama Dewi Sri ketika dari padi di lumbung, ke alat tumbuk, kemudian ketika beras disimpan dalam penyimpan beras, hingga berbagai pantangan, hal-hal yang sifatnya tabu dilakukan-- dinyatakan dengan tak hanya sebagai peringatan suci, namun dengan argumen disertai mantra. Kemudian pemeliharaan ekosistem dalam sistem tahunan di sawah dan kelak berkaitan dengan Ngusabha desa, yang nantinya akan mengaitkan bagaimana keagunga Dewi Sri sebagai batara Nini disingasanakan di Bale Agung di Pura Puseh, setelah itu tata krama memperlakukan padi di lumbung, bagaimana tingkah pola manusia di sawah; niyan tingkah ing wong hasasawahan.  Bagaimana tata krama menyabit rumput, tata cara memanen, bahkan mantra memanennya disebutkan.  Jadi seakan kehidupan suci dewi padi ini dijelmakan dalam ritus daha. Yang selama ini posisi daha yang sekata artinya dengan remaja putri, sering disamakan dengan kegiataan pembinaan putra-putri ala gaya lama.

Di beberapa desa tua di Bali seperti Desa tenganan, Bungaya, Asak; dst tradisi madaha ini masih dilaksanakan begitu pula dengan ngarejang. Terbersit dalam pikiran saya, saat membaca bagian:  bagian Haji Pari Hangumbang Sri Mider.ketika Sang pujaan menjadi beras, perlakuannya tetaplah sungguh dengan hormat, ritus mencuci beras, kemudian memisahkan jelijih dari beras, lalu disebutkan Iti Puja-Daha, wenang gelarakna, maka pamali sumpah ring gaga sawah, bait sucinya sungguh panjang; Om Sang Tabe Pukulun, ling ira Bhatara Iswara, tumurun ring Kahyangan ira, hangastrenin pari pujakathan ing hulun maka landuh ing gumi, hangadekaken hudan, manadi tang sarwa tinandur, phala bungkah phala gantung, rame pakriya-kriya haneneng Prabhu Mantri, mangadohaken sasab marana, Ong Sri yawe namu namah swaha. O, Sang Tabe yata Pukulun, ling ira Bhatara Brahma, tumurun ring Dang Kahyangan, hangastrenin pari pujan ira, kretab ing gumi pretiwi, maka landuhan ing hudan, manadi kang sarwa tinandur, phala bungkah phala gantung, rame pakriya-kriya haneneng Prabhu Mantri, hangundurrakna sasab marana, Ong Sri Yawe namu namah swaha.......dst"

Pada pertengahan bait suci ini, isyarat kebudhaan Mpu Kuturan disuratkan dengan indah: Om sang bragala, sang bragali, yan sira tan harep lukata, haja sira hing kene, haja sira hamangan parin ira Bhatari Sri, yan sira harep lukata, mati kita mangke, tinemah den ira Bhatara Nawangsang,mogha kita hembet bengkang, mati tan mati.....dst"

Barangkali patut direnungkan kembali, melihat kondisi Bali yang makin jauh dari tradisi pertanian, alih fungsi sawah yang begitu cepat, perubahan perlakuan terhadap padi dan beras itu hanya sebatas bahan pangan, keperluan informasi pariwisata yang membahasakan apa saja dengan kalimat eksostik; perlahan ritus Dewi Sri dengan rejang, ritus nangluk mrana sebagai penanganan hama yang ramah lingkungan, lalu pengasuhan sang manusia di pawongan dalam kaitannya dengan Parahyangan, yang sering dikaitkan seolah sebatas kegiatan hubungan sosial kemanusiaan; pelahan akan menjadikan ritus-ritus itu diwariskan dengan tanpa makna. Bahwa bagaimana ritus Dewi Sri ini mengikat manusia bali itu pada kesadaran akan kebutuhan dirinya sebagai mahluk hidup akan sandang,pangan dan papan. Bagaimana  ritus Dewi Sri ini bagaikan bayangan dalam cermin dengan ritus Rejang maupun Daha yangdihadirkan di pusat kekuasaan pakraman; yakni di bale agung ataukah dalam panggungan.

Berbagai pertanyaan bermunculan kembali, dan sesungguhnya,begitu banyak pengetahuan suci mengenai Bali dan agamanya, patut kini kembali bersama digali agar kelak tak terjadi kesalahpahaman yang bisa saja menjadi bumerang bagi diri yang termanjakan oleh puja dan puji, tanpa berani untuk terus merendahkan hati, belajar mengenai Bali, bagi orang Bali kini adalah bekal bagi masa depan.

( Cok Sawitri, singarsa, 25 maret 2015, semoga mendapatkan tambahan informasi lagi)

No comments:

Post a Comment