Makaula Guru - Siwa Gama (BAG. 4)

"Prashivena viramanti"

Ling bhupati, kadyangapa marmanya, maka nimitta Bhatara Siwa sinembah de nikang dewata kabeh, denyan akweh para dewata, padha mahottama angganira, padha wnang paran ing sembah, pinaka pangupadyayan.

Bukankah kini sering yang tak lagi belajar Gama Bali itu, mempertanyakan mengapa Batara Siwa dipuja oleh semua dewata padahal banyak para dewata pada mulia tubuhnya, pada pantas dijadikana sasaran sembah, dijadikan guru?—pertanyaan itu, disampikan juga oleh Raja Pranaraga, mewakili kekinian. Menjelaskan secara lembut, Hindu Bali memang garis sivaitnya adalah Siwa Sidhanta, Budhanya adalah Wajrayana, dan ada juga Waisnawa Bali, ketiganya akan hadir dalam upacara besar sebagai yang bertugas; memohon tirta tri sadaka. Ini adalah bersatunya kekuatan tiga mantra tersuci; yang dalam keyakinan Hindu Bali akan menjadi ‘penghubung’ antara bhuwana agung dan bhuwana alit.

Dalam Ma-kaula Guru, jika muncul pertanyaan seperti ini, maka dijawab dengan mengulang kisah awalan terciptanya semesta; Dahulu, pada mulanya, ketika disebut sebagai Sang Hyang Acintya, yang menyuruh empat putranya (ciptaannya) yang pertama, yakni menciptakan dunia di empat penjuru. Keempat putranya itu menolak, bahkan mempertanyakan:  mereka kemudian dikutuk, lenyap ke caturdasamanu. Ini pun ada penjelasnnya, bahwa ketika disebut Sanghyang Hanarawang, menciptakan bayu (kekuatan/nafas) sebanyak 30 jenis, beserta namanya masing-masing. Yang paling awal diciptakan itu berjumlah 14 caturdasamanu, dibawahnya itu Sang Hyang Bayu, yang bungsu sebanyak enam belas; itulah merupakan jiwa alam semesta. Bayangkanlah lapisan-lapisan misteri itu, lapisan kekuatan nafas semesta ini.

Disebabkan empat putranya itu menolak, maka Sanghyang Adi Sukma metitahkan putra kembar buncing: Pratanjala dan Canting Kuning. Tak terbayangkan kegaibannya, kedua baru lahir dari penciptaan, menerima perintah penciptaan dunia. Keduanya bersedia dan diberi anugrah utama, seketika keduanya berubah menjadi ardhanareswari, yakni inilah awalnya dalam Hindu Bali disebut Uma-Pratanjala, Diciptakanlah laut serta danau, keduanya dipuja dengan sebutan Ganggasoma, Pratanjalan disebut Bhagawan Gangga.  Lalu sejak itu Bhatari Gangga diberi anugrah menjadi dewa laut dan dewa danau, dia juga adalah tempat air sucinya dunia. Setelah kejadian itu, barulah Catur dewata memohon maaf atas segala kelancangannya. Sebutan ketika kelembutan hati itulah disebut Batara Guru. Di Bali selalu ada namanya sajen Guru Piduka, tujuannya adalah memetik kelembutan hati Hyang Widi. Itulah awalnya mengapa Batara Siwa (Pratanjala) dipuja lebih dari yang lainnya, sebab bersama Uma, dialah yang menjalanka titah penciptaan.

Proses Ma-kaula Guru sebenarnya diakui meletihkan pikiran oleh Raja Pranaraga. Itu sebabnya harus disampaikan dengan banyak kisah. Namun tradisi ini adalah cara pendidikan yang sangat kritis, dialog-dialognya penuh gugahan, mempertanyakan, meragukan bahkan, ada bagian dari Sargah dalam Siwa Gama ini, disaat letih pikiran, maka dipertanyakan, kesucian Batara Surya, bahkan dengan terbuka diucapkan bahwa apakah mereka itu, tak lebih dari tiga bumi? Suryakanta, candrakanta dan manikanta, apakah mereka tidak lain hanyalah batu? Dahsyat sekali pertanyaan ini. Itu sebabnya, dijawab dengan hati-hati, lihatlah Agni, bukankah dia nampak memangsa segalanya? Namun sesungguhnya, hakikat dia, tidaklah kotor, ia tidak mengisi perut dan tubuhnya dengan mangsanya. Begitu Batara Surya, dia memang bertubuh matahari, namun bukan dia yang engkau puja. Sebab hakikatnya, yang menjadi saksi, menjadi pembersih duka lara adalah Hyang Widhi, dalam mata dunia, keduanya itu hanyalah sinar yang membakar.

Dari sargah inilah maka sebutan Batara Guru akan muncul, dari bagian inilah akan lahir tradisi kependetaan di Bali. Tradisi melukat. Makaula Guru ini dasarnya adalah keyakinan, Ma-gama itutidaklah untuk dihitung dengan rasio, namun keyakinan. Proses pembelajarannya sungguhlah sangat meletihkan, itu sebabnya kadang-kadang disisihkan, tidak diajarkan secara utuh. Sebab saat mendengarkan penjelasannya, akan menggugah hati siapapun untuk bertanya secara kritis, namun jawabannya harus dengan sabar dipahami.

(BERSAMBUNG, kantun melajah)

No comments:

Post a Comment