Naskah Arja Siki Bapaku Matahari, Ibuku Bidadari

ARJA SIKI
Proses saya kembali mencoba memahami Arja Siki, tidaklah mudah. Sebab ketika saya memulai melakukan penelitian di tahun 2005, hanya berdasarkan cerita para orang tua yang sempat melihat dan menonton kehadiran Arja Siki itu disekitar tahun1930-an sampai tahun 1959-an. Kondisi ekonomi Bali saat itu membuat banyak orang tak bisa lagi melanjutkan kelompok seni pertunjukannnya, sebab tidak ada uang untuk mengupah tampilnya seni pertunjukan. Karena itu, muncul kreasi Arja Siki, yang hadir di pasar, di tenten dan pasar malam; berbekal kadang kemong, kendang, bahkan kadang hanya bambu; para pragina bertutur berbagai kisah dengan tembang dan lelucon, tanpa busana panggung, kadang mecapil dan kadang hanya memakai gelung. Kisahnya pun tidak utuh, kadang seperti barisan tembang yang menggugah orang di pasar sekedar terhenti, lalu menyahuti. Arja Siki walau mengambil tembang-tembang dari khasanah pengarjaan, sejatinya tidak lagi menggunakan pakem arja. Hampir merupakan ekspresi bebas dari keadaan yang tengah membuat seni pertunjukan tak bisa manggung, sebab ekonomi tahun-tahun itu memang sungguhlah sulit. Pada tahun ini, tahun 2015. Untuk mencoba Arja siki memberi jejak, terutama bagaimana proses ‘rekontruksi’nya ke wilayah panggung, setelah dengan Bahaya Bukan Racun Tembakau, kemudian naskah Presiden Tonya, kini di festival nusantara bertempat di Toya Bungkah, Kintamani Bangli-Bali, saya menyusun naskah berjudul Bapaku Matahari, Ibuku Bidadari.  Sebagai tanggung jawab saya dalam proses kreatif. Naskah sederhana ini, pola cara menuliskannnya meniru bagaimana ‘sket’ cara penulisan naskah tahun 50-an, yakni antara narasi dan dialog (tembang) disatukan, dan saya mencoba menyusun tembang bebas (seperti itikad keberadaan  Arja Siki itu: bebas) maka saya mencoba menyusun tembang dalam bahasa inggris, indonesia dan bahasa bali, gaya japjapan.


JUDUL NASKAH :BAPAKU MATAHARI, IBUKU BIDADARI

PEMAHBAH

(SOLAH PRABANGSA/ KELIES penasar)

TEMBANG JAPJAPAN:

Om swasti astu, om awignam astu.  Mamitang  lugra atur pangubaktin titiang ring idapakulun batara batari sane malingga iriki. Tiang nembe pedek tangkil. Nunas panugraha, paswecan ida, mangde sami sadya rahayu. Nemu ning kayun. Pakedek pakenyung.

(MEDAL kelies DEMANG-DEMUNG/ angsel penasar)

Puniki titiang ngaturang arja siki, sane dumun kasumbung ring jagat Bali, nanging mangkin sekadi sasenggak luas belus tuh ilang. Titiang belog malih ajum, purun jamprah ngewangun malih, mangde ida dane sareng sami nenten menggah piduka. Mangde nenten ical, puniki warisan seni; sane mawasta arja siki. Yen sane pidan, titiang ngundar bilang pasar. Kadenang buduh sing ngelah tongos mesayuban. Tunasang titiang hujan lepeg mangde polih kenyeman. Katundung ulian lacur, mangkin tiang sampun dados juru parkir, juru dayung ring sagete dados guide dadakan. Iriki ring batur mula kamulan jagat. Pulina Bali pulihin pisan.

Titiang puniki asli wong gunung, lekad mentik neruna iriki. Ben jengah wenten festival, tiang pongah juari ngaturang sasolahan. Wiadin ten becik jeg tunas tiang tepuk tangan. Apang semangat buin ngilangang bayu nurdar.

Mapan titiang jagi ngojah pemargin sane lami, duk tan hana paran-paran, naweg jagate kantun suwung mangmung ring nusa bali. Duk punika mawasta walipura. Gelgel ring kampare saking sesaji sekar metumpukan. Dados lelemekan, mentik i punyan cendane.

Ida dane, semeton sami

Welcome to nusantara festival, at toya bungkah, kintamani bali

Tonight, i'm going to tell you a very old story...
I am pologize before, if  iam wrong
In the past

In this place, day or night is not exist.
There is no life, there are only lines of frangrant trees.

Appealed by the scents, the angel flies close approaching this place.

the sun is my Holy Father, the Angels is Holy Mother

was raised by the fragrance and the eruption of the volcano gives me a lake.

Now
My mother rides a golden dragon, my father gives 4 lakes;

thus is essence of me




BATANG -- ISI

(MAGENTOS GELUNG, TETIKES MANTRI BUDUH, TEMBANG DANDANG GUYU)

Perkenalkan saya, saya ini matahari. Mahluk agung yang paling dicintai Hyang Widi Bahkan siwa, jatuh hati. Memberi gelar yang sama pada saya; surya raditya

Nama kecil saya srengenge, sebab mata saya cemerlang dari awal mula Itu sebabnya saya ditugaskan untuk membagi cahaya

Saya tegaskan, saya ini paling tampan di semesta

Seluruh penghuni kahyangan tergila-gila pada saya

Tapi saya bukan lelaki gampangan

Tak mudah saya jatuh cinta

Sungguh hati saya diliputi kesepian

Dan sepi tak pernah sendirian

(GIMICK, GESTURE, SAAT BIDADARI TURUN DARI KAHYANGAN)

Seorang bidadari tengah terbang rendah, mencari-cari sumber keharuman di bumi.  Sungguh kagum dia saat menemukan sumber keharuman yang terkuat berasal dari sepulau kosong tak berpenghuni.  Segera ia menjejakkan kakinya ke tanah, menghirup keharuman sepuas hati. Berputar-putar berlarian diantara barisan pohon-pohon yang tak putus-putusnya mengeluarkan bau semerbak mewangi.

(TANJEK GALUH, NGALEGONG GUYU)

Matahari
yang sepanjang waktu bertugas menyinari bumi, mengeringkan kelembaban, hari itu sungguh terkejut melihat kelebatan perempuan jelita yang tengah menyusup diantara pepohonan, dengan penuh rasa ingin tahu matahari melepas sinar cemerlang dari kedua bola matanya. Dan sungguh hatinya terpesona melihat kecantikan perempuan jelita itu. Dengan jenaka diikutinya gerak perempuan itukemanapun di pulau itu. Hingga perempuan itu sadar dan merasa diintip dan terganggu:

Sapa itu yang berkelebat diantara pepohonan?

Bayangannya menusuk mata

Jantung bergetar, hati gundah gulana

(NABDAB BUSANA LAN GELUNG)

Bidadar itu  pun tersentak, menyahut dengan kesal:

Iiih,
“Duh, dewa ratu ngude jro-ne
Pongah juari ngintilin tiang

Tosing nawang tata krama

Tata susila dadi betare”

Karena terkejut dituding tiba-tiba, matahari menyurup jauh ke angkasa. Bidadari itu lega, karena mengira bebas dari gangguan, kembalilah ia bersenang-senang, setengah melayang menembus pohon-pohon;

Uli dije miiik teke

Engken puarane dadi mesuang miik

Nyen ngajahin i dewa jak makejang

Kanti langite kapompong...

Ngalub nuek kahyangan




(PAUSE. TEKNIK MUNCUL DEMANG GUYU)

Lagi, matahari mendekat, membuat bidadari itu tersengat cahaya, ia berlari dan matahari mengejar dengan sinarnya, hingga dentam kaki bidadari akibat berlari sekuat tenaga membuat tanah terbelah, retak, dan batu-batu bermunculan, gunung tinggi menggeliat dari muka bumi. Goa-goa terbentuk. Bidadari itu berlari, menghindari kejaran cahaya, lalu sembunyi di sebuah ceruk dalam goa.

Disana sang matahari kehilangan jejak, kelimpungan melempas cahayanya: lalu pelahan menyapa dengan suara sedih: (petikan tembang bladbadan/ dukuh seledri)

duhsasuhunan sang kadi ratih

cingak ratu tiang

dumadak ledang kayune

ngicen titiang pamayuh

pangi kaput dong olasin

titiang maboreh tangkah

buwat ring i ratu

madon jaka makaronan

cedok sanggah

mamanah pacang ngelanting

don biu tuh nemuang raras

masaratang ngalih engket angi

nadaksara
majukut dinatah
lelor antuk ulangune
bin pidan ratu kayun
belus lepegan ngeyemin
meh sampun makunyit dialas
matemu titiang nyadia memarekan
mangaula
dong ngiring matali besi
Nganten sabanen festival



Bidadari yang kesal, dengan judesnya menjawab:

Iiih,
kamu...

Belum
apa-apa ngajakin kawin

Enak aja emangnya saya apa-aan...

Pergilah,
pergi jauh jauh ke laut sana

Saya bahagia sendiri

i am single but
i'm happy.

being single is my choice, so, dont disturb me!

Please...


Matahari tidak mau menyerah, memperlihatkan wujud ketampanannnya:

Duh adi,

Mas mirah ede je nakutin lelakut

Alah kedise pakeberber

Nang sayang tiang sayang, sayangang tiang

Sayangang

Osing luung padidian digumine suwung

Keneh mangmung nyanan bingung

Magih matali besi ajak tiang...



Bidadari itu, melengos kesal:

Why you disturb me?

What are you? you dont have an attitude

Love is not easy, i am single but happy

Enjoy  my lonely life

Please, go away from me

If you dont

I am angry......




Matahari terus bergumam, cahaya menebar memenuhi permukaan bumi, mangkin mendekat, makin menguat cahaya itu. Pecah gelombang gelombang sinar, gunung meledak lahir empat danau. Bidadari itu mengendari naga emas, kecipak air terdengar.

My Holy Father the sun

My Holy Mother the angel

Now

I am here.



(TEMBANG PAMUPUT) TELAS
Naskah ini hanya sebagai pemandu. Prosesnya akan sangat tergantung dengan situasi penonton. Untuk pentas tanggal 16 AGustus, Jam 18.00 Wita, di Toya Bongkah, Kintamani, Bangli- Bali, Arja Siki berjudul Bapaku Matahari, Ibuku Bidadari akan diiringi sekeha geguntang Manik Suari, pimpinan  Pak Mandra, Penata Busana @ Adi Siput Mkp.

Makaula Guru - Siwa Gama (BAG. 5)

Ketika film Mahadev ditayangkan di televisi. Banyak kawan yang saya kenal, menjadi penggemarnya. Banyak pula yang bertanya-tanya dalam hati, seperti itukah kisahnya Siwa (?) Bahkan kemudian beberapa kawan memasang potret-potret, lalu mengira itulah ‘rupa dan wajah’  dari hakekat. Bahkan beberapa diantaranya meniru-niru pola kostumnya, make-up: megoreskan cendana didahinya, mengalungkan kalung dan trend kemudian gelang-gelang dengan iming-iming 'tameng suci' dll. Sungguhlah berbeda jika belajar Ma-kaula guru ini dalam tradisi Siwa Gama. Bagian sargah yang akan memaparkan bagaimana ‘runutan’ kejadian penciptaan semesta itu akan menegur mereka yang menjadikan gambar dan khayalan kisah sebagai tindakan keseharian.

Tatwa-widhi (widhitatwa), begitu dinamakan, tatwa-mahasunya, itu juga namanya, tak terbayangkan. Pada bagian Raja Pranaraga (nama ini sesungguhnya juga nama hakekat), mempertanyakan tentang: kimpunah devamapnoti, catur lokapala jneyah, ghandarva vidhyadharasca, prassadhascaiva ucyate, kalimat ini adalah pertanyaan, walau dituliskan dan diucapkan dalam bahasa sansekerta, artinya begini ; dari manakah asal usul Sanghyang Catur Lokapala, Gandarwa, Kinnara dan Widyara? Itu sebabnya orang bali menggunakan gugon tuwon, tapi janganlah mudah idepan (janganlah mudah percaya)—sebab beberapa kawan mengira, asal dituliskan dan diucapkan dalam bahasa sansekerta itu mantra! Sehingga ‘mensucikannya’. Karena itu dalam Ma-kaula guru, prinsipnya adalah : harus bertanya kembali ke gaman (pegangannya) sendiri. Perhatikan kemudian bagaimana ketika Sanghyang Brahma selesai menciptakan alam semesta, dikisahkan dia segera melakukan Yoga, memusatkan batin kepada Sang Hyang Adisuksma, dia Sang Hyang Triwindu merupakan badan rahasia. Dari proses Yoga itu; muncul dari batin kehalusan (yang supra halus): sabda tan matra, itu yang sering dipanggil Sang Hyang Druwa. Lalu dari bayangan benih rupa, ini yang disebut rupa tan matra, ini dipanggil Sang Hyang Agni Dewa. Lalu dari lubuk batinnya muncul pradananya, Bhatari Uma sebutannya. Muncul dari yoga itu, dewi Prasuti dan Dewi Asiksiki. Dari batin purusanya lahir Sang Hyang Dharma, diberi tugas sebagai dewanya siang. Dari posisi Brahmayoganya, maka lahir pula Sanghyang Prajapati. Agar memudahkan mereka semua yang sebenarnya ‘tak terbayangkan’ dibayangkan sebagai putra dan putri dari ciptaan. Sama seperti bagaimana Sang Hyang Adi Suksma menyebut catur dewata ataukah saat menyebut Pratanjala dan Uma; sebagai putra-putrinya.Tetapi harus ini cara menjembatani keterbatasan manusia itu sendiri.Dari awal telah dikatakan; Sang Hyang Adi Suksma itu tak berwujud, tak berkelamin....serba tak, juga serba dapat; tanpa tangan pun dapat menjangkau, tanpa telinga dapat mendengar...betapa tidak mudah jika proses belajar ini dengan saklek seperti yang ‘sesungguhnya’ hakekat itu.

Perhatikan bagaimana dan dimana, lalu apa sebenarnya mereka yang dipuja itu. Lalu jika dilanjutkan bahwa dalam yoga Sang Hyang Brahma itu memusatkan batinnya ke Sang Hyang Adi Suksma,dalam antara-antara purusa dan pradana, muncul bayangan yang digerakkan oleh pranabayu (tenaga nafas kehidupan), terjadi dalam pertemuan air api, kejadiannya demikian dahsyat, meneggetarkan maka lahirlah Sanghyang Metrujala. Karena itu dalam keseharian orang membayangkan kelahiran dan kematian tak ubahnya membayangkan Kala Mertyu, begitu menggetarkan dan menciutkan hati, sebab keduanya digerakan oleh tenaga kehidupan yang kekuatannya tak tertandingi. Tak ada yang bisa mencegah kelahiran, begitu pula kematian. Tak cuma itu saja yang tercipta dalam Yoga Batara Brahma kepada Hyang Widhi, lahir kemudian bagi dunia fana yang dikenal dengan nama Dewi Tri Purusa; Dewi Saraswati, Dewi Sri dan Dewi Sadhana. Dari penciuman (ganda tan matra) dalam yoga agung itu muncul Bhatari Bumi, dari batinnya lahir Sanghyang Sanatkumara. Perhatikan baik-baik bagaimana cara Siwa Gama, sebagai dasar memahami ‘Widi” dan “Sunya”. Kemudian ketika Wisnuyoga menghadap batinnya kepada Hyang Widi; lahirlah Sang Budha, Sang Bala, Sanghyang swayambhumanu...dst, jumlah empat belas, semuanya lelaki. Lalu dari Iswarayoga; lahirlah Sang Kasyapa, Sang Balikilya, Sang Merdu. Sang Tumburu, Sang Kapila. Sebab semua memusatkan yoganya kepada Hyang Widhi maka dari Paramanirbhawa (nirwana tertinggi) lahir barisan ini Sang Pitra, Sang Marici, Sang Bhregu,Sang anggira, Sang Pulasti, Sang Pulaha, Sang Kretu, Sang Dhaksa, Sang Atri, Sang Garga, Sang wasista, Sang Nilalohita. Semua itu adalah maharesi surgawi.

Dalam Ma-kaula guru ini bila berpegang kepada Siwa Gama, perhatikan Daksa paranem akhyatam, jadi ciptaan Brahmayoga itu bernama Sang Prasuti dan Sang Asiksiki dikawinkan dengan Sang Daksa yang tercipta dari Iswarayoga.Tidaklah sama seperti membayangkan perkawinan antar manusia, dengan tubuhnya ini; mereka itu sesungguhnya berbadan mulia;inilah yang biasanya lama sekali menjadi bagian perenungan, perdebatan,agar jangan jatuh dalam langgam mudah idepan. Inilah juga menjadi tanda pembeda Hindu Bali dengan Hindu di India. Tak akan ditemukan nama-nama dalam di pura ataukah merajan orang bali: gambar atukah lukisan ‘merupakan’ wajah-wajah itu. Bahkan kisah Sang Daksa, yang kelak nantinya menjadi ‘pembayangan’ yang paling dekat dalam batas memahami elemen-elemen kesemestaan dari berbagai unsur yang bermuara kepada sabda tan matra, rupa tan matra, dan ganda tan matra. Itu sebabnya, Siwa Gama ini begitu berat dipelajari kecuali dengan cara Ma-Kaula Guru itu. Jika dipelajari dengan harfiah, jatuhnya akan kepada khayalan-khayalan, mengira itu dongeng. Padahal, bagaimana Hindu Bali memberi kesantunan pikiran untuk memahami awal mula penciptaan itu, memberi dasar-dasar keyakinan bagaimana lapisan-lapisan supra-misteri yang harus pelahan dipahami, tidak mudah idepan, itu kata orang tua bila menasehati bila ada anak-anaknya tiba merasa tahu akan betara-betaranya. Sebab kemampuan filologi dan idiomatika, sangat diperlukan untuk perlahan-lahan memahami bagaimana perilaku spiritual itu dalam Hindu Bali, bagaimana tubuh religius yang hadir dalam upacara-upacara, dan bagaimana bait suci weda itu yang dipilih bagi kehidupankeseharian, agar seperti yang telah disampaikan; jika tak tahu yang disembah,pastilah ucapan doamu juga tak sampai. Jika tak tahu menyembah, pastilah takada yang disembah. Sembah ini sebenarnyaa kunci pembeda Hindu Bali dengan Hindu lainnya di dunia ini.

(BERSAMBUNG- mulai letih pikiran ini, semoga dicerahkan hati)

Makaula Guru - Siwa Gama (BAG. 4)

"Prashivena viramanti"

Ling bhupati, kadyangapa marmanya, maka nimitta Bhatara Siwa sinembah de nikang dewata kabeh, denyan akweh para dewata, padha mahottama angganira, padha wnang paran ing sembah, pinaka pangupadyayan.

Bukankah kini sering yang tak lagi belajar Gama Bali itu, mempertanyakan mengapa Batara Siwa dipuja oleh semua dewata padahal banyak para dewata pada mulia tubuhnya, pada pantas dijadikana sasaran sembah, dijadikan guru?—pertanyaan itu, disampikan juga oleh Raja Pranaraga, mewakili kekinian. Menjelaskan secara lembut, Hindu Bali memang garis sivaitnya adalah Siwa Sidhanta, Budhanya adalah Wajrayana, dan ada juga Waisnawa Bali, ketiganya akan hadir dalam upacara besar sebagai yang bertugas; memohon tirta tri sadaka. Ini adalah bersatunya kekuatan tiga mantra tersuci; yang dalam keyakinan Hindu Bali akan menjadi ‘penghubung’ antara bhuwana agung dan bhuwana alit.

Dalam Ma-kaula Guru, jika muncul pertanyaan seperti ini, maka dijawab dengan mengulang kisah awalan terciptanya semesta; Dahulu, pada mulanya, ketika disebut sebagai Sang Hyang Acintya, yang menyuruh empat putranya (ciptaannya) yang pertama, yakni menciptakan dunia di empat penjuru. Keempat putranya itu menolak, bahkan mempertanyakan:  mereka kemudian dikutuk, lenyap ke caturdasamanu. Ini pun ada penjelasnnya, bahwa ketika disebut Sanghyang Hanarawang, menciptakan bayu (kekuatan/nafas) sebanyak 30 jenis, beserta namanya masing-masing. Yang paling awal diciptakan itu berjumlah 14 caturdasamanu, dibawahnya itu Sang Hyang Bayu, yang bungsu sebanyak enam belas; itulah merupakan jiwa alam semesta. Bayangkanlah lapisan-lapisan misteri itu, lapisan kekuatan nafas semesta ini.

Disebabkan empat putranya itu menolak, maka Sanghyang Adi Sukma metitahkan putra kembar buncing: Pratanjala dan Canting Kuning. Tak terbayangkan kegaibannya, kedua baru lahir dari penciptaan, menerima perintah penciptaan dunia. Keduanya bersedia dan diberi anugrah utama, seketika keduanya berubah menjadi ardhanareswari, yakni inilah awalnya dalam Hindu Bali disebut Uma-Pratanjala, Diciptakanlah laut serta danau, keduanya dipuja dengan sebutan Ganggasoma, Pratanjalan disebut Bhagawan Gangga.  Lalu sejak itu Bhatari Gangga diberi anugrah menjadi dewa laut dan dewa danau, dia juga adalah tempat air sucinya dunia. Setelah kejadian itu, barulah Catur dewata memohon maaf atas segala kelancangannya. Sebutan ketika kelembutan hati itulah disebut Batara Guru. Di Bali selalu ada namanya sajen Guru Piduka, tujuannya adalah memetik kelembutan hati Hyang Widi. Itulah awalnya mengapa Batara Siwa (Pratanjala) dipuja lebih dari yang lainnya, sebab bersama Uma, dialah yang menjalanka titah penciptaan.

Proses Ma-kaula Guru sebenarnya diakui meletihkan pikiran oleh Raja Pranaraga. Itu sebabnya harus disampaikan dengan banyak kisah. Namun tradisi ini adalah cara pendidikan yang sangat kritis, dialog-dialognya penuh gugahan, mempertanyakan, meragukan bahkan, ada bagian dari Sargah dalam Siwa Gama ini, disaat letih pikiran, maka dipertanyakan, kesucian Batara Surya, bahkan dengan terbuka diucapkan bahwa apakah mereka itu, tak lebih dari tiga bumi? Suryakanta, candrakanta dan manikanta, apakah mereka tidak lain hanyalah batu? Dahsyat sekali pertanyaan ini. Itu sebabnya, dijawab dengan hati-hati, lihatlah Agni, bukankah dia nampak memangsa segalanya? Namun sesungguhnya, hakikat dia, tidaklah kotor, ia tidak mengisi perut dan tubuhnya dengan mangsanya. Begitu Batara Surya, dia memang bertubuh matahari, namun bukan dia yang engkau puja. Sebab hakikatnya, yang menjadi saksi, menjadi pembersih duka lara adalah Hyang Widhi, dalam mata dunia, keduanya itu hanyalah sinar yang membakar.

Dari sargah inilah maka sebutan Batara Guru akan muncul, dari bagian inilah akan lahir tradisi kependetaan di Bali. Tradisi melukat. Makaula Guru ini dasarnya adalah keyakinan, Ma-gama itutidaklah untuk dihitung dengan rasio, namun keyakinan. Proses pembelajarannya sungguhlah sangat meletihkan, itu sebabnya kadang-kadang disisihkan, tidak diajarkan secara utuh. Sebab saat mendengarkan penjelasannya, akan menggugah hati siapapun untuk bertanya secara kritis, namun jawabannya harus dengan sabar dipahami.

(BERSAMBUNG, kantun melajah)

Makaula Guru - Siwa Gama (BAG. 3)

Betapa sering gugupnya ditengah negara yang mematok definisi agama. Banyak anak muda Bali yang pergi merantau jauh dari pulaunya, mengalami kesulitan apabila disindir, apa yang kalian sembah? Bahkan beberapa kawan yang merasa telah dicerahkan, ikutan bertanya, mempertanyakan bagian terpenting dari Agama Hindu Bali itu: sembah. Dalam makaula guru, para orang tua di bali dengan gugon tuwon menjelaskan mengenai ‘hirarkie’ sembah kepada siapa ‘boleh’ bila itu sembah yang dilakukan disaat sama-sama hidup, pada pura mana atau bagian mana saja yang ‘boleh’ disembah. Atau sama sekali: tidak boleh. Kerap bagi yang tak mengertu tentang wahyadhyatmika ning sembah (pemujaan lahir batin) akan salah kaprah, terutama apabila ada kebaruan dalam hubungan kekeluargaan, yang satu merasa direndahkan, yang lain dianggap  terlalu arogan; disebabkan penjelasan mengenai soal sembah ini dilakukan dengan gugon tuwon: de, nak mule keto!

Raja Pranaraga, yang duduk di dekat kaki sang guru, mempertanyakan hal ini, mewakili kita yang memang di zaman ini merasa setara dan bebas memutuskan soal sembah. Maka Sang guru menjawab dengan gambaran bahwa itu disebabkan ada banyak cara pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat karena ada catur loka pala, ada panca dewata, ada asta dewata, ada pitara, ada tanah, adaa langit, ada guru, bapak-ibu, lalu ada pura, meru, sanggah terutama laut, danau, bukankah bagi Hindu Bali, itu semua dipujanya?—Itulah yang membingungkan pikiran Raja Pranaraga, murid yang mewakili kebingungan kita.

Diingatkan dalam makaula guru ini, prinsip kehati-hatian untuk tidak terburu-buru, berprasangka, sebab berguru mengenai tatwa, tidak hanya kecerdasan dan ketekunan, namun juga kelapangan hati untuk menghadapi ketidaktahuan diri. Pendeta agung, Danghyang Asmaranatha memberi jawaban kepadaa kebingungan dengan,” sebabnya banyak yang menerima sembah, sebab satulah Dia yang disembah dengan yang menyembah.Jika tidak ada yang menyembah, maka tidak ada yang disembah. Ida Sang Hyang Widi, sang hita wakya, sebab sebenarnya antara Atma dengan Dewa (batara) itu tunggal. Sang Hyang Widi merupakan wujud alam semesta, siang dan malam membayanginya, senantiasa mengetahui baik buruknya dunia, segala mahluk hidup dan mati, semua tumbuh dari tubuh Hyang Widi, sebagai permainan dalam baik-buruknya kebenaran dan harta. Segala yang lebih mulia dan pantas dihormati. Segala yang lebih rendah sebagai sarana pantas menyembah. Itulah alatnya dharma. Keduanya itu, dianggap Sang Hyang Widi, karena sesungguhnya manusia yang hidup itu kotor (amat) dan penuh dosa. Jika kalian tidak menyembah Widi, kalian artinya tidak menyembah leluhur. Hanya saja ketika ia masih hidup, manusia dia, namun bila dia mati, jika suka berbantah-bantah soal ini, semoga ia dilahirkan kembali menjadi lintah, cacing, ular kecil, rayap, dll.

Perhatikan dengan hati-hati penjelasan di atas. Bagi orang Bali soal sembah kenapa para orang tua sangat ketat dan bahkan terkesan fanatik,sebab jika sembah tidak dalam keperluannya; maka itu menyembah kepada yang tiada menerima sembah. Maka diingatkan bahwa ada tata cara menyembah, bagaimana memahami pradana Hyang Widi di dalam diri, itu sering dalam bahasa para yogi disebut Dewi Nirjnani, tak peduli laki atau perempuan; semuanya memiliki dewi dalam dirinya; inilah dewanya kelepasan, yang bersemayam di tengah padma, dilautan madhu, berpayung padma angalayang. Itulah yang seharusnya menjadi Gama, yakni memahami yang ada dalam diri, sehingga memahami kemudian pradana itu, yang sesungguhnya dalam diri sebagai Hyang Kabuyutan. Dengan cara demikian,maka tata cara menyembah, aturan menyembah tidak akan membuat siapapun merasa tak nyaman: sebabnya dia tahu menyembah kepada apa.

Siwa Gama sebenarnya telah menyiapkan umat Hindu Bali untuk bertemu dengan keraguan masa depan akan keyakinannya sendiri. Pada Sargah ini, ditanyakan pula, siapa asta dewata itu? Mengapa ada dewi-dewinya? Lalu siapa Yamadhipa itu? ---Itu sebab orang tua di Bali, selalu menularkan pengetahuan ini dengan cerita, sebab jika cerita bagi anak-anak dan remaja, tidak akan menimbulkan protes dan ekspresi yang menegasi.  Mengenai Asta Dewata ini, selalu diceritakan dengan kisah bahwa dahulu kala, saat terbayangkan, bumi ini belum ada, belum ada kehidupan. Sang Hyang Adi Sukma murka dan kecewa kepada putra-putranya yang dikenal dengan sebutan Catur Dewata (bukan catur dewa!): catur dewata! Yaitu Sang Kusika, Sang Garga, Sang Maitri dan Sang Kurusya. Sebab keempat putranya itu adalah badan Hyang Widi, maka disebut pula catur cadhu sakti namun karena menolak titah Hyang widi, dikutuk dan jatuh menjadi catur bhuta. Dalam sekejap entah mengapa Hyang widi menciptakan kembali Catur Dewata. Ini yang biasanya disebut Siwareka. Sebab seperti terjadi duplikasi; nga-reka. Dari sinilah ajaran tatwa mreta lahir. Ajaran ini disambut oleh Pratanjala yang diciptakan kembar dampit dengan canting kuning. Maka sang catur dewata itu berubah akibat Pratanjala bergabung menjadi Pancasiwa, lalu Hyang widi menampakan dirinya kemudian dalam batinya Siwareka, melengkapi itulah; yang disebut astadewata. Memang tidak mudah untuk belajar mengenai tattwa Siwa Gama ini, bukan karena disembunyikan, bukan karena difanatikan oleh para guru, namun jika tidak hati-hati maka tersalahpahami. Perhatikan kemudian bahwa keempat Cadusakti itu, yang juga merupakan sabda gaib dari Hyang widi, yang disebabkan mempertanyakan perintah awal penciptaan semesta berubah menjadi penampakan yang menakutkan. Kisah-kisah dalam rumah tangga bali, pastilah akrab dengan nama-nama: Sang Jogormanik, Sang Yamapati, Sang Dorakala, dan Sang Citragopta.

Lalu dimana letaknya Weda? Selalu penganut Hindu di era ini, setelah merasa telah berjalan-jalan ke berbagai belahan dunia membutuhkan ayat suci untuk mendandani badan religiusnya sebagai penganut Hindu. Dalam Siwa Gama, maka salah satu ayat yang kini digunakan sebagai bagian ayat Tri Sandya; Om Ksmasvamam mahadevah, sarva prani hitangkarah, mam moca sarva papebyah, palayaswa sadasiwa, itu adalah ayat suci yang diucapkan oleh catur dewata ketika memohon ampun kepada Hyang widi, memohon atas segala kesalahan, ucapan ini datang dari dua dewata yang bungsu, lalu disusul oleh dua dewata lainnya: Om ksamasvamam jagatnatha, sarva papa nirantaram, mam mocca sarvapapebhyah, palayaswa sadasiwa. Itu sebabnya; mantram pemujaan kepada siwa terdiri atas dua permakluman. Bagi orang Hindu Bali kenapa tidak mau sembarang mengajarkan anak-anaknya mantram weda, disebabkan Siwa Gama, yakni jika tak tahu mengapa ayat suci itu diwahyukan, maka membaca ayat suci sama saja dengan cuma menggumamkan kata-kata. Inilah kaitan mengapa dalam Hindu Bali sembah dan mengucapkan weda itu selalu dengan sikap hati-hati, kesannya memilih dan tertutup. Tidak bisalah kemudian, karena trend mudahnya membeli kitab weda, membuat sembarang dapat membacanya. Bukan badan religi yang dikejar, tetapi sejatinya Ma-gama.
(BERSAMBUNG, kantun melajah, kirang langkung ampurayang)

Makaula Guru - Siwa Gama (BAG. 2)

Seseorang yang mengaku spiritualis, rajin latihan yoga, menggagas kursus meditasi dan yoga, bertanya dengan skeptis; dimana letaknya Weda dalam Hindu Bali (?) Sambil berseloroh hampir saya menjawab dengan isyarat tangan; telunjuk mengarah ke dalam dada. Tetapi tentu ini tidaklah akan menenangkan kegairahan hatinya yang tengah merasa mensucikan dirinya.--- Dalam Siwa Gama, Gama itu berarti pegangan, mendasari untuk menjalankan perilaku spiritual dan religiusitas. Telah dipercakapan dengan sangat indah. Bayangkanlah, ketika membaca: bait suci tentang catur asrama, penjelasannya, karena ‘beliau’ menguasai trikaya parisudha, yang dinamakan wiku catur, dia yang datang tanpa kereta,‘seseorang’ yang duduk diatas batu tunggal, ‘dia’ yang tanpa menikah, ‘dia’ yang menjadi pendeta sejak kanak-kanak, ia yang tahu melaksana suryasevana, yang mampu melakukan penyucian atas dirinya sendiri. Bayangkan, bagaimana caranya kemudian mencari padanan mengajarkan bait suci kepada penganut yang awam. Maka dalam bentuk dialog dipercakapan; tanya jawab, dimanakah dia itu tempatnya dalam diriku? Lalu dijawab: dalam tri kaya Parisudha. Yang manakah disebut Trikaya? –yakni pada Kayika (tindakan), wacika (ucapan), manacika (pikiran) yang dibersihkan dengan keluhuran budi.

Lalu siapakah yang menjadi saksi bagi orang berbudi luhur? Tentulah Sang Hyang Adisukma, karena dialah Ida Sang Hyang Widi yang menunggal dalam diri, dikeliling lingkaran tiga windu, yaitu pangkal, di tengah dan di ujung. Maka pertanyaan yang skeptis lalu dijawab mantram sucinya: Om om siwaya namah/ Om om sadasiwaya namah/ Om om Paramasiwaya namah.

Jadi, awalan Ma-gama dalam kaula guru dipengajaran Hindu Bali,berbeda dengan gaya-gaya dogma, yang dikenalkan adalah hakikat; perintah bait sucinya adalah; dia yang menyembah  keberadaan Sang Tripramana, Triguna,Triajnana, sebagai benih yang diciptakan Sang Hyang Widhi. Lalu pelahan diperkenalkan makna suara wyanjana, Om maksudnya purusa. Om artinya pradana. Perhatikan (maksud dengan arti). Cobalah kini, betapa banyak orang Bali menyebut dan mengutip mantram siwa ini, tetapi tidak dimulai dengan makaula guru. Padahal bait suci ini sungguhlah memiliki kedalaman hakikat. Jadi jika ditanya, dimana sih letak weda itu dalam Hindu Bali, maka mulai dijawab dengan penjelasan hakikat.  Om Om itu Samyoga, yakni Siwa, itu dinamakan penunggalan, bisa datang dan pergi. Di sini ditegaskan bahwa Om Siwa Ya Namah adalah permulaan sembah. Puncak mantranya adalah Hrang, ini dalam cara pengajarannya diyakinkan bahwa melekat dalam dirimu; jadi apabila melakukan sembah kepada Hyang Widhi, otomatis manunggal dalam diri,sedangkan penjelasan untuk Om Om Sadasiwa, ini disebutkan sebagai bagian Aksara suci yakni Sa bersatu dengan Aksara Da, danti ditimbulkan oleh aranga, ini yang disebut teknik mengucapkan dengan antaswara, dia yang manunggal dalam diri saat muspa, kemudian dalam ketaknyataan itu puncak mantranya Hring; ini berada jauh dalam diri, terbagian dalam, ini disebut abyantara.

Dapat dibayangkan mengapa para leluhur penganut Agama Hindu Bali ini saat mengajarkan, mewariskan bait-bait sucinya dengan pola asuh yang bijak,yang sesuai dengan kemampuan anak cucunya. Juga seperti telah memperkirakan bahwa kelak ketika zaman mengadu pengetahuan yang didapatkan manusia dengan keyakinan beragama, pasti akan mempertanyakan hal ini; banyak sekali aku mendengarkan doa ini, mantra ini, “Om Hrang Hring Sah Paramasiwa ditya ya namah”—ini adalah pertanyaan yang kritis sekali, bagaimana sebenarnya posisi Sang Hyang Surya dengan Siwa Ditya. Bahwa dalam kehidupan Hindu Bali tentulah dekat sekali dengan pemujaan kepada Surya Candra. Dalam tradisi pengasuhan di bali, ini tidak akan dijawab dengan membedahkan per kata dari bait suci, walau secara filologi bisa dijelaskan. Tetapi biasanya dalam tradisi Bali, para orang tua akan mencerita kisah tujuh dewa, disampaikan menjelang tidur oleh nenek atau kakeknya: dahulu kala ada Batara (cara orang bali menyebut dewa), batara Wrehaspati, Batara Soma, Batara Bhanu, Batara Budha, Batara Anggara dan Batara Saniscara menghadap Batara Siwa, menyampaikan permohonanannya, lalu Batara Siwa meanugrahkan kesaktian. Nah, setelah semua batara itu diberikan anugrah datanglah batara surya, batara siwa sangat sayang kepada batara surya, diberikan anugrah dapat melihat atma, disitu diberikan gelar Parama Siwaditya menyamai batara siwa; karena itu Batara surya menyebutkan Batara Siwa sebagai Batara Guru, juga mempersembahkan tempat di pantara sunya (kosong) itu awalnya para pengajar disebut guru dan pemujaan batara guru diberi tempat pengaskaraan yaitu suatu tempat kehormatan dalam upacara. Batara Siwa membalas dengan tambahan anugrah kepada batara surya sebagai saksi alam semesta, mengetahui baik-buruk perbuatan manusia dan persembahannya, besar atau kecil, batara surya semenjak itu disembah dalam semua kegiatan upacara.

Kitab suci Siwa Gama ini memang mewarisi tradisi upanisad, duduk dekat kaki sang guru, terjadi dialog-dialog yang kritis, tidak ada keraguan untuk menyampaikan keraguan, dalam bait suci sargah ini; Raja Pranaraga bahkan meminta menjelaskan ulang Sanghyang Acintya, Sanghyang Taya, Sanghyang Hanarawang. Disampaikan dengan pertanyaan tajam, apakah itu dewa-dewa yang berbeda-beda, kalau berbeda apa bedanya, kalau sama apa samanya? Sebab dimana-mana orang memuja, berdoa kepada Sang Hyang Acintya Taya, menyebutnya Sang Hyang Licin, yang ditanyakan adalah hakikatnya.

Bait-bait suci ini menjelaskan mengenai kejadian ketika Sanghyang adisuksma menciptakan Akasa sebagai jalan bayu,sabda, idep, ketika dalam pertemuan yoganya maka terciptalah akasa dalam keadaan tidak menentu, muncul bersama Sanghyang Tatwajnana, Sang Hyang Anu, yang merupakan orangtua batara bayu, sabda, idep; ingatlah dalam banyak nyanyian misalnya: bibi anu...lamun payu....begitulah caranya orang bali mengenalkan bagian dari mengapa kemudian ada sebutan Sang Hyang Hanarawang. Jadi gelar, sebutan itu dalam tradisi Agama Hindu Bali memiliki argumentasi spiritual dalam bait suci, untuk Sang Hyang Licin disebutkan itulah tujuan batin yang paling rahasia, dapat dimasuki oleh tatwajnana, keberadaannya dalam windu yang sepi, dicangkok oleh sinar rahasia, para yogi agung akan mengatakan itu tempat kekosongan tertinggi, yang melihat walau tak bermata, yang mencium walau tak berhidung, berkata walau tak bermulut, mendengar tanpa telinga, menjamah tanpa tangan, berjalan tanpa kaki, berkarsa tanpa hati. Dia tak berbadan. Alam semesta inilah badannya, dia tanpa ayah-ibu, dialah sang hyang licin, sedangkan untuk Sang Hyang Acintya itu adalah apabila Sang Hyang Adisukma keluar dari windu yang mengembang memberi anugrah kepada orang yang mengerti tatwajnana, dibayangkan sebagai orang kerdil: wewelan, tanpa cawat, tanpa alat kelamin; inilah pembayangan yang paling mudah dipahami oleh pemujanya yang awam. Sedang Sang Hyang Taya, dalam tradisi umat Hindu Bali inilah menjadi dwistasastra, suara yang datang dan pergi. Taya artinya juga niskala, dapat berwujud dan tak berwujud inilah hakikat sadasiwa, itulah juga kelak disebut Sang Hyang Titah, Sang Hyang Tunggal, itu hanya akan dapat dipahami ketika memahami kerjanya batin ketika melakukan sembahyang khusuk. Itu juga widhi, asal dan tujuan kembali.

Tradisi Kaula Guru ini memang tidak dilakukan seperti pengajaran di kelas-kelas, dilakukan dalam tradisi dialog yang pesertanya terbatas. Sebab apabila tidak demikian, ajaran tatwasiwa ini akan sulit dipahami, dari sargah ini pelahan akan dikenalkan mengenai banyak hal dari alasan penyebutan, mantra, upacara. Karena itu, disebut Gama. Bukan disebut Agama. (BERSAMBUNG, kantun malih malajah, kirang langkung ampurayang)

Makaula Guru - Siwa Gama (BAG. 1)

Banyak sekali yang kini bertanya, apakah Hindu Bali mempunyai kitab suci? Atau beberapa kawan penganut Hindu dalam langgam baru berseru: kita mesti back to weda (?) Seakan Agama Hindu Bali ini ‘tersesat’. Saya memilih tidak memperdebatkan, sebab ini adalah soal keyakinan. Bagaimana Agama Hindu Bali membangun bangunan spiritualitas, bagaimana membangun pola pengajarannya secara gugon tuwon. Salah satu Kitab yang disucikan dalam pengajaran Hindu Bali adalah Lontar Siwa Gama. Dalam keseharian sebenarnya isi ajaran ini melingkupi keseharian umat Hindu di Bali. Namun karena terbagi dalam 21  sargah, artinya akan bertahun-tahun memerlukan waktu memahaminya. Maka dahulu orang-orang mewarisikan pengetahuan Siwa Gama ini justru melalui masatua. Dipetik menjadi suntingan-suntingan kisah dengan segala improvisasi, sehingga dalam kisah-kisah yang seolah terpisah-pisah itu ajaran Gama Siwa diwariskan, dan dalam masatua itu, tidak disampaikan mantram-matram sucinya. Yang dituju adalah pemahaman untuk membangun perilaku. Jadi sasarannya adalah bangunan spiritualitas, bukan menjadi tubuh ‘religius’ dengan kefanatikan buta.

Dalam pelajaran-pelajaran Agama Hindu Bali di era tahun 50-an, dikenal apa itu tatwa, tata susila dan upacara. Tiga kerangka agama Hindu Bali ini sesungguhnya diambil dari kitab suci Siwa Gama. Bait-bait suci dalam Siwa Gama ini disampaikan dengan cara berkisah (tutur), jadi memerlukan waktu dan kesabaran untuk membacanya. Belajar agama, itu beda dengan melajah Gama! (perhatikan kalimat ini). Karena itu, di awal manuscript suci ini dimulai dengan pengajaran widhitatwa, polanya justru dalam bentuk dialog antara seorang pemimpin bernama Raja Pranaraga dengan pendeta istana bernama Bagawan Asmaranatha, dalam dialog diawalan inilah dituturkan mengenai tatwamahasunya; ini sebenarnya antisipasi jika umat Hindu Bali ditanya; apakah kalian monotheis? Apakah Pantheisme? Ataukah Animisme?  Dalam kitab suci ini; pernyataan suci dalam bahasa sansekerta dari kitab weda disampaikan: ekam ewa adwityam brahman, eko narayanad na dwityo’sti kascit, ekam sat wiprah bahuda wadanti. Bagaimana kemudian mengingatkan keterbatasan manusia yang terbatas dalam menggambarkan hakekat. Disebutkan kemudian, ini cara agama Hindu Bali menyebut tuhannya dengan berbagai nama: Sang Hyang Widhi, Sanghyang Adi Suksma, Sanghyang Titah, Sanghyang Anarawang, Sangyang Licin, Sanghyang Acintya, Sanghyang Taya dan Sanghyang Tunggal.

Tuhan disebut Ida Sang Hyang Widi, sebab Tuhan merupakan asal dan tujuan kembalinya alam semesta ini; dengan indah dituliskan seperti ini: Apa nimitta pwa sira ingaran Sang Hyang Widi, apa sira sangkan paran ing rat kabeh. Bahkan dalam dialog itu suci itu, sang raja yang mewakili ketidakyakinannya akan keyakinannya bahkan mempertanyakan: syapa sang sinanggah Widhi? Itulah dijawab dengan tenang oleh Bhagawan, sang guru: tan hyan sanghyang Adisukma. Pada bagian ini (sargah) menjelaskan keagungan tuhan itu, seolah menjawab semuaa pertanyaan kekinian, yang mengira Hindu Bali; berhala, kafir, dll, bahkan menjawab yang menyerukan agar keindia-indian. Jawabannya adalah: Tuhan dikala disebut Sanghyang Adisuksma karena tuhan maha gaib, adi artinya utama, suksma artinya tak nyata, tak berupa, tak berwajah. Dalam kemahagaiban itu justru mengarahkan, menuntun, itu yang disebut Sang Hyang Titah. Dengan cemerlang dituliskan seperti ini: asing lwih pinaka pangajyan ing rat kabeh, yatika denira sinanggah Sanghyang Titah. Seka ning sabda suksma sinanggah utama.

Dalam pola asuh orang Bali di masa lampau, maka dalam bagian ini biasanya akan dimulai dengan menceritakan mengenai penciptaan dunia; asal muasal kesemestaan. Bhuwana Agung itu;  Bahwa tidak ada yang tahu, di dunia ini, mengapa Sang Hyang Adisukma ingin menciptakan dunia; tak elok bagi siapapun untuk menerka-nerka. Yang dapat diketahui adalah ketia Hyang Adi Sukma ini beryoga; yoga pertama di bhuwana agung, tak terbayang dimana dan bagaimana rupa itu, itu disebut Ekaksana. Itu sebabnya manusia hingga akan melihat cahaya gemerlapan, tetapi pada awalnya ada cahaya gemerlapan yang lebih gemerlap; itulah yang disebut windhu, ini tanpa rupa, tanpa warna. Para pujangga konon memberi nama akan kerinduan melihat cahaya gemerlapan itu dalam semadhinya dengan sebutan Sang Hyang Meleng, sedang para Yogi Agung di Bali menyebutnya dengan Sanghyang Macongol, sedangkan kaum awam, yang masih dirangsuki hasrat kesakten; membayangkan sebagai anak kecil, super kecil, itu disebut wewelan. Awalan sargah ini memang mengenalkan widhitatwa dan ‘kasunyaan’; itu sebabnya tak terbayangkan, terjangkau oleh kedangkalan pengetahuan dan kemampuan manusia biasa. Dilanjutkan kemudian bahwa Sang Hyang Adiksukma melakukan Yoga kedua; ini disebut Rwangksana, saat itulah awalnya di bhuwana agung diciptakan atmatatwa dan mayatatwa, ini dalam bahasa gaulnya disebut purusa pradana, para yogi agung menyebutnya dengan itu atmatatwaatma, sedangkan kaki buyut, mereka yang awam menyebutnya: rama-rena.

Orang Bali dalam pengajarannya melalui tutur, melalui kisah, menyimpan ingatannya secara genetis dan perilaku, disebutkan saat Yoga ketiga: ini disebut tigaksana, ini yang kemudian dikenal dengan Tri Pramana; bayu (nafas) sabda (suara), idep (pikiran/ batin), tri purusa,tranyatah karana, trigunatatwa, dalam pengajaran yang lebih mendalam; ini disebut Sanghyang Triwindu, itu yang dinamakan Sakala-Niskala-Sunyata (nyata-tak nyata- kosong). Dalam tradisi pengasuhan ini juga disebut dapurtiga, namun sering dalam kaula siwa gama; ini yang dalam mata pelajaran (kalau boleh meminjam istilah masa kini): disebut Pradanatatwa. Dalam tradisi tutur, ini dianalogkan dengan bagaikan bayi dalam kandungan. Itulah kadang orang tua sering mengucapkan: kendeng! Yogi Agung akan menyebutnya itu Mahawindu, para pencari keagungan tuhan yang awam: menyebutnya sandyawela. Masih dalam kisah suci awal peciptaan disebutkan mengenai Yoga keempat disebut: patangksana, ini selalu akan menjadi cerita menarik dalam pengasuhan di Bali, yakni ketika diciptakan Sanghyang Catur Suksma dan Catur Bhuta: arah utara selatan timur barat; ini disebut sebagai Graha, dan para sastrawan menyebutnya Taranggana, yang awam menyebutnya ‘samar’.

Pada pengajaran Kaula Siwa Gama ini, memang tidak semerta mengenalkan mantram-mantram, yang dihapal atau diucapkan, seperti tata cara agama lain dalam mengenalkan keagamaannya melalui teks. Bait suci dalam Kaula Siwa gama ini justru sifatnya argumentatif, artinya ada dialog-dialog yang sangat kritis.

Baru dikisahkan kemudian bagaimana terciptanya Panca Tan matra, Panca mahabhuta dan Panca Wibhuta, ini kejadiannya pada Yoga kelima Sanghyang adisukma. Jadi dalam keyakinan siwa gama; penciptaan itu bersifat revolusioner; menderap, perubahannya itu daat seketika terjadi hingga tak disadari oleh manusia itu sendiri. Baru dalam Yoga keenam yang disebut Nemksana, bagian dalam pewarisannya diceritakan dengan dramatik kadangkala bahwa bagaimana disumbat bulan, bintang dan matahari, agar muncul bumi, lautan, dan dibayangkan awalannya itu dalam proses pemunculannya seperti akar raksasa yang menjulur, seperti gelombang ombak yang tak terbayangkan besarnya lalu merentang, melengkung, membanting-banting dirinya seperti pecahan-pecahan pelangi. Para sastrawan biasanya menyebutkan itu dengan kalimat yang menyerikan, antara takjub dan takut; itu disebut gana-gana, sebab tak terbayangkan besarnya, panjangnya, rupanya bagaikan telor raksasa yang tak terukur. Itu sebabnya awalan bumi, lautan itu diawal penciptaannya disebut Andabhuwana (telor dunia), jika hendak bergaya sedikit; ini disebut dengan yoga stiti caksusan, maka dalam bahasa keseharian ini yang disebut  kabyudhayan. Lagi proses peciptaan terjadi, yakni pada Yoga ketujuh, disebut Pitungksana, ini proses terciptanya manusia, diikuti penciptaan hewan, , burung, ikan binatang, tumbuhan-tumbuhan; dst. Yang melata, yang bersuara, yang berjalan, yang melayang; semuanya itu awalnya seperti bibit. Itulah pertemuan antara pancatanmaatra dengan Pancamahabhuta menjadi Pancendriya dan Pancakarmendiya; jadi terjadi bing-bang yang maha besar kala itu, adanya keserempakan sekaligus perbedaan pada bentuk dan rupa dalam bhuwana alit. Ini awalan adanya bhuwana alit, masih prematur sekali, ini disebut oleh para yogi agung sebagai sariraguhya, ini juga disebut paramanuh.

Pada dasarnya Siwa Gama sudah menduga bahwa kelak keyakinan itu akan dibenturkan dengan hitungan matematika; bagi yang tak bisa lagi membedakan mana keyakinan, mana persoalan untung rugi, bahkan ingin rasional; ketika sang raja, mewakili ketidaksabaran memahami ajaran Siwa Gama ini, bertanya soal luas semesta dan bumi, dijawab dengan penuh kesabaran; bahwa letak bumi diciptakan oleh Sang Hyang Widi adalah seratus yojana letak bumi ke bawah,  seratus ribu Yojana luar ruang angkasa yang ke atas,  dua ratus ribu yojana luas alam semesta hingga ketepi. Ini disebutkan dalam pembayangan sebagai “ukuran’  sehingga para pujangga mencoba untuk menjelaskan agar manusia yang penuh ketidakpuasan soal angka ini memahami; diberikan patokan bahwa widhi Yojana itu, sebanding dengan sepuluh ribu depa, tapi hitunglah dari saptawindu. Pada awalnya, bumi dikitari empat samudera, di situ bersemayam Sanghyang Mahagiri, dilengkapi tujuh sungai agar bumi menjadi stabil. Dalam kitab ini juga disebut; bahwa kenyinyiran manusia bertanya soal keyakinannya, kadang menjemukan, sebab itu pertanda dia tak akan me-gama. Karena itu tak mau dijawab dengan detail.

(BERSAMBUNG, MOHON SABAR, tiang mase nak kari melajah)

Maguru Sisia


Pasraman, dan Maguru Sisia Pada Hindu Bali


Bagaimanakah dahulu pewarisan pengetahuan agama di Bali dilakukan? Pertanyaan sederhananya apakah ada sekolah? Sistem pendidikan seperti apakah yang menyelamatkan pewarisan pengetahuan suci itu (? ) Mengingat sejak lampau telah ditemukan prasasti, era perunggu misalnya memberi syarat akan kemampuan ketrampilan kriya yang menakjubkan. Dalam sebuah prasasti abad ke 8 misalnya, kala itu ada yang disebut Satra; kata ini sebenarnya bermakna penginapann yang berkaitan dengan kuil suci. Era Singhamandawa; bangunen partapanan satra dikatahan buru......di bukit cintamani mmal. Kala itu ada tiga pendeta disebut bhiksu yang diperintahkan membangun pertapaan (prasasti Bukit Cintamani), sebutan lain 'ulan', pada era itu para pendeta siwa dan budha memang kerap membangun partapan. Kemungkinannya inilah model sekolah spiritual Bali lampau, yang tersebar cukup banyak di sekitar bukit Kintamani, Bedahulu dan baru pada era kekuasaan Gelgel, sebutan partapan atau petapaan diganti dengan sebutan pasraman. Informasi ini mengacu dari kakawin-kakawin mengenai keberadaan pasraman; tempat belajar.  Secara kata, pasraman Ini lebih mengacu adanya tempat pasiraman (permandian khusus yang disucikan). Jika membaca beberapa jejak sistem pendidikan keagamaan Bali, terutama pewarisan penulisan aksara, pembacaan dan bahkan tradisi maguru lagu. Dalam Salampah Laku, hampir mendekati catatan perjalanan pribadi dari Pedande Made Sidemen disebut mengenai tujuannya ke Singarsa (Sidemen) untuk berguru ke Pasraman Cemara. Sebelum Belanda menguasai Bali dan mengenalkan sekolah pedesaan bernama SR, memang diberitakan bahwa di wilayah Singarsa banyak berdiri Pasraman, hingga tidaklah mengherankan banyak lahir karya sastra dari desa tersebut. Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah sebenarnya gaya pengajaran, katakanlah kurikulumnya di Satra? Ataukah kemudian di pasraman-pasraman bali itu?

Jejak-jejak yang dapat dibaca kini dari tradisi mebasan, melajah mekekawin juga tradisi maguru sisia di Bali menjelaskan posisi Guru Pengajian berbeda dengan Guru Nabe (sebutan dalam hubungan murid dan guru untuk tujuan madwijati). Melajah gaya bali, secara rasa bahasa melajah ini bagi orang Bali selalu dikaitkan dengan sastra; aksara. Dimaknai harus serius, tenget dan hanya orang-orang tertentu yang akan menekuni sastra ini. Pengertian sastra ini pun bukan dalam arti karya sastra dalam bahasa indonesia. Nyastra adalah berarti belajar pengetahuan suci. Beberapa orang tua yang pernah saya wawancarai mengenai tradisi pasraman di Singarsa, menyatakan bahwa semua yang akan belajar ke pasraman diawali dengan ngayah ring sang guru, biasanya seorang pendeta yang dipilih; pendeta ini pun yang berpengetahuan lengkap, sebab ada juga pendeta yang tidak menguasai pengetahuan selain kebutuhan upacara. Awalnya tak ubahnya seperti juru sapuh (tukang bersih-bersih) di merajan (pura sang guru). Jadi setiap pagi para murid ditugaskan membersihkan lingkungan merajan, tak peduli siapapun latar belakang keluarganya, mau anak raja, orang kaya, jika telah memutuskan nunas ajah; harus diawali menjadi juru sapuh, kemudian mencari kayu bakar dan bahan sayuran ke bukit dan pesawahan.  Jadi di awal-awal nunas ajah itu, yang diajarkan adalah sikap meladeni dan belajar etika; melajah ngeraos (tata krama bicara), melajah negak (kesopan bersikap), melajah makedas-kedas (belajar membersihkan diri dan lingkungan). Setelah itu barulah belajar membaca, mengenal huruf, kemudian mengenal aksara. Kemudian pelahan mengenali guru lagu. Prosesnya mungkin sangat pribadi. Apabila telah dirasa cukup, semisalnya bisa membaca dan memahami guru lagu. Para murid ini dikembalikan pada keluarganya. Kemudian barulah jika sang murid memerlukan tambahan pengetahuan, akan kembali. Jadi berbeda benar dengan proses maguru sisia bila menyiapkan diri menjadi pendeta. Informasi lain, pewarisan pengetahuan pengetahuan khusus di bali seperti pebalianan biasanya diwariskan secara biologis, kepemangkuan diwariskan sesuai dengan tradisi yang diiikuti ada yang diwariskan secara biologis ada karena ketakson atau dipilih secara bergiliran oleh desa kala patranya.

Mengingat kini begitu riuhnya keinginan melakukan pasraman kilat dan kemudian berdirinya asram bergaya 'india', sepatutnya orang Bali mulai memikirkan mengenai pasraman gaya bali dengan pengetahuan 'nyastra' balinya, terutama pewarisan rasa basa dan pekerti. Sebab pembangunan pasraman ataukah asram bila itu berkaitan dengan ajaran keagamaan, mau tidak mau harus ada ketegasan dalam pembedanya dengan asram ala india atau asram ' fashion religius' yang menawarkan meditasi, yoga; dst ala 'alternatif spiritual universal', yang kadang pengetahuan tatwanya memberi kepengaruhan yang cukup membingungkan. Terutama hubungan guru-murid, kemudian dengan tradisi pemujaan antara Purusha dengan Atman. Padahal, pasraman, didalammnya adalah Guru Pengajian, bukan dalam posisi guru suci, sekalipun itu sang guru adalah pendeta.Jadi kultus cium kaki, cium debu tidaklah seharusnya terjadi dalam asram kontemporer ini, berbeda dengan posisi maguru sisia ketika akan menuju dwijati.

Sebagai bandingannya, dalam tradisi Hindu  Bali ada yang disebut sang sulinggih (Ida Pedande),mereka (dia) yang telah melewati upacara madwijati (masuci,madiksa,mabersih, mapeningan, atau juga ada yang menyebut dengan mapodgala).Mereka itu yang berkeinginan menjadi sang sulinggih telah menyiapkan dirinya secara sekala dan niskala. Sang sisia, setelah memantapkan dirinya bersiap untuk berkonsentrasi mempelajari ajaran suci.

Di bali dalam tradisinya; bagi laki-laki biasanya menyiapkan diri setelah melewati masa produktif kerja dan menikah (grhasta); memasuki yang dalam idealnya disebut wanaprasta; di bali wanaprasta bagi sang sisia ini justru dimulai pula masa brahmacari, tahap proses belajar kerohanian. Bandingkan dengan pengertian brahmacari dalam konteks ajaran catur asrama Hindu di India plus bandingkan dengan tradisi upanaya; demikian pula bandingkan bahwa dalam tradisi bali; perempuan diizinkan menjadi pendeta sekalipun tidak menikah (disebut kelak pedande kanya;kania).

tradisi keagamaan Bali mewariskan sang sisia yang akan menentukan mencari sang nabe, sang guru; berbagai alasan dipergunakan; yang pertama, pertalian darah, pertalian hubungan historis dalam guru masisia, kesamaan mashab juga pertimbangan 'desa kala patra'. Jadi sang sisia akan mempertimbangkan banyak hal ketika menentukan, siapa yang akan dipinangnya menjadi sang nabe. Sebaliknya, sang nabe pun demikian akan mempertimbangkan permintaan calon sisianya, apakah akan menerima ataukah tidak permohonan tersebut; dari tradisi ketelitian Guru Nabe sangat menentukan kelak kesempurnaan sang sisia.

Apabila telah ada kesepahaman, kemantapan di hati juga pertimbangan seluruh keluarga, maka sang calon sisia akan dikenalkan mengenai, "nihan ta cilakramaning aguron-aguron, haywa tan bhakti ring guru, haywa himaniman, haywa tan cakti ring sang guru, hyawa tan sadhu tuhwa, haywa nikelana sapatuduhing sang guru, haywangideki wayangan sang guru, haywanglungguhi palungguhing sang guru. (dikutip dari cilakrama)"

Sang sisia saat telah diterima sebagai seorang Nabe (mahaguru): maka akan otomatis mentaati tatatertib; janganlah tidak bakti terhadap guru, janganlah mencaci maki guru, janganlah segan kepada guru, jangan tidak tulus, jangan menentang segala perintah guru, jangan menginjak bayangan guru, jangan menduduki tempat duduk guru. Hubungan sang sisia (sebutan lainnya: kang anak) dengan sang nabe ditertibkan dengan sangat ketat, bahkan kenyataan calon sisia (calon pendande di bali) jarang bahkan tidak berani terlalu sering bertemu dengan sang nabe, sebab ada aturan sebagai berikut; seorang sisia tidak diperkenankan duduk berhadap-hadapan dengan sang nabe, tidak diizinkan memutus pembicaraan sang nabe,harus menuruti perkataan/apa yang diucapkan sang nabe, bila sang nabe datang tanpa direncanakan, sang sisia harus turun dari tempat duduknya, menunduk sampai diizinkan berdiri, bila diizinkan berjalan bersama, sang sisia berjalan di belakang dalam jarak dimana bayangan sang nabe tidak akan terinjak kakinya. Demikian pula aturan menyahuti ucapan sang guru, selalu dalam aturan yang ketat; kemudian tidak emosi, terpancing membantah apabila dimarahi ataupun dinasehati, ditegur. Demikian pula dalam aturan sujud bakti, ada tata tertib yang ketat harus ditaati oleh sang sisia.

Sang sisia jauh-jauh hari baik karena tradisi maupun diberitahu oleh guru pendampingnya (guru waktra), mengenai aturan busana sampaipun rambut. Perhatikan bahwa tradisi menggunakan bhawa (aketu agung) hanya dikenal dalam tradisi hindu di bali; sebab dalam hindu dikenal penataan hiasan rambut ini beragam; dalam tradisi bali dikenal aketu agung, kemudian dikenal pula dengan abhawa ron, mendandani rambut dengan daun, adastar menggunakan destra, abebed sirah; memakai serban, bergundul (amundi), kemudian rambut yang dijalin kelihatannya sebagai mahkota(aketujata);dihias dengan buah-buah kecil yang bulat atau dalam sankerta disebut Rudraraksa atau dalam kawi jawa disebut Aketu ganitri, kemudian terurai (angrure): biasanya pedande budha yang lelaki melakukan angrure, kemudian dikenal pula sanggul rambut sebaga Amrabku, ada juga rambut di tengkuk kepala, disebut anondong; dst….termasuk akuncir alit; dikenal di india pada sadhu-sadhu; jadi tata krama hiasan rambut dalam tradisi pendeta di bali memang berbeda dengan tradisi yang ada di india. Demikian pula pemakaian busana, dstnya.

Sang calon sisia pun mulai melatih diri dalam aturan makan, yang boleh dan tidak diperbolehkan. Bandingkan dengan laku vegetarian; tradisi di bali justru menjelaskan aturan makan dan minum bagi pedande dengan jelas dan teliti: perhatikan bagi pedande dengan garis civait dilarang makan daging babi yang dipelihara didesa ( celengwanwa), ayamwanwa, krurapaksi, nilapaksi, atat,syung, dst. Kemudian mengenai pantangan memakan binatang pancanaka kecuali beberapa yang diizinkan, mengenai larangan memakan makan dari yang hidup di dalam tanah seperti bhuhkrimi, bekut,,pramikirimi, berbagai jenis ulat, serangga, dll. Aturan mengenai yang tidak boleh dimakan tanbhaksyana, dst. Demikian pula soal minuman, kehadiran berjudi, tata cara berteduh, tata cara menempati rumah,melakukan jual-beli, berhutang,...dst.

Banyak hal kemudian kini ditafsir seolah aturan-aturan itu sebagai tata krama feodal, padahal itulah brata (tapa) pengendalian diri seorang calon sisia yang akan menjadi seorang pendeta. Ini adalah bagian keyakinan dimana pembersihan diri tidak sebatas mandi, berpakaian bersih; namun jauh sampai ke dalam diri yang niskala. Demikian pula mengenai busana.Ini adalah pengenalan sepintas mengenai maguru sisia; tak sebatas hubungan guru dengan murid, namun ada 'tatatertib' yang menjadi karakater dalam tata krama yang dijadikan mendorong seseorang yang berkeyakinan untuk kelak menjadi pedande, yang akan menjadi 'surya' bagi umatnya.

Berbeda dengan model hubungan guru murid di sekolah ataukah di pasraman modern yang mengadopsi gaya-gaya tradisi agama yang berbeda mashab dan budaya yang berbeda,maka di Bali tradisi maguru sisia memiliki kekhasan sendiri. Menurut saya sepatutnya bagi yang meyakininya, menjaga tradisi maguru sisia ini, bukan justru mencoba-coba menggantikannya dengan tradisi yang berbeda. Atau mengaburkan dengan menyamaratakan hubungan sisia (umat) dengan 'suryanya' (pedande) bahkan kemudian mengira jika telah menjadi guru agama atau meminpin pasraman ada dalam posisi sebagai nabe. Pengenalan sepintas ini sesungguhnya bersifat pula fleksibel,masing-masing keluarga, klan, dsbnya memiliki pula tambahan dan pengembangan aturan antara sang sisia dan sang nabe, sungguh bijak pula tidak menyeragamkannya, mengira ada yang salah dalam salah satu kebiasaan dan mengira ada yang lain yang lebih benar.Sebab ini adalah masalah keyakinan dalam maguru sisia dalam lingkup tradisi hindu di bali.

(BAHAN buku: GAMA BALI, cok sawitri, kirang langkung kantun melajah)

Agama Hindu Bali

PENYINTAS DARI ERA PURBA HINGGA ERA DIGITAL

Sengaja judul yang saya pilih,sengaja provokatif, tapi tujuannya adalah untuk mengenalkan kepada banyak para pihak, yang kalau bicara soal Agama Hindu Bali- sebagai minoritas, yang kadang dikolomkan sebagai 'yang masih berhala' atau bahkan oleh beberapa orang (kelompok tertentu  penganutnya sendiri; yang mulai dirasuki perasaan rasionalisasi dalam konteks religius; mengira agama Bali ini perlu 'diindiakan'.

Pada tahun 1980-an, sebuah manuskrip ditemukan (kali ini saya tidak menyebut lontar, agar sepadan dengan gaya-gaya penemuan spiritual di belahan dunia lain, kalau menyebut manuskrip otomatis sahih); manuskrip ini bernama Padma Bhuwana, yang isinya: "Nihan katattwaning bhuwana alit, katunggalang ring katattwaning bhuwana agung, mangkana pidartanya. Nihan mulaning pulo Bali ring usana, katama tekaning mangke,mawit Icaka 85, tat kalanira Sri Aji Candrabhaya umadeg ratu jumeneng sira ring Tampaksiring irika anangun kahyangan ring Besukih" -- Jadi disekitar tahun 163 masehi ritus di gunung agung; Pura Besakih dan Pura Pasar Agung telah dilakukan dengan mapan, artinya peradaban Bali telah mulai dengan 'agamanya' bandingkan kemudian dengan ritus Batur Purba, yang justru jauh lebih tua; dan bolehlah ditengok pembuktiannya ini pada ritus-ritus yang masih hidup dan berlangsung pada desa Trunyan. Boleh bandingkan dengan angka tahun secara antropologis bagaimana agama-agama monoteis mulai dinyatakan ada! Jika tahun 163 Masehi itu ditempatkan tua, maka ritus Batur Purba sungguh-sungguh sangat tua.

Pada tradisi Gunung Agung, terutama pada Pura Pasar Agung, ritus nangluk mrana adalah bukti yang terkuat bahwa agama Bali ini memang tangguh dan kokoh melewati berbagai kepengaruhan yang berdatangan kemudian; baik era yang diklaim sebagai pengaruh Rsi Markandeya, yang mewariskan ritus Pancadatu dan kemudian Era Mpu Kuturan yang membangun hubungan negara dengan agama; dalam Tri Kahyangan. Namun penyintas dari ritus purba dan pasar agung ini bertahan dan menjadi dasar pertumbuhan agama Hindu- Bali sampai kini. Sebelum era Trilinggagiri, jejak kuat akan siwait mengenai penetapan tiga gunung sebagai lingga suci. Maka di pura pasar agung tiga buah Gedong yakni Gedong Merana Watek Bikul, Gedong Merana Watek Perit dan Gedong Merana Watek Uler. Ketiganya akan mengalir dalam tradisi Nangluk Mrana, juga berbagai Ritus Usabha yang bertebaran hingga kini dilaksanakan diberbagai desa-desa tua dan madya; dengan waktu dan ketentuan yang sesuai dengan hasil sumber daya alamnya.

Kemudian Ritus Nyepi, yang kini dimodernkan dengan peringatan tahun Icaka; padahal ritus nyepi adalah ritus penyintas yang paling memukau dari warisan Agama Bali. Perhatikan manuskrip ini; " ....brata penyepian lwir sawung anggeram anda, yan tan panes awaknya tan lumekas ikang anda. Yan tan sepi ing idep, sepi ing pamrih, sepi ing gawe, Tan molih Yoganta, iki ngaran penyepian. Ingon-ingon Dewi Mas Ayu Danu kang gineseng dening apwining giri Tolangkir, mangke juga pamarisudha ning ingwang. Poma, poma, poma. Ulu ning bawi manadi mrana tikus, walungnya manadi walangsangit, jejeronnya manadi mrana tan pasangkan. Yan pageh samanta ratu ngamong rat, rong puluh tahun sapisan hane mrana walangsangit hana mrana tikus. Yan tan pageh tan wilangan dina mrana tan pasangkan dateng. Iki rungwakna, bhuta kala katung pinaka pangsranan pasar, soang karya ring Basukih atakwan pwa ring pasar agung, yang tan prasida kabehan, ke wala jejaton juga wenang..."


Ritus Nyepi ternyata berkaitan erat kepada pemujaan Dewi Mas Ayu Danu (Danau Batur), ini sebuah pertanda penyintas kuat dilewati oleh ritus Batur Purba ketika era penetapan Trilinggagiri (masuknya siwait), Tradisi nyepi juga berkaitan dengan Kaki Patuk dan Nini Patuk, sebutan mulia sebelum Gunung dan bumi ini disiwakan dan diumakan. Kemudian pemujaan di pasar adalah kepada Ni Bhuta Kala Katung sebagai dewa pasar; dan bandingkan era Nirartha hingga kini yang menggantikan pusat pemujaan di pasar dengan sebutan Pura Melanting. Dan melewati dekade demi dekade, hingga ketika berjejer dengan era hubungan Bali dan Jawa Timur (era Airlangga), rintisan Markandeya diperkuatkan dengan kejenialan Mpu Kuturan; sesungguhnya ide adanya keharmonian dan kemartabatan posisi 'agama dalam kelembagaannya' dalam negara; agar tidak saling tumpang tindih ditemukan dalam konsep Kahyangan Tiga; jadi membumikan ketakutan akan surgawi yang rigid itu dilakukan dengan luarbiasa; ini akan dapat diperbandingankan dengan era lebih tua; yakni bagaimana pola sistem sosial dalam masyarakat Bali Aga (Agra= pegunungan) yang hingga kini nampak di Desa Tenganan; jauh mendahului dari mimpi sosialis modern.

Di milineum ini, agama Bali ini makin jelas perwajahannya di era digital; trend ketertarikan kepada yang lampau oleh jepretan kamera,misalnya, pertukaran informasi yang cepat, memberi ruang penjelasan;bahwa agama-agama tua itu memiliki manuskrip-manuskrip yang setanding dengan keketatan monoteis, dan pewarisannya melalui genetika ingatan.

Dengan bahagia; penyintas ini telah tiba melewati milineum, dan memberi wawasan dan teguran untuk tidak tergopoh-gopoh mencari padanan pada tradisi-tradisi lain dan cara pandang akademik yang membedahkan dengan alam pikiran struktur monoteis, atau menyeragamkan tanjakan dan turunannya; yang jelas, tidak pada soal mencari tuhan, tetapi pada proses mengenai daya tahan untuk hidup dalam keharmonian menjadi kabar di akhir tahun, sekaligus menjawab; untuk tidak sebatas berduka dan marah atas 'pengkelasduaan' atas segala macam keyakinan yang bukan dari monoteisme.

Hal lain, bagian yang menakjubkan dalam Agama Hindu di Bali; yang luput dari pengamatan dan barangkali tidak disangka menjadi tonggak penanda yang paling khas, dalam ritus-ritus kecil maupun besar, yang sifatnya pribadi maupun bersama, ini disebut ‘Sehe (Sasonteng, Samudana),  mantra dari era ritus purba ini penyintas yang mengalir dari era ke era melalui pewarisan 'genetika' ingatan. Salah satunya, adalah 'sesapa', semacam ucapan karib di saat upacara Tumpek Ngatag (Bubuh), 25 hari sebelum hari raya Galungan, sesapa ini disampaikan sebagai penutup persembahan kepada Sankara, dewanya tumbuh-tumbuhan," Kaki-Kaki, tiang mapengarah, malih 25 dina Galungan, mabuah apang nged-nged," -Sankara yang mengingatkan kepada para pemeluk Siwait dari garis Sidhanta adalah nama Maharsi yang menjadi awal adanya mashab Sidanta, dan itu nama lain dari nama Siwa. Namun secara mengejutkan dalam konteks perayaan Galungan; ada yang namanya Sang Dewa Penunggun Karang yang justru menjadi pusat tujuan upacara tumpek ngatag itu; yang diyakini jika tidak dijaga dapat berubah menjadi Sang Hyang Kala Raksa.

Yang harus diperhatikan adalah bagaimana penyintas; bait-bait suci dari ritus purba ini, pujaan dan kemudian pola komunikasi yang disimpan dalam kode-kode yang sangat jenial; Pada wilayah danau Batur Purba, pada bekas cekungan lava yang kini telah mengering, sebagian telah menjadi empat danau, dan beberapa kepingnya kini menjadi pedesaan, dimana salah satu sudutnya ada Desa Trunyan, yang secara arkeologis sangat tua, jauh lebih tua dari tradisi Gunung Agung, desa itu masih hidup dan menjadi penyintas yang tangguh dengantradisi pemujaanya kepada Batara Da Tonta, Batara Pancering Jagat.

Di sana dalam ritus besar dan kecilnya tidak akan menggunakan Pedande dari ranah Hindu seperti yang dikenali dalam upacara-upacara besar keagamaan di Hindu Bali. Para pemuja Sang Dewi Danu Batur, yang dibayangkan berkendaraan Naga Emas itu, melanjutkan tradisi ritus dengan 'mantra' yang mewakili keagungan bait suci purba; berbagai desa Bali Aga dalam wilayah 'bintang danu Batur" ataukah disebut Wanua Batur; suatu tanda akan 'pemagaran' akan tradisi religi yang berbeda dengan Hindu di Bali pada umumnya, masih menjaga tradisi adanya 'pendeta' yang menjadi bagian struktur pemerintahan 'kahyangan' di bumi ini. Yang mewariskan mantra-mantranya secara rahasia, bahkan kadang diluar kemampuan untuk memahaminya. Para pemimpin upacara dalam tradisi ini adalah penghubung dengan yang dipuja; dipilih oleh inspirasi suci dan ada pula karena biologis- genetik. Begitu pula di berbagai desa Baliaga lainnya, termasuk Desa Tenganan. Mantra mereka: sungguh penyintas yang luar biasa. Sebab ketika Sang Kulputih, sebagai perbandingan-era Markandeya, mulainya datang 'mantra' yang jika diamati dengan sangat teliti, penandanya dengan banyaknya menggunakan pengucapan huruf suci dari apa yang disebut kini Dasa Aksara; bersanding dengan kode-kode dalam tradisi bait suci tantrik purba; Phat, Rang, Rih....dst , kelegendarisan pengganti Markandeya itu mulai mengenalkan tradisi banten yang lebih detail dengan mantra-mantra yang hingga kini menjadi dasar kepemangkuan di Hindu Bali; menunjukan ada perbedaan besar antara era mantra ritus wanua Batur, Bali Aga dengan yang ada dalam tradisi Kitab Suci SangKul Putih, yang menjadi penata Pura Besakih, dia yang mewariskan tradisi upacara-upacara besar dalam tradisi ritus di area Gunung Agung yang kemudian diiikuti oleh seluruh wilayah Hindu Bali. Dan ternyata penyintas dari bait suci yang lebih tua dihadirkan dalam bait-bait suci tradisi Sangkul Putih, termasuk dalam ritus air di matair yang ada di gunung agung.

Penyintas dalam bentuk Bait Suci ini secara menakjubkan kini tetap hadir di era Bali Hindu Modern ini, walaupun dalam tradisi kepemangkuan; mantra-mantra Sang Kul Putih kemudian bertemu dengan Tradisi Bait Suci Kusuma Dewa, tetap menunjukan hadirnya penyintas Bait suci, yang hadir dalam kode-kode yang dikolomkan sebagai 'sehe' ditengah kekhusukan pengucapan mantra yang mulai membaitkan sankrit dan kawi kuna.Bahkan ditemukan pula dalam mantra piodalan yang dilakukan oleh para pendeta Budha; pengucapan sela; bait suci bergaya sehe ini mengisyaratkaan sebuah pelanjutnya menjaga kehadiran bait suci dari kelampauan.


Penyintas yang hidup melalui berbagai perubahan zaman, dari era Singhamandawa misalnya telah mengisyaratkan adanya sebutan Hyang Api, Dapunta; dll bahkan manuskrip-manuskrip yang sahih dalam bentuk tradisi modern (disebut Prasasti) mulai menyebutkan adanya tata krama religi jelas mengisyaratkan pengaruh kebudhaan dan kesiwaan, ada sebutan dang hyang; Mpuku; kubayan, dst ; semua itu jauh sebelum era Airlangga (kadiri-abad 7). Wanua Batur Purba saya nyatakan menggugah ingatan mitologi yang ditemukan di Eropa; Dewi Danu berkendaraan Naga Emas melahirkaan tradisi ritus yang dalam struktur organisasi desanya sebagai pembayangan akan 'kerajaan kahyangan' yang di bumi. Jarak dengan tradisi Batur Purba ini hampir melewati ribuan tahun, bandingkan kemudian era Sangkul Putih dengan Singhamandawa hanya berkisar 700 tahun-an. Dari era ritus Naga ke era Singha; Mungkin terburu saya menggunakan jarak waktu sebagai tanda bagaimana penyintas hidup dan mengalir melalui bait sucinya, mendampingi datangnya; sebagai contoh, ketika kini orang bali di saat Galungan melakukan upacara Ngayab; maka sehe untuk diri, walau mengutip sehe dari era jayakesunu, namun yang memukauadalah bahwa era kekuasaan " keluarga Jaya" dari kurun Bali Madya ini; melanjutkan tradisi sehe dari mantram yang lebih tua: "Om Kaki bra Galungan, Bhatara Kala Bhatara Jabung, Bhatara kala Amangkurat, Sang Kala Enjer Sang Yamaraja, Kaki sang kala nadah, aywa nadah pun 'anu', apan pun anu, samakira, angion kararon tkalawan sira, pun 'anu' sih asanak kalawan sira, sira asih asanak ring pun anu,.....dst" bandingkan kemudian pola mantra yang dikenali sebagai berikut dalam upacara bayi: "pakulun bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, Bhatara Iswara manusa ira si anu anglepas aon ipun i bhatara tiga, pakulun anyuda letuh ipun, teka sudha, teka sudha, teka sudha, lepas malan ipun" - walau sudah menyebut tri murti, sebutan di depan dan di belakang; pembuka dan penutup memberi isyarat kuatnya penyintas dari tradisi mantram purba hidup mendampingi; kode penyebutan 'anu' dan 'pakulun' kemudian menyebutkan 'kaki' sebagai tanda penghormatan, menunjukan penyintas dalam rupa bait suci sangat agung memberi kemisterian pada tradisi ritus mantra di Bali yang memang kemudian tidak bisa disamakan dengan tradisi pengucapan mantra di India atau di belahan dunia manapun yang kini sering berupaya menyama-nyamakan dengan gaya pemikiran' keuniversalan Hindu. Di era abad 15 sangat dekat dengan era kekinian; bagaimana upaya Nirarta untuk memperkuat liturgi dalam upacara-upacara termasuk penguatan posisi Pedande; dengan mantram-mantram yang silih berganti mengisyaratkan kehinduannya melalui bait suci kata sanskrit,namun tetap penyintas yang agung hadir justru dalam titik-titik penentu, di semua upacara; mantra purba ini meretas mendampingi era Markandeya dan Sangkul Putih, kemudian Era Singha Mandawa, meretas lagi ke era Nirartha dan Astapaka, hingga kini, penyintas ini; dalam kekuatan bait suci, jarang benar dijadikan penanda; bahwa tak ada yang tiada hingga ketiadaan itu tiada. Yang anggun adalah bagaimana proses penyintas ini meretas dan tidak dalam posisi yang tertindas, namun justru menjadi bait keagungan; bahkan hingga di puncak-puncak gunung, lembah dan bukit tertentu, banyak benar; upacara yang tidak menghendaki mantra (yang berbahasa sankrit), namun meminta sehe. maka tahun boleh berganti, cara pandang boleh berubah, tetapi penyintas dalam ritus bait suci ini mewakili keabadian dan penjaga harmoni pertumbuhan peradaban agama dalam Hindu di Bali.


(PETIKAN DARI PROSES PENULISAN BUKU GAMA BALI, cok sawitri, bekal sabar jika ada yang menghina keyakinan ini)

Menjelang Kembali Galungan

Sebab kembali menjelang galungan kuningan (tahun 2015)

Hari Raya Galungan dan Kuningan bagi penganut Hindu Bali merupakan rangkaian perayaan, dimulai dengan Tumpek wariga/bubuh/pangatag, kemudian Tumpek Waregadean, bertemu dengan sugihan pangeten (nguncal balung); mulainya proses ‘detoksasi’ seluruh niat,hasrat, pikiran, sikap yang negatif;  nguncal balung ini ‘brata’ diri hingga bertemu Budha Pahang.  Diri adalah bhuana alit dan yang di luar sana adalah sang bhuana agung. Rangkaian galungan memberi ajaran bukan semata soal rangkaian upacara yang harus dilaksanakan, bukan semata sajen-sajen yang dipersembahkan tetapi bagaimana kemudian tujuan-tujuan melewati rangkaian hari-hari itu menjadi perilaku. Sebab agama Hindu Bali (Gama Tirta) itu tujuan ‘penyucian’ perilaku sebagai manusia itulah yang akan mendekatkan pada tujuan Galungan yaitu: mencapai terang pikiran, berkesadaran tinggi buat melenyapkan kekacauan pikiran. Dan kesadaran akan bhuana agung, sekitarnya dalam rangkai menuju hari itu, mengisyaratkan bahwa ‘kesantunan’ itu tak hanya saat didalam rumah-rumah suci, tak saat berhadapan dengan leluhur dan Tuhan, namun menjadi perilaku pula bagi mahluk hidup lainnya.

Rangkaian yang biasanya digunakan menghitungkan kedekatan datangnya perayaan Galungan adalah TUMPEK WARIGA, sering disebut tumpek pengarah, tetapi lebih populer disebut tumpek bubuh/ubuh dan di beberapa daerah lain disebut tumpek pengatag; Pengarah, artinya pemberitahuan, pengingat bagi masyarakat bali bahwa terhitung dari hari ini, dua puluh lima hari lagi adalah hari Galungan. Disebut tumpek bubuh karena  persembahannya bubur dari tepung beras,yang akan ditorehkan di berbagai pohon yang menghasilkan buah, itu adalah persembahan kepada Dewa Sangkara; penguasa tumbuh-tumbuhan, yang dihormati dan menjadi introspeksi mengenai hubungan manusia dengan berbagai tumbuhan disekitarnya; bahwa manusia memerlukan tanaman-tanaman itu, karena itu perlu semangat memelihara dan menghormatinya, tidak hanya mengeksploatasinya; pada perayaan tumpek ini biasanya, tidak diperkenankan memetik buah apapun, sebagai tanda akan penghormatan kepada proses pertumbuhan. ‘Sehe’  yang digunakan saat menghaturkan persembahan kepada semua pohon itu adalah: kaki, kaki....dije i dadong, buin selae dina galungan, mabuah apang nged, nged, nged..." pemberitahuan itu kemudian dilanjutkan penghormatan kepada Sang Sangkara yang biasanya dipusatkan di penunggun karang, yang apabila dilalaikan akan menjadi Sang Hyang Kala Raksa. Tumbuhan adalah mahluk tuhan, yang logis seharusnya dijaga dan dipelihara. Tradisi religi tumpek wariga ini juga adalah penanda rangkai berbagai upacara menuju galungan-kuningan telah dimulai. Di masa kini, ditengah kerisauan akan keadaan lingkungan hidup, selayaknya pemaknaan tumpek ngatag/bubuh ini makin menjelaskan bahwa kearifan agama lokal itu memang memiliki pandangan jauh ke depan mengenai kesadaran lingkungan dan sudah pasti sifatnya universal; mencintai tumbuhan sekitar, berharmoni dengan alam

Dan dahulu orang Bali seketika akan ingat untuk menghindari melakukan kegiatan membangun rumah, bangunan suci, membeli ternak untuk bibit, tidak melakukan kegiatan pawiwahan juga banyak yang mulai menetapkan dirinya secara individual; memilih brata, bentuk puasa yang aturannya bisa berbagai-bagai. Namun yang utama adalah memahami proses menuju kesadaran tertinggi, sebagai tujuan perayaan galungan.

Rangkaian selanjutnya  adalah yang disebut NGUNCAL BALUNG : Buda Pon Sungsang ( Rabu, pon, sungsang), sering juga disebut Sugihan Pangeten (ngentenin, mengingatkan, membangunkan dari situasi tertidur) atau sebagai tanda mulainya Brata Nguncal Balung yang dilakukan hingga bertemu wuku Pahang ( Buda Kliwon Pahang); jadi ada 49 rentang hari yang dimaksudkan sebagai Nguncal Balung. Arti Nguncal; melepaskan, membuang, mencabuti sedang balung artinya tulang.

Makna Nguncal Balung adalah dimulainya melepas kekuatan-kekuatasa negatif dalam tri kaya, proses dimulainya introspeksi, memahami diri menuju kesadaran tinggi. Diibaratkan tubuh yang kokoh, yang disangga tulang-tulang, maka keinginan, hasrat, berbagai hal yang menjadi keangkuhan dan kesombongan yang bermuara pada diri, setiap saat berlebihan karena tidaksadaran harus dilepaskan.Tubuh dimurnikan, jiwa dimurnikan, pikirannya di perhatikan. Sehingga kata, tindakan, pikiran; mulai terjaga, dibangunkan.

Serba godaan itu disebut Sang Hyang Kala Tiga, dimurnikan agar kembali diri dalam proses memikirkan asal muasal bhuana alit dan bhuana agung dari dia yang mahamulia; sang siwa-buddha. Kala dalam konteks Sang Kala Tiga adalah energy yang tak terkirakan kekuatannya, yang jika dalam bentuk purusha maka itulah yang disebut Kala Rudra, dan ketika dalam wujud Pradana; disebut Durga Murti; kekuataan maha dahsyat itu menggoda seisi dari yang bersemayam dalam hidup; menjadi tindakan, perkataan, hasrat, niat, motivasi, dan berbagai hal yang sering tidak produktif terhadap diri sendiri. Karena itu harus ditenangkan, di’somia’kan.

Dalam keseharian penanda mulainya Nguncal Balung itu adalah mulainya kegiatan ngelawang; barong yang disunggi anak-anak keliling desa; yang mengingatkan pula akan kisah Dewa Tri Murti ketika turun ke bumi menyaru sebagai topeng bang (brahma), Telek (wisnu) dan Barong (ciwa), ketiganya bertujuan menyelamatkan hidup dari berbagai godaan, membangunkan diri dari ketidaksadaran.

Sugihan pangeten ini juga sering diajarkan melalui mitologi ketika Mpu Bharadah berkunjung ke Bali dalam rangka menemui Mpu Kuturan, untuk meminta izin keturunan Erlangga menjadi penguasa Bali. Sebelum bertemu itu, Mpu Bharadah berada di sebelah Selatan Pasraman Mpu Kuturan. Setelah menyampaikan keinginannya itu kepada Mpu Kuturan, dan ditolak. Mpu Bharadah dilanda rasa marah, tak terkendali dirinya, hingga pergi tanpa pamit kembali ke Daha. Peristiwa hilang kendali diri ini menimbulkan perjalanan Mpu Bharadah ke Daha tersendat dan terganggu. Tujuan mitologi itu mengingatkan, ‘ngentenin’, bahwa semua manusia, sekaliber Mpu sekalipun akan terkena godaan energy itu, hilangkendali, sebab itu selalu perlu pengendalian diri, dibangunkan kembali.

Rangkaian perayaan mendekati Hari Raya Galungan, adalah yang disebut SUGIHAN, keduanya jatuh pada Uku Sungsang. Dalam kitab suci Sundarigama, telah dibahas bagaimana sugihan itu, dan sesungguhnya jika ada yang bertanya apakah Hindu di Bali tanpa kitab? Setidaknya upaya menjelaskan dengan sederhana akan membuka wawasan baru serta mengurangi prasangka bagi yang kerap memerlukan rujukan kitab dan ayat ketika bicara soal keyakinan yang berbeda.

Dalam rangkaian galungan maka akan ditemuilah yang disebut sugihan jawa dan Bali, jatuhnya pada Uku Sungsan. Dalam kitab Sundarigama itu dibahas sebagai berikut: Sungsang, weraspati wage, ngaran parereduan, sugin jawe, kajaring loke, yate peretistan, betara kabeh, arere don ring sanggarmuang ring paryangan, kadulurin pangereratan reresik betare, sahe puspa wangi, kunang wang weruhing tatue jenyane, pasang yoge, sang wiku, angarge puje, apan betare tumurun maring madia pade, amukti banten. Anerus tekeng galungan, pakeretining wang, sesayut muang tutuan, pengeredane sake, sukan arania. Sukre keliyon, ngaran sugi Bali, pakenania ameras titaning rage tawulan kewaleanadahe tirthe gcara, pangelukatan ring sang pandita paketining wang…

Terjemahan bebasnya: Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati wage, disebutlah hari Pararebon. Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari tersebut, ialah untuk melaksanakan prayascita / pensucian ,para Bhatara-Bhatara semuanya, yang disemayamkan di Prahyangan. Maka pada hari itu, dilakukanlah upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu dilanjutkan dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi orang yang membathinkan inti hakekat samadhi , maka seyogyanyalah melaksanakan Yoga , sedangkan bagi para wiku (pedanda, Rsi, Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti, sebab pada hari itu para Bhatara turun ke dunia disertai para Dewa Pitara, untuk menikmati upacara pesucian, berlangsung sampai pada hari itu galungan. Oleh karena itu orang-orang hendaknya melaksanakan upacara agama, dengan natab banten sesayut dan banten tutuan, yakni banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin, demikian patut dilaksanakan.

Sugihan jawa tidaklah mengacu kepada 'jawa' sebagai tempat. Pengucapan 'j' dan 'b' dalam bahasa seringkali bertukar. Seperti jawatang dapat juga diucapkan bawatang. ada juga yang jawa diartikan yang sebelumnya, di luar jebag (lawang/pintu). Sugihan Jawa adalah penyucian Bhuwana Agung, lebih tepatnya kemungkinan sugihan ini adalah sugihan bawa; bawa juga berarti yang memahkotai kesucian: karena itu pada hari sugihan jawa kasukmaannya adalah melakukan ngarerebu di sanggah, merajan, paibon, dll. Sekala dengan membersihkan ruang-ruang suci; setelah itu melakukan pengeresikan, memakai sarana bunga yang harum-harum. Keharuman yang menandai sugihan jawa, agar jagat ini, alam semesta ini menjadi wangi. Begitu pula diri, menyiapkan diri untuk menegakan hati; boleh memilih sejenak samadhi atau melakukan hening yoga. Demikian kabar yang didapat setelah melakukan pembersihan sekala di sekitar padmasana/

Selanjutnya rangkaian Galungan adalah penyajaan dan penampahan. Kegiatan penyajaan dan penampahan disamping mempersiapkan sajen juga dilengkapi kegiatan upacara. Memang seharusnya mulai berani untuk memberi penjelasan mengenai agama Hindu Bali yang penuh upacara yang dipenuhi dengan sajen. Seringkali “Banten” atau dalam bahasa Indonesia modern disebut sajen, mendapat kritikan dan keluhan sebagai pemborosan bahkan kemudian ada juga yang hampir ‘melecehkan’ seolah banten itu tidak ada penjelasannya. Banten atau persembahan, sebagai perlambangan dalam tradisi Agama hindu Bali memang tidak akan ditemukan pada Hindu di India, misalnya.

Banten adalah tradisi Hindu Bali yang memiliki pengetahuan yang maha luas; tak hanya menyangkut tata krama pembuatannya, juga dibutuhkan keterampilan dan kesungguhan hati; proses pembuatannya adalah juga meditasi bahkan setara dengan yoga.  Dalam batas tertentu, betapa banyak lontar yang membahasa soal banten, ahlinya adalah orang suci disebut Tapini. Pada dasarnya banten adalah persembahan dari isi bumi yakni Mataya: segala yang tumbuh, seperti daun-daunan, buah, bunga. Kemudian mantiga: artinya telur termasuk yang terlahir dari telur; diantaranya ayam,itik, angsa, ikan, dll. Kemudian Maharya yang hidup tak ditetaskan seperti binatang berkaki empat, kambing, babi, kerbau, dsbnya.

Disamping yang sarwa prani itu banten juga dilengkapi dengan sarana api, minyak, logam, permata, dst. Dari bahan Agama Bali juga mentatakramakan bagaimana meletakkan banten yaitu atas atau disebut uttama angga, bagian tengah; Madhya angga, dan bagian bawah; itu disebut nistha angga; seperti caru, banten sor-surya, banten byakala, dll.

Jika diperhatikan baik-baik banten juga memadukan seni dan warna; pada alas/ tempat banten disajikan ada yang berbentuk segitiga, sebutlah tangkih; itu adalah simbolik trikona; utpati, sthtiti dan praline; itu adalah tanda pemahaman akan siklus hidup; lahir- hidup dan mati. Kemudian jika itu segiempat; biasanya disebut aled, kadang disebut ceper, adalah pengingat akan catur marga yaitu bhakti, karma, jnana dan yoga marga. Itu adalah pengingat akan empat jalan untuk mencapai kesempurnaan. Lalu alasa/wadah yang berbentuk bundar, seperti tamas adalah lambang windu atau kosmos: bahwa manusia selalu ingat akan peciptanya. Dalam hal pilihan warna, banten juga memiliki arti terutama pada jajan; jika warna putih itu lambang dewa Iswara, dia yang menjaga dunia disepanjang arah timur, warna merah lambang brahma, penjaga arah selatan, warna hitam, dia wisnu penjaga arah utara, warna kuning itu lambang mahadewa, dia yang menjaga arah penjuru barat, kemudian warna campuran disebut berumbun adalah lambang dewa siwa, poros dari arah kehidupan.

Disamping itu jika memperhatikan bagaimana keterampilan membuat janur, memotong, menjahitnya; disebut mejejahitan bukanlah sekedar membentuk keindahan, bahkan beberapa banten khusus jejahitannya berwujud: wajra, dupa, dandha, moksa, pasa, angkusa, cakra, trisula dan padma. Kemudian seni lukis; rerajahan juga ada dalam banten antaranya melukiskan huruf-huruf suci Om, wijaksara, lambang Hyang widhi, Ang, lambang dewa brahma, lambang api, sang pemimpin. Kemudian Ah, lambang wisnu, lambang amrtha; lambang hidup: urip! Sedangkan bentuk lukisannya ada padama lambang kosmos, wajra lambang segala macam penjuru arah timur, kemudian lambang penjuru tenggara dupa; dst.

Kemudian penataan banten; salah satunya adalah kekhususan mengenai kue/penganan yang disebut jajan itu berasal dari kata ‘jaja’ artinya dada bermakna adalah kesiapan batin untuk mengerti, untuk iklas dan suci, karena itu yang paling umum penggunaan jaja uli-gina: putih merah; itu perlambang: aji akasa dan meme gumi; lambang langit dan bumi. Sedangkan buah adalah pengingat akan hasil karya tri kaya; phala; hasil kerja yang baik yaitu subhakarma. Dan mungkin jika dibahas soal penjelasan banten; dari lima macam yadnya yang ada; akan memberi pengetahuan yang luas, bahwa agama Hindu Bali dengan bantennya tidaklah bertujuan pemborosan, apalagi tanpa makna. Sebab beragama itu adalah keyakinan; jadi bukan soal ukuran materi apalagi kemudian dihujat dikatakan tanpa dasar filsafatnya; duhai….jika itu terjadi, itu pastidikeluarkan oleh yang bukan beragama Hindu Bali.

Saat memasuki penampahan, suasana rumah-rumah umat Hindu Bali adalah suasana persiapan pesta. Karena itu pertanyaan yang seringkali muncul disaat penampahan Galungan adalah ‘ajikude mepatung?” dan kemudian urusanmelakukan upacaranya dilakukan secara formal. Hingga kian lama pemahaman mengenai upacara penampahan galungan berkurang. Lebih sibuk kemudian memikirkan berapa kilo daging babi yang akan dimasak. Padahal, di hari penampahan itu, upacara yang utama dalam rangkaian galungan, yaitu melakukan : Byakala atau Beakaon. Byakala di saat penampahan galungan dilakukan pada sore hari (sandikala), ada juga yang melakukan di tengah hari, tetapi dalam perintah sucilebih disyaratkan dilakukan disaat sandikala.

Di hari penampahan galungan ada dua sebenarnya upacara yang dilakukan yaitu bhuta yadnya yang ditujukan untuk Sang Bhuta Kala Amangkurat/Sang kala Tiga yaitu berupa segehan agung yang diletakan di pekarangan rumah,halaman rumah dan pintu masuk pekarangan rumah/ lebuh ini yang dihaturkan di siang hari, sedangkan byakala dilengkapi prayascita dan sesayut peminyak kala dilakukan saat sandikala; saat melakukan byakala disertakan semua peralatan yang digunakan bekerja untuk keseharian hidup diprascita; untuk byakala dikecualikan bagi anak yang belum tanggal gigi. Usai byakala dilakukan kemudian natab atau disebut ngayab. Rangkaian upacara ini bisa terjadi perubahan sesuai dengandesa, kala, patra, bahkan sesuai tradisi keluarga masing-masing,

namun pada prinsipnya bermuara warah: perintah suci yang disampaikan melalui Sri Jayakesunu, : "Muang ta kita anakku, kita abyakala, tekaning wadwa nira swang rikala Kala telu ring Dungulan luirnya: dangdangan 1, segeha penek 5, iwak jajath 5 katih, gegecok rumbah gile, sasah mentah, pencok kacang ijo, amel-amel, iwak sinujen wakul gangagan sakawali. Genahing caru tengahing natar, sambatin Sang Bhuta nadah, ma. Om Kaki Bra Galungan, BhataraKala Bhatara Jabung, Bhatara amangkurat, Sang kala Enjer Sang Yamaraja, Kaki Sang Kala Nadah, away nadah pun anu, apan pun I anu, samakira, angion kararon tkalawan sira, pun sira anu sih asanak kalawan sira, sira asih asanak ring pun anu, wruh ring rupa warnanira tan akuning tan airing sedang bang-bang awak adegira tan andap tan aluhur, sedengpasagi, romanira tan akas tan alemes, sedeng kumembang waru, sampun denira nadah ring pun anu, bedikan sira angluwarana sakeling rogan ipun, papa klesa sangut sangkala dandapradewa, ujar ala, ipun ala, asunga nugraha rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujana kulit, akulit tembaga awalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pengraksa nireng sira Ajikesunu, mangkana pangarsana nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina kalawan wengi, om nama swaya nama. Telas."

ujuan melakukan upacara penampahan galungan jika itu untuk bhuta yadnya; adalah mengembalikan, menyomiakan, ke tempat asalnya semula, kemudian permohonan semoga manusia dalam hidupnya dapat melanjutkan kehidupannya dengan lebih berkesadaran, memahami akan segala emosi dalam diri, segala kekurangan dalam diri, dst.

Yang kini sering tak terdengar dalam upacara penampahan galungan adalah ‘sehe’ yaitu mantra Bali Kuna, yang merupakan tradisi puja Bali; misalnya untuk menghaturkan segehan, dahulu biasanya kepala rumah tangga atau salah satu keluarga yang sudah diwinten akan memimpin penghaturan segehan itu dengan mengucapkan; "Pukulun, sira kaki Begawan Galungan Betara Kala, Betara Jabung, iki pasuguhan manusanta, lawan sira, sangkala-jabang, iki pasuguhan manusanta, lawan sira, sangkalasama daya, lantarimanen, sasing kirang, asing puput, iki pirak 200, maka pamikunia manusa, anede rahayu, suasti astu suaha. Telas."

Atau jika ada yang ingin lebih lengkap: mengucapkan mantra sehe ini: Om Kaki Bra Galungan, Bhatara Kala Bhatara Jabung, Bhatara amangkurat, Sang kala Enjer Sang Yamaraja, Kaki Sang Kala Nadah, away nadah pun anu, apan pun I anu, samakira, angion kararon tkalawan sira, pun sira anu sih asanak kalawan sira, sira asih asanak ring pun anu, wruh ring rupa warnanira tan akuning tan airing sedang bang-bang awak adegira tan andap tan aluhur, sedengpasagi, romanira tan akas tan alemes, sedeng kumembang waru, sampun denira nadah ring pun anu, bedikan sira angluwarana sakeling rogan ipun, papa klesa sangut sangkala dandapradewa, ujar ala, ipun ala, asunga nugraha rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujana kulit, akulit tembaga awalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pengraksa nireng sira Ajikesunu, mangkana pangarsana nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina kalawan wengi, om nama swaya nama.

Kemudian ketika ngayab diucapakan oleh semua orang yang ngayab: sambil mengulapkan tangan kea rah dada; "ayab sari….rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujana kulit, akulit tembaga awalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pengraksa nireng sira Ajikesunu, mangkana pangarsana nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina kalawan wengi, om nama swaya nama." Artinya secara bebas: berilah kerahayuan, sehat, panjang umur, sekempurnaan, kekebalan dengan baju berkulit tembaga, bertulang besi berotot kawat, terhindar dari segala sakit semoga sebagai penjaga sir jayakesunu…..jagalah selalu, baik pagi maupun sore, siang dan malam. Ya Hyang widhi semoga berkenan kusebutkan permohonan ini atas nama Siwa.

Memang Galungan dan Kuningan adalah rangkaian upacara yang sering disebut sebagai piodalan jagat; penghormatan dan rasa kasih tak terhingga kepada alam semesta dan leluhur. Hindu Bali memang mendasarkan kepada pemujaan leluhur, penghormatan kepada alam semesta dan kepada penganutan siwa-buddha. Ketiganya terjalin dalam ‘kasuksmaan; yang mendalam baik kepada  ajaran siwasidhanta maupun Buddha wajrayana (tantrayana); seringkali Hindu Bali ini dikritik karena terlalu banyak upacara, namun tertutup dan pelit dalam menjelaskan kasukmaa(tatwa/teologinya): untuk perayaan Galungan dan Kuningan rujukan kitab sucinya adalah sundarigama atau jayakesunu, sebuah kitab yang menjelaskan tata krama merayakan dan alasannya bergalungan dan kuningan, dan itupun masih dianggap penjelasan yang terlalu singkat untuk memahami lebih mendalam bagaimana bhuwana alit (mikrokosmos) yang ada di dalam Bhuwana Agung (kesemestaan itu), jarang yang paham penganut Hindu Bali sesungguhnya berpegang kepada banyak kitab suci: baik dari ajaran suci siwa sidhanta maupun Buddha Wajrayana.

Karena itu, bagaimana memahami kejauhan dan kedalaman yang tak terbayangkan itu, mengapa agama Hindu Bali bertujuan salah satunya adalah mencapi jagadhita (surga itu seharusnya di bumi dahulu); bagaimana hubungan antar manusia, kemanusiaan itu harus diselesaikan pencapaiannya, kemudian manusia dengan alam dan juga kepada leluhur serta kepada Tuhannya. Keserentakan itu jelaslah tak mungkin dijelaskan dengan mudah dan cepat, setiap saat keterbatasan manusia menjadikan segala macam pertanyaan akan melompat keberbagai hal sebab; segala macam upacara itu sungguh indah dan menawan dan juga memiliki maknanya sendiri. Namun kemajuan zaman, hubungan yang melintas kemana-mana, kekaguman pada prinsip penghormatan kepada alam semesta ini seringkali menuntut jauh ke dalam untuk menjawabnya; sebuah pertanyaan yang sering datang dari mereka tidak memahami Hindu Bali adalah apakah agama anda memiliki tuhan? Sebab begitu banyak dewa, batara, bahkan ‘hyang’ yang kalian puja? Ejekan yang paling sering menyertai pertanyaan itu adalah bahwa Hindu Bali adalah kaum berhala bahkan kafir. Bahkan beberapa cendekiawan Hindu Modern pun kadang berseru; seharusnya mereka (kami) diluruskan! dikembalikan ke jalan weda! Semua itu, mungkin enggan diutarakan secara terbuka. Tetapi dalam perenungan, kejujuran memilih untuk menemui kenyataan; kedamaian dan pengertian agar tidak menjadi ganjalan, seharusnya disampaikan bahwa Hindu Bali memiliki keyakinannya akan tradisi religinya.

Yang diperlukan adalah menjawab dengan tenang bahwa Hindu memang berasal dari India, tetapi Hindu Bali tidak sama dengan Hindu India. Dalam kepahaman siwasiddhanta maka penjelasan dari jnanasiddhanta itu: "Ekatwanekatwa swalaksana bhattara. Ekatatwa ngaranya, kahidep makalaksana ng siwatatttwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanira. Mangekalaksana siwa karana juga, tan paprabheda….Aneka ngaranya kahidepan bhattara makalaksana caturdha. Caturdha ngaranya laksananiran sthula sukma parasunya": sifat bhattara adalah eka dan aneka. Eka (satu, esa) artinya Ia dibayangkan bersifat siwatattwa. Ia hanya esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat esa saja sebagai siwakarana, Ia sebagai pencipta, tiada perbedaan. Aneka itu artinya bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah sthula sukma para sunya. Jika ditanya apakah kemudian rujukannya ke ajaran asalnya pada kitab suci weda; makaperhatikanlah isi dari Rg Veda: Idram mitram varuna agnim ahur atho divyah sasuparno garutman. Ekam sad vipra bahudha vadantyagnim yamam matarisvanam ahuh : mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya yaitu Garitman yang bersayap elok. Satu itu (Tuhan) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.

Ketika pertanyaan demi pertanyaan itu muncul, bahkan disaat Galungan dan Kuningan apakah berhenti pada pemaknaan upacara; kepada perayaan diri dalam bagian sang bhawana agung. Bahwa dalam kasukman, ajaran mendasar dalam siwasiddhanta telah dijelaskan; bagaimana menjawab asal muasal ini semua, jika benar engkau sebuah ajaran mulia: Galungan dan Kuningan mengisyaratkan pula akan ajaran bagaimana terjadinya alam semesta; perhatikan pada penjelasan mengenai Pancamahabhuta;…."Sangka ring pancatanmatra mtu tang pancamahabhuta. Akasa mtu saking sabdatanmatra, hawang-hawang huwung-huwung tan pagamongan, maweh awan laksananya, sabda pinaka gunanya, wayu mtu saking sparsatanmatra, riwut pata barat prahara, angulahaken laksananya, sparsa pinaka gunanya. Teja Mtu saka ring rupatanmatra, prakasa pada apanas pinaka gunanya, rupa pinakagunanya. Apah mtu saka ring rasatanmatra, amles laksananya, sadrasa pinaka gunanya. Prthiwi mtu saking gandhatanmatra, akasaganal laksanannya. Gandha pinaka gunanya, ikang gandha tiga prabhedanyanya. Surabhi, asurabhi, sa ca gandha sadharanah,surabhi ngaran awangi, arubahi ngaran abo, sa ca gandhasadharanah, ikang tan awangi tan abo nga; nahan ta laksana nikang prthiwi, yeka pamkas ing tattwa tunggal ganal, ikang prthiwi, apah, teja, wayu, akasa ya ta ginawe bhuwana de bhatara, ardha ruhur suminduhur tatumpang tumpangan laksananya, ikang tattwa I ruhur pinaka guna dening tang tattwa isor"

Dalam tatwajnana, salah satu kitab pegangan suci siwasiddhanta; telah dijelaskan bagaimana asal muasal pancamahabhuta, bagaimana sebenarnya asal alam ini; dan itu menjadi jelas jika kemudian dibaca dalam bhuwana kosa: lwir bhattara siwa magawe jagat, brahma rupa siran pangraksa jagat, wisnu rupa siran pangaraksa jagat. Rudra rupa sira mrlayayaken rat, nihan tawak, bheda nama. Penjelasan dalam bhuawana kosa ini menjelaskan Tri Murti itu; brahma wujud tuhan saat menciptakan dunia, wisnu saat memelihara, rudra saat mempralina; memusnahkan dunia.

Karena itulah pentingnya memahami pancamahabhuta itu; yang disaat galungan dan kuningan akan dikemukakan tentang …Bu Ka, galungan, nga, patitis ikang ajnana sandi,galang apadang,maryakena sarwa byaparaning idep,…..artinya itu Budha galungan adalah mengarahkan bersatunya pikiran agar menjadi terang dan berkesadaran tinggi, untuk melenyapkan penyebab kekacauan pikiran. Rangkai awalnya apa yang disebut ‘nguncal balung’; bagaimana melepaskan keegoan dalam diri, kemudian segala keinginan yang berkelebihan;dst. Perhatikan salah satu kalimat yang indah ini; Om Kaki Bra Galungan, Bhatara kala, Bhatara jabung, Bhatara kala amangkurat, Sang Kala ejer, sang kala yamaraja, Kaki sang kala Nadah….dst! Kala adalah energi,unsur, dia itu juga berasal dari pancamahabhuta; berasal dari kesemestaan, yang sering kita lupa sebagai manusia, yang mengira tidak memikili kaitan dengan keasalan yang ada didalam bhuwana agung.

Maka dalam soal bahwa Hindu Bali memiliki tradisi religi PEMUJAAN LELUHUR, yakni Pemujaan dan penghormatan kepada Nini Patuk dan Kaki Patuk misalnya sebagai dewa pertanian dalam khasanah ketuaan keyakinan Hindu Bali menempatkan gunung sebagai ‘rumah akhir’ daripada para leluhur, tak pernah tergoyahkan tradisi pemujaan pada leluhur ini sekalipun ajaran Hindu (style India) memasuki Bali bahkan masuknya Hindu justru menguatkan pemujaan kepada leluhur itu. Gunung (giri) kemungkinan area yang paling awal ditempati manusa Bali, jika mengingat berbagai penemuan arkeologis dari kapak berimbas hingga tradisi Desa Trunyan dengan kekhasannya memuja Batara Da Tonta.

Dan bandingkanlah kemudian bagaimana gunung dalam tradisi Hindu di india yang terbaca dalam berbagai itiasa dan purana menempatkan gunung sebagai stana para dewa-dewa dan di Bali kemudian gunung juga adalah tempat stananya watek dewata-dewati; para leluhur. Keduanya kemudian menyatu dan disatukan, saling menguatkan. Upacara pitra yadnya misalnya menemukan kesepahamannya dalam proses terselenggarannya ngaben, memukur, maligia; ada penyatuan antara para dewata dengan yang dipuja; konsep ini bertemu dengan bagaimana memahami atman sebagai bagian paramatman, inilah yang kemudian dijadikan pegangan sebagai satu pemujaan disebut Atmasidhadewata. Begitulah kemudian mengapa hingga kini orang Bali setia menjaga tradisi pura paibon, dadia, panti, dst. Setia pula menjagababad/sejarah keluarganya; selalu berusaha dan mengingat silsilah keluarganya.

Karena itu semua akan terus berkaitan dalam keyakinannya yaitu pemujaan leluhur, yang memang kemudian menjadi salah satu kekhasan hindu Bali. Banyak kemudian yang mengeritik, trend masyarakat Bali di masa kini yang sangat rajin mengurai asal muasal, silsilah, dst melalui babad, melalui berbagai karya sastra sebagai penanda kegamangan menghadapi modernitas. Memang, beberapa pencari itu masuk ke wilayah sentimen masa lalu, berada dalam area seolah ingin menjadi bagian keluhuran leluhurnya, walau diri dan kenyataannya kini berbeda. Namun sejatinya, kebanyakan proses penyastraan yang berkaitan dengan babad, dst; adalah salah satu jalan keyakinan bagi orang bali, sebab akan terkait tak hanya pada pemujaan leluhur juga nanti merembet kepada tata krama lainnya; dalam tradisi maguru sisia, kemudian dalam tata krama sima krama, sumbah ka sumbah; dst, dan itu tidak terkait dengan kefeodalan ataukah kefanatikan; sebab tradisi pemujaan leluhur memang ada disebut saudara yang lebih, lebih kecil; bahkan dalam keluarga kecil, ini kelak menyangkut tradisi surud menyurud; dst. Karena itu, masih akan berputar sekitar pada salah satu keyakinan mengenai pemujaan kepada leluhur yang dipercaya bisa temurun (lahir kembali).

Kembali dalam rangkaian Hari Raya Galungan, pada saatnya akan bertemu hari raya Kuningan, tradisi pemujaannya dilakukan di pagi hari, semua persembahan dilakukan sebelum matahari melewati titik tengah putaran sang bumi. Pada masa kecil jika ditanyakan kepada orang tua, kenapa harus pagi-pagi sekali, jawabannya; amun sanje atau melewati tengai tepet, nyanan maan dewa maong atau para leluhur, dewata-dewati telah pulang ke jawa (ke luar sana!, bukan jawa pulau). Sesungguhnya makna yang hendak disampaikan adalah mengenai ‘siklus’ perjalanan surya candra. Sebagai rangkai maka ‘tengahing dalu’ ataukah ‘tengai tepet’ menjadi ujung yang akan membawa nemu gelang. Seperti ujung-ujung yang hendak bertemu.

Semua rangkaian upacara di Bali ini tak mungkin lepas dari tradisi agama siwa siddhanta, siwa-buddha, yang mana seribu tahun yang lalu Mpu Kuturan melakukan sebuah pesamuhan agung mengenai penyatuan semua ‘paksa’ atau sekte di Bali. Tujuannya adalah menegaskan bahwa beragama adalah menciptakan surga dibumi. Jangan membiarkan para penganut agama itu terlibat dalam debat dan pertengkaran siapa dewa pujaan yang paling unggul, sebab ketiganya itu tri murthi, tuhan oleh yang bijaksana disebutkan dengan berbagai nama. Ketika kedangkalan kefanatikan tiba, maka para penganutnya akan sibuk bertengkar dan sibuk mengunggulkan manifestasi tuhan itu, akan merusak tujuan sesungguhnya hidup, yakni kedamaian.

Karena itu dengan bahagia, warisan Mpu Kuturan itu dilanjutkan hingga kini oleh semua paksa, sekte, mashab di Bali tersatukan dalam sebutan ajaran siwa siddhanta sebagai sebutan yang dipahami; didalamnya itu ada semua ajaran paksa dan sekte; wilayah pertama itu dalam tattwa, yang tak bisa disebut paling bawah tak juga bisa disebutkan paling atas, namun inilah kepahaman yang paling mudah dipahami oleh kesibukan manusia yang berakal budi dengan segala godaannya; mengenai apa yang disebut tatwa mahesa, dalam tataran sakala, yang muaranya pada Jnana sakti dan Kriya Sakti, keduanya ini paling dekat dan paling mudah dirasakan manusia; pengetahuan dan karya, hasil kerja hidup.

Dalam tatwa mahesa inilah dikenal apa yang disebut mahesamurti, ini yang sering tidak dijadikan perdebatan lagi, dilakukan secara gugon tuwon (mule keto) bahwa bagian tatwa inilah yang menjelaskan mengenai ketiga proses dunia, yaitu Sristi (penciptaan), Sthiti (perlindungan), dan Laya(kehancuran). Ketiganya diwujudkan dalam bentuk pemujaan, itu sekala yang paling dapat dijangkau oleh daya pengertian manusia mengenai tuhan dengan manisfestasinya; baik di parahyangan, pawongan, palemahan. Ketiganya itu

kemudian pada Sthiti barulah memahami tri murti; rudra, wishnu dan brahma. Ini pemahaman paling sederhana mengenai bagaimana bhuwana agung itu berkaitan dengan bhuwana alit; bagaimana memahami panca mahabhuta; lima unsur besar dalam kesemestaan yang menjadi elemen pula dalam perwujudan manusia yang sekala, yang nyata.

Dari dasar yang tidak di bawah tak juga di atas ini, barulah memahami ke wilayah Sada Siwa, di tahap inilah memahami apa itu isana, apa itu tat purusha, apa itu sadyojata, aghora bahkan wisnu sekalipun sebagai bagian memahami karmasadakahya. Pada puncak yang sering tak lagi diajarkan adalah bagaimana memahami siwa tatwa, Buddha tatwa; mengenai apa itu yang disebutkan menjadi lima sakti; para shakti, adi, ichacha, jnana dan kriya sakti.

Dalam tradisi Hindu Bali, yang mewarisi tradisi luhur (dia yang jauh di sana, dia yang sangat tak terbayangkan); pada tingkat praktiknya pemujaan adalah pada sikap-sikap melakukan apa yang tercakup pada mahesamurti, karena itu di hari Kuningan, upacara segera dilakukan sebelum matahari melewati titik kulminasinya, sebab pada proses itulah kemudian memahami bagaimana atma didalam diri yang tergelapkan oleh kelahiran sesungguhnya juga ada dalam paraattma. Karena itu para dewata-dewati itu dinyatakan akan segera ‘mur’ (dari asal kata amurttata; niskala pada tatwa sada siwa), pulang kembali ke jauh ke tempat yang tak terbayang. Di situlah kemudian pertanyaan akan muncul, andai selama hidupnya ada dewata-dewati kita melakukan kesalahan karena kriyanya, karena jnananya, bukankah seharusnya di neraka? Bagaimana mungkin kemudian dia datang mengunjungi keturunannya di bumi?

Di sinilah kemudian dijelaskan; bahwa yang disebut sebagai ‘alam di sana’ tidak sebagaimana sekalayang dipikirkan manusia membayangkan surga dan neraka sebagai tempat. Bahwa semua energi itu yang menjadi asal dan kemudian kembali ketika kematian tiba; menemui ‘asali’ jnana dan kriyanya. Bahwa semua unsur itu meletakan kesuciannya pada suatu proses yang maha tak terbayangkan. Maka kemudian dalam tingkat pemahaman yang paling sekala, yang paling sederhana; semua leluhur itu tak pernah tiada, dia ada. Sebab selama kita ada, maka dia ada. Itulah kemudian diri ditenangkan, diberikan keyakinan; betapa tugas yang terindah dari hidup adalah menjaga keharmonian.


(DEMIKIAN, HASIL NGEMPU DUA BUJANG KECIL, kantun melajah, kirang langkung ampurayang/ cok sawitri)