Menjelang Kembali Galungan

Sebab kembali menjelang galungan kuningan (tahun 2015)

Hari Raya Galungan dan Kuningan bagi penganut Hindu Bali merupakan rangkaian perayaan, dimulai dengan Tumpek wariga/bubuh/pangatag, kemudian Tumpek Waregadean, bertemu dengan sugihan pangeten (nguncal balung); mulainya proses ‘detoksasi’ seluruh niat,hasrat, pikiran, sikap yang negatif;  nguncal balung ini ‘brata’ diri hingga bertemu Budha Pahang.  Diri adalah bhuana alit dan yang di luar sana adalah sang bhuana agung. Rangkaian galungan memberi ajaran bukan semata soal rangkaian upacara yang harus dilaksanakan, bukan semata sajen-sajen yang dipersembahkan tetapi bagaimana kemudian tujuan-tujuan melewati rangkaian hari-hari itu menjadi perilaku. Sebab agama Hindu Bali (Gama Tirta) itu tujuan ‘penyucian’ perilaku sebagai manusia itulah yang akan mendekatkan pada tujuan Galungan yaitu: mencapai terang pikiran, berkesadaran tinggi buat melenyapkan kekacauan pikiran. Dan kesadaran akan bhuana agung, sekitarnya dalam rangkai menuju hari itu, mengisyaratkan bahwa ‘kesantunan’ itu tak hanya saat didalam rumah-rumah suci, tak saat berhadapan dengan leluhur dan Tuhan, namun menjadi perilaku pula bagi mahluk hidup lainnya.

Rangkaian yang biasanya digunakan menghitungkan kedekatan datangnya perayaan Galungan adalah TUMPEK WARIGA, sering disebut tumpek pengarah, tetapi lebih populer disebut tumpek bubuh/ubuh dan di beberapa daerah lain disebut tumpek pengatag; Pengarah, artinya pemberitahuan, pengingat bagi masyarakat bali bahwa terhitung dari hari ini, dua puluh lima hari lagi adalah hari Galungan. Disebut tumpek bubuh karena  persembahannya bubur dari tepung beras,yang akan ditorehkan di berbagai pohon yang menghasilkan buah, itu adalah persembahan kepada Dewa Sangkara; penguasa tumbuh-tumbuhan, yang dihormati dan menjadi introspeksi mengenai hubungan manusia dengan berbagai tumbuhan disekitarnya; bahwa manusia memerlukan tanaman-tanaman itu, karena itu perlu semangat memelihara dan menghormatinya, tidak hanya mengeksploatasinya; pada perayaan tumpek ini biasanya, tidak diperkenankan memetik buah apapun, sebagai tanda akan penghormatan kepada proses pertumbuhan. ‘Sehe’  yang digunakan saat menghaturkan persembahan kepada semua pohon itu adalah: kaki, kaki....dije i dadong, buin selae dina galungan, mabuah apang nged, nged, nged..." pemberitahuan itu kemudian dilanjutkan penghormatan kepada Sang Sangkara yang biasanya dipusatkan di penunggun karang, yang apabila dilalaikan akan menjadi Sang Hyang Kala Raksa. Tumbuhan adalah mahluk tuhan, yang logis seharusnya dijaga dan dipelihara. Tradisi religi tumpek wariga ini juga adalah penanda rangkai berbagai upacara menuju galungan-kuningan telah dimulai. Di masa kini, ditengah kerisauan akan keadaan lingkungan hidup, selayaknya pemaknaan tumpek ngatag/bubuh ini makin menjelaskan bahwa kearifan agama lokal itu memang memiliki pandangan jauh ke depan mengenai kesadaran lingkungan dan sudah pasti sifatnya universal; mencintai tumbuhan sekitar, berharmoni dengan alam

Dan dahulu orang Bali seketika akan ingat untuk menghindari melakukan kegiatan membangun rumah, bangunan suci, membeli ternak untuk bibit, tidak melakukan kegiatan pawiwahan juga banyak yang mulai menetapkan dirinya secara individual; memilih brata, bentuk puasa yang aturannya bisa berbagai-bagai. Namun yang utama adalah memahami proses menuju kesadaran tertinggi, sebagai tujuan perayaan galungan.

Rangkaian selanjutnya  adalah yang disebut NGUNCAL BALUNG : Buda Pon Sungsang ( Rabu, pon, sungsang), sering juga disebut Sugihan Pangeten (ngentenin, mengingatkan, membangunkan dari situasi tertidur) atau sebagai tanda mulainya Brata Nguncal Balung yang dilakukan hingga bertemu wuku Pahang ( Buda Kliwon Pahang); jadi ada 49 rentang hari yang dimaksudkan sebagai Nguncal Balung. Arti Nguncal; melepaskan, membuang, mencabuti sedang balung artinya tulang.

Makna Nguncal Balung adalah dimulainya melepas kekuatan-kekuatasa negatif dalam tri kaya, proses dimulainya introspeksi, memahami diri menuju kesadaran tinggi. Diibaratkan tubuh yang kokoh, yang disangga tulang-tulang, maka keinginan, hasrat, berbagai hal yang menjadi keangkuhan dan kesombongan yang bermuara pada diri, setiap saat berlebihan karena tidaksadaran harus dilepaskan.Tubuh dimurnikan, jiwa dimurnikan, pikirannya di perhatikan. Sehingga kata, tindakan, pikiran; mulai terjaga, dibangunkan.

Serba godaan itu disebut Sang Hyang Kala Tiga, dimurnikan agar kembali diri dalam proses memikirkan asal muasal bhuana alit dan bhuana agung dari dia yang mahamulia; sang siwa-buddha. Kala dalam konteks Sang Kala Tiga adalah energy yang tak terkirakan kekuatannya, yang jika dalam bentuk purusha maka itulah yang disebut Kala Rudra, dan ketika dalam wujud Pradana; disebut Durga Murti; kekuataan maha dahsyat itu menggoda seisi dari yang bersemayam dalam hidup; menjadi tindakan, perkataan, hasrat, niat, motivasi, dan berbagai hal yang sering tidak produktif terhadap diri sendiri. Karena itu harus ditenangkan, di’somia’kan.

Dalam keseharian penanda mulainya Nguncal Balung itu adalah mulainya kegiatan ngelawang; barong yang disunggi anak-anak keliling desa; yang mengingatkan pula akan kisah Dewa Tri Murti ketika turun ke bumi menyaru sebagai topeng bang (brahma), Telek (wisnu) dan Barong (ciwa), ketiganya bertujuan menyelamatkan hidup dari berbagai godaan, membangunkan diri dari ketidaksadaran.

Sugihan pangeten ini juga sering diajarkan melalui mitologi ketika Mpu Bharadah berkunjung ke Bali dalam rangka menemui Mpu Kuturan, untuk meminta izin keturunan Erlangga menjadi penguasa Bali. Sebelum bertemu itu, Mpu Bharadah berada di sebelah Selatan Pasraman Mpu Kuturan. Setelah menyampaikan keinginannya itu kepada Mpu Kuturan, dan ditolak. Mpu Bharadah dilanda rasa marah, tak terkendali dirinya, hingga pergi tanpa pamit kembali ke Daha. Peristiwa hilang kendali diri ini menimbulkan perjalanan Mpu Bharadah ke Daha tersendat dan terganggu. Tujuan mitologi itu mengingatkan, ‘ngentenin’, bahwa semua manusia, sekaliber Mpu sekalipun akan terkena godaan energy itu, hilangkendali, sebab itu selalu perlu pengendalian diri, dibangunkan kembali.

Rangkaian perayaan mendekati Hari Raya Galungan, adalah yang disebut SUGIHAN, keduanya jatuh pada Uku Sungsang. Dalam kitab suci Sundarigama, telah dibahas bagaimana sugihan itu, dan sesungguhnya jika ada yang bertanya apakah Hindu di Bali tanpa kitab? Setidaknya upaya menjelaskan dengan sederhana akan membuka wawasan baru serta mengurangi prasangka bagi yang kerap memerlukan rujukan kitab dan ayat ketika bicara soal keyakinan yang berbeda.

Dalam rangkaian galungan maka akan ditemuilah yang disebut sugihan jawa dan Bali, jatuhnya pada Uku Sungsan. Dalam kitab Sundarigama itu dibahas sebagai berikut: Sungsang, weraspati wage, ngaran parereduan, sugin jawe, kajaring loke, yate peretistan, betara kabeh, arere don ring sanggarmuang ring paryangan, kadulurin pangereratan reresik betare, sahe puspa wangi, kunang wang weruhing tatue jenyane, pasang yoge, sang wiku, angarge puje, apan betare tumurun maring madia pade, amukti banten. Anerus tekeng galungan, pakeretining wang, sesayut muang tutuan, pengeredane sake, sukan arania. Sukre keliyon, ngaran sugi Bali, pakenania ameras titaning rage tawulan kewaleanadahe tirthe gcara, pangelukatan ring sang pandita paketining wang…

Terjemahan bebasnya: Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati wage, disebutlah hari Pararebon. Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari tersebut, ialah untuk melaksanakan prayascita / pensucian ,para Bhatara-Bhatara semuanya, yang disemayamkan di Prahyangan. Maka pada hari itu, dilakukanlah upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu dilanjutkan dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi orang yang membathinkan inti hakekat samadhi , maka seyogyanyalah melaksanakan Yoga , sedangkan bagi para wiku (pedanda, Rsi, Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti, sebab pada hari itu para Bhatara turun ke dunia disertai para Dewa Pitara, untuk menikmati upacara pesucian, berlangsung sampai pada hari itu galungan. Oleh karena itu orang-orang hendaknya melaksanakan upacara agama, dengan natab banten sesayut dan banten tutuan, yakni banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin, demikian patut dilaksanakan.

Sugihan jawa tidaklah mengacu kepada 'jawa' sebagai tempat. Pengucapan 'j' dan 'b' dalam bahasa seringkali bertukar. Seperti jawatang dapat juga diucapkan bawatang. ada juga yang jawa diartikan yang sebelumnya, di luar jebag (lawang/pintu). Sugihan Jawa adalah penyucian Bhuwana Agung, lebih tepatnya kemungkinan sugihan ini adalah sugihan bawa; bawa juga berarti yang memahkotai kesucian: karena itu pada hari sugihan jawa kasukmaannya adalah melakukan ngarerebu di sanggah, merajan, paibon, dll. Sekala dengan membersihkan ruang-ruang suci; setelah itu melakukan pengeresikan, memakai sarana bunga yang harum-harum. Keharuman yang menandai sugihan jawa, agar jagat ini, alam semesta ini menjadi wangi. Begitu pula diri, menyiapkan diri untuk menegakan hati; boleh memilih sejenak samadhi atau melakukan hening yoga. Demikian kabar yang didapat setelah melakukan pembersihan sekala di sekitar padmasana/

Selanjutnya rangkaian Galungan adalah penyajaan dan penampahan. Kegiatan penyajaan dan penampahan disamping mempersiapkan sajen juga dilengkapi kegiatan upacara. Memang seharusnya mulai berani untuk memberi penjelasan mengenai agama Hindu Bali yang penuh upacara yang dipenuhi dengan sajen. Seringkali “Banten” atau dalam bahasa Indonesia modern disebut sajen, mendapat kritikan dan keluhan sebagai pemborosan bahkan kemudian ada juga yang hampir ‘melecehkan’ seolah banten itu tidak ada penjelasannya. Banten atau persembahan, sebagai perlambangan dalam tradisi Agama hindu Bali memang tidak akan ditemukan pada Hindu di India, misalnya.

Banten adalah tradisi Hindu Bali yang memiliki pengetahuan yang maha luas; tak hanya menyangkut tata krama pembuatannya, juga dibutuhkan keterampilan dan kesungguhan hati; proses pembuatannya adalah juga meditasi bahkan setara dengan yoga.  Dalam batas tertentu, betapa banyak lontar yang membahasa soal banten, ahlinya adalah orang suci disebut Tapini. Pada dasarnya banten adalah persembahan dari isi bumi yakni Mataya: segala yang tumbuh, seperti daun-daunan, buah, bunga. Kemudian mantiga: artinya telur termasuk yang terlahir dari telur; diantaranya ayam,itik, angsa, ikan, dll. Kemudian Maharya yang hidup tak ditetaskan seperti binatang berkaki empat, kambing, babi, kerbau, dsbnya.

Disamping yang sarwa prani itu banten juga dilengkapi dengan sarana api, minyak, logam, permata, dst. Dari bahan Agama Bali juga mentatakramakan bagaimana meletakkan banten yaitu atas atau disebut uttama angga, bagian tengah; Madhya angga, dan bagian bawah; itu disebut nistha angga; seperti caru, banten sor-surya, banten byakala, dll.

Jika diperhatikan baik-baik banten juga memadukan seni dan warna; pada alas/ tempat banten disajikan ada yang berbentuk segitiga, sebutlah tangkih; itu adalah simbolik trikona; utpati, sthtiti dan praline; itu adalah tanda pemahaman akan siklus hidup; lahir- hidup dan mati. Kemudian jika itu segiempat; biasanya disebut aled, kadang disebut ceper, adalah pengingat akan catur marga yaitu bhakti, karma, jnana dan yoga marga. Itu adalah pengingat akan empat jalan untuk mencapai kesempurnaan. Lalu alasa/wadah yang berbentuk bundar, seperti tamas adalah lambang windu atau kosmos: bahwa manusia selalu ingat akan peciptanya. Dalam hal pilihan warna, banten juga memiliki arti terutama pada jajan; jika warna putih itu lambang dewa Iswara, dia yang menjaga dunia disepanjang arah timur, warna merah lambang brahma, penjaga arah selatan, warna hitam, dia wisnu penjaga arah utara, warna kuning itu lambang mahadewa, dia yang menjaga arah penjuru barat, kemudian warna campuran disebut berumbun adalah lambang dewa siwa, poros dari arah kehidupan.

Disamping itu jika memperhatikan bagaimana keterampilan membuat janur, memotong, menjahitnya; disebut mejejahitan bukanlah sekedar membentuk keindahan, bahkan beberapa banten khusus jejahitannya berwujud: wajra, dupa, dandha, moksa, pasa, angkusa, cakra, trisula dan padma. Kemudian seni lukis; rerajahan juga ada dalam banten antaranya melukiskan huruf-huruf suci Om, wijaksara, lambang Hyang widhi, Ang, lambang dewa brahma, lambang api, sang pemimpin. Kemudian Ah, lambang wisnu, lambang amrtha; lambang hidup: urip! Sedangkan bentuk lukisannya ada padama lambang kosmos, wajra lambang segala macam penjuru arah timur, kemudian lambang penjuru tenggara dupa; dst.

Kemudian penataan banten; salah satunya adalah kekhususan mengenai kue/penganan yang disebut jajan itu berasal dari kata ‘jaja’ artinya dada bermakna adalah kesiapan batin untuk mengerti, untuk iklas dan suci, karena itu yang paling umum penggunaan jaja uli-gina: putih merah; itu perlambang: aji akasa dan meme gumi; lambang langit dan bumi. Sedangkan buah adalah pengingat akan hasil karya tri kaya; phala; hasil kerja yang baik yaitu subhakarma. Dan mungkin jika dibahas soal penjelasan banten; dari lima macam yadnya yang ada; akan memberi pengetahuan yang luas, bahwa agama Hindu Bali dengan bantennya tidaklah bertujuan pemborosan, apalagi tanpa makna. Sebab beragama itu adalah keyakinan; jadi bukan soal ukuran materi apalagi kemudian dihujat dikatakan tanpa dasar filsafatnya; duhai….jika itu terjadi, itu pastidikeluarkan oleh yang bukan beragama Hindu Bali.

Saat memasuki penampahan, suasana rumah-rumah umat Hindu Bali adalah suasana persiapan pesta. Karena itu pertanyaan yang seringkali muncul disaat penampahan Galungan adalah ‘ajikude mepatung?” dan kemudian urusanmelakukan upacaranya dilakukan secara formal. Hingga kian lama pemahaman mengenai upacara penampahan galungan berkurang. Lebih sibuk kemudian memikirkan berapa kilo daging babi yang akan dimasak. Padahal, di hari penampahan itu, upacara yang utama dalam rangkaian galungan, yaitu melakukan : Byakala atau Beakaon. Byakala di saat penampahan galungan dilakukan pada sore hari (sandikala), ada juga yang melakukan di tengah hari, tetapi dalam perintah sucilebih disyaratkan dilakukan disaat sandikala.

Di hari penampahan galungan ada dua sebenarnya upacara yang dilakukan yaitu bhuta yadnya yang ditujukan untuk Sang Bhuta Kala Amangkurat/Sang kala Tiga yaitu berupa segehan agung yang diletakan di pekarangan rumah,halaman rumah dan pintu masuk pekarangan rumah/ lebuh ini yang dihaturkan di siang hari, sedangkan byakala dilengkapi prayascita dan sesayut peminyak kala dilakukan saat sandikala; saat melakukan byakala disertakan semua peralatan yang digunakan bekerja untuk keseharian hidup diprascita; untuk byakala dikecualikan bagi anak yang belum tanggal gigi. Usai byakala dilakukan kemudian natab atau disebut ngayab. Rangkaian upacara ini bisa terjadi perubahan sesuai dengandesa, kala, patra, bahkan sesuai tradisi keluarga masing-masing,

namun pada prinsipnya bermuara warah: perintah suci yang disampaikan melalui Sri Jayakesunu, : "Muang ta kita anakku, kita abyakala, tekaning wadwa nira swang rikala Kala telu ring Dungulan luirnya: dangdangan 1, segeha penek 5, iwak jajath 5 katih, gegecok rumbah gile, sasah mentah, pencok kacang ijo, amel-amel, iwak sinujen wakul gangagan sakawali. Genahing caru tengahing natar, sambatin Sang Bhuta nadah, ma. Om Kaki Bra Galungan, BhataraKala Bhatara Jabung, Bhatara amangkurat, Sang kala Enjer Sang Yamaraja, Kaki Sang Kala Nadah, away nadah pun anu, apan pun I anu, samakira, angion kararon tkalawan sira, pun sira anu sih asanak kalawan sira, sira asih asanak ring pun anu, wruh ring rupa warnanira tan akuning tan airing sedang bang-bang awak adegira tan andap tan aluhur, sedengpasagi, romanira tan akas tan alemes, sedeng kumembang waru, sampun denira nadah ring pun anu, bedikan sira angluwarana sakeling rogan ipun, papa klesa sangut sangkala dandapradewa, ujar ala, ipun ala, asunga nugraha rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujana kulit, akulit tembaga awalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pengraksa nireng sira Ajikesunu, mangkana pangarsana nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina kalawan wengi, om nama swaya nama. Telas."

ujuan melakukan upacara penampahan galungan jika itu untuk bhuta yadnya; adalah mengembalikan, menyomiakan, ke tempat asalnya semula, kemudian permohonan semoga manusia dalam hidupnya dapat melanjutkan kehidupannya dengan lebih berkesadaran, memahami akan segala emosi dalam diri, segala kekurangan dalam diri, dst.

Yang kini sering tak terdengar dalam upacara penampahan galungan adalah ‘sehe’ yaitu mantra Bali Kuna, yang merupakan tradisi puja Bali; misalnya untuk menghaturkan segehan, dahulu biasanya kepala rumah tangga atau salah satu keluarga yang sudah diwinten akan memimpin penghaturan segehan itu dengan mengucapkan; "Pukulun, sira kaki Begawan Galungan Betara Kala, Betara Jabung, iki pasuguhan manusanta, lawan sira, sangkala-jabang, iki pasuguhan manusanta, lawan sira, sangkalasama daya, lantarimanen, sasing kirang, asing puput, iki pirak 200, maka pamikunia manusa, anede rahayu, suasti astu suaha. Telas."

Atau jika ada yang ingin lebih lengkap: mengucapkan mantra sehe ini: Om Kaki Bra Galungan, Bhatara Kala Bhatara Jabung, Bhatara amangkurat, Sang kala Enjer Sang Yamaraja, Kaki Sang Kala Nadah, away nadah pun anu, apan pun I anu, samakira, angion kararon tkalawan sira, pun sira anu sih asanak kalawan sira, sira asih asanak ring pun anu, wruh ring rupa warnanira tan akuning tan airing sedang bang-bang awak adegira tan andap tan aluhur, sedengpasagi, romanira tan akas tan alemes, sedeng kumembang waru, sampun denira nadah ring pun anu, bedikan sira angluwarana sakeling rogan ipun, papa klesa sangut sangkala dandapradewa, ujar ala, ipun ala, asunga nugraha rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujana kulit, akulit tembaga awalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pengraksa nireng sira Ajikesunu, mangkana pangarsana nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina kalawan wengi, om nama swaya nama.

Kemudian ketika ngayab diucapakan oleh semua orang yang ngayab: sambil mengulapkan tangan kea rah dada; "ayab sari….rahayu urip waras, dirgayusa paripurna, teguh timbul bujana kulit, akulit tembaga awalung wesi, aotot kawat, luput ring jaramarana wattu den kadi pengraksa nireng sira Ajikesunu, mangkana pangarsana nira pun anu, raksane ning saba paran ipun ring esuk lawan sore, rahina kalawan wengi, om nama swaya nama." Artinya secara bebas: berilah kerahayuan, sehat, panjang umur, sekempurnaan, kekebalan dengan baju berkulit tembaga, bertulang besi berotot kawat, terhindar dari segala sakit semoga sebagai penjaga sir jayakesunu…..jagalah selalu, baik pagi maupun sore, siang dan malam. Ya Hyang widhi semoga berkenan kusebutkan permohonan ini atas nama Siwa.

Memang Galungan dan Kuningan adalah rangkaian upacara yang sering disebut sebagai piodalan jagat; penghormatan dan rasa kasih tak terhingga kepada alam semesta dan leluhur. Hindu Bali memang mendasarkan kepada pemujaan leluhur, penghormatan kepada alam semesta dan kepada penganutan siwa-buddha. Ketiganya terjalin dalam ‘kasuksmaan; yang mendalam baik kepada  ajaran siwasidhanta maupun Buddha wajrayana (tantrayana); seringkali Hindu Bali ini dikritik karena terlalu banyak upacara, namun tertutup dan pelit dalam menjelaskan kasukmaa(tatwa/teologinya): untuk perayaan Galungan dan Kuningan rujukan kitab sucinya adalah sundarigama atau jayakesunu, sebuah kitab yang menjelaskan tata krama merayakan dan alasannya bergalungan dan kuningan, dan itupun masih dianggap penjelasan yang terlalu singkat untuk memahami lebih mendalam bagaimana bhuwana alit (mikrokosmos) yang ada di dalam Bhuwana Agung (kesemestaan itu), jarang yang paham penganut Hindu Bali sesungguhnya berpegang kepada banyak kitab suci: baik dari ajaran suci siwa sidhanta maupun Buddha Wajrayana.

Karena itu, bagaimana memahami kejauhan dan kedalaman yang tak terbayangkan itu, mengapa agama Hindu Bali bertujuan salah satunya adalah mencapi jagadhita (surga itu seharusnya di bumi dahulu); bagaimana hubungan antar manusia, kemanusiaan itu harus diselesaikan pencapaiannya, kemudian manusia dengan alam dan juga kepada leluhur serta kepada Tuhannya. Keserentakan itu jelaslah tak mungkin dijelaskan dengan mudah dan cepat, setiap saat keterbatasan manusia menjadikan segala macam pertanyaan akan melompat keberbagai hal sebab; segala macam upacara itu sungguh indah dan menawan dan juga memiliki maknanya sendiri. Namun kemajuan zaman, hubungan yang melintas kemana-mana, kekaguman pada prinsip penghormatan kepada alam semesta ini seringkali menuntut jauh ke dalam untuk menjawabnya; sebuah pertanyaan yang sering datang dari mereka tidak memahami Hindu Bali adalah apakah agama anda memiliki tuhan? Sebab begitu banyak dewa, batara, bahkan ‘hyang’ yang kalian puja? Ejekan yang paling sering menyertai pertanyaan itu adalah bahwa Hindu Bali adalah kaum berhala bahkan kafir. Bahkan beberapa cendekiawan Hindu Modern pun kadang berseru; seharusnya mereka (kami) diluruskan! dikembalikan ke jalan weda! Semua itu, mungkin enggan diutarakan secara terbuka. Tetapi dalam perenungan, kejujuran memilih untuk menemui kenyataan; kedamaian dan pengertian agar tidak menjadi ganjalan, seharusnya disampaikan bahwa Hindu Bali memiliki keyakinannya akan tradisi religinya.

Yang diperlukan adalah menjawab dengan tenang bahwa Hindu memang berasal dari India, tetapi Hindu Bali tidak sama dengan Hindu India. Dalam kepahaman siwasiddhanta maka penjelasan dari jnanasiddhanta itu: "Ekatwanekatwa swalaksana bhattara. Ekatatwa ngaranya, kahidep makalaksana ng siwatatttwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanira. Mangekalaksana siwa karana juga, tan paprabheda….Aneka ngaranya kahidepan bhattara makalaksana caturdha. Caturdha ngaranya laksananiran sthula sukma parasunya": sifat bhattara adalah eka dan aneka. Eka (satu, esa) artinya Ia dibayangkan bersifat siwatattwa. Ia hanya esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat esa saja sebagai siwakarana, Ia sebagai pencipta, tiada perbedaan. Aneka itu artinya bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah sthula sukma para sunya. Jika ditanya apakah kemudian rujukannya ke ajaran asalnya pada kitab suci weda; makaperhatikanlah isi dari Rg Veda: Idram mitram varuna agnim ahur atho divyah sasuparno garutman. Ekam sad vipra bahudha vadantyagnim yamam matarisvanam ahuh : mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya yaitu Garitman yang bersayap elok. Satu itu (Tuhan) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.

Ketika pertanyaan demi pertanyaan itu muncul, bahkan disaat Galungan dan Kuningan apakah berhenti pada pemaknaan upacara; kepada perayaan diri dalam bagian sang bhawana agung. Bahwa dalam kasukman, ajaran mendasar dalam siwasiddhanta telah dijelaskan; bagaimana menjawab asal muasal ini semua, jika benar engkau sebuah ajaran mulia: Galungan dan Kuningan mengisyaratkan pula akan ajaran bagaimana terjadinya alam semesta; perhatikan pada penjelasan mengenai Pancamahabhuta;…."Sangka ring pancatanmatra mtu tang pancamahabhuta. Akasa mtu saking sabdatanmatra, hawang-hawang huwung-huwung tan pagamongan, maweh awan laksananya, sabda pinaka gunanya, wayu mtu saking sparsatanmatra, riwut pata barat prahara, angulahaken laksananya, sparsa pinaka gunanya. Teja Mtu saka ring rupatanmatra, prakasa pada apanas pinaka gunanya, rupa pinakagunanya. Apah mtu saka ring rasatanmatra, amles laksananya, sadrasa pinaka gunanya. Prthiwi mtu saking gandhatanmatra, akasaganal laksanannya. Gandha pinaka gunanya, ikang gandha tiga prabhedanyanya. Surabhi, asurabhi, sa ca gandha sadharanah,surabhi ngaran awangi, arubahi ngaran abo, sa ca gandhasadharanah, ikang tan awangi tan abo nga; nahan ta laksana nikang prthiwi, yeka pamkas ing tattwa tunggal ganal, ikang prthiwi, apah, teja, wayu, akasa ya ta ginawe bhuwana de bhatara, ardha ruhur suminduhur tatumpang tumpangan laksananya, ikang tattwa I ruhur pinaka guna dening tang tattwa isor"

Dalam tatwajnana, salah satu kitab pegangan suci siwasiddhanta; telah dijelaskan bagaimana asal muasal pancamahabhuta, bagaimana sebenarnya asal alam ini; dan itu menjadi jelas jika kemudian dibaca dalam bhuwana kosa: lwir bhattara siwa magawe jagat, brahma rupa siran pangraksa jagat, wisnu rupa siran pangaraksa jagat. Rudra rupa sira mrlayayaken rat, nihan tawak, bheda nama. Penjelasan dalam bhuawana kosa ini menjelaskan Tri Murti itu; brahma wujud tuhan saat menciptakan dunia, wisnu saat memelihara, rudra saat mempralina; memusnahkan dunia.

Karena itulah pentingnya memahami pancamahabhuta itu; yang disaat galungan dan kuningan akan dikemukakan tentang …Bu Ka, galungan, nga, patitis ikang ajnana sandi,galang apadang,maryakena sarwa byaparaning idep,…..artinya itu Budha galungan adalah mengarahkan bersatunya pikiran agar menjadi terang dan berkesadaran tinggi, untuk melenyapkan penyebab kekacauan pikiran. Rangkai awalnya apa yang disebut ‘nguncal balung’; bagaimana melepaskan keegoan dalam diri, kemudian segala keinginan yang berkelebihan;dst. Perhatikan salah satu kalimat yang indah ini; Om Kaki Bra Galungan, Bhatara kala, Bhatara jabung, Bhatara kala amangkurat, Sang Kala ejer, sang kala yamaraja, Kaki sang kala Nadah….dst! Kala adalah energi,unsur, dia itu juga berasal dari pancamahabhuta; berasal dari kesemestaan, yang sering kita lupa sebagai manusia, yang mengira tidak memikili kaitan dengan keasalan yang ada didalam bhuwana agung.

Maka dalam soal bahwa Hindu Bali memiliki tradisi religi PEMUJAAN LELUHUR, yakni Pemujaan dan penghormatan kepada Nini Patuk dan Kaki Patuk misalnya sebagai dewa pertanian dalam khasanah ketuaan keyakinan Hindu Bali menempatkan gunung sebagai ‘rumah akhir’ daripada para leluhur, tak pernah tergoyahkan tradisi pemujaan pada leluhur ini sekalipun ajaran Hindu (style India) memasuki Bali bahkan masuknya Hindu justru menguatkan pemujaan kepada leluhur itu. Gunung (giri) kemungkinan area yang paling awal ditempati manusa Bali, jika mengingat berbagai penemuan arkeologis dari kapak berimbas hingga tradisi Desa Trunyan dengan kekhasannya memuja Batara Da Tonta.

Dan bandingkanlah kemudian bagaimana gunung dalam tradisi Hindu di india yang terbaca dalam berbagai itiasa dan purana menempatkan gunung sebagai stana para dewa-dewa dan di Bali kemudian gunung juga adalah tempat stananya watek dewata-dewati; para leluhur. Keduanya kemudian menyatu dan disatukan, saling menguatkan. Upacara pitra yadnya misalnya menemukan kesepahamannya dalam proses terselenggarannya ngaben, memukur, maligia; ada penyatuan antara para dewata dengan yang dipuja; konsep ini bertemu dengan bagaimana memahami atman sebagai bagian paramatman, inilah yang kemudian dijadikan pegangan sebagai satu pemujaan disebut Atmasidhadewata. Begitulah kemudian mengapa hingga kini orang Bali setia menjaga tradisi pura paibon, dadia, panti, dst. Setia pula menjagababad/sejarah keluarganya; selalu berusaha dan mengingat silsilah keluarganya.

Karena itu semua akan terus berkaitan dalam keyakinannya yaitu pemujaan leluhur, yang memang kemudian menjadi salah satu kekhasan hindu Bali. Banyak kemudian yang mengeritik, trend masyarakat Bali di masa kini yang sangat rajin mengurai asal muasal, silsilah, dst melalui babad, melalui berbagai karya sastra sebagai penanda kegamangan menghadapi modernitas. Memang, beberapa pencari itu masuk ke wilayah sentimen masa lalu, berada dalam area seolah ingin menjadi bagian keluhuran leluhurnya, walau diri dan kenyataannya kini berbeda. Namun sejatinya, kebanyakan proses penyastraan yang berkaitan dengan babad, dst; adalah salah satu jalan keyakinan bagi orang bali, sebab akan terkait tak hanya pada pemujaan leluhur juga nanti merembet kepada tata krama lainnya; dalam tradisi maguru sisia, kemudian dalam tata krama sima krama, sumbah ka sumbah; dst, dan itu tidak terkait dengan kefeodalan ataukah kefanatikan; sebab tradisi pemujaan leluhur memang ada disebut saudara yang lebih, lebih kecil; bahkan dalam keluarga kecil, ini kelak menyangkut tradisi surud menyurud; dst. Karena itu, masih akan berputar sekitar pada salah satu keyakinan mengenai pemujaan kepada leluhur yang dipercaya bisa temurun (lahir kembali).

Kembali dalam rangkaian Hari Raya Galungan, pada saatnya akan bertemu hari raya Kuningan, tradisi pemujaannya dilakukan di pagi hari, semua persembahan dilakukan sebelum matahari melewati titik tengah putaran sang bumi. Pada masa kecil jika ditanyakan kepada orang tua, kenapa harus pagi-pagi sekali, jawabannya; amun sanje atau melewati tengai tepet, nyanan maan dewa maong atau para leluhur, dewata-dewati telah pulang ke jawa (ke luar sana!, bukan jawa pulau). Sesungguhnya makna yang hendak disampaikan adalah mengenai ‘siklus’ perjalanan surya candra. Sebagai rangkai maka ‘tengahing dalu’ ataukah ‘tengai tepet’ menjadi ujung yang akan membawa nemu gelang. Seperti ujung-ujung yang hendak bertemu.

Semua rangkaian upacara di Bali ini tak mungkin lepas dari tradisi agama siwa siddhanta, siwa-buddha, yang mana seribu tahun yang lalu Mpu Kuturan melakukan sebuah pesamuhan agung mengenai penyatuan semua ‘paksa’ atau sekte di Bali. Tujuannya adalah menegaskan bahwa beragama adalah menciptakan surga dibumi. Jangan membiarkan para penganut agama itu terlibat dalam debat dan pertengkaran siapa dewa pujaan yang paling unggul, sebab ketiganya itu tri murthi, tuhan oleh yang bijaksana disebutkan dengan berbagai nama. Ketika kedangkalan kefanatikan tiba, maka para penganutnya akan sibuk bertengkar dan sibuk mengunggulkan manifestasi tuhan itu, akan merusak tujuan sesungguhnya hidup, yakni kedamaian.

Karena itu dengan bahagia, warisan Mpu Kuturan itu dilanjutkan hingga kini oleh semua paksa, sekte, mashab di Bali tersatukan dalam sebutan ajaran siwa siddhanta sebagai sebutan yang dipahami; didalamnya itu ada semua ajaran paksa dan sekte; wilayah pertama itu dalam tattwa, yang tak bisa disebut paling bawah tak juga bisa disebutkan paling atas, namun inilah kepahaman yang paling mudah dipahami oleh kesibukan manusia yang berakal budi dengan segala godaannya; mengenai apa yang disebut tatwa mahesa, dalam tataran sakala, yang muaranya pada Jnana sakti dan Kriya Sakti, keduanya ini paling dekat dan paling mudah dirasakan manusia; pengetahuan dan karya, hasil kerja hidup.

Dalam tatwa mahesa inilah dikenal apa yang disebut mahesamurti, ini yang sering tidak dijadikan perdebatan lagi, dilakukan secara gugon tuwon (mule keto) bahwa bagian tatwa inilah yang menjelaskan mengenai ketiga proses dunia, yaitu Sristi (penciptaan), Sthiti (perlindungan), dan Laya(kehancuran). Ketiganya diwujudkan dalam bentuk pemujaan, itu sekala yang paling dapat dijangkau oleh daya pengertian manusia mengenai tuhan dengan manisfestasinya; baik di parahyangan, pawongan, palemahan. Ketiganya itu

kemudian pada Sthiti barulah memahami tri murti; rudra, wishnu dan brahma. Ini pemahaman paling sederhana mengenai bagaimana bhuwana agung itu berkaitan dengan bhuwana alit; bagaimana memahami panca mahabhuta; lima unsur besar dalam kesemestaan yang menjadi elemen pula dalam perwujudan manusia yang sekala, yang nyata.

Dari dasar yang tidak di bawah tak juga di atas ini, barulah memahami ke wilayah Sada Siwa, di tahap inilah memahami apa itu isana, apa itu tat purusha, apa itu sadyojata, aghora bahkan wisnu sekalipun sebagai bagian memahami karmasadakahya. Pada puncak yang sering tak lagi diajarkan adalah bagaimana memahami siwa tatwa, Buddha tatwa; mengenai apa itu yang disebutkan menjadi lima sakti; para shakti, adi, ichacha, jnana dan kriya sakti.

Dalam tradisi Hindu Bali, yang mewarisi tradisi luhur (dia yang jauh di sana, dia yang sangat tak terbayangkan); pada tingkat praktiknya pemujaan adalah pada sikap-sikap melakukan apa yang tercakup pada mahesamurti, karena itu di hari Kuningan, upacara segera dilakukan sebelum matahari melewati titik kulminasinya, sebab pada proses itulah kemudian memahami bagaimana atma didalam diri yang tergelapkan oleh kelahiran sesungguhnya juga ada dalam paraattma. Karena itu para dewata-dewati itu dinyatakan akan segera ‘mur’ (dari asal kata amurttata; niskala pada tatwa sada siwa), pulang kembali ke jauh ke tempat yang tak terbayang. Di situlah kemudian pertanyaan akan muncul, andai selama hidupnya ada dewata-dewati kita melakukan kesalahan karena kriyanya, karena jnananya, bukankah seharusnya di neraka? Bagaimana mungkin kemudian dia datang mengunjungi keturunannya di bumi?

Di sinilah kemudian dijelaskan; bahwa yang disebut sebagai ‘alam di sana’ tidak sebagaimana sekalayang dipikirkan manusia membayangkan surga dan neraka sebagai tempat. Bahwa semua energi itu yang menjadi asal dan kemudian kembali ketika kematian tiba; menemui ‘asali’ jnana dan kriyanya. Bahwa semua unsur itu meletakan kesuciannya pada suatu proses yang maha tak terbayangkan. Maka kemudian dalam tingkat pemahaman yang paling sekala, yang paling sederhana; semua leluhur itu tak pernah tiada, dia ada. Sebab selama kita ada, maka dia ada. Itulah kemudian diri ditenangkan, diberikan keyakinan; betapa tugas yang terindah dari hidup adalah menjaga keharmonian.


(DEMIKIAN, HASIL NGEMPU DUA BUJANG KECIL, kantun melajah, kirang langkung ampurayang/ cok sawitri)

No comments:

Post a Comment