Pasraman, dan Maguru Sisia Pada Hindu Bali
Bagaimanakah dahulu pewarisan pengetahuan agama di Bali dilakukan? Pertanyaan sederhananya apakah ada sekolah? Sistem pendidikan seperti apakah yang menyelamatkan pewarisan pengetahuan suci itu (? ) Mengingat sejak lampau telah ditemukan prasasti, era perunggu misalnya memberi syarat akan kemampuan ketrampilan kriya yang menakjubkan. Dalam sebuah prasasti abad ke 8 misalnya, kala itu ada yang disebut Satra; kata ini sebenarnya bermakna penginapann yang berkaitan dengan kuil suci. Era Singhamandawa; bangunen partapanan satra dikatahan buru......di bukit cintamani mmal. Kala itu ada tiga pendeta disebut bhiksu yang diperintahkan membangun pertapaan (prasasti Bukit Cintamani), sebutan lain 'ulan', pada era itu para pendeta siwa dan budha memang kerap membangun partapan. Kemungkinannya inilah model sekolah spiritual Bali lampau, yang tersebar cukup banyak di sekitar bukit Kintamani, Bedahulu dan baru pada era kekuasaan Gelgel, sebutan partapan atau petapaan diganti dengan sebutan pasraman. Informasi ini mengacu dari kakawin-kakawin mengenai keberadaan pasraman; tempat belajar. Secara kata, pasraman Ini lebih mengacu adanya tempat pasiraman (permandian khusus yang disucikan). Jika membaca beberapa jejak sistem pendidikan keagamaan Bali, terutama pewarisan penulisan aksara, pembacaan dan bahkan tradisi maguru lagu. Dalam Salampah Laku, hampir mendekati catatan perjalanan pribadi dari Pedande Made Sidemen disebut mengenai tujuannya ke Singarsa (Sidemen) untuk berguru ke Pasraman Cemara. Sebelum Belanda menguasai Bali dan mengenalkan sekolah pedesaan bernama SR, memang diberitakan bahwa di wilayah Singarsa banyak berdiri Pasraman, hingga tidaklah mengherankan banyak lahir karya sastra dari desa tersebut. Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah sebenarnya gaya pengajaran, katakanlah kurikulumnya di Satra? Ataukah kemudian di pasraman-pasraman bali itu?
Jejak-jejak yang dapat dibaca kini dari tradisi mebasan, melajah mekekawin juga tradisi maguru sisia di Bali menjelaskan posisi Guru Pengajian berbeda dengan Guru Nabe (sebutan dalam hubungan murid dan guru untuk tujuan madwijati). Melajah gaya bali, secara rasa bahasa melajah ini bagi orang Bali selalu dikaitkan dengan sastra; aksara. Dimaknai harus serius, tenget dan hanya orang-orang tertentu yang akan menekuni sastra ini. Pengertian sastra ini pun bukan dalam arti karya sastra dalam bahasa indonesia. Nyastra adalah berarti belajar pengetahuan suci. Beberapa orang tua yang pernah saya wawancarai mengenai tradisi pasraman di Singarsa, menyatakan bahwa semua yang akan belajar ke pasraman diawali dengan ngayah ring sang guru, biasanya seorang pendeta yang dipilih; pendeta ini pun yang berpengetahuan lengkap, sebab ada juga pendeta yang tidak menguasai pengetahuan selain kebutuhan upacara. Awalnya tak ubahnya seperti juru sapuh (tukang bersih-bersih) di merajan (pura sang guru). Jadi setiap pagi para murid ditugaskan membersihkan lingkungan merajan, tak peduli siapapun latar belakang keluarganya, mau anak raja, orang kaya, jika telah memutuskan nunas ajah; harus diawali menjadi juru sapuh, kemudian mencari kayu bakar dan bahan sayuran ke bukit dan pesawahan. Jadi di awal-awal nunas ajah itu, yang diajarkan adalah sikap meladeni dan belajar etika; melajah ngeraos (tata krama bicara), melajah negak (kesopan bersikap), melajah makedas-kedas (belajar membersihkan diri dan lingkungan). Setelah itu barulah belajar membaca, mengenal huruf, kemudian mengenal aksara. Kemudian pelahan mengenali guru lagu. Prosesnya mungkin sangat pribadi. Apabila telah dirasa cukup, semisalnya bisa membaca dan memahami guru lagu. Para murid ini dikembalikan pada keluarganya. Kemudian barulah jika sang murid memerlukan tambahan pengetahuan, akan kembali. Jadi berbeda benar dengan proses maguru sisia bila menyiapkan diri menjadi pendeta. Informasi lain, pewarisan pengetahuan pengetahuan khusus di bali seperti pebalianan biasanya diwariskan secara biologis, kepemangkuan diwariskan sesuai dengan tradisi yang diiikuti ada yang diwariskan secara biologis ada karena ketakson atau dipilih secara bergiliran oleh desa kala patranya.
Mengingat kini begitu riuhnya keinginan melakukan pasraman kilat dan kemudian berdirinya asram bergaya 'india', sepatutnya orang Bali mulai memikirkan mengenai pasraman gaya bali dengan pengetahuan 'nyastra' balinya, terutama pewarisan rasa basa dan pekerti. Sebab pembangunan pasraman ataukah asram bila itu berkaitan dengan ajaran keagamaan, mau tidak mau harus ada ketegasan dalam pembedanya dengan asram ala india atau asram ' fashion religius' yang menawarkan meditasi, yoga; dst ala 'alternatif spiritual universal', yang kadang pengetahuan tatwanya memberi kepengaruhan yang cukup membingungkan. Terutama hubungan guru-murid, kemudian dengan tradisi pemujaan antara Purusha dengan Atman. Padahal, pasraman, didalammnya adalah Guru Pengajian, bukan dalam posisi guru suci, sekalipun itu sang guru adalah pendeta.Jadi kultus cium kaki, cium debu tidaklah seharusnya terjadi dalam asram kontemporer ini, berbeda dengan posisi maguru sisia ketika akan menuju dwijati.
Sebagai bandingannya, dalam tradisi Hindu Bali ada yang disebut sang sulinggih (Ida Pedande),mereka (dia) yang telah melewati upacara madwijati (masuci,madiksa,mabersih, mapeningan, atau juga ada yang menyebut dengan mapodgala).Mereka itu yang berkeinginan menjadi sang sulinggih telah menyiapkan dirinya secara sekala dan niskala. Sang sisia, setelah memantapkan dirinya bersiap untuk berkonsentrasi mempelajari ajaran suci.
Di bali dalam tradisinya; bagi laki-laki biasanya menyiapkan diri setelah melewati masa produktif kerja dan menikah (grhasta); memasuki yang dalam idealnya disebut wanaprasta; di bali wanaprasta bagi sang sisia ini justru dimulai pula masa brahmacari, tahap proses belajar kerohanian. Bandingkan dengan pengertian brahmacari dalam konteks ajaran catur asrama Hindu di India plus bandingkan dengan tradisi upanaya; demikian pula bandingkan bahwa dalam tradisi bali; perempuan diizinkan menjadi pendeta sekalipun tidak menikah (disebut kelak pedande kanya;kania).
tradisi keagamaan Bali mewariskan sang sisia yang akan menentukan mencari sang nabe, sang guru; berbagai alasan dipergunakan; yang pertama, pertalian darah, pertalian hubungan historis dalam guru masisia, kesamaan mashab juga pertimbangan 'desa kala patra'. Jadi sang sisia akan mempertimbangkan banyak hal ketika menentukan, siapa yang akan dipinangnya menjadi sang nabe. Sebaliknya, sang nabe pun demikian akan mempertimbangkan permintaan calon sisianya, apakah akan menerima ataukah tidak permohonan tersebut; dari tradisi ketelitian Guru Nabe sangat menentukan kelak kesempurnaan sang sisia.
Apabila telah ada kesepahaman, kemantapan di hati juga pertimbangan seluruh keluarga, maka sang calon sisia akan dikenalkan mengenai, "nihan ta cilakramaning aguron-aguron, haywa tan bhakti ring guru, haywa himaniman, haywa tan cakti ring sang guru, hyawa tan sadhu tuhwa, haywa nikelana sapatuduhing sang guru, haywangideki wayangan sang guru, haywanglungguhi palungguhing sang guru. (dikutip dari cilakrama)"
Sang sisia saat telah diterima sebagai seorang Nabe (mahaguru): maka akan otomatis mentaati tatatertib; janganlah tidak bakti terhadap guru, janganlah mencaci maki guru, janganlah segan kepada guru, jangan tidak tulus, jangan menentang segala perintah guru, jangan menginjak bayangan guru, jangan menduduki tempat duduk guru. Hubungan sang sisia (sebutan lainnya: kang anak) dengan sang nabe ditertibkan dengan sangat ketat, bahkan kenyataan calon sisia (calon pendande di bali) jarang bahkan tidak berani terlalu sering bertemu dengan sang nabe, sebab ada aturan sebagai berikut; seorang sisia tidak diperkenankan duduk berhadap-hadapan dengan sang nabe, tidak diizinkan memutus pembicaraan sang nabe,harus menuruti perkataan/apa yang diucapkan sang nabe, bila sang nabe datang tanpa direncanakan, sang sisia harus turun dari tempat duduknya, menunduk sampai diizinkan berdiri, bila diizinkan berjalan bersama, sang sisia berjalan di belakang dalam jarak dimana bayangan sang nabe tidak akan terinjak kakinya. Demikian pula aturan menyahuti ucapan sang guru, selalu dalam aturan yang ketat; kemudian tidak emosi, terpancing membantah apabila dimarahi ataupun dinasehati, ditegur. Demikian pula dalam aturan sujud bakti, ada tata tertib yang ketat harus ditaati oleh sang sisia.
Sang sisia jauh-jauh hari baik karena tradisi maupun diberitahu oleh guru pendampingnya (guru waktra), mengenai aturan busana sampaipun rambut. Perhatikan bahwa tradisi menggunakan bhawa (aketu agung) hanya dikenal dalam tradisi hindu di bali; sebab dalam hindu dikenal penataan hiasan rambut ini beragam; dalam tradisi bali dikenal aketu agung, kemudian dikenal pula dengan abhawa ron, mendandani rambut dengan daun, adastar menggunakan destra, abebed sirah; memakai serban, bergundul (amundi), kemudian rambut yang dijalin kelihatannya sebagai mahkota(aketujata);dihias dengan buah-buah kecil yang bulat atau dalam sankerta disebut Rudraraksa atau dalam kawi jawa disebut Aketu ganitri, kemudian terurai (angrure): biasanya pedande budha yang lelaki melakukan angrure, kemudian dikenal pula sanggul rambut sebaga Amrabku, ada juga rambut di tengkuk kepala, disebut anondong; dst….termasuk akuncir alit; dikenal di india pada sadhu-sadhu; jadi tata krama hiasan rambut dalam tradisi pendeta di bali memang berbeda dengan tradisi yang ada di india. Demikian pula pemakaian busana, dstnya.
Sang calon sisia pun mulai melatih diri dalam aturan makan, yang boleh dan tidak diperbolehkan. Bandingkan dengan laku vegetarian; tradisi di bali justru menjelaskan aturan makan dan minum bagi pedande dengan jelas dan teliti: perhatikan bagi pedande dengan garis civait dilarang makan daging babi yang dipelihara didesa ( celengwanwa), ayamwanwa, krurapaksi, nilapaksi, atat,syung, dst. Kemudian mengenai pantangan memakan binatang pancanaka kecuali beberapa yang diizinkan, mengenai larangan memakan makan dari yang hidup di dalam tanah seperti bhuhkrimi, bekut,,pramikirimi, berbagai jenis ulat, serangga, dll. Aturan mengenai yang tidak boleh dimakan tanbhaksyana, dst. Demikian pula soal minuman, kehadiran berjudi, tata cara berteduh, tata cara menempati rumah,melakukan jual-beli, berhutang,...dst.
Banyak hal kemudian kini ditafsir seolah aturan-aturan itu sebagai tata krama feodal, padahal itulah brata (tapa) pengendalian diri seorang calon sisia yang akan menjadi seorang pendeta. Ini adalah bagian keyakinan dimana pembersihan diri tidak sebatas mandi, berpakaian bersih; namun jauh sampai ke dalam diri yang niskala. Demikian pula mengenai busana.Ini adalah pengenalan sepintas mengenai maguru sisia; tak sebatas hubungan guru dengan murid, namun ada 'tatatertib' yang menjadi karakater dalam tata krama yang dijadikan mendorong seseorang yang berkeyakinan untuk kelak menjadi pedande, yang akan menjadi 'surya' bagi umatnya.
Berbeda dengan model hubungan guru murid di sekolah ataukah di pasraman modern yang mengadopsi gaya-gaya tradisi agama yang berbeda mashab dan budaya yang berbeda,maka di Bali tradisi maguru sisia memiliki kekhasan sendiri. Menurut saya sepatutnya bagi yang meyakininya, menjaga tradisi maguru sisia ini, bukan justru mencoba-coba menggantikannya dengan tradisi yang berbeda. Atau mengaburkan dengan menyamaratakan hubungan sisia (umat) dengan 'suryanya' (pedande) bahkan kemudian mengira jika telah menjadi guru agama atau meminpin pasraman ada dalam posisi sebagai nabe. Pengenalan sepintas ini sesungguhnya bersifat pula fleksibel,masing-masing keluarga, klan, dsbnya memiliki pula tambahan dan pengembangan aturan antara sang sisia dan sang nabe, sungguh bijak pula tidak menyeragamkannya, mengira ada yang salah dalam salah satu kebiasaan dan mengira ada yang lain yang lebih benar.Sebab ini adalah masalah keyakinan dalam maguru sisia dalam lingkup tradisi hindu di bali.
(BAHAN buku: GAMA BALI, cok sawitri, kirang langkung kantun melajah)
No comments:
Post a Comment