SARASWATI ITU, OH IBUKU!...

Para keponakan saya, tentu tak akan alami apa yang saya alami saat kecil. Ingatan hari raya Saraswati. Bila Nyaraswaten tiba. Sehari sebelumnya, Ibu saya akan mendapat kiriman Banten Nyaraswasti dari kakak sepupunya; seorang pendeta. Begitu pula dari tetangga, juga seorang pendeta; mengirimkan banten nyaraswati. Pada masa kanak saya, belum ada jual-beli banten di pasar. Kalau mengupah membuat canang dan jejahitan; saat itu sudah ada. Ibu saya bukanlah tipe religius, kakak sepupunya yang pendeta tahu akan hal itu, begitu pula ipar jauhnya; semua paham akan hal itu. Maka dari balik tembok, suara Ninik Sari, seorang tapini, yang selalu meladeni pendeta tetangga rumah, mengingatkan: bantennya dihaturkan dari pagi, nanti sore baru dilayub; jajannya nanti disuapkan ke putra putrimu! Sejak pagi kalau bisa anak-anak jangan makan alias puasa; mebrata. Disamping banten nyaraswaten juga ada beberapa payuk yang dikirim: kumkuman, untuk banyu pinaruh. Sehari setelah saraswasti adalah banyu pinaruh. Kembali suara itu akan terdengar. Bangunkan anak-anak sebelum matahari terbit, cari pancuran terdekat, mandikan di sana atau pergi ke tepi laut. Mebanyu pinaruh. Jadi menjelang nyaraswanten; dua hal itu yang saya dengar dari balik tembok. Atau dari utusan pendeta; seorang pelayan perempuan dengan senyum yang mahal, mungkin jemu harus menyampaikan pesan yang sama setiap tahun. Dan itu disebabkan ibu saya dengan santai menyahut: inggih.

Lalu yang saya ingat, betapa gemetarnya menunggu malam tiba. Karena sudah diikuti bayangan; besok seharian tak boleh membaca, tak boleh makan, saat senja barulah makan jajan. Jaje Saraswati yang warnanya putih, dasarnya budar diatasnya ada lambang cecak! Juga samar aksara: Ong Kara.

Dari semua upacara untuk diri, mungkin Nyaraswaten yang paling ibu taati. Saat itu sekolah-sekolah belum semarak seperti sekarang merayakan. Justru di rumah-rumah terasa kesibukan menghadapi hari nyaraswati; walau sesungguhnya banten saraswati itu sederhana. Bandingkan dengan banten sugihan atau tumpek ngatag; ada bubur dan ada beberapa jenis jajanan; yang enak sekali dimakan. Banten Saraswati hanya akan menyisakan; jaje saraswati yang kering, tanpa rasa, kadang terasa pahit di lidah. Namun harus dimakan dengan cara ditelan, itu saat sore hari tiba. Sebagai tanda buka puasa. Hal lain, betapa mengantuknya saat pagi dibangunkan, harus segera mandi dan suara ninik sari akan terdengar: pendeta di seberang rumah sudah selesai Nyurwa Sewana, tanda boleh nunas tirta: Majaya-jaya.

Ingatan itu, tradisi nyaraswanten, yang paling berkesan adalah saat menanti Ibu menurunkan banten, di sore hari, ngelayub jaje saraswati: Lihat cecaknya...saya, adik dan kakak saya akan menelan rasa hambar itu; ditelan begitu saja. Dan mengapa cecak? Setiap kali bicara dan jika berbohong, cecak itu tak akan berbunyi. Jika berbunyi setiap kali kita menyampaikan sesuatu: ibu mengingatkan untuk mengatakan: Tu suci.....(sampai kini saya tidak tahu apa kalimat utuhnya): hanya meniru: Tu suci, artinya benar dan jujur apa yang saya ucapkan. Kejujuran berucap itu terkait dengan wacika. Betapa melekat dalam kepala dan hati saya, bila berbohong: cecak itu akan cuek. Karena itu selalu berusaha tidak bohong, tidak bicara kasar, walau sesungguhnya, saya temperemental.

Ketika saya mulai merantau, para keponakan pun mulai bermunculan. Suatu hari, salah satu keponakan yang sekolah di kota denpasar; pulang kampung dengan membawa satu flyer: berisi mantram saraswati. Itu tahun-tahun mulainya demam mengutip mantra india. Sekolah-sekolah dibali mulai ‘religius” dan kantor-kantor pemerintah dan swasta mulai merayakan ‘odalan’nya sendiri. Dengan bangga keponakan saya berkata: ini loh mantram saraswati. Dan kemudian beberapa bulan kemudian bahkan ada plakat dari kayu; ditulisi mantram itu, bak merchandise dapat dibeli di beberapa toko dan warung, juga pedagang kaki lima di pasar-pasar. Lalu betapa kemudian penjelasan mengenai saraswati itu: patung dengan empat tangan; bla....bla...bla...bla...tapi seingat saya, tak ada satu pun sekolah menawarkan: brata nyaraswasten begitu pula lembaga agama Hindu di Bali.

Ibu saya, masa kanak itu, memberi saya satu pemahaman kini: budaya itu adalah tradisi ingatan, yang diasuhkan kepada saya. Itu kemudian menjadi titik pijak untuk terjadi evolusi spiritual dalam diri saya. Simbol cecak itu menjadi makna bertingkat-tingkat dalam pertumbuhan ingatan saya. Itu yang membuat saya tersenyum bila hari saraswati tiba. Dan ketika kini, betapa semaraknya kawan, sahabat, keluarga; menjadi penuh ritual dan spiritual. Saya justru mencari-cari jaje saraswati dalam banten saraswati itu. Dan saya teringat ketika keluarga saya mewintenkan saya, beda dengan anak-anak sekarang; masuk sekolah langsung diwinten, sedang saya karena dicemaskan senang membaca yang aneh-aneh diwintenkan. Ini hal yang berkaitan dengan Sang Hyang Aksara. Itu sesungguhnya jnana agung, salah satu tujuan tertinggi dari ajaran siwa sidhanta; juga dalam bhuana kosa disebutkan; hanya pengetahuanlah yang dapat membersihkan dirimu! Maksudnya sang hyang jnana; itulah yang jadi penyebab adanya pijakan awal; yakni mengajarkan akan dewi saraswati, pijakan awal ketika engkau masih kanak untuk kelak memasuki evolusi spiritual dalam diri.

Tahun-tahun berlalu, ketika memasuki tahun 90-an sampai 2000-an, demam spiritual itu menjangkiti seluruh dunia, semua agama, dengan berbagai keciriannya. Termasuk lingkungan saya tumbuh dan mulai menua. Para keponakan mulai dewasa dan sesekali akan bertanya: karena saya kritis terhadap mantram saraswati dalam plakat itu. Juga kepada patung dewi itu! Tapi tak ada yang bertanya, apa lalu yang harus dilakukan sesungguhnya bila saraswati tiba, selain sembahyang bersama di sekolah? Rasanya kok seperti odalan biasa-biasa saja?--- yang serius bertanya justru teman-teman dari kalangan intelek modern. Atau yang cemas, kenapa kita makin lama makin rigid yah? Tetapi yang nendang ke hati kok makin menipis? Lalu seperti biasa, karena yang diinginkan itu agar cepat dan terasa: instan, mereka mulai mengeluhkan, kenapa harus diwinten? Kenapa harus ini itu hanya untuk mendekat ke kaki Sang Hyang Aksara. Apalagi teman-teman dari perantauan, identitas menjadi orang Bali salah satunya adalah mebanten; saraswati jatuhnya selalu hari Sabtu, itu salah satu alasan terkuat untuk dapat berkumpul sesama orang bali. Demam menjadi pemangku, mencari cara praktis membuat upacara; semarak sekali perkembangan dalam berbagai potret. Dan tetap saya masih terkenang; jaje saraswati itu. Lalu para keponakan hanya melihat: saya justru paling enggan terlihat khusuk sembahyang saat saraswati tiba. Tumpukan buku saya, dan semua yang saya memiliki secara fisik; seharusnya saya membuat odalan besar. Nyatanya, saya hanya menghaturkan dua buah banten saraswati; satu kepada Sang Hyang Taksu, kedua pada Sang Hyang Jnana. Berdoanya dalam hati. Contoh yang tidak baik bagi semua keponakan, yang tentu akan memprotes bila kesempatan tiba. Kecuali saat saya ke rumah kakek, saya sesekali menengok sisa-sisa lontar yang ada di beberapa bale; hanya menengok. Memastikan apakah sudah remuk ataukah belum. Dan hingga kemudian di rumah kakek; tradisi ngodalin aksara kembali dilakukan dengan meriah. Tiba-tiba saya tercenung saat akan mencakupkan tangan. Sepulangnya, itu terjadi tiga atau lima tahun lalu, saya mencari catatan itu. Bukan plakat itu. Betapa sesungguhnya banyak ragam pemujaan kepada Sang Hyang Aksara, yang saya suka adalah dari tradisi tua; yang populer di kalangan pemangku yang ketat sifatnya, itu pun tidak semua pemangku serius utuh menyanyikannya saat pemujaan kepada Sang Hyang Aksara, saya buka catatan:

Mantra ring Sanghyang Saraswati

Om Saraswati namostu bahyam/ Parade kama rupinii/ Sidi rastu karaksami

Siddhi bawantu mesaddham

Pranamya sarwwa dewasca" Paramatma namawanca" Rupa siddhi karoksabet

Saraswati nama myaham

Padma patrewima laksmi" Padma kesari warnni" Nityam padma laye dewi

Tubyam namah saraswati

Kaywam wyakaranam" Weddha sastra puranakam" Kalpa siddhi tantrani

Tatprasadat karosabet

Dalam pemujaan yang serius kepada Sang Hyang Aksara, ini penjelasan nya kepada saya, oleh seorang pendeta yang menjadikan Sang Hyang Aji Saraswati sebagai salah satu pegangannya dalam memimpin kawikuannya. Menjelaskan kepada saya mengenai : Panca Saraswati Astawa. Itu disampaikan ketika saya mulai kuliah dan saya itu senang belajar apa saja, termasuk membaca kitab-kitab suci berbagai agama. Ibu saya walau cuek, selalu mencemaskan; jika anaknya nanti berganti agama dan kamu kelak menjadi tamu pada hari kematianmu. Panca Saraswati ini masih saya temukan catatannya dengan mata berkaca-kaca, tidak juga bisa saya hapal-hapal, dan tentu saja bagi yang belum diwinten: ini kata pendeta yang sudah lebar itu: ucapkan ini: Ong Byaksayam Ludra Maheswarasyayam namah ya namah swaha//0//---beberapa kawan karena begitu taatnya, kadang menyampaikan kepada saya; kan dia belum diwinten agung, kok boleh membaca yang ‘maha suci?” padahal, siwa sidhhanta itu jelas tak pernah membatasi, siapapun yang hendak membasuh dirinya dengan pengetahuan tinggi, caranya ya itu; mencari pijakan awal;

Om sweta mara narandiwi/Sweta puspa prihandiwi

Sri sri tameng sasraswati//0//

Om rakta mara narandiwi/ Rakta malya panam/Rakta puspa prihandiwi/Sri sri tameng saraswati/Om pita mara narandiniwi/Pita mara malyapanam/Pita puspa prihandiwi/Sri sri tameng sasraswati//0//

Om pita mara narandiwi/Pita mara nalya panam/Pita puspa prihandiwi/Sri sri tameng saraswati//0//

Om kresna mara narandiwi/Kresna mara malya panam/Kresna puspa prihandiwi/Sri sri tameng sasrswati//0//

Om wiswa mara narandiwi/Wiswa mara malyapanam/Wiswa puspa prihandiwi/Sri sri tameng saraswati//0//

Dan selalu persoalan ini bagi yang diperantauan akan ditanyakan. Soal air suci, sesungguhnya kalau titik pijaknya sesantai ibu saya, akan mengenal hal ini: Panuhur tirta Ida Sanghyang Saraswati

PukulunSanghyang Siwa raditya/Sanghyang sasangka/Sanghyang :Lintang Tranggana/Manusa nira analuk tirttha/Mahning Sanghyang pustaka jati/Om Sarayu Saraswati Narmmaddha.....dstnya.

Saya tersenyum, entah mengapa hari ini, ibu saya dan masa kanak itu, justru menghadirkan dewi pengetahuan itu bukan sebagai patung cantik; tetapi inilah hari mengenai pengetahuan tertinggi beserta penjelasannya, gunakanlah bagi orang bijakasana, pengawi, yang ingin belajar segalanya, mengetahui aksara di bhuwana alit, dan bhuwana agung, mengetahui dalam wariga, usada, tutur, agama dan seluruh intisari dan seterusnya itu, dengan mempercayai hidup itu tak pernah keliru, dan selalu dunia ada surga yang dapat engkau patut ciptakan dibumi asalkan engkau tahu mengenai keagungan pengetahuan. Maka semuanya adalah bibit kebaikan dan bernafaslah dengan kedamaian. Usah mengingatkan orang lain, semua memiliki kadarnya, cukup yakinkan hatimu; udara hari ini lembut dan menenangkan hati. Santai ya bu? Ibu saya tersenyum: nak mebrata, pasti silib. Amun masolah wau tinggar!

BAGIAN KETIGA, KAJIAN CHANDRA BHERAWA



CHANDRA BHERAWA : SEBUAH KARYA SASTRA PEMIKIRAN, KECERDASAN SUKMA MULIA HINDU BALI, AWALAN KABHINEKAAN SIWA BUDHA. (BAG.3- seri belajar kajian sastra klasik)

Pada bagian ketiga tulisan ini, makin menguatkan pentingnya ketika memahami teks Chandra Bherawa sebagai rangkaian wacana. Juga tidak terburu-buru. Di Bali dan Jawa memang ada dikenal yang disebut dengan Ajian Chandra Bherawa, kesaktian dari Salya dalam perang Mahabrata. Sehingga teks Chandra Bherawa ini mengalami dua kali kesalahpahaman. Pertama, dikira inilah kitab sakti yang dimiliki oleh Salya dengan ajian Chandra Bherawanya, kedua, ini juga dikira teks tutur kawisesan dari pemargin Budha. Banyak pencari kebatinan mengejar teks ini, bahkan membangun rumors akan tingkat kesulitannya untuk ‘hanya’ mendapatkan teks ini! Dalam dua tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa ini adalah bagian dari Kuntiyajna Nilachandra, yang dengan alasan yang "aje wera’ memang dipisahkan dan dibaca dengan terbatas disebabkan isinya adalah dalam bentuk wacana, yang memerlukan kedalaman penafsiran. Namun kisah yang dituturkannya sesungguhnya ringkas, jelas dan indah.

Walau tuturan kisahnya nampak runut, pemaknaannya jelas, sebagai bentuk gaya penulisan ide, wacana memang tak dapat diartikan melalui kalimat per kalimat. Setelah Arjuna dikalahkan. Maka Bhima yang datang dengan strategi menyerang yang berbeda. Sebab dari laporan Nakula, Sahadewa dan Arjuna, musuh kebal akan senjata tajam. Maka Bhima mencabut sebatang pohon bodi yang tinggi dan batangnya sebesar pelukan lelaki dewasa. Dengan pohon bodi itu Bhima menyerang, hingga pohon bodi itu remuk menjadi serpihan, Chandra Bherawa tak terluka, tak bergeser dari tempatnya. Bhima karena panik, meraih tubuh Chandra Bherawa, menekuk dan membantingnya lalu membawa ke sebuah sumur paling dalam. Melemparnya sekuat tenaga. Namun Tubuh Chandra Bherawa mengambang. Tetap tersenyum. Bhima kehabisan akal, mencabut sebatang pohon lontar. Dengan batang pohon lontar itu, ditumbukkannya ke dalam sumur, hingga pohon lontar itu tercabik sendiri. Bhima menggeram, mencari batu besar, menggotongnya dan melemparkannya ke dalam sumur. Batu itu pecah seribu. Chandra Bherawa dengan gerak sabar ke luar dari sumur, berdiri tegak kemudian, menatap Bhima, " Apa lagi maumu, Bhima? Tiadalah tahu engkau akan hakekat hidupku,"

Bhima tertegun, lalu menjawab," Kalah aku. Kresnalah yang membuat aku marah padamu. Aku akan sampaikan kepadanya,"

Kedatangan Kresna menemui Chandra Bherawa menjadi bentuk dialog yang mengesankan, Kresna kini diposisikan sebagai yang tak paham akan ajaran kasunyatan. Bagian yang mengundang senyum. Bukankah Kresna raja debat? Serba tahu akan berbagai hal. Dia awatara. Mengapa dalam kisah ini dihadirkan menjadi si ‘awam’. Menjadi wakil pertanyaan umum, apa sesungguhnya agama yang dianut oleh Chandra Bherawa?

"Indah ta kita Sri Candrabherawa, kapuhan swacitta mami den ta, apa swajatine pwa ajin ta, don ta tan harep magawe Sanggar Kabuyutan, tan ahyun manembah Sad Kahyangan, amangan tan pabanten, ndah warahakena ri kami,"

Chandra Bherawa dengan suara tenang menjawab, tidak menyebut agamanya, tetapi ajaran yang dijadikannya sebagai sikapnya sekarang sebagai sumber isyarat. Chandra Bherawa menjelaskan nama ilmunya Bajradhara, memuja Sang Hyang Adi Buddha. Yang dipujanya berada si sela keningnya, itu sama dengan puncak Sucikabajra. Dengan gamblang ia menjelaskan kepada Kresna. Alasan dirinya, mengapa tidak lagi di negerinya, kepada semua rakyatnya diperlukan rumah suci, segala macam kecirian beragama; ritus, ritual, liturgi, bagi Chandra Bherawa, "semua itu ada dalam diri. Persembahan terindah adalah dirimu! Jika hendak ingin membuat upacara besar, dirimulah upacara besar itu!"

Kresna pada dasarnya tidak hendak sekedar berdebat, namun menguji dengan pertanyaan untuk menemukan alasan membunuh Chandra Bherawa,"Dimanakah engkau menyatukan ilmumu itu? Katakan Padaku?"

Jawaban Chandra Bherawa ini memerlukan pemahaman perbandingan referensi tatwa budha yang ada di Bali atau nusantara umumnya. Agar terang benderang pemahaman akan teks ini," ketahui raja Kresna. Penyatuan ilmuku itu dalam Rasa Nirbhana!"—sebagai puncaknya adalah Sila Gamana. Dalam diri tidak ada yang lebih mulia daripada atma. Pertanyaan Chandra Bherawa,"yan muwah gawenan Sanggar, ring sanggar tunggunen tang atma, atma salah para ngarannya yan mangkanana, tan hurung amanggih lara meh katekan pati,"

Kresna yang biasanya cerdas dan cerdik, tampil dalam kisah ini dengan kebingungan yang tidak ditutupi. Ia tergelincir dengan bertanya engkau tahu dengan ilmu Sri Mahamanggala? Kresna tidak ingin menyelesaikan dengan dialog, sebaliknya melanjutkan perbedaan itu dalam peperangan," kali ini aku bertaruh...tebak ajianku ini!"

Dalam teks ini, soal isi dari ajaran Wisnu Murti dijabarkan oleh Chandra Bherawa," Aku tahu wahai Kresna tentang kesaktianmu itu."

Wisnu Murti yang mencengangkan dalam berbagai kisah Itiasa, kini dikuliti oleh Chandra Bherawa,"Adrsya namanya berasalkan angin. Anjalatundha namanya beralaskan mega. Amadapa namanya beralaskan tunas. Angganacara namanya beralaskan angin. Selain itu, anima, laghima, mahima, prapti, Prakamya, Wasitwa, Masiyitwa, Yatrakamawasayitwa,Yatrakamawasayitwa, bagimu itu kekuatan super natural untuk berjalan kemana engkau sukai. itu juga asta Iswarya. Aku memberi nama apa yang engkau lakukan ajian Sarwa Krura. Aku tahu hakekatnya itu semua, segala wujudmu. Silahkan selesaikan semadhimu!"

Jelaslah apa yang hendak disampaikan oleh teks ini adalah bagaimana memaknai perbedaan tattwa bahkan yang terjadi dalam satu ajaran yang asal muasalnya sama. Kresna menjadi figur suci yang jelas ditempatkan sebagai awatara, namun tidak semua menempatkannya sebagai dewa pujaan. Lalu ilmu tertinggi dari Kresna bernama Wisnu Murti dengan mendalam, dikenali dan ditandai oleh Chandra Bherawa, bahwa dari sikap itu menjelaskan bahwa dalam menuju mencapai ajaran Bajradhara, seharusnya memahami ajaran-ajaran lain dengan kemahiran yang tak sekedar teknis namun sampai pada tingkat ahli. Jika berani menyatakan diri, sebagai penganut ‘agama/keyakinan’ tertentu dan merasa lebih patut diikuti, maka seharusnya wajib mengetahui ilmu-ilmu agama yang lainnya. Jadi, bukan kebutaan terhadap ketidaktahuan, seolah-olah tahu akan ajaran agama, seolah-olah kenal Hyang Widhi, karena pandai mengucapkan ayat suci, taat sembahyang, dan berbagai kewajiban lahiriah, yang kasat mata dapat dinilai oleh mata dunia digunakan ukuran sebagai keunggulan kesucian. Apalagi kemudian tersesat memahami makna surga dan neraka. Sesungguhnya, itu awal menjauhi jalan suci.

Kresna karena tersentak oleh ajakannya sendiri, mengajak bertaruh, maka terpaksa menagih kepada Chandra Bherawa untuk mengeluarkan kesaktiannya. Kresna sungguh ingin mendapatkan menunda kekalahannya,"Keluarkanlah kesaktianmu, aku akan menebakmu!"

Sejak lama, di kalangan pecinta sastra klasik di Bali, rumor yang dikembangkan akan isi teks Chandra Bherawa ini adalah soal ajaran kesaktian. Sehingga ditempatkan sebagai tutur kadiatmikan. Bahkan pernah saya mendengar bahwa ada yang menjadikannya penuntun dalam melakukan tapa brata. Dalam teks ini tidak ditemukan; penuntun, arahan apapun untuk melakukan hal-hal yang biasanya ada dalam tutur kawisesan. Yang ada adalah perdebatan menebak isi dari kesaktian-kesaktian yang dikagumi dalam dunia spiritual timur itu.

Chandra Bherawa sebelum mendemonstrasikan pencapaian ilmunya, meminta Bhima, Arjuna dan Nakula serta Sahadewa agar sudi datang untuk melihat, setelah semua datang barulah ia memulai,".....Mangatonanan rupang ku mangke, sangke harep, sangke pungkur, sangke iringan, yan hana cedangga, warahakena ri kami, irikang aji Brahmana Arddhanarewari ngarannya, delengan caksun ta den ta abener,"

Dimulai mengenalkan nama dari kesaktiannya, Aji Brahmana Arddhanarewari, syarat yang melihat adalah lihat dengan jelas dan jernihkan penglihatan. Berbeda dengan tampilan Wisnu Murti yang semuanya serba dahsyat, maka, Chandra Bherawa setelah memusatkan batinnya mengubah dirinya menjadi Manik sphatika, besarnya hanya sebesar lengan. Setelah ditatap dengan benar, bila mengerjapkan mata maka berubah menjadi Manik Sutrawat, besarnya sekepal, bersinar ke segala penjuru. Bila mata yang memandang berkerjap akan berubah wujud menjadi Manindra, besarnya seruas jari, nampak bening berkilauan, kembali jika mata berkerjap akan berubah sebagai Maninten seperti merica besarnya, cahayanya seperti sinar bulan. Bila mata berkerjap maka akan berubah sebesar biji jawa yang di bagi tujuh. Hilang tanpa bekas.

Kresna termangu, begitu pula semua yang menyaksikan. Memperhatikan teks ini, bagaimana menjelaskan akan adanya perbedaan kebijakan dalam melaksanakan agama dalam kehidupan; yang satu Karma Sanyasa, yang lain Yoga Sanyasa. Perbedaan ini melahirkan tata krama kehidupan yang berbeda dalam keseharian penganutnya. Namun akibat keyakinan akan tanggungjawab menjaga kehidupan, pihak Hastina, dalam hal ini Kresna menginginkan semua yang masih awam dalam beragama sebaiknya melaksanakan agama secara Karma Sanyasa, agama dilakukan dengan ritual, ritus, liturgi; berbagai kecirian agama sampai rumah suci, hari besar, hari kecil, jam sembahyang, dll. Agama distrukturkan pelaksanaannya. Menjadi kewajiban yang bertujuan menjaga hubungan antar manusia, untuk menjadi dasar saling menghormati satu sama lain dan menjauhi kesalahan dan dosa. Perbedaan cara ini sejak lampau menjadi alat kekuasaan untuk menundukan kebutuhan manusia yang berbeda-beda. Penyerbuan dengan kekerasan oleh Nakula dan Sadewa, lalu Arjuna dan Bhima, memberi gambaran, betapa banyak banyak riwayat bumi perang akibat salah satu keyakinan yang diyakini sekelompok orang sebagai jalan terbaik mencapai kesadaran cahaya tertinggi, dengan sebutan apapun, mewariskan kekerasan. Dalam tahap selanjutnya, wacana yang disampaikan oleh teks ini adalah pertaruhan dengan pencapaian keilmuan dalam konteks spiritual agung.

Kresna menyatakan dirinya kalah. Dengan murung mengatakan, akan menemui Yudhistira. Chandra Bherawa tersenyum, memahami hasrat kekuasaan, kehendak ingin menguasai melalui ajaran itu sungguh membuat Kresna lalai akan tujuan keawataraannya. Maka ia berpesan,"Aku hendak pulang ke alam Abhirati, sampaikan kepada Yudhistira, jika aku kalah olehnya, putriku menjadi taruhannya."

(bagian.3. Kajian Chandra Bherawa, belajar mengkaji sastra klasik, maafkan jika banyak kekurangan!)

PENGANTAR : RIWAYAT "AGAMA" PEREMPUAN






PENGANTAR  "KAPAK TUJENG RISET"
DRAFT BUKU : RIWAYAT MA-GAMA 'LUH'  (AGAMA PEREMPUAN)
By. Cok. Sawitri
(draft catatan  1)

Desa-Kala-Patra, tidaklah sekedar  'Ruang- Waktu' walau agak bimbang mengakui, pemahaman fisika modern pun sesungguhnya menguatkan pemahaman mistik ini. Bahwa sejauh apapun kita mendeskripsikan Desa-Kala-Patra, sejauh pengalaman dan kekayaan diksi akan bertemu keterbatasan-keterbatasan pikiran rasional Bali Modern. Bisa jadi kebutuhan mendefinisikan menjelaskan mengenai kearifan Bali ini disusun oleh modifikasi pemahaman, bisa juga tanpa sengaja kita menelantarkannya pada "narasi logis' merujuk arti leksikalnya. Desa-Kala-Patra adalah sebuah konsep. Begitu juga Rwa Bhineda. Kini kita memahami dua konsep itu dengan konsep 'Ruang-Waktu' mengarah pada fakta realitas, pada kebendaan, pada keseharian, sekaligus ketika memahami hidup dan alam melalui sains dan filsafat. Paling dekat tentu perdebatan ini pada hukum fisika yang sangat bergantung pada 'rumus'nya. Sebelum Ilmu Fisika mendapatkan kata modern, atau setelah Teori Relativitas ditemukan; konsep Desa-Kala-Patra dan Rwa Bhineda ; pada 'Ruang -Waktu" itu bukanlah absolut. Ini mirip dengan pendekatan relativitas kemodernan.

Saya mengawali catatan "kapak tujeng riset" ini di akhir tahun 2019. Sangatlah penting saya menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada Ibu Suliati Boentaran yang tanpa banyak debat mendukung sepenuh hati, proses riset yang sesungguhnya jauh dari ilmiah, jauh dari kedisplinan. Mengikuti intuisi dari riwayat panjang penuh tanda tanya akan 'pengetahuan keagamaan'. Kekaguman sekaligus ketakjuban, juga harus jujur disampaikan betapa kebingungan dan kementokan memahami ajaran agama Hindu Bali ini. Sekalipun sejak kecil ada Mata Pelajaran Agama, berbagai buku mengenai Bali bertaburan, memahami dengan posisi 'ordinat' tertentu dengan keheranan mengapa begitu banyak yang tertarik pada Bali. Bukan karena tujuan pariwisata. Pendekatan historis, pendekatan ritus bahkan teks liturginya yang membawa pada kebertanyaan secara terus menerus. Menjangkau kebaikan bagi kenusantaraan, hasrat cinta damai, baik-baik hidup ; secara relativ menyadarkan tidak mungkin meraih ke luar diri. Kembali menoleh kepada Bali; pada struktur 'ka luhur' (keilahiannya) yang pada masa kini karena dipelajari dengan konsep ruang-waktu absolut; menjadi  "sebelum", "kini" dan "sesudah" menyibukan pada penanda angka dan tahun : absolut. Sejak sistem Pendidikan, peralihan huruf dan bahasa di Bali mengajak lahirnya : deret waktu tunggal. Dengan cara itu, kini kadang kegamangan antara percaya dan tidak: mengenai 'membaca kalender' ala modern dengan "tika" dengan mengabaikan bahwa yang satu 'deret waktu tunggal' yang lain bukan abslout bahkan sering temporal. Masa kini menetapkan keunggulan pada kepastian ukuran, jumlah dan walau masih percaya pada 'kemungkinan' namun itu selalu diletakan pada 'keakurasian' yang sebenarnya tidak juga absolut.

Sejauh mungkin dalam proses ini; saya berusaha tidak mengeluhkan akan :definisi agama, rasionalisasi agama dan berbagai efek dari keinginan dalam : kemodernan, berada dalam : deret waktu tunggal. Segala fenomena kemanusiaan modern dengan kehendak universal sekaligus diversity; hasrat religius tanpa ritus bahkan liturgi namun mem'puzzle' apa saja yang seolah akan membawa pada: keseimbangan yang bijak menghadapi perubahan zaman. Saya berusaha menghindari hadap-hadapan 'kepengaruhan' bahkan pada mana yang sahih dalam penyalinan manuksrip: tua ataukah muda dalam manuskripnya. Pada batas intuisi ini; dukungan dari sahabat saya, Suliati Boentaran membuat saya dalam rentang setahun ini ; bergulat dengan berbagai kajian, memutuskan 'batasan prioritas' dalam riset. Riwayat Agama di Bali dapat dibahas dari 'kata' juga keputusan politik. Tak hanya di negeri ini, tetapi kehendak politik dan kekuasaan besar mempengaruhi : kemayoritas keyakinan mendorong 'absolut' dalam berbagai kehendak dan inspirasi untuk kemanusiaan. Pencapaian dan kegagalan adalah isi dari langkah-langkah kemajuan hidup. Peradaban tak ada satu pun yang bebas dari : duka cita dan korban. Samar sangatlah samar Bali masa kini mendengar akan 'Gama Tiga' kadang berganti-ganti dengan 'Gama Tirtha' yang lebih sering disebutkan karena fenomena 'krisis air'. Persoalan dan masalah lingkungan kerap membawa sebutan-sebutan ini: 'Gama Tirtha', Tri Hita Karana, Tumpek, atau bila masalah Pendidikan akan berhamburan penyebutan Hari Raya Saraswati, Banyu Pinaruh, lalu secara latah akan mengkaitkan Tumpek Landep, Pagerwesi, Galungan & Kuningan, seluruh kalender upacara di Bali akan didefenisikan dengan narasi : absolut. Lalu kritik pada banten versus biaya; entah bagaimana akan juga dicari argumen mengenai : defenisi absolutnya lalu kadang akan dihadapkan pada 'cara agama' asal muasalnya. Tanpa harus anti "india" pergeseran pada ordinat yang berbeda telah terjadi. Namun sekaligus kegamangan. Fenomena diseluruh dunia akan sikap religius, pada semua keyakinan telah terjadi tarik menarik dalam berbagai kepentingan.

Pertanyaan dalam hati : adakah yang akan sabar membaca hasil kapak tujeng riset ini (?) Dari mana saya mulai menulis pengantarnya (?) sebab saya bukan agamawan, juga bukan ahli agama, bukan cendikiawan. Kemahiran saya hanya menulis dalam fiksi dan 'kalangoan' untuk berkarya dalam pemanggungan. Banyak keterbatasan saya dan akan menghakimi saya bila tidak saya tetapkan tekad.

Saya beralih pada manuskrip walau pastilah 'kesahihan' penyalinannya, inang bahan salinannya akan dipertanyakan; baik dari segi gaya huruf, ketepatan penulisan apakah dalam bahasa bali, kawi Bali sampai Kawi Jawa bahkan mungkin 'kesankritannya' akan dipertanyakan oleh para ahli fonetik, semantik, kebahasaan. Kini Bali bergembira dengan banyaknya komunitas yang bersemangat : menggali-gali lontar (cakepan), kemajuan teknologi menolong percepatan untuk tiba-tiba huruf Bali dapat ditulis di media kumpuiter. Berbagai Salinan lontar dapat dicari melalui google, blog, web, juga ke perpustakaan. Segala mantra mungkin kini tinggal memanggil 'siri' untuk membentangkannya di hadapan mata.

Fenomena kehendak religius; awalnya saya sebut sebagai fashion religius. 'trend' religius ini tak hanya terjadi di Bali, namun serempak di seluruh permukaan bumi. Tahun 2002 ketika saya piknik ke India, bertemu dengan komunitas gypsi dan 'rombongan' sisa generasi bunga; meditasi, yoga, segala cara mencari 'ketenangan batin' nampaknya memang beranjak sejak lama dari Barat ke Timur. Namun di 'timur' sebagai ruang yang menginspirasi, juga mengalami; gelombang fashion religius itu. Bali yang 'timur' juga sejak 1980-an mulai didatangi 'gaya' baru akan ekspresi keinginan untuk : lebih dekat dengan tuhan. Kesenjangan generasi terjadi dalam urusan ini. Bukan karena masalah 'buta huruf' atau tidak keserentakan memasuki sistem Pendidikan baru. Memukau sebenarnya ketika memasuki era milineum: barisan generasi terdidik Bali tiba-tiba dikejutkan oleh fenomena; berbaju putih, me-"winten" dan walau seolah tengah mendobrak kefeodalan dalam struktur keilahian; kehendak me-'dwijati' menjadi pernyataan yang menurut saya memukau. Tak cukup hapal Tri Sandya, Panca Sembah; bagian 'pengagamaan' yang berbasis 'kelembagaan' modern dan monotheis ikut serta mendorong semangat baru untuk mengekspresikan kecirian dan kekhasan agama Bali sekaligus menyerah pada ' definisi agama' modern itu sendiri.

Dengan pendekatan "Ruang-Waktu" tidak dalam pemahaman absolut tetapi dikembalikan pada Desa-Kala-Patra dan  Rwa Bhineda. Saya tidak akan mempertanyakan mana lebih dahulu dan mana belakangan. Mana lebih tua, mana lebih muda. Mana purba, Mana modern. Juga dari segi bahasa bahkan 'ketepatan' menuliskannya. Manusia Bali memulai tradisi keilahiannya dalam peradaban yang tak bisa disahihkan oleh konsep ruang waktu : deret tunggal. Sang Kul Putih ataukah Kusuma Dewa (?)  Rentang usia lontar dan gebang, batu, tembaga bahkan perunggu, kebendaan yang ada dalam barisan yang dapat luntur, mengapur, berkarat, merepuh, merepih, memudar, berbagai kemungkinan sebab ketidakutuhan dapat terjadi; tetapi bukan berarti tidak utuh dalam pewarisan; tetapi berhamburan dan berserakan walau nampak 'utuh' dalam 'ruang' ordinat tertentu; Salinan-salinan manuskrip kepemangkuan sebagai awal menggunakan konsep Desa-Kala-Patra dan Rwa Bhineda: hingga kini digunakan sekaligus tak digunakan secara utuh dalam kepemangkuan. Apakah pemangku dari tradisi 'nyanjan', 'ketakson' hingga keputusan pribadi menjadi pemangku. Apa lalu gunanya mengungkap ini (?) Fenomena 'hoax', kecemasan akan diri dihadapan konsep 'ruang-waktu' yang absolut secara matematik berhadapan dengan 'relativitas'. Keambiguan akan mencari kesadaran bahwa keseharian segala peristiwa adalah relativitas berhadapan dengan fakta realitas keseharian yang terhitung dan terukur dalam jumlah:  itulah membayangi.

Kini di Bali (walau belum disensus) mungkin ribuan orang telah menjadi 'Pemangku". Jika slogan pariwisata digunakan: pulau seribu pura, maka Bali kini mungkin pulau "sejuta lebih Pemangku". Modal saya membahas sebutan Pemangku adalah rasa bahasa. Kata "mangku" itu diucapkan dalam bahasa bali 'halus' mengenai peristiwa memangku 'beban' dengan kedua paha. Ini sering akan rancu kini dengan bahasa Indonesia: pangkuan, dipangku, memangku, dll seolah kata "pangku" dan " mangku' ini bukan bahasa Bali. Belum lagi gaya pengucapan: idiolek dan dialek. Orang Bali mengucapkan: Ngemangkuin, tak sekedar bermakna menerima tugas keilahian, namun juga memimpin. Serentak dalam rasa bahasa bila dipahami: perubahan dari bukan pemangku ke pemangku: adalah 'lompatan' pergantian 'diri' disebabkan oleh tugas kerohanian yang disandang. Bukan dibebankan. Bandingkan dengan kata 'emban' otomatis diartikan dengan kata 'pengasuh': dalam peristiwa 'ngemban' akan ada peristiwa memangku seorang anak (menimang). Bandingkan kemudian dengan kata 'ngemong' dalam relasi kata kepemangkuan akan kerap terdengar; pengemong pura: ngemongin!

Konsep Desa-Kala-Patra secara elegan membuat tak terjadi 'ketegangan' kesahihan memaknai kepemangkuan. Bahkan kini siapa saja di Bali dapat melalui upacara mewinten dalam 'tingkatan tertentu' akan menjadi pemangku: bagi merajan pribadi, bagi diri sendirinya sendiri. Berbeda dahulu alasan terjadinya 'kepemangkuan' adalah berkaitan dengan 'ngemong' diantara para pengemong. Ini merujuk pada 'ruang' yang tidak absolut, pada kala yang tidak absolut juga patra yang tidak absolut. Bandingkan dengan dengan pemahaman relativitas. Mengapa saya membawa pad acara berpikir ilmu fisika. Sebab ini jembatan sekaligus pisau untuk diharapkan melihat kembali 'strukur ka luhuran'. Sebab pola masa kini itu dalam cara tanggapan, 'nalar' kita sudah beralih pada : rasionalitas dan berstrukur. Izinkan saya meminjam 'cara ini' walau kelak harus dikoreksi secara seksama.

Berapa model manuskrip (agar agak modern terbaca) : cakepan yang berisikan kepemangkuan (?) saya kecualikan diktat panduan kepemangkuan masa kini. Sang Kul Putih, Kusuma Dewa; dua manuskrip ini sering bercampur dalam penyalinannya. Lalu ada variannya: Sangkul Putih ada variannya Sangkul Putih Mantra, Kusuma Dewa ada Kusuma Dewa Mpu Tutur, Kusuma Dewa Purana, lalu transisi dari kepengaruhan era kedatangan Dang Hyang Nirarta: Agem-Ageman Pemangkuan Sad Kahyangan. Bila mencari ke seluruh 'desa' dengan sistem parahyangannya, riwayat 'arkeo' dan 'antro'-nya; akan bertemu 'gaya' kepemangkaun berbeda-beda. Hampir pasti berbeda dengan 'gaya kepemangkuan' masa kini: yakni munculnya 'pola' mantra Panca Sembah, Puja Tri Sandya:dll dalam proses berjalannya Upacara.  Belum lagi dari 'archetype' dalam tradisi 'nyanjan' dan ' ketakson' membentang khasanah Puja Saha (seÄ“), Sesontengan, atur pepojolan, yang kini dikira: tidak memakai 'aturan' seolah boleh bebas dari 'bahasa hati' yang diucapkan dengan 'kata-kata' dalam peristiwa 'persembahan'; Tradisi Puja Saha tidaklah sekedar permakluman bagi yang tak bisa hapal mantra. Ada tata krama dalam 'diksi' dan 'rima' yang dijaga ketat dalam tata krama tradisi puja saha. Tradisi Kepemangkuan diakui sebagai 'awal mula' : liturgi pemujaan di Bali. Selalu dikenang Sang Kul Putih. Walau akan dapat didedah apakah ini figur ataukah sebenarnya: 'gelar' nama tradisi pemujaan keilahian. Sebab hampir selalu bersisian dengan 'kusuma dewa' dalam prakteknya pada tradisi kepemangkuan 'nyanjan' dan 'ketakson' pasti akan menggunakan : dua manuskrip ini. Lalu kemana arah intuisi ini memulai untuk memahami; dengan pendekatan Desa-Kala-Patra mungkin (saya pakai mungkin, sebelum nantinya dikoreksi lagi). Ketika keyakinan Bali ini di-"KTP" kan menjadi Hindu. Dan walau memang ada pengaruh Hindu sejak lampau (bahkan bila menyusuri dari semantic, diksi, yang dalam bahasa ilmiah; penyusuran kepustakaan; melalui berbagai manuskrip kepemangkuan. Jadi sebelum ada tradisi : kependetaan ala sekarang. Walau penyalinannya ke masa kini bercampur baur dengan kepengaruhan Hindu era abad 10 ( Hempu Kuturan) belum lagi (era Dang Hyang Nirarta). Kesadaran ini muncul ketika secara internal ketika era rasionalisasi agama melanda Bali disebabkan mata pelajaran agama dan tak lagi membedakan pengetahuan keagamaan dengan 'sistem nilai' mata pelajaran (pengetahuan modern); ketika era 'fashion religius' tiba. Dimana jeritan seolah prihatin berkata: back to weda. Tak sanggup digawangi dengan cara mendasar, hanya dalam menjaga tradisi upacara saja yang nampak gagah perwira. Jejak itu makin kuat ketika 'rasa bahasa' memudar dalam pola asuh keluarga-keluarga Bali. Secara serampangan adakah argumentasi yang kuat dan mendasar untuk menjawab: Apa pembeda pengucapan dan penulisan OM, UNG, UM, ONG? Ketika kebutuhan ' symbol dalam aksara" tiba-tiba segala diucapkan mengawali 'mantra' dengan OM yang dituliskan dengan 'ongkara' merujuk pada angka tiga dalam huruf Bali. Jangan dikaitkan dengan kelatahan serba 'tiga'. Jangan terburu dahulu.

Kata pengantar dalam pencatatan kapak tujeng riset ini memang mewakili keterbatasan dalam secara komplit. Saya tidak akan menyebut sebagai pendahuluan. Tetapi memulainya dengan kepemangkuan, itu disebabkan intuisinya meyakini; inilah lapisan dasar 'keagamaan' Hindu Bali itu. Walau kini seolah berada dalam 'lapis kedua' setelah pendeta. Sehingga sekarang betapa mudahnya sebenarnya melompat menjadi 'pemangku'.

Saya memulai dengan pertanyaan menggetarkan pada 'Ulu Ricem' yang menyebabkan terbacanya : AM, UM, MAM, TAM, AYM, KEM, JEM, SAM, SIM, IM, JEM, HREM, NGYAM, NGYOM, atau cobalah baca: WEH,IH, IM, EH, HE, HRE, HRYU, WYOT, AH, JENG, HRANG, HRIH, SAH: dst:  yang menyelip, diawal, ditengah, dibelakang pada tradisi Puja Saha pada dua tradisi manuskrip kepemangkuan baik Sangkul Putih maupun Kusuma Dewa bahkan nanti boleh dibandingkan dengan Agem-Ageman Pemangku pada era yang lebih muda. Beberapa 'kata' itu sebab berdasar system silabik dalam cara membaca hurufnya diberlakukan sebagai 'kata'. Jika secara prematur kemungkinan pola ' mantra' pada barisan tutur di Bali berinang pada tradisi 'Kitab' Kepemangkuan ini. Berbeda kemudian ketika system kelembagaan kependetaan itu muncul; kesyaratan akan 'ngalukun aksara' berkaitan dengan sasana kawikuan juga akan bercampur baur dangan konsep memahami kawisesaan, kadiatmikan, kebatinan, mistik bahkan era kini; sedang demam membahas tantra dan pasti merujuk pada beberapa 'tutur' yang isinya tentulah mengenai : mistik dan mistis dalam ajaran keagamaan Bali.

Pada Sang Kul Putih pada Puja Pange'raris' Toya misalnya; dapat disandingkan pemujaan 'air' di Bali mengarah pada 'Dewi' bukan pada "Dewa Wisnu' Atau pada yang dimaksud dengan Puja Pemungkah Weda dalam Kusuma Dewa : Pukulun Sang Hyang GURUREKA…(dst) perhatikan kemudian pada sebutan Puja Panugrahan Tri Liga: AM UM MAM AH pada akhirnya. Bandingkan lalu selipan kepengaruhan (masih premature dugaan ini): pada Panugrahan Siwa Lingga: UM (Bukan OM) MAM ONG MAM…(dst) juga perhatikan pada mantram Pasepan: ONG MAM…(dst) lalu AM Brahma pati…UM AM dan diakhir dengan ONG MAM.

Hanya dengan 'keynote' itu akan terbentang; bagaimana riwayat asal manusa menurut beberapa manuskrip Bali bandingkan dengan 'Weda'. Bagaimana kisah "asal manusia Bali' dalam mitologi Trunyan atau mana 'kisah Kamareka' bandingkan dengan kisah dalam Tantu Pagelaran, Canting Kuning, Atau dari Siwa Gama tebaran kisah suci. Karena itu ternyata sejauh ini dibela sungguh oleh : 'Desa-Kala-Patra' dan teori relativitas untuk memulai catatan Kapak Tujeng Riset ini; yang awalnya saya sebut 'mencari' desain agama perempuan dalam tradisi pemujaan di Bali. Ordinat, posisi saya kini sungguh jauh dengan  "deret tunggal itu' : hanya dengan instuisi dan berusaha tanpa beban, tanpa harapan apapun; untuk menuliskan akan GAMA BALI entah akan berguna bagi siapa? Ruang dan waktu itu memang tidak absolut. Membebaskan diri 'mental block' salah satu tantangan internal belum lagi menghadapi berbagai pertanyaan; mau mendokumenkan apakah? Jujurnya saya tak berani mengutip satu kalimat pun kalimat bijak. Menjelang akhir tahun saya hanya berucap; ya, saya mungkin mulat sarira. Itu saja kelak mungkin akan saya jadikan pengantar dalam Draft laporan Kapak Tujeng Riset ini. Lalu mungkin potret, mungkin film pendek. Baiklah. 'Kelanguan' lan 'kalangoan' dalam diri saya semoga tidak membuat semua sahabat dan guru 'jenuh' dan 'bosan' membina saya.

(selamat than baru 2020)

"SSSST....benarkah engkau mencintaiku?"



saat berjumpa denganmu
kerinduan berwarna pekat sempurna
jatuh dalam ruang berbenteng batu
langkah-langkah gugup memberi ukuran luas
berbilang senyum dan sorot mata mengukir diam
dinding diurap kemuraman senja
aku tak diberi anugrah kepekaan
berbilang saat bertukar cerita
genap  kepekatan mengaburkan pandangan
beberapa kutipan kalimat memasuki tidur
impianku dikurung warna warni
kepekaanku dicuri ketakjuban
saat berjumpa denganmu
teka-teki yang kau kirim
tidak pernah terpecahkan
peta buta yang menyesatkan
"sssst……benarkah tebakanku?"
aku menari dalam penjara batu
mengira matahari telah mati
sebuah celah memberi bayangan kabur
"benarkah engkau menjengukku?"
langkah sepelan apa nyaring jika itu langkahmu
desah setipis apa mirip badai masuki sunyiku
saat berjumpa denganmu
kerinduan mencapai pekat sempurna
seperti peramal menanti akhir hari
sinar matamu  menahan sepi
pias menghias diraut wajah
hingga terbata terucapkan isi hatimu
telingaku kehilangan pendengaran
telapak tangan gering dalam dingin hati
"ssst…benarkah kau mencintaiku?"
saat berjumpa denganmu
berulang ulang sempurna kesalahan
membaca barisan huruf dalam sorot mata
menghapal keraguan dalam pejam duka
mengaburkan wajahmu
sepekat warna rindu
saat berjumpa denganmu
langkah langkahku memutari ruang batu

(Seri Puisi Cinta, amlapura, 11 november 2015, cok sawitri)

Aku Pernah Bertemu Kesedihanmu

aku pernah bertemu kesedihanmu
menyalami dalam percakapan lirih
dukacita memang jelita, tak mudah dilupa
kemilau airmata menggores gambar cahya
lalu kita menjadi dekat
lalu kita menjaga jarak

aku pernah bertemu kecemburuan
bertukar tatap mata dalam tebal kabut
prasangka memang renyah, mudah patah
kecewa menemukan lecutannya
lalu kita menjadi bisu
lalu kita merasa terganggu

aku pernah berkawan lekat dengan patahati
setia berkawan kemana pergi
kehilangan mengenalkan hampa
senyapnya membebaskan
lalu kita bertemu lagi
lalu kita melupakan jarak
tapi dukacita terlalu jelita
bersahabat dengan kecewa
aku pernah bertemu dengan kesedihanmu
seperti memajang potret kesayangan
setiaphari ingatkan akan kemilau airmata
lalu kita kehilangan tawa
lalu kita terbiasa kecewa
menjumpai dukacita mengikatnya
menjadikannya teman setia !

(SERI PUISI CINTA, batanghari, 10 november 2015, cok sawitri)