PENGANTAR : RIWAYAT "AGAMA" PEREMPUAN






PENGANTAR  "KAPAK TUJENG RISET"
DRAFT BUKU : RIWAYAT MA-GAMA 'LUH'  (AGAMA PEREMPUAN)
By. Cok. Sawitri
(draft catatan  1)

Desa-Kala-Patra, tidaklah sekedar  'Ruang- Waktu' walau agak bimbang mengakui, pemahaman fisika modern pun sesungguhnya menguatkan pemahaman mistik ini. Bahwa sejauh apapun kita mendeskripsikan Desa-Kala-Patra, sejauh pengalaman dan kekayaan diksi akan bertemu keterbatasan-keterbatasan pikiran rasional Bali Modern. Bisa jadi kebutuhan mendefinisikan menjelaskan mengenai kearifan Bali ini disusun oleh modifikasi pemahaman, bisa juga tanpa sengaja kita menelantarkannya pada "narasi logis' merujuk arti leksikalnya. Desa-Kala-Patra adalah sebuah konsep. Begitu juga Rwa Bhineda. Kini kita memahami dua konsep itu dengan konsep 'Ruang-Waktu' mengarah pada fakta realitas, pada kebendaan, pada keseharian, sekaligus ketika memahami hidup dan alam melalui sains dan filsafat. Paling dekat tentu perdebatan ini pada hukum fisika yang sangat bergantung pada 'rumus'nya. Sebelum Ilmu Fisika mendapatkan kata modern, atau setelah Teori Relativitas ditemukan; konsep Desa-Kala-Patra dan Rwa Bhineda ; pada 'Ruang -Waktu" itu bukanlah absolut. Ini mirip dengan pendekatan relativitas kemodernan.

Saya mengawali catatan "kapak tujeng riset" ini di akhir tahun 2019. Sangatlah penting saya menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada Ibu Suliati Boentaran yang tanpa banyak debat mendukung sepenuh hati, proses riset yang sesungguhnya jauh dari ilmiah, jauh dari kedisplinan. Mengikuti intuisi dari riwayat panjang penuh tanda tanya akan 'pengetahuan keagamaan'. Kekaguman sekaligus ketakjuban, juga harus jujur disampaikan betapa kebingungan dan kementokan memahami ajaran agama Hindu Bali ini. Sekalipun sejak kecil ada Mata Pelajaran Agama, berbagai buku mengenai Bali bertaburan, memahami dengan posisi 'ordinat' tertentu dengan keheranan mengapa begitu banyak yang tertarik pada Bali. Bukan karena tujuan pariwisata. Pendekatan historis, pendekatan ritus bahkan teks liturginya yang membawa pada kebertanyaan secara terus menerus. Menjangkau kebaikan bagi kenusantaraan, hasrat cinta damai, baik-baik hidup ; secara relativ menyadarkan tidak mungkin meraih ke luar diri. Kembali menoleh kepada Bali; pada struktur 'ka luhur' (keilahiannya) yang pada masa kini karena dipelajari dengan konsep ruang-waktu absolut; menjadi  "sebelum", "kini" dan "sesudah" menyibukan pada penanda angka dan tahun : absolut. Sejak sistem Pendidikan, peralihan huruf dan bahasa di Bali mengajak lahirnya : deret waktu tunggal. Dengan cara itu, kini kadang kegamangan antara percaya dan tidak: mengenai 'membaca kalender' ala modern dengan "tika" dengan mengabaikan bahwa yang satu 'deret waktu tunggal' yang lain bukan abslout bahkan sering temporal. Masa kini menetapkan keunggulan pada kepastian ukuran, jumlah dan walau masih percaya pada 'kemungkinan' namun itu selalu diletakan pada 'keakurasian' yang sebenarnya tidak juga absolut.

Sejauh mungkin dalam proses ini; saya berusaha tidak mengeluhkan akan :definisi agama, rasionalisasi agama dan berbagai efek dari keinginan dalam : kemodernan, berada dalam : deret waktu tunggal. Segala fenomena kemanusiaan modern dengan kehendak universal sekaligus diversity; hasrat religius tanpa ritus bahkan liturgi namun mem'puzzle' apa saja yang seolah akan membawa pada: keseimbangan yang bijak menghadapi perubahan zaman. Saya berusaha menghindari hadap-hadapan 'kepengaruhan' bahkan pada mana yang sahih dalam penyalinan manuksrip: tua ataukah muda dalam manuskripnya. Pada batas intuisi ini; dukungan dari sahabat saya, Suliati Boentaran membuat saya dalam rentang setahun ini ; bergulat dengan berbagai kajian, memutuskan 'batasan prioritas' dalam riset. Riwayat Agama di Bali dapat dibahas dari 'kata' juga keputusan politik. Tak hanya di negeri ini, tetapi kehendak politik dan kekuasaan besar mempengaruhi : kemayoritas keyakinan mendorong 'absolut' dalam berbagai kehendak dan inspirasi untuk kemanusiaan. Pencapaian dan kegagalan adalah isi dari langkah-langkah kemajuan hidup. Peradaban tak ada satu pun yang bebas dari : duka cita dan korban. Samar sangatlah samar Bali masa kini mendengar akan 'Gama Tiga' kadang berganti-ganti dengan 'Gama Tirtha' yang lebih sering disebutkan karena fenomena 'krisis air'. Persoalan dan masalah lingkungan kerap membawa sebutan-sebutan ini: 'Gama Tirtha', Tri Hita Karana, Tumpek, atau bila masalah Pendidikan akan berhamburan penyebutan Hari Raya Saraswati, Banyu Pinaruh, lalu secara latah akan mengkaitkan Tumpek Landep, Pagerwesi, Galungan & Kuningan, seluruh kalender upacara di Bali akan didefenisikan dengan narasi : absolut. Lalu kritik pada banten versus biaya; entah bagaimana akan juga dicari argumen mengenai : defenisi absolutnya lalu kadang akan dihadapkan pada 'cara agama' asal muasalnya. Tanpa harus anti "india" pergeseran pada ordinat yang berbeda telah terjadi. Namun sekaligus kegamangan. Fenomena diseluruh dunia akan sikap religius, pada semua keyakinan telah terjadi tarik menarik dalam berbagai kepentingan.

Pertanyaan dalam hati : adakah yang akan sabar membaca hasil kapak tujeng riset ini (?) Dari mana saya mulai menulis pengantarnya (?) sebab saya bukan agamawan, juga bukan ahli agama, bukan cendikiawan. Kemahiran saya hanya menulis dalam fiksi dan 'kalangoan' untuk berkarya dalam pemanggungan. Banyak keterbatasan saya dan akan menghakimi saya bila tidak saya tetapkan tekad.

Saya beralih pada manuskrip walau pastilah 'kesahihan' penyalinannya, inang bahan salinannya akan dipertanyakan; baik dari segi gaya huruf, ketepatan penulisan apakah dalam bahasa bali, kawi Bali sampai Kawi Jawa bahkan mungkin 'kesankritannya' akan dipertanyakan oleh para ahli fonetik, semantik, kebahasaan. Kini Bali bergembira dengan banyaknya komunitas yang bersemangat : menggali-gali lontar (cakepan), kemajuan teknologi menolong percepatan untuk tiba-tiba huruf Bali dapat ditulis di media kumpuiter. Berbagai Salinan lontar dapat dicari melalui google, blog, web, juga ke perpustakaan. Segala mantra mungkin kini tinggal memanggil 'siri' untuk membentangkannya di hadapan mata.

Fenomena kehendak religius; awalnya saya sebut sebagai fashion religius. 'trend' religius ini tak hanya terjadi di Bali, namun serempak di seluruh permukaan bumi. Tahun 2002 ketika saya piknik ke India, bertemu dengan komunitas gypsi dan 'rombongan' sisa generasi bunga; meditasi, yoga, segala cara mencari 'ketenangan batin' nampaknya memang beranjak sejak lama dari Barat ke Timur. Namun di 'timur' sebagai ruang yang menginspirasi, juga mengalami; gelombang fashion religius itu. Bali yang 'timur' juga sejak 1980-an mulai didatangi 'gaya' baru akan ekspresi keinginan untuk : lebih dekat dengan tuhan. Kesenjangan generasi terjadi dalam urusan ini. Bukan karena masalah 'buta huruf' atau tidak keserentakan memasuki sistem Pendidikan baru. Memukau sebenarnya ketika memasuki era milineum: barisan generasi terdidik Bali tiba-tiba dikejutkan oleh fenomena; berbaju putih, me-"winten" dan walau seolah tengah mendobrak kefeodalan dalam struktur keilahian; kehendak me-'dwijati' menjadi pernyataan yang menurut saya memukau. Tak cukup hapal Tri Sandya, Panca Sembah; bagian 'pengagamaan' yang berbasis 'kelembagaan' modern dan monotheis ikut serta mendorong semangat baru untuk mengekspresikan kecirian dan kekhasan agama Bali sekaligus menyerah pada ' definisi agama' modern itu sendiri.

Dengan pendekatan "Ruang-Waktu" tidak dalam pemahaman absolut tetapi dikembalikan pada Desa-Kala-Patra dan  Rwa Bhineda. Saya tidak akan mempertanyakan mana lebih dahulu dan mana belakangan. Mana lebih tua, mana lebih muda. Mana purba, Mana modern. Juga dari segi bahasa bahkan 'ketepatan' menuliskannya. Manusia Bali memulai tradisi keilahiannya dalam peradaban yang tak bisa disahihkan oleh konsep ruang waktu : deret tunggal. Sang Kul Putih ataukah Kusuma Dewa (?)  Rentang usia lontar dan gebang, batu, tembaga bahkan perunggu, kebendaan yang ada dalam barisan yang dapat luntur, mengapur, berkarat, merepuh, merepih, memudar, berbagai kemungkinan sebab ketidakutuhan dapat terjadi; tetapi bukan berarti tidak utuh dalam pewarisan; tetapi berhamburan dan berserakan walau nampak 'utuh' dalam 'ruang' ordinat tertentu; Salinan-salinan manuskrip kepemangkuan sebagai awal menggunakan konsep Desa-Kala-Patra dan Rwa Bhineda: hingga kini digunakan sekaligus tak digunakan secara utuh dalam kepemangkuan. Apakah pemangku dari tradisi 'nyanjan', 'ketakson' hingga keputusan pribadi menjadi pemangku. Apa lalu gunanya mengungkap ini (?) Fenomena 'hoax', kecemasan akan diri dihadapan konsep 'ruang-waktu' yang absolut secara matematik berhadapan dengan 'relativitas'. Keambiguan akan mencari kesadaran bahwa keseharian segala peristiwa adalah relativitas berhadapan dengan fakta realitas keseharian yang terhitung dan terukur dalam jumlah:  itulah membayangi.

Kini di Bali (walau belum disensus) mungkin ribuan orang telah menjadi 'Pemangku". Jika slogan pariwisata digunakan: pulau seribu pura, maka Bali kini mungkin pulau "sejuta lebih Pemangku". Modal saya membahas sebutan Pemangku adalah rasa bahasa. Kata "mangku" itu diucapkan dalam bahasa bali 'halus' mengenai peristiwa memangku 'beban' dengan kedua paha. Ini sering akan rancu kini dengan bahasa Indonesia: pangkuan, dipangku, memangku, dll seolah kata "pangku" dan " mangku' ini bukan bahasa Bali. Belum lagi gaya pengucapan: idiolek dan dialek. Orang Bali mengucapkan: Ngemangkuin, tak sekedar bermakna menerima tugas keilahian, namun juga memimpin. Serentak dalam rasa bahasa bila dipahami: perubahan dari bukan pemangku ke pemangku: adalah 'lompatan' pergantian 'diri' disebabkan oleh tugas kerohanian yang disandang. Bukan dibebankan. Bandingkan dengan kata 'emban' otomatis diartikan dengan kata 'pengasuh': dalam peristiwa 'ngemban' akan ada peristiwa memangku seorang anak (menimang). Bandingkan kemudian dengan kata 'ngemong' dalam relasi kata kepemangkuan akan kerap terdengar; pengemong pura: ngemongin!

Konsep Desa-Kala-Patra secara elegan membuat tak terjadi 'ketegangan' kesahihan memaknai kepemangkuan. Bahkan kini siapa saja di Bali dapat melalui upacara mewinten dalam 'tingkatan tertentu' akan menjadi pemangku: bagi merajan pribadi, bagi diri sendirinya sendiri. Berbeda dahulu alasan terjadinya 'kepemangkuan' adalah berkaitan dengan 'ngemong' diantara para pengemong. Ini merujuk pada 'ruang' yang tidak absolut, pada kala yang tidak absolut juga patra yang tidak absolut. Bandingkan dengan dengan pemahaman relativitas. Mengapa saya membawa pad acara berpikir ilmu fisika. Sebab ini jembatan sekaligus pisau untuk diharapkan melihat kembali 'strukur ka luhuran'. Sebab pola masa kini itu dalam cara tanggapan, 'nalar' kita sudah beralih pada : rasionalitas dan berstrukur. Izinkan saya meminjam 'cara ini' walau kelak harus dikoreksi secara seksama.

Berapa model manuskrip (agar agak modern terbaca) : cakepan yang berisikan kepemangkuan (?) saya kecualikan diktat panduan kepemangkuan masa kini. Sang Kul Putih, Kusuma Dewa; dua manuskrip ini sering bercampur dalam penyalinannya. Lalu ada variannya: Sangkul Putih ada variannya Sangkul Putih Mantra, Kusuma Dewa ada Kusuma Dewa Mpu Tutur, Kusuma Dewa Purana, lalu transisi dari kepengaruhan era kedatangan Dang Hyang Nirarta: Agem-Ageman Pemangkuan Sad Kahyangan. Bila mencari ke seluruh 'desa' dengan sistem parahyangannya, riwayat 'arkeo' dan 'antro'-nya; akan bertemu 'gaya' kepemangkaun berbeda-beda. Hampir pasti berbeda dengan 'gaya kepemangkuan' masa kini: yakni munculnya 'pola' mantra Panca Sembah, Puja Tri Sandya:dll dalam proses berjalannya Upacara.  Belum lagi dari 'archetype' dalam tradisi 'nyanjan' dan ' ketakson' membentang khasanah Puja Saha (seē), Sesontengan, atur pepojolan, yang kini dikira: tidak memakai 'aturan' seolah boleh bebas dari 'bahasa hati' yang diucapkan dengan 'kata-kata' dalam peristiwa 'persembahan'; Tradisi Puja Saha tidaklah sekedar permakluman bagi yang tak bisa hapal mantra. Ada tata krama dalam 'diksi' dan 'rima' yang dijaga ketat dalam tata krama tradisi puja saha. Tradisi Kepemangkuan diakui sebagai 'awal mula' : liturgi pemujaan di Bali. Selalu dikenang Sang Kul Putih. Walau akan dapat didedah apakah ini figur ataukah sebenarnya: 'gelar' nama tradisi pemujaan keilahian. Sebab hampir selalu bersisian dengan 'kusuma dewa' dalam prakteknya pada tradisi kepemangkuan 'nyanjan' dan 'ketakson' pasti akan menggunakan : dua manuskrip ini. Lalu kemana arah intuisi ini memulai untuk memahami; dengan pendekatan Desa-Kala-Patra mungkin (saya pakai mungkin, sebelum nantinya dikoreksi lagi). Ketika keyakinan Bali ini di-"KTP" kan menjadi Hindu. Dan walau memang ada pengaruh Hindu sejak lampau (bahkan bila menyusuri dari semantic, diksi, yang dalam bahasa ilmiah; penyusuran kepustakaan; melalui berbagai manuskrip kepemangkuan. Jadi sebelum ada tradisi : kependetaan ala sekarang. Walau penyalinannya ke masa kini bercampur baur dengan kepengaruhan Hindu era abad 10 ( Hempu Kuturan) belum lagi (era Dang Hyang Nirarta). Kesadaran ini muncul ketika secara internal ketika era rasionalisasi agama melanda Bali disebabkan mata pelajaran agama dan tak lagi membedakan pengetahuan keagamaan dengan 'sistem nilai' mata pelajaran (pengetahuan modern); ketika era 'fashion religius' tiba. Dimana jeritan seolah prihatin berkata: back to weda. Tak sanggup digawangi dengan cara mendasar, hanya dalam menjaga tradisi upacara saja yang nampak gagah perwira. Jejak itu makin kuat ketika 'rasa bahasa' memudar dalam pola asuh keluarga-keluarga Bali. Secara serampangan adakah argumentasi yang kuat dan mendasar untuk menjawab: Apa pembeda pengucapan dan penulisan OM, UNG, UM, ONG? Ketika kebutuhan ' symbol dalam aksara" tiba-tiba segala diucapkan mengawali 'mantra' dengan OM yang dituliskan dengan 'ongkara' merujuk pada angka tiga dalam huruf Bali. Jangan dikaitkan dengan kelatahan serba 'tiga'. Jangan terburu dahulu.

Kata pengantar dalam pencatatan kapak tujeng riset ini memang mewakili keterbatasan dalam secara komplit. Saya tidak akan menyebut sebagai pendahuluan. Tetapi memulainya dengan kepemangkuan, itu disebabkan intuisinya meyakini; inilah lapisan dasar 'keagamaan' Hindu Bali itu. Walau kini seolah berada dalam 'lapis kedua' setelah pendeta. Sehingga sekarang betapa mudahnya sebenarnya melompat menjadi 'pemangku'.

Saya memulai dengan pertanyaan menggetarkan pada 'Ulu Ricem' yang menyebabkan terbacanya : AM, UM, MAM, TAM, AYM, KEM, JEM, SAM, SIM, IM, JEM, HREM, NGYAM, NGYOM, atau cobalah baca: WEH,IH, IM, EH, HE, HRE, HRYU, WYOT, AH, JENG, HRANG, HRIH, SAH: dst:  yang menyelip, diawal, ditengah, dibelakang pada tradisi Puja Saha pada dua tradisi manuskrip kepemangkuan baik Sangkul Putih maupun Kusuma Dewa bahkan nanti boleh dibandingkan dengan Agem-Ageman Pemangku pada era yang lebih muda. Beberapa 'kata' itu sebab berdasar system silabik dalam cara membaca hurufnya diberlakukan sebagai 'kata'. Jika secara prematur kemungkinan pola ' mantra' pada barisan tutur di Bali berinang pada tradisi 'Kitab' Kepemangkuan ini. Berbeda kemudian ketika system kelembagaan kependetaan itu muncul; kesyaratan akan 'ngalukun aksara' berkaitan dengan sasana kawikuan juga akan bercampur baur dangan konsep memahami kawisesaan, kadiatmikan, kebatinan, mistik bahkan era kini; sedang demam membahas tantra dan pasti merujuk pada beberapa 'tutur' yang isinya tentulah mengenai : mistik dan mistis dalam ajaran keagamaan Bali.

Pada Sang Kul Putih pada Puja Pange'raris' Toya misalnya; dapat disandingkan pemujaan 'air' di Bali mengarah pada 'Dewi' bukan pada "Dewa Wisnu' Atau pada yang dimaksud dengan Puja Pemungkah Weda dalam Kusuma Dewa : Pukulun Sang Hyang GURUREKA…(dst) perhatikan kemudian pada sebutan Puja Panugrahan Tri Liga: AM UM MAM AH pada akhirnya. Bandingkan lalu selipan kepengaruhan (masih premature dugaan ini): pada Panugrahan Siwa Lingga: UM (Bukan OM) MAM ONG MAM…(dst) juga perhatikan pada mantram Pasepan: ONG MAM…(dst) lalu AM Brahma pati…UM AM dan diakhir dengan ONG MAM.

Hanya dengan 'keynote' itu akan terbentang; bagaimana riwayat asal manusa menurut beberapa manuskrip Bali bandingkan dengan 'Weda'. Bagaimana kisah "asal manusia Bali' dalam mitologi Trunyan atau mana 'kisah Kamareka' bandingkan dengan kisah dalam Tantu Pagelaran, Canting Kuning, Atau dari Siwa Gama tebaran kisah suci. Karena itu ternyata sejauh ini dibela sungguh oleh : 'Desa-Kala-Patra' dan teori relativitas untuk memulai catatan Kapak Tujeng Riset ini; yang awalnya saya sebut 'mencari' desain agama perempuan dalam tradisi pemujaan di Bali. Ordinat, posisi saya kini sungguh jauh dengan  "deret tunggal itu' : hanya dengan instuisi dan berusaha tanpa beban, tanpa harapan apapun; untuk menuliskan akan GAMA BALI entah akan berguna bagi siapa? Ruang dan waktu itu memang tidak absolut. Membebaskan diri 'mental block' salah satu tantangan internal belum lagi menghadapi berbagai pertanyaan; mau mendokumenkan apakah? Jujurnya saya tak berani mengutip satu kalimat pun kalimat bijak. Menjelang akhir tahun saya hanya berucap; ya, saya mungkin mulat sarira. Itu saja kelak mungkin akan saya jadikan pengantar dalam Draft laporan Kapak Tujeng Riset ini. Lalu mungkin potret, mungkin film pendek. Baiklah. 'Kelanguan' lan 'kalangoan' dalam diri saya semoga tidak membuat semua sahabat dan guru 'jenuh' dan 'bosan' membina saya.

(selamat than baru 2020)

No comments:

Post a Comment