Agama Hindu Bali

PENYINTAS DARI ERA PURBA HINGGA ERA DIGITAL

Sengaja judul yang saya pilih,sengaja provokatif, tapi tujuannya adalah untuk mengenalkan kepada banyak para pihak, yang kalau bicara soal Agama Hindu Bali- sebagai minoritas, yang kadang dikolomkan sebagai 'yang masih berhala' atau bahkan oleh beberapa orang (kelompok tertentu  penganutnya sendiri; yang mulai dirasuki perasaan rasionalisasi dalam konteks religius; mengira agama Bali ini perlu 'diindiakan'.

Pada tahun 1980-an, sebuah manuskrip ditemukan (kali ini saya tidak menyebut lontar, agar sepadan dengan gaya-gaya penemuan spiritual di belahan dunia lain, kalau menyebut manuskrip otomatis sahih); manuskrip ini bernama Padma Bhuwana, yang isinya: "Nihan katattwaning bhuwana alit, katunggalang ring katattwaning bhuwana agung, mangkana pidartanya. Nihan mulaning pulo Bali ring usana, katama tekaning mangke,mawit Icaka 85, tat kalanira Sri Aji Candrabhaya umadeg ratu jumeneng sira ring Tampaksiring irika anangun kahyangan ring Besukih" -- Jadi disekitar tahun 163 masehi ritus di gunung agung; Pura Besakih dan Pura Pasar Agung telah dilakukan dengan mapan, artinya peradaban Bali telah mulai dengan 'agamanya' bandingkan kemudian dengan ritus Batur Purba, yang justru jauh lebih tua; dan bolehlah ditengok pembuktiannya ini pada ritus-ritus yang masih hidup dan berlangsung pada desa Trunyan. Boleh bandingkan dengan angka tahun secara antropologis bagaimana agama-agama monoteis mulai dinyatakan ada! Jika tahun 163 Masehi itu ditempatkan tua, maka ritus Batur Purba sungguh-sungguh sangat tua.

Pada tradisi Gunung Agung, terutama pada Pura Pasar Agung, ritus nangluk mrana adalah bukti yang terkuat bahwa agama Bali ini memang tangguh dan kokoh melewati berbagai kepengaruhan yang berdatangan kemudian; baik era yang diklaim sebagai pengaruh Rsi Markandeya, yang mewariskan ritus Pancadatu dan kemudian Era Mpu Kuturan yang membangun hubungan negara dengan agama; dalam Tri Kahyangan. Namun penyintas dari ritus purba dan pasar agung ini bertahan dan menjadi dasar pertumbuhan agama Hindu- Bali sampai kini. Sebelum era Trilinggagiri, jejak kuat akan siwait mengenai penetapan tiga gunung sebagai lingga suci. Maka di pura pasar agung tiga buah Gedong yakni Gedong Merana Watek Bikul, Gedong Merana Watek Perit dan Gedong Merana Watek Uler. Ketiganya akan mengalir dalam tradisi Nangluk Mrana, juga berbagai Ritus Usabha yang bertebaran hingga kini dilaksanakan diberbagai desa-desa tua dan madya; dengan waktu dan ketentuan yang sesuai dengan hasil sumber daya alamnya.

Kemudian Ritus Nyepi, yang kini dimodernkan dengan peringatan tahun Icaka; padahal ritus nyepi adalah ritus penyintas yang paling memukau dari warisan Agama Bali. Perhatikan manuskrip ini; " ....brata penyepian lwir sawung anggeram anda, yan tan panes awaknya tan lumekas ikang anda. Yan tan sepi ing idep, sepi ing pamrih, sepi ing gawe, Tan molih Yoganta, iki ngaran penyepian. Ingon-ingon Dewi Mas Ayu Danu kang gineseng dening apwining giri Tolangkir, mangke juga pamarisudha ning ingwang. Poma, poma, poma. Ulu ning bawi manadi mrana tikus, walungnya manadi walangsangit, jejeronnya manadi mrana tan pasangkan. Yan pageh samanta ratu ngamong rat, rong puluh tahun sapisan hane mrana walangsangit hana mrana tikus. Yan tan pageh tan wilangan dina mrana tan pasangkan dateng. Iki rungwakna, bhuta kala katung pinaka pangsranan pasar, soang karya ring Basukih atakwan pwa ring pasar agung, yang tan prasida kabehan, ke wala jejaton juga wenang..."


Ritus Nyepi ternyata berkaitan erat kepada pemujaan Dewi Mas Ayu Danu (Danau Batur), ini sebuah pertanda penyintas kuat dilewati oleh ritus Batur Purba ketika era penetapan Trilinggagiri (masuknya siwait), Tradisi nyepi juga berkaitan dengan Kaki Patuk dan Nini Patuk, sebutan mulia sebelum Gunung dan bumi ini disiwakan dan diumakan. Kemudian pemujaan di pasar adalah kepada Ni Bhuta Kala Katung sebagai dewa pasar; dan bandingkan era Nirartha hingga kini yang menggantikan pusat pemujaan di pasar dengan sebutan Pura Melanting. Dan melewati dekade demi dekade, hingga ketika berjejer dengan era hubungan Bali dan Jawa Timur (era Airlangga), rintisan Markandeya diperkuatkan dengan kejenialan Mpu Kuturan; sesungguhnya ide adanya keharmonian dan kemartabatan posisi 'agama dalam kelembagaannya' dalam negara; agar tidak saling tumpang tindih ditemukan dalam konsep Kahyangan Tiga; jadi membumikan ketakutan akan surgawi yang rigid itu dilakukan dengan luarbiasa; ini akan dapat diperbandingankan dengan era lebih tua; yakni bagaimana pola sistem sosial dalam masyarakat Bali Aga (Agra= pegunungan) yang hingga kini nampak di Desa Tenganan; jauh mendahului dari mimpi sosialis modern.

Di milineum ini, agama Bali ini makin jelas perwajahannya di era digital; trend ketertarikan kepada yang lampau oleh jepretan kamera,misalnya, pertukaran informasi yang cepat, memberi ruang penjelasan;bahwa agama-agama tua itu memiliki manuskrip-manuskrip yang setanding dengan keketatan monoteis, dan pewarisannya melalui genetika ingatan.

Dengan bahagia; penyintas ini telah tiba melewati milineum, dan memberi wawasan dan teguran untuk tidak tergopoh-gopoh mencari padanan pada tradisi-tradisi lain dan cara pandang akademik yang membedahkan dengan alam pikiran struktur monoteis, atau menyeragamkan tanjakan dan turunannya; yang jelas, tidak pada soal mencari tuhan, tetapi pada proses mengenai daya tahan untuk hidup dalam keharmonian menjadi kabar di akhir tahun, sekaligus menjawab; untuk tidak sebatas berduka dan marah atas 'pengkelasduaan' atas segala macam keyakinan yang bukan dari monoteisme.

Hal lain, bagian yang menakjubkan dalam Agama Hindu di Bali; yang luput dari pengamatan dan barangkali tidak disangka menjadi tonggak penanda yang paling khas, dalam ritus-ritus kecil maupun besar, yang sifatnya pribadi maupun bersama, ini disebut ‘Sehe (Sasonteng, Samudana),  mantra dari era ritus purba ini penyintas yang mengalir dari era ke era melalui pewarisan 'genetika' ingatan. Salah satunya, adalah 'sesapa', semacam ucapan karib di saat upacara Tumpek Ngatag (Bubuh), 25 hari sebelum hari raya Galungan, sesapa ini disampaikan sebagai penutup persembahan kepada Sankara, dewanya tumbuh-tumbuhan," Kaki-Kaki, tiang mapengarah, malih 25 dina Galungan, mabuah apang nged-nged," -Sankara yang mengingatkan kepada para pemeluk Siwait dari garis Sidhanta adalah nama Maharsi yang menjadi awal adanya mashab Sidanta, dan itu nama lain dari nama Siwa. Namun secara mengejutkan dalam konteks perayaan Galungan; ada yang namanya Sang Dewa Penunggun Karang yang justru menjadi pusat tujuan upacara tumpek ngatag itu; yang diyakini jika tidak dijaga dapat berubah menjadi Sang Hyang Kala Raksa.

Yang harus diperhatikan adalah bagaimana penyintas; bait-bait suci dari ritus purba ini, pujaan dan kemudian pola komunikasi yang disimpan dalam kode-kode yang sangat jenial; Pada wilayah danau Batur Purba, pada bekas cekungan lava yang kini telah mengering, sebagian telah menjadi empat danau, dan beberapa kepingnya kini menjadi pedesaan, dimana salah satu sudutnya ada Desa Trunyan, yang secara arkeologis sangat tua, jauh lebih tua dari tradisi Gunung Agung, desa itu masih hidup dan menjadi penyintas yang tangguh dengantradisi pemujaanya kepada Batara Da Tonta, Batara Pancering Jagat.

Di sana dalam ritus besar dan kecilnya tidak akan menggunakan Pedande dari ranah Hindu seperti yang dikenali dalam upacara-upacara besar keagamaan di Hindu Bali. Para pemuja Sang Dewi Danu Batur, yang dibayangkan berkendaraan Naga Emas itu, melanjutkan tradisi ritus dengan 'mantra' yang mewakili keagungan bait suci purba; berbagai desa Bali Aga dalam wilayah 'bintang danu Batur" ataukah disebut Wanua Batur; suatu tanda akan 'pemagaran' akan tradisi religi yang berbeda dengan Hindu di Bali pada umumnya, masih menjaga tradisi adanya 'pendeta' yang menjadi bagian struktur pemerintahan 'kahyangan' di bumi ini. Yang mewariskan mantra-mantranya secara rahasia, bahkan kadang diluar kemampuan untuk memahaminya. Para pemimpin upacara dalam tradisi ini adalah penghubung dengan yang dipuja; dipilih oleh inspirasi suci dan ada pula karena biologis- genetik. Begitu pula di berbagai desa Baliaga lainnya, termasuk Desa Tenganan. Mantra mereka: sungguh penyintas yang luar biasa. Sebab ketika Sang Kulputih, sebagai perbandingan-era Markandeya, mulainya datang 'mantra' yang jika diamati dengan sangat teliti, penandanya dengan banyaknya menggunakan pengucapan huruf suci dari apa yang disebut kini Dasa Aksara; bersanding dengan kode-kode dalam tradisi bait suci tantrik purba; Phat, Rang, Rih....dst , kelegendarisan pengganti Markandeya itu mulai mengenalkan tradisi banten yang lebih detail dengan mantra-mantra yang hingga kini menjadi dasar kepemangkuan di Hindu Bali; menunjukan ada perbedaan besar antara era mantra ritus wanua Batur, Bali Aga dengan yang ada dalam tradisi Kitab Suci SangKul Putih, yang menjadi penata Pura Besakih, dia yang mewariskan tradisi upacara-upacara besar dalam tradisi ritus di area Gunung Agung yang kemudian diiikuti oleh seluruh wilayah Hindu Bali. Dan ternyata penyintas dari bait suci yang lebih tua dihadirkan dalam bait-bait suci tradisi Sangkul Putih, termasuk dalam ritus air di matair yang ada di gunung agung.

Penyintas dalam bentuk Bait Suci ini secara menakjubkan kini tetap hadir di era Bali Hindu Modern ini, walaupun dalam tradisi kepemangkuan; mantra-mantra Sang Kul Putih kemudian bertemu dengan Tradisi Bait Suci Kusuma Dewa, tetap menunjukan hadirnya penyintas Bait suci, yang hadir dalam kode-kode yang dikolomkan sebagai 'sehe' ditengah kekhusukan pengucapan mantra yang mulai membaitkan sankrit dan kawi kuna.Bahkan ditemukan pula dalam mantra piodalan yang dilakukan oleh para pendeta Budha; pengucapan sela; bait suci bergaya sehe ini mengisyaratkaan sebuah pelanjutnya menjaga kehadiran bait suci dari kelampauan.


Penyintas yang hidup melalui berbagai perubahan zaman, dari era Singhamandawa misalnya telah mengisyaratkan adanya sebutan Hyang Api, Dapunta; dll bahkan manuskrip-manuskrip yang sahih dalam bentuk tradisi modern (disebut Prasasti) mulai menyebutkan adanya tata krama religi jelas mengisyaratkan pengaruh kebudhaan dan kesiwaan, ada sebutan dang hyang; Mpuku; kubayan, dst ; semua itu jauh sebelum era Airlangga (kadiri-abad 7). Wanua Batur Purba saya nyatakan menggugah ingatan mitologi yang ditemukan di Eropa; Dewi Danu berkendaraan Naga Emas melahirkaan tradisi ritus yang dalam struktur organisasi desanya sebagai pembayangan akan 'kerajaan kahyangan' yang di bumi. Jarak dengan tradisi Batur Purba ini hampir melewati ribuan tahun, bandingkan kemudian era Sangkul Putih dengan Singhamandawa hanya berkisar 700 tahun-an. Dari era ritus Naga ke era Singha; Mungkin terburu saya menggunakan jarak waktu sebagai tanda bagaimana penyintas hidup dan mengalir melalui bait sucinya, mendampingi datangnya; sebagai contoh, ketika kini orang bali di saat Galungan melakukan upacara Ngayab; maka sehe untuk diri, walau mengutip sehe dari era jayakesunu, namun yang memukauadalah bahwa era kekuasaan " keluarga Jaya" dari kurun Bali Madya ini; melanjutkan tradisi sehe dari mantram yang lebih tua: "Om Kaki bra Galungan, Bhatara Kala Bhatara Jabung, Bhatara kala Amangkurat, Sang Kala Enjer Sang Yamaraja, Kaki sang kala nadah, aywa nadah pun 'anu', apan pun anu, samakira, angion kararon tkalawan sira, pun 'anu' sih asanak kalawan sira, sira asih asanak ring pun anu,.....dst" bandingkan kemudian pola mantra yang dikenali sebagai berikut dalam upacara bayi: "pakulun bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, Bhatara Iswara manusa ira si anu anglepas aon ipun i bhatara tiga, pakulun anyuda letuh ipun, teka sudha, teka sudha, teka sudha, lepas malan ipun" - walau sudah menyebut tri murti, sebutan di depan dan di belakang; pembuka dan penutup memberi isyarat kuatnya penyintas dari tradisi mantram purba hidup mendampingi; kode penyebutan 'anu' dan 'pakulun' kemudian menyebutkan 'kaki' sebagai tanda penghormatan, menunjukan penyintas dalam rupa bait suci sangat agung memberi kemisterian pada tradisi ritus mantra di Bali yang memang kemudian tidak bisa disamakan dengan tradisi pengucapan mantra di India atau di belahan dunia manapun yang kini sering berupaya menyama-nyamakan dengan gaya pemikiran' keuniversalan Hindu. Di era abad 15 sangat dekat dengan era kekinian; bagaimana upaya Nirarta untuk memperkuat liturgi dalam upacara-upacara termasuk penguatan posisi Pedande; dengan mantram-mantram yang silih berganti mengisyaratkan kehinduannya melalui bait suci kata sanskrit,namun tetap penyintas yang agung hadir justru dalam titik-titik penentu, di semua upacara; mantra purba ini meretas mendampingi era Markandeya dan Sangkul Putih, kemudian Era Singha Mandawa, meretas lagi ke era Nirartha dan Astapaka, hingga kini, penyintas ini; dalam kekuatan bait suci, jarang benar dijadikan penanda; bahwa tak ada yang tiada hingga ketiadaan itu tiada. Yang anggun adalah bagaimana proses penyintas ini meretas dan tidak dalam posisi yang tertindas, namun justru menjadi bait keagungan; bahkan hingga di puncak-puncak gunung, lembah dan bukit tertentu, banyak benar; upacara yang tidak menghendaki mantra (yang berbahasa sankrit), namun meminta sehe. maka tahun boleh berganti, cara pandang boleh berubah, tetapi penyintas dalam ritus bait suci ini mewakili keabadian dan penjaga harmoni pertumbuhan peradaban agama dalam Hindu di Bali.


(PETIKAN DARI PROSES PENULISAN BUKU GAMA BALI, cok sawitri, bekal sabar jika ada yang menghina keyakinan ini)

No comments:

Post a Comment