Seseorang yang mengaku spiritualis, rajin latihan yoga, menggagas kursus meditasi dan yoga, bertanya dengan skeptis; dimana letaknya Weda dalam Hindu Bali (?) Sambil berseloroh hampir saya menjawab dengan isyarat tangan; telunjuk mengarah ke dalam dada. Tetapi tentu ini tidaklah akan menenangkan kegairahan hatinya yang tengah merasa mensucikan dirinya.--- Dalam Siwa Gama, Gama itu berarti pegangan, mendasari untuk menjalankan perilaku spiritual dan religiusitas. Telah dipercakapan dengan sangat indah. Bayangkanlah, ketika membaca: bait suci tentang catur asrama, penjelasannya, karena ‘beliau’ menguasai trikaya parisudha, yang dinamakan wiku catur, dia yang datang tanpa kereta,‘seseorang’ yang duduk diatas batu tunggal, ‘dia’ yang tanpa menikah, ‘dia’ yang menjadi pendeta sejak kanak-kanak, ia yang tahu melaksana suryasevana, yang mampu melakukan penyucian atas dirinya sendiri. Bayangkan, bagaimana caranya kemudian mencari padanan mengajarkan bait suci kepada penganut yang awam. Maka dalam bentuk dialog dipercakapan; tanya jawab, dimanakah dia itu tempatnya dalam diriku? Lalu dijawab: dalam tri kaya Parisudha. Yang manakah disebut Trikaya? –yakni pada Kayika (tindakan), wacika (ucapan), manacika (pikiran) yang dibersihkan dengan keluhuran budi.
Lalu siapakah yang menjadi saksi bagi orang berbudi luhur? Tentulah Sang Hyang Adisukma, karena dialah Ida Sang Hyang Widi yang menunggal dalam diri, dikeliling lingkaran tiga windu, yaitu pangkal, di tengah dan di ujung. Maka pertanyaan yang skeptis lalu dijawab mantram sucinya: Om om siwaya namah/ Om om sadasiwaya namah/ Om om Paramasiwaya namah.
Jadi, awalan Ma-gama dalam kaula guru dipengajaran Hindu Bali,berbeda dengan gaya-gaya dogma, yang dikenalkan adalah hakikat; perintah bait sucinya adalah; dia yang menyembah keberadaan Sang Tripramana, Triguna,Triajnana, sebagai benih yang diciptakan Sang Hyang Widhi. Lalu pelahan diperkenalkan makna suara wyanjana, Om maksudnya purusa. Om artinya pradana. Perhatikan (maksud dengan arti). Cobalah kini, betapa banyak orang Bali menyebut dan mengutip mantram siwa ini, tetapi tidak dimulai dengan makaula guru. Padahal bait suci ini sungguhlah memiliki kedalaman hakikat. Jadi jika ditanya, dimana sih letak weda itu dalam Hindu Bali, maka mulai dijawab dengan penjelasan hakikat. Om Om itu Samyoga, yakni Siwa, itu dinamakan penunggalan, bisa datang dan pergi. Di sini ditegaskan bahwa Om Siwa Ya Namah adalah permulaan sembah. Puncak mantranya adalah Hrang, ini dalam cara pengajarannya diyakinkan bahwa melekat dalam dirimu; jadi apabila melakukan sembah kepada Hyang Widhi, otomatis manunggal dalam diri,sedangkan penjelasan untuk Om Om Sadasiwa, ini disebutkan sebagai bagian Aksara suci yakni Sa bersatu dengan Aksara Da, danti ditimbulkan oleh aranga, ini yang disebut teknik mengucapkan dengan antaswara, dia yang manunggal dalam diri saat muspa, kemudian dalam ketaknyataan itu puncak mantranya Hring; ini berada jauh dalam diri, terbagian dalam, ini disebut abyantara.
Dapat dibayangkan mengapa para leluhur penganut Agama Hindu Bali ini saat mengajarkan, mewariskan bait-bait sucinya dengan pola asuh yang bijak,yang sesuai dengan kemampuan anak cucunya. Juga seperti telah memperkirakan bahwa kelak ketika zaman mengadu pengetahuan yang didapatkan manusia dengan keyakinan beragama, pasti akan mempertanyakan hal ini; banyak sekali aku mendengarkan doa ini, mantra ini, “Om Hrang Hring Sah Paramasiwa ditya ya namah”—ini adalah pertanyaan yang kritis sekali, bagaimana sebenarnya posisi Sang Hyang Surya dengan Siwa Ditya. Bahwa dalam kehidupan Hindu Bali tentulah dekat sekali dengan pemujaan kepada Surya Candra. Dalam tradisi pengasuhan di bali, ini tidak akan dijawab dengan membedahkan per kata dari bait suci, walau secara filologi bisa dijelaskan. Tetapi biasanya dalam tradisi Bali, para orang tua akan mencerita kisah tujuh dewa, disampaikan menjelang tidur oleh nenek atau kakeknya: dahulu kala ada Batara (cara orang bali menyebut dewa), batara Wrehaspati, Batara Soma, Batara Bhanu, Batara Budha, Batara Anggara dan Batara Saniscara menghadap Batara Siwa, menyampaikan permohonanannya, lalu Batara Siwa meanugrahkan kesaktian. Nah, setelah semua batara itu diberikan anugrah datanglah batara surya, batara siwa sangat sayang kepada batara surya, diberikan anugrah dapat melihat atma, disitu diberikan gelar Parama Siwaditya menyamai batara siwa; karena itu Batara surya menyebutkan Batara Siwa sebagai Batara Guru, juga mempersembahkan tempat di pantara sunya (kosong) itu awalnya para pengajar disebut guru dan pemujaan batara guru diberi tempat pengaskaraan yaitu suatu tempat kehormatan dalam upacara. Batara Siwa membalas dengan tambahan anugrah kepada batara surya sebagai saksi alam semesta, mengetahui baik-buruk perbuatan manusia dan persembahannya, besar atau kecil, batara surya semenjak itu disembah dalam semua kegiatan upacara.
Kitab suci Siwa Gama ini memang mewarisi tradisi upanisad, duduk dekat kaki sang guru, terjadi dialog-dialog yang kritis, tidak ada keraguan untuk menyampaikan keraguan, dalam bait suci sargah ini; Raja Pranaraga bahkan meminta menjelaskan ulang Sanghyang Acintya, Sanghyang Taya, Sanghyang Hanarawang. Disampaikan dengan pertanyaan tajam, apakah itu dewa-dewa yang berbeda-beda, kalau berbeda apa bedanya, kalau sama apa samanya? Sebab dimana-mana orang memuja, berdoa kepada Sang Hyang Acintya Taya, menyebutnya Sang Hyang Licin, yang ditanyakan adalah hakikatnya.
Bait-bait suci ini menjelaskan mengenai kejadian ketika Sanghyang adisuksma menciptakan Akasa sebagai jalan bayu,sabda, idep, ketika dalam pertemuan yoganya maka terciptalah akasa dalam keadaan tidak menentu, muncul bersama Sanghyang Tatwajnana, Sang Hyang Anu, yang merupakan orangtua batara bayu, sabda, idep; ingatlah dalam banyak nyanyian misalnya: bibi anu...lamun payu....begitulah caranya orang bali mengenalkan bagian dari mengapa kemudian ada sebutan Sang Hyang Hanarawang. Jadi gelar, sebutan itu dalam tradisi Agama Hindu Bali memiliki argumentasi spiritual dalam bait suci, untuk Sang Hyang Licin disebutkan itulah tujuan batin yang paling rahasia, dapat dimasuki oleh tatwajnana, keberadaannya dalam windu yang sepi, dicangkok oleh sinar rahasia, para yogi agung akan mengatakan itu tempat kekosongan tertinggi, yang melihat walau tak bermata, yang mencium walau tak berhidung, berkata walau tak bermulut, mendengar tanpa telinga, menjamah tanpa tangan, berjalan tanpa kaki, berkarsa tanpa hati. Dia tak berbadan. Alam semesta inilah badannya, dia tanpa ayah-ibu, dialah sang hyang licin, sedangkan untuk Sang Hyang Acintya itu adalah apabila Sang Hyang Adisukma keluar dari windu yang mengembang memberi anugrah kepada orang yang mengerti tatwajnana, dibayangkan sebagai orang kerdil: wewelan, tanpa cawat, tanpa alat kelamin; inilah pembayangan yang paling mudah dipahami oleh pemujanya yang awam. Sedang Sang Hyang Taya, dalam tradisi umat Hindu Bali inilah menjadi dwistasastra, suara yang datang dan pergi. Taya artinya juga niskala, dapat berwujud dan tak berwujud inilah hakikat sadasiwa, itulah juga kelak disebut Sang Hyang Titah, Sang Hyang Tunggal, itu hanya akan dapat dipahami ketika memahami kerjanya batin ketika melakukan sembahyang khusuk. Itu juga widhi, asal dan tujuan kembali.
Tradisi Kaula Guru ini memang tidak dilakukan seperti pengajaran di kelas-kelas, dilakukan dalam tradisi dialog yang pesertanya terbatas. Sebab apabila tidak demikian, ajaran tatwasiwa ini akan sulit dipahami, dari sargah ini pelahan akan dikenalkan mengenai banyak hal dari alasan penyebutan, mantra, upacara. Karena itu, disebut Gama. Bukan disebut Agama. (BERSAMBUNG, kantun malih malajah, kirang langkung ampurayang)
Lalu siapakah yang menjadi saksi bagi orang berbudi luhur? Tentulah Sang Hyang Adisukma, karena dialah Ida Sang Hyang Widi yang menunggal dalam diri, dikeliling lingkaran tiga windu, yaitu pangkal, di tengah dan di ujung. Maka pertanyaan yang skeptis lalu dijawab mantram sucinya: Om om siwaya namah/ Om om sadasiwaya namah/ Om om Paramasiwaya namah.
Jadi, awalan Ma-gama dalam kaula guru dipengajaran Hindu Bali,berbeda dengan gaya-gaya dogma, yang dikenalkan adalah hakikat; perintah bait sucinya adalah; dia yang menyembah keberadaan Sang Tripramana, Triguna,Triajnana, sebagai benih yang diciptakan Sang Hyang Widhi. Lalu pelahan diperkenalkan makna suara wyanjana, Om maksudnya purusa. Om artinya pradana. Perhatikan (maksud dengan arti). Cobalah kini, betapa banyak orang Bali menyebut dan mengutip mantram siwa ini, tetapi tidak dimulai dengan makaula guru. Padahal bait suci ini sungguhlah memiliki kedalaman hakikat. Jadi jika ditanya, dimana sih letak weda itu dalam Hindu Bali, maka mulai dijawab dengan penjelasan hakikat. Om Om itu Samyoga, yakni Siwa, itu dinamakan penunggalan, bisa datang dan pergi. Di sini ditegaskan bahwa Om Siwa Ya Namah adalah permulaan sembah. Puncak mantranya adalah Hrang, ini dalam cara pengajarannya diyakinkan bahwa melekat dalam dirimu; jadi apabila melakukan sembah kepada Hyang Widhi, otomatis manunggal dalam diri,sedangkan penjelasan untuk Om Om Sadasiwa, ini disebutkan sebagai bagian Aksara suci yakni Sa bersatu dengan Aksara Da, danti ditimbulkan oleh aranga, ini yang disebut teknik mengucapkan dengan antaswara, dia yang manunggal dalam diri saat muspa, kemudian dalam ketaknyataan itu puncak mantranya Hring; ini berada jauh dalam diri, terbagian dalam, ini disebut abyantara.
Dapat dibayangkan mengapa para leluhur penganut Agama Hindu Bali ini saat mengajarkan, mewariskan bait-bait sucinya dengan pola asuh yang bijak,yang sesuai dengan kemampuan anak cucunya. Juga seperti telah memperkirakan bahwa kelak ketika zaman mengadu pengetahuan yang didapatkan manusia dengan keyakinan beragama, pasti akan mempertanyakan hal ini; banyak sekali aku mendengarkan doa ini, mantra ini, “Om Hrang Hring Sah Paramasiwa ditya ya namah”—ini adalah pertanyaan yang kritis sekali, bagaimana sebenarnya posisi Sang Hyang Surya dengan Siwa Ditya. Bahwa dalam kehidupan Hindu Bali tentulah dekat sekali dengan pemujaan kepada Surya Candra. Dalam tradisi pengasuhan di bali, ini tidak akan dijawab dengan membedahkan per kata dari bait suci, walau secara filologi bisa dijelaskan. Tetapi biasanya dalam tradisi Bali, para orang tua akan mencerita kisah tujuh dewa, disampaikan menjelang tidur oleh nenek atau kakeknya: dahulu kala ada Batara (cara orang bali menyebut dewa), batara Wrehaspati, Batara Soma, Batara Bhanu, Batara Budha, Batara Anggara dan Batara Saniscara menghadap Batara Siwa, menyampaikan permohonanannya, lalu Batara Siwa meanugrahkan kesaktian. Nah, setelah semua batara itu diberikan anugrah datanglah batara surya, batara siwa sangat sayang kepada batara surya, diberikan anugrah dapat melihat atma, disitu diberikan gelar Parama Siwaditya menyamai batara siwa; karena itu Batara surya menyebutkan Batara Siwa sebagai Batara Guru, juga mempersembahkan tempat di pantara sunya (kosong) itu awalnya para pengajar disebut guru dan pemujaan batara guru diberi tempat pengaskaraan yaitu suatu tempat kehormatan dalam upacara. Batara Siwa membalas dengan tambahan anugrah kepada batara surya sebagai saksi alam semesta, mengetahui baik-buruk perbuatan manusia dan persembahannya, besar atau kecil, batara surya semenjak itu disembah dalam semua kegiatan upacara.
Kitab suci Siwa Gama ini memang mewarisi tradisi upanisad, duduk dekat kaki sang guru, terjadi dialog-dialog yang kritis, tidak ada keraguan untuk menyampaikan keraguan, dalam bait suci sargah ini; Raja Pranaraga bahkan meminta menjelaskan ulang Sanghyang Acintya, Sanghyang Taya, Sanghyang Hanarawang. Disampaikan dengan pertanyaan tajam, apakah itu dewa-dewa yang berbeda-beda, kalau berbeda apa bedanya, kalau sama apa samanya? Sebab dimana-mana orang memuja, berdoa kepada Sang Hyang Acintya Taya, menyebutnya Sang Hyang Licin, yang ditanyakan adalah hakikatnya.
Bait-bait suci ini menjelaskan mengenai kejadian ketika Sanghyang adisuksma menciptakan Akasa sebagai jalan bayu,sabda, idep, ketika dalam pertemuan yoganya maka terciptalah akasa dalam keadaan tidak menentu, muncul bersama Sanghyang Tatwajnana, Sang Hyang Anu, yang merupakan orangtua batara bayu, sabda, idep; ingatlah dalam banyak nyanyian misalnya: bibi anu...lamun payu....begitulah caranya orang bali mengenalkan bagian dari mengapa kemudian ada sebutan Sang Hyang Hanarawang. Jadi gelar, sebutan itu dalam tradisi Agama Hindu Bali memiliki argumentasi spiritual dalam bait suci, untuk Sang Hyang Licin disebutkan itulah tujuan batin yang paling rahasia, dapat dimasuki oleh tatwajnana, keberadaannya dalam windu yang sepi, dicangkok oleh sinar rahasia, para yogi agung akan mengatakan itu tempat kekosongan tertinggi, yang melihat walau tak bermata, yang mencium walau tak berhidung, berkata walau tak bermulut, mendengar tanpa telinga, menjamah tanpa tangan, berjalan tanpa kaki, berkarsa tanpa hati. Dia tak berbadan. Alam semesta inilah badannya, dia tanpa ayah-ibu, dialah sang hyang licin, sedangkan untuk Sang Hyang Acintya itu adalah apabila Sang Hyang Adisukma keluar dari windu yang mengembang memberi anugrah kepada orang yang mengerti tatwajnana, dibayangkan sebagai orang kerdil: wewelan, tanpa cawat, tanpa alat kelamin; inilah pembayangan yang paling mudah dipahami oleh pemujanya yang awam. Sedang Sang Hyang Taya, dalam tradisi umat Hindu Bali inilah menjadi dwistasastra, suara yang datang dan pergi. Taya artinya juga niskala, dapat berwujud dan tak berwujud inilah hakikat sadasiwa, itulah juga kelak disebut Sang Hyang Titah, Sang Hyang Tunggal, itu hanya akan dapat dipahami ketika memahami kerjanya batin ketika melakukan sembahyang khusuk. Itu juga widhi, asal dan tujuan kembali.
Tradisi Kaula Guru ini memang tidak dilakukan seperti pengajaran di kelas-kelas, dilakukan dalam tradisi dialog yang pesertanya terbatas. Sebab apabila tidak demikian, ajaran tatwasiwa ini akan sulit dipahami, dari sargah ini pelahan akan dikenalkan mengenai banyak hal dari alasan penyebutan, mantra, upacara. Karena itu, disebut Gama. Bukan disebut Agama. (BERSAMBUNG, kantun malih malajah, kirang langkung ampurayang)
No comments:
Post a Comment