Betapa sering gugupnya ditengah negara yang mematok definisi agama. Banyak anak muda Bali yang pergi merantau jauh dari pulaunya, mengalami kesulitan apabila disindir, apa yang kalian sembah? Bahkan beberapa kawan yang merasa telah dicerahkan, ikutan bertanya, mempertanyakan bagian terpenting dari Agama Hindu Bali itu: sembah. Dalam makaula guru, para orang tua di bali dengan gugon tuwon menjelaskan mengenai ‘hirarkie’ sembah kepada siapa ‘boleh’ bila itu sembah yang dilakukan disaat sama-sama hidup, pada pura mana atau bagian mana saja yang ‘boleh’ disembah. Atau sama sekali: tidak boleh. Kerap bagi yang tak mengertu tentang wahyadhyatmika ning sembah (pemujaan lahir batin) akan salah kaprah, terutama apabila ada kebaruan dalam hubungan kekeluargaan, yang satu merasa direndahkan, yang lain dianggap terlalu arogan; disebabkan penjelasan mengenai soal sembah ini dilakukan dengan gugon tuwon: de, nak mule keto!
Raja Pranaraga, yang duduk di dekat kaki sang guru, mempertanyakan hal ini, mewakili kita yang memang di zaman ini merasa setara dan bebas memutuskan soal sembah. Maka Sang guru menjawab dengan gambaran bahwa itu disebabkan ada banyak cara pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat karena ada catur loka pala, ada panca dewata, ada asta dewata, ada pitara, ada tanah, adaa langit, ada guru, bapak-ibu, lalu ada pura, meru, sanggah terutama laut, danau, bukankah bagi Hindu Bali, itu semua dipujanya?—Itulah yang membingungkan pikiran Raja Pranaraga, murid yang mewakili kebingungan kita.
Diingatkan dalam makaula guru ini, prinsip kehati-hatian untuk tidak terburu-buru, berprasangka, sebab berguru mengenai tatwa, tidak hanya kecerdasan dan ketekunan, namun juga kelapangan hati untuk menghadapi ketidaktahuan diri. Pendeta agung, Danghyang Asmaranatha memberi jawaban kepadaa kebingungan dengan,” sebabnya banyak yang menerima sembah, sebab satulah Dia yang disembah dengan yang menyembah.Jika tidak ada yang menyembah, maka tidak ada yang disembah. Ida Sang Hyang Widi, sang hita wakya, sebab sebenarnya antara Atma dengan Dewa (batara) itu tunggal. Sang Hyang Widi merupakan wujud alam semesta, siang dan malam membayanginya, senantiasa mengetahui baik buruknya dunia, segala mahluk hidup dan mati, semua tumbuh dari tubuh Hyang Widi, sebagai permainan dalam baik-buruknya kebenaran dan harta. Segala yang lebih mulia dan pantas dihormati. Segala yang lebih rendah sebagai sarana pantas menyembah. Itulah alatnya dharma. Keduanya itu, dianggap Sang Hyang Widi, karena sesungguhnya manusia yang hidup itu kotor (amat) dan penuh dosa. Jika kalian tidak menyembah Widi, kalian artinya tidak menyembah leluhur. Hanya saja ketika ia masih hidup, manusia dia, namun bila dia mati, jika suka berbantah-bantah soal ini, semoga ia dilahirkan kembali menjadi lintah, cacing, ular kecil, rayap, dll.
Perhatikan dengan hati-hati penjelasan di atas. Bagi orang Bali soal sembah kenapa para orang tua sangat ketat dan bahkan terkesan fanatik,sebab jika sembah tidak dalam keperluannya; maka itu menyembah kepada yang tiada menerima sembah. Maka diingatkan bahwa ada tata cara menyembah, bagaimana memahami pradana Hyang Widi di dalam diri, itu sering dalam bahasa para yogi disebut Dewi Nirjnani, tak peduli laki atau perempuan; semuanya memiliki dewi dalam dirinya; inilah dewanya kelepasan, yang bersemayam di tengah padma, dilautan madhu, berpayung padma angalayang. Itulah yang seharusnya menjadi Gama, yakni memahami yang ada dalam diri, sehingga memahami kemudian pradana itu, yang sesungguhnya dalam diri sebagai Hyang Kabuyutan. Dengan cara demikian,maka tata cara menyembah, aturan menyembah tidak akan membuat siapapun merasa tak nyaman: sebabnya dia tahu menyembah kepada apa.
Siwa Gama sebenarnya telah menyiapkan umat Hindu Bali untuk bertemu dengan keraguan masa depan akan keyakinannya sendiri. Pada Sargah ini, ditanyakan pula, siapa asta dewata itu? Mengapa ada dewi-dewinya? Lalu siapa Yamadhipa itu? ---Itu sebab orang tua di Bali, selalu menularkan pengetahuan ini dengan cerita, sebab jika cerita bagi anak-anak dan remaja, tidak akan menimbulkan protes dan ekspresi yang menegasi. Mengenai Asta Dewata ini, selalu diceritakan dengan kisah bahwa dahulu kala, saat terbayangkan, bumi ini belum ada, belum ada kehidupan. Sang Hyang Adi Sukma murka dan kecewa kepada putra-putranya yang dikenal dengan sebutan Catur Dewata (bukan catur dewa!): catur dewata! Yaitu Sang Kusika, Sang Garga, Sang Maitri dan Sang Kurusya. Sebab keempat putranya itu adalah badan Hyang Widi, maka disebut pula catur cadhu sakti namun karena menolak titah Hyang widi, dikutuk dan jatuh menjadi catur bhuta. Dalam sekejap entah mengapa Hyang widi menciptakan kembali Catur Dewata. Ini yang biasanya disebut Siwareka. Sebab seperti terjadi duplikasi; nga-reka. Dari sinilah ajaran tatwa mreta lahir. Ajaran ini disambut oleh Pratanjala yang diciptakan kembar dampit dengan canting kuning. Maka sang catur dewata itu berubah akibat Pratanjala bergabung menjadi Pancasiwa, lalu Hyang widi menampakan dirinya kemudian dalam batinya Siwareka, melengkapi itulah; yang disebut astadewata. Memang tidak mudah untuk belajar mengenai tattwa Siwa Gama ini, bukan karena disembunyikan, bukan karena difanatikan oleh para guru, namun jika tidak hati-hati maka tersalahpahami. Perhatikan kemudian bahwa keempat Cadusakti itu, yang juga merupakan sabda gaib dari Hyang widi, yang disebabkan mempertanyakan perintah awal penciptaan semesta berubah menjadi penampakan yang menakutkan. Kisah-kisah dalam rumah tangga bali, pastilah akrab dengan nama-nama: Sang Jogormanik, Sang Yamapati, Sang Dorakala, dan Sang Citragopta.
Lalu dimana letaknya Weda? Selalu penganut Hindu di era ini, setelah merasa telah berjalan-jalan ke berbagai belahan dunia membutuhkan ayat suci untuk mendandani badan religiusnya sebagai penganut Hindu. Dalam Siwa Gama, maka salah satu ayat yang kini digunakan sebagai bagian ayat Tri Sandya; Om Ksmasvamam mahadevah, sarva prani hitangkarah, mam moca sarva papebyah, palayaswa sadasiwa, itu adalah ayat suci yang diucapkan oleh catur dewata ketika memohon ampun kepada Hyang widi, memohon atas segala kesalahan, ucapan ini datang dari dua dewata yang bungsu, lalu disusul oleh dua dewata lainnya: Om ksamasvamam jagatnatha, sarva papa nirantaram, mam mocca sarvapapebhyah, palayaswa sadasiwa. Itu sebabnya; mantram pemujaan kepada siwa terdiri atas dua permakluman. Bagi orang Hindu Bali kenapa tidak mau sembarang mengajarkan anak-anaknya mantram weda, disebabkan Siwa Gama, yakni jika tak tahu mengapa ayat suci itu diwahyukan, maka membaca ayat suci sama saja dengan cuma menggumamkan kata-kata. Inilah kaitan mengapa dalam Hindu Bali sembah dan mengucapkan weda itu selalu dengan sikap hati-hati, kesannya memilih dan tertutup. Tidak bisalah kemudian, karena trend mudahnya membeli kitab weda, membuat sembarang dapat membacanya. Bukan badan religi yang dikejar, tetapi sejatinya Ma-gama.
(BERSAMBUNG, kantun melajah, kirang langkung ampurayang)
Raja Pranaraga, yang duduk di dekat kaki sang guru, mempertanyakan hal ini, mewakili kita yang memang di zaman ini merasa setara dan bebas memutuskan soal sembah. Maka Sang guru menjawab dengan gambaran bahwa itu disebabkan ada banyak cara pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat karena ada catur loka pala, ada panca dewata, ada asta dewata, ada pitara, ada tanah, adaa langit, ada guru, bapak-ibu, lalu ada pura, meru, sanggah terutama laut, danau, bukankah bagi Hindu Bali, itu semua dipujanya?—Itulah yang membingungkan pikiran Raja Pranaraga, murid yang mewakili kebingungan kita.
Diingatkan dalam makaula guru ini, prinsip kehati-hatian untuk tidak terburu-buru, berprasangka, sebab berguru mengenai tatwa, tidak hanya kecerdasan dan ketekunan, namun juga kelapangan hati untuk menghadapi ketidaktahuan diri. Pendeta agung, Danghyang Asmaranatha memberi jawaban kepadaa kebingungan dengan,” sebabnya banyak yang menerima sembah, sebab satulah Dia yang disembah dengan yang menyembah.Jika tidak ada yang menyembah, maka tidak ada yang disembah. Ida Sang Hyang Widi, sang hita wakya, sebab sebenarnya antara Atma dengan Dewa (batara) itu tunggal. Sang Hyang Widi merupakan wujud alam semesta, siang dan malam membayanginya, senantiasa mengetahui baik buruknya dunia, segala mahluk hidup dan mati, semua tumbuh dari tubuh Hyang Widi, sebagai permainan dalam baik-buruknya kebenaran dan harta. Segala yang lebih mulia dan pantas dihormati. Segala yang lebih rendah sebagai sarana pantas menyembah. Itulah alatnya dharma. Keduanya itu, dianggap Sang Hyang Widi, karena sesungguhnya manusia yang hidup itu kotor (amat) dan penuh dosa. Jika kalian tidak menyembah Widi, kalian artinya tidak menyembah leluhur. Hanya saja ketika ia masih hidup, manusia dia, namun bila dia mati, jika suka berbantah-bantah soal ini, semoga ia dilahirkan kembali menjadi lintah, cacing, ular kecil, rayap, dll.
Perhatikan dengan hati-hati penjelasan di atas. Bagi orang Bali soal sembah kenapa para orang tua sangat ketat dan bahkan terkesan fanatik,sebab jika sembah tidak dalam keperluannya; maka itu menyembah kepada yang tiada menerima sembah. Maka diingatkan bahwa ada tata cara menyembah, bagaimana memahami pradana Hyang Widi di dalam diri, itu sering dalam bahasa para yogi disebut Dewi Nirjnani, tak peduli laki atau perempuan; semuanya memiliki dewi dalam dirinya; inilah dewanya kelepasan, yang bersemayam di tengah padma, dilautan madhu, berpayung padma angalayang. Itulah yang seharusnya menjadi Gama, yakni memahami yang ada dalam diri, sehingga memahami kemudian pradana itu, yang sesungguhnya dalam diri sebagai Hyang Kabuyutan. Dengan cara demikian,maka tata cara menyembah, aturan menyembah tidak akan membuat siapapun merasa tak nyaman: sebabnya dia tahu menyembah kepada apa.
Siwa Gama sebenarnya telah menyiapkan umat Hindu Bali untuk bertemu dengan keraguan masa depan akan keyakinannya sendiri. Pada Sargah ini, ditanyakan pula, siapa asta dewata itu? Mengapa ada dewi-dewinya? Lalu siapa Yamadhipa itu? ---Itu sebab orang tua di Bali, selalu menularkan pengetahuan ini dengan cerita, sebab jika cerita bagi anak-anak dan remaja, tidak akan menimbulkan protes dan ekspresi yang menegasi. Mengenai Asta Dewata ini, selalu diceritakan dengan kisah bahwa dahulu kala, saat terbayangkan, bumi ini belum ada, belum ada kehidupan. Sang Hyang Adi Sukma murka dan kecewa kepada putra-putranya yang dikenal dengan sebutan Catur Dewata (bukan catur dewa!): catur dewata! Yaitu Sang Kusika, Sang Garga, Sang Maitri dan Sang Kurusya. Sebab keempat putranya itu adalah badan Hyang Widi, maka disebut pula catur cadhu sakti namun karena menolak titah Hyang widi, dikutuk dan jatuh menjadi catur bhuta. Dalam sekejap entah mengapa Hyang widi menciptakan kembali Catur Dewata. Ini yang biasanya disebut Siwareka. Sebab seperti terjadi duplikasi; nga-reka. Dari sinilah ajaran tatwa mreta lahir. Ajaran ini disambut oleh Pratanjala yang diciptakan kembar dampit dengan canting kuning. Maka sang catur dewata itu berubah akibat Pratanjala bergabung menjadi Pancasiwa, lalu Hyang widi menampakan dirinya kemudian dalam batinya Siwareka, melengkapi itulah; yang disebut astadewata. Memang tidak mudah untuk belajar mengenai tattwa Siwa Gama ini, bukan karena disembunyikan, bukan karena difanatikan oleh para guru, namun jika tidak hati-hati maka tersalahpahami. Perhatikan kemudian bahwa keempat Cadusakti itu, yang juga merupakan sabda gaib dari Hyang widi, yang disebabkan mempertanyakan perintah awal penciptaan semesta berubah menjadi penampakan yang menakutkan. Kisah-kisah dalam rumah tangga bali, pastilah akrab dengan nama-nama: Sang Jogormanik, Sang Yamapati, Sang Dorakala, dan Sang Citragopta.
Lalu dimana letaknya Weda? Selalu penganut Hindu di era ini, setelah merasa telah berjalan-jalan ke berbagai belahan dunia membutuhkan ayat suci untuk mendandani badan religiusnya sebagai penganut Hindu. Dalam Siwa Gama, maka salah satu ayat yang kini digunakan sebagai bagian ayat Tri Sandya; Om Ksmasvamam mahadevah, sarva prani hitangkarah, mam moca sarva papebyah, palayaswa sadasiwa, itu adalah ayat suci yang diucapkan oleh catur dewata ketika memohon ampun kepada Hyang widi, memohon atas segala kesalahan, ucapan ini datang dari dua dewata yang bungsu, lalu disusul oleh dua dewata lainnya: Om ksamasvamam jagatnatha, sarva papa nirantaram, mam mocca sarvapapebhyah, palayaswa sadasiwa. Itu sebabnya; mantram pemujaan kepada siwa terdiri atas dua permakluman. Bagi orang Hindu Bali kenapa tidak mau sembarang mengajarkan anak-anaknya mantram weda, disebabkan Siwa Gama, yakni jika tak tahu mengapa ayat suci itu diwahyukan, maka membaca ayat suci sama saja dengan cuma menggumamkan kata-kata. Inilah kaitan mengapa dalam Hindu Bali sembah dan mengucapkan weda itu selalu dengan sikap hati-hati, kesannya memilih dan tertutup. Tidak bisalah kemudian, karena trend mudahnya membeli kitab weda, membuat sembarang dapat membacanya. Bukan badan religi yang dikejar, tetapi sejatinya Ma-gama.
(BERSAMBUNG, kantun melajah, kirang langkung ampurayang)
No comments:
Post a Comment