BAGIAN KETIGA, KAJIAN CHANDRA BHERAWA



CHANDRA BHERAWA : SEBUAH KARYA SASTRA PEMIKIRAN, KECERDASAN SUKMA MULIA HINDU BALI, AWALAN KABHINEKAAN SIWA BUDHA. (BAG.3- seri belajar kajian sastra klasik)

Pada bagian ketiga tulisan ini, makin menguatkan pentingnya ketika memahami teks Chandra Bherawa sebagai rangkaian wacana. Juga tidak terburu-buru. Di Bali dan Jawa memang ada dikenal yang disebut dengan Ajian Chandra Bherawa, kesaktian dari Salya dalam perang Mahabrata. Sehingga teks Chandra Bherawa ini mengalami dua kali kesalahpahaman. Pertama, dikira inilah kitab sakti yang dimiliki oleh Salya dengan ajian Chandra Bherawanya, kedua, ini juga dikira teks tutur kawisesan dari pemargin Budha. Banyak pencari kebatinan mengejar teks ini, bahkan membangun rumors akan tingkat kesulitannya untuk ‘hanya’ mendapatkan teks ini! Dalam dua tulisan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa ini adalah bagian dari Kuntiyajna Nilachandra, yang dengan alasan yang "aje wera’ memang dipisahkan dan dibaca dengan terbatas disebabkan isinya adalah dalam bentuk wacana, yang memerlukan kedalaman penafsiran. Namun kisah yang dituturkannya sesungguhnya ringkas, jelas dan indah.

Walau tuturan kisahnya nampak runut, pemaknaannya jelas, sebagai bentuk gaya penulisan ide, wacana memang tak dapat diartikan melalui kalimat per kalimat. Setelah Arjuna dikalahkan. Maka Bhima yang datang dengan strategi menyerang yang berbeda. Sebab dari laporan Nakula, Sahadewa dan Arjuna, musuh kebal akan senjata tajam. Maka Bhima mencabut sebatang pohon bodi yang tinggi dan batangnya sebesar pelukan lelaki dewasa. Dengan pohon bodi itu Bhima menyerang, hingga pohon bodi itu remuk menjadi serpihan, Chandra Bherawa tak terluka, tak bergeser dari tempatnya. Bhima karena panik, meraih tubuh Chandra Bherawa, menekuk dan membantingnya lalu membawa ke sebuah sumur paling dalam. Melemparnya sekuat tenaga. Namun Tubuh Chandra Bherawa mengambang. Tetap tersenyum. Bhima kehabisan akal, mencabut sebatang pohon lontar. Dengan batang pohon lontar itu, ditumbukkannya ke dalam sumur, hingga pohon lontar itu tercabik sendiri. Bhima menggeram, mencari batu besar, menggotongnya dan melemparkannya ke dalam sumur. Batu itu pecah seribu. Chandra Bherawa dengan gerak sabar ke luar dari sumur, berdiri tegak kemudian, menatap Bhima, " Apa lagi maumu, Bhima? Tiadalah tahu engkau akan hakekat hidupku,"

Bhima tertegun, lalu menjawab," Kalah aku. Kresnalah yang membuat aku marah padamu. Aku akan sampaikan kepadanya,"

Kedatangan Kresna menemui Chandra Bherawa menjadi bentuk dialog yang mengesankan, Kresna kini diposisikan sebagai yang tak paham akan ajaran kasunyatan. Bagian yang mengundang senyum. Bukankah Kresna raja debat? Serba tahu akan berbagai hal. Dia awatara. Mengapa dalam kisah ini dihadirkan menjadi si ‘awam’. Menjadi wakil pertanyaan umum, apa sesungguhnya agama yang dianut oleh Chandra Bherawa?

"Indah ta kita Sri Candrabherawa, kapuhan swacitta mami den ta, apa swajatine pwa ajin ta, don ta tan harep magawe Sanggar Kabuyutan, tan ahyun manembah Sad Kahyangan, amangan tan pabanten, ndah warahakena ri kami,"

Chandra Bherawa dengan suara tenang menjawab, tidak menyebut agamanya, tetapi ajaran yang dijadikannya sebagai sikapnya sekarang sebagai sumber isyarat. Chandra Bherawa menjelaskan nama ilmunya Bajradhara, memuja Sang Hyang Adi Buddha. Yang dipujanya berada si sela keningnya, itu sama dengan puncak Sucikabajra. Dengan gamblang ia menjelaskan kepada Kresna. Alasan dirinya, mengapa tidak lagi di negerinya, kepada semua rakyatnya diperlukan rumah suci, segala macam kecirian beragama; ritus, ritual, liturgi, bagi Chandra Bherawa, "semua itu ada dalam diri. Persembahan terindah adalah dirimu! Jika hendak ingin membuat upacara besar, dirimulah upacara besar itu!"

Kresna pada dasarnya tidak hendak sekedar berdebat, namun menguji dengan pertanyaan untuk menemukan alasan membunuh Chandra Bherawa,"Dimanakah engkau menyatukan ilmumu itu? Katakan Padaku?"

Jawaban Chandra Bherawa ini memerlukan pemahaman perbandingan referensi tatwa budha yang ada di Bali atau nusantara umumnya. Agar terang benderang pemahaman akan teks ini," ketahui raja Kresna. Penyatuan ilmuku itu dalam Rasa Nirbhana!"—sebagai puncaknya adalah Sila Gamana. Dalam diri tidak ada yang lebih mulia daripada atma. Pertanyaan Chandra Bherawa,"yan muwah gawenan Sanggar, ring sanggar tunggunen tang atma, atma salah para ngarannya yan mangkanana, tan hurung amanggih lara meh katekan pati,"

Kresna yang biasanya cerdas dan cerdik, tampil dalam kisah ini dengan kebingungan yang tidak ditutupi. Ia tergelincir dengan bertanya engkau tahu dengan ilmu Sri Mahamanggala? Kresna tidak ingin menyelesaikan dengan dialog, sebaliknya melanjutkan perbedaan itu dalam peperangan," kali ini aku bertaruh...tebak ajianku ini!"

Dalam teks ini, soal isi dari ajaran Wisnu Murti dijabarkan oleh Chandra Bherawa," Aku tahu wahai Kresna tentang kesaktianmu itu."

Wisnu Murti yang mencengangkan dalam berbagai kisah Itiasa, kini dikuliti oleh Chandra Bherawa,"Adrsya namanya berasalkan angin. Anjalatundha namanya beralaskan mega. Amadapa namanya beralaskan tunas. Angganacara namanya beralaskan angin. Selain itu, anima, laghima, mahima, prapti, Prakamya, Wasitwa, Masiyitwa, Yatrakamawasayitwa,Yatrakamawasayitwa, bagimu itu kekuatan super natural untuk berjalan kemana engkau sukai. itu juga asta Iswarya. Aku memberi nama apa yang engkau lakukan ajian Sarwa Krura. Aku tahu hakekatnya itu semua, segala wujudmu. Silahkan selesaikan semadhimu!"

Jelaslah apa yang hendak disampaikan oleh teks ini adalah bagaimana memaknai perbedaan tattwa bahkan yang terjadi dalam satu ajaran yang asal muasalnya sama. Kresna menjadi figur suci yang jelas ditempatkan sebagai awatara, namun tidak semua menempatkannya sebagai dewa pujaan. Lalu ilmu tertinggi dari Kresna bernama Wisnu Murti dengan mendalam, dikenali dan ditandai oleh Chandra Bherawa, bahwa dari sikap itu menjelaskan bahwa dalam menuju mencapai ajaran Bajradhara, seharusnya memahami ajaran-ajaran lain dengan kemahiran yang tak sekedar teknis namun sampai pada tingkat ahli. Jika berani menyatakan diri, sebagai penganut ‘agama/keyakinan’ tertentu dan merasa lebih patut diikuti, maka seharusnya wajib mengetahui ilmu-ilmu agama yang lainnya. Jadi, bukan kebutaan terhadap ketidaktahuan, seolah-olah tahu akan ajaran agama, seolah-olah kenal Hyang Widhi, karena pandai mengucapkan ayat suci, taat sembahyang, dan berbagai kewajiban lahiriah, yang kasat mata dapat dinilai oleh mata dunia digunakan ukuran sebagai keunggulan kesucian. Apalagi kemudian tersesat memahami makna surga dan neraka. Sesungguhnya, itu awal menjauhi jalan suci.

Kresna karena tersentak oleh ajakannya sendiri, mengajak bertaruh, maka terpaksa menagih kepada Chandra Bherawa untuk mengeluarkan kesaktiannya. Kresna sungguh ingin mendapatkan menunda kekalahannya,"Keluarkanlah kesaktianmu, aku akan menebakmu!"

Sejak lama, di kalangan pecinta sastra klasik di Bali, rumor yang dikembangkan akan isi teks Chandra Bherawa ini adalah soal ajaran kesaktian. Sehingga ditempatkan sebagai tutur kadiatmikan. Bahkan pernah saya mendengar bahwa ada yang menjadikannya penuntun dalam melakukan tapa brata. Dalam teks ini tidak ditemukan; penuntun, arahan apapun untuk melakukan hal-hal yang biasanya ada dalam tutur kawisesan. Yang ada adalah perdebatan menebak isi dari kesaktian-kesaktian yang dikagumi dalam dunia spiritual timur itu.

Chandra Bherawa sebelum mendemonstrasikan pencapaian ilmunya, meminta Bhima, Arjuna dan Nakula serta Sahadewa agar sudi datang untuk melihat, setelah semua datang barulah ia memulai,".....Mangatonanan rupang ku mangke, sangke harep, sangke pungkur, sangke iringan, yan hana cedangga, warahakena ri kami, irikang aji Brahmana Arddhanarewari ngarannya, delengan caksun ta den ta abener,"

Dimulai mengenalkan nama dari kesaktiannya, Aji Brahmana Arddhanarewari, syarat yang melihat adalah lihat dengan jelas dan jernihkan penglihatan. Berbeda dengan tampilan Wisnu Murti yang semuanya serba dahsyat, maka, Chandra Bherawa setelah memusatkan batinnya mengubah dirinya menjadi Manik sphatika, besarnya hanya sebesar lengan. Setelah ditatap dengan benar, bila mengerjapkan mata maka berubah menjadi Manik Sutrawat, besarnya sekepal, bersinar ke segala penjuru. Bila mata yang memandang berkerjap akan berubah wujud menjadi Manindra, besarnya seruas jari, nampak bening berkilauan, kembali jika mata berkerjap akan berubah sebagai Maninten seperti merica besarnya, cahayanya seperti sinar bulan. Bila mata berkerjap maka akan berubah sebesar biji jawa yang di bagi tujuh. Hilang tanpa bekas.

Kresna termangu, begitu pula semua yang menyaksikan. Memperhatikan teks ini, bagaimana menjelaskan akan adanya perbedaan kebijakan dalam melaksanakan agama dalam kehidupan; yang satu Karma Sanyasa, yang lain Yoga Sanyasa. Perbedaan ini melahirkan tata krama kehidupan yang berbeda dalam keseharian penganutnya. Namun akibat keyakinan akan tanggungjawab menjaga kehidupan, pihak Hastina, dalam hal ini Kresna menginginkan semua yang masih awam dalam beragama sebaiknya melaksanakan agama secara Karma Sanyasa, agama dilakukan dengan ritual, ritus, liturgi; berbagai kecirian agama sampai rumah suci, hari besar, hari kecil, jam sembahyang, dll. Agama distrukturkan pelaksanaannya. Menjadi kewajiban yang bertujuan menjaga hubungan antar manusia, untuk menjadi dasar saling menghormati satu sama lain dan menjauhi kesalahan dan dosa. Perbedaan cara ini sejak lampau menjadi alat kekuasaan untuk menundukan kebutuhan manusia yang berbeda-beda. Penyerbuan dengan kekerasan oleh Nakula dan Sadewa, lalu Arjuna dan Bhima, memberi gambaran, betapa banyak banyak riwayat bumi perang akibat salah satu keyakinan yang diyakini sekelompok orang sebagai jalan terbaik mencapai kesadaran cahaya tertinggi, dengan sebutan apapun, mewariskan kekerasan. Dalam tahap selanjutnya, wacana yang disampaikan oleh teks ini adalah pertaruhan dengan pencapaian keilmuan dalam konteks spiritual agung.

Kresna menyatakan dirinya kalah. Dengan murung mengatakan, akan menemui Yudhistira. Chandra Bherawa tersenyum, memahami hasrat kekuasaan, kehendak ingin menguasai melalui ajaran itu sungguh membuat Kresna lalai akan tujuan keawataraannya. Maka ia berpesan,"Aku hendak pulang ke alam Abhirati, sampaikan kepada Yudhistira, jika aku kalah olehnya, putriku menjadi taruhannya."

(bagian.3. Kajian Chandra Bherawa, belajar mengkaji sastra klasik, maafkan jika banyak kekurangan!)

No comments:

Post a Comment