Renungan Nyepi, Bagai Telur Yang Dierami

BANYAK TEMAN & KENALAN, MENJADI PEMANGKU

Selalu saya harus terkejut bila pulang kampung atau saat sembahyang ke beberapa Pura Sad Kahyangan juga bila pergi kondangan, tiba-tiba bertemu teman, yang sudah berbusana menciri-cirikan telah melakukan pewintenan Eka Jati, otomatis saya bertanya," sampun ngiring, puniki?" dengan sumringah selalu saya mendapat jawaban,"inggih..." disertai cerita mengapa dirinya melangkah melompat, usianya masih cukup muda untuk memutuskan memasuki tahap yang menurut saya; sulit saya laksanakan. Dan tentu saja saya harus mengubah cara memanggil: Jro! Tetapi menjadi pemangku memang tidak lagi semata-mata panggilan hati, kadang terkesan seperti trend; kadang-kadang karena ikut arus lingkungan. Semula ikut kelompok tirtayatra, kemudian mewinten, kemudian melangkah memasuki tahap menjadi pemangku.

Mewinten untuk pemangku berbeda dengan mewinten yang dilakukan pada umumnya banyak orang yang beragama Hindu- Bali. Jika untuk pribadi, tujuannya untuk menenangkan diri dan memperdalam ilmu keagamaan, memang melalui tiga tahapan, pawintenan saraswati, ini proses yang disebut membuka (inisiasi) sederhana untuk tujuan memperdalam ilmu pengetahuan, kaum pelajar biasanya melakukan hal ini. Jika kemudian dilanjutkan untuk ke langkah belajar yang menuju keagamaan maka dilakukan pewintenan Marerajahan, ini akan mulai memahami  langkah-langkah persiapan untuk memahami niyama dan nyama brata. Selanjutnya, akan dilanjutkan dengan Pawintenan dengan panugrahan, ini biasanya dalam konteks; menetapkan sang guru spiritual. Sedangkan untuk winten kepmangkuan akan dimulai dengan pewintenan sari; atau sering disebut mawinten ka widhi, yakni memohon langsung ke tempat-tempat suci yang akan diabdinya. Winten sari ini dilaksanakan tanpa pendeta, namun harus disaksikan keluarga, pengempon pura yang menyungsung pura yang akan diabdi, dan harus melalui tahapan upacara yang diyakini oleh pengempon pura tersebut.  Kemudian ada winten pemangku dengan Mepedamel; ini dipimpin oleh seorang pendeta, upacaranya mengikuti tata krama  yang ditradisikan sang pendeta dan disepakati oleh warga yang akan menjadikan pemangku itu sebagai pemuka.

Pewintenan juga dapat dilihat dari tingkat upacaranya, perhatikan bunyi dari lontar pewintenan ini," Nihan tingkahing pewintenan di bunga, nista ngaranya, kramania: angadegaken Sanggar Tutuan 1, genep sakraming Daksina sarwa bungkulan, artanya 1725, canang tubungan maarepan atanding, mwah canang gantal, burat wangi Lenga wangi atanding, rakania nyahnyah gula kelapa aceper, biu mas mwang bubuh perecet winadahan keraras pisang tahen 22 takir, bubur saraswati winalunan roning wadira 22 siki, sami dados atamas......dst"—jadi memang ada jelas perintah aturan dalam tatakrama bantennya. Secara singkat, jika memperhatikan upacara tingkat nista saja, maka sarana bantennya akan mensyaratkan prayascita,pengulapan, kemudian ada banten untuk Sanggah Surya; daksina dua buah, peras dua tanding, suci dua soroh, kelungah dikasturi, dan apabila itu untuk pura-pura dengan persyaratan tertentu, kebiasaan yang disyaratkan akan disertai pula kelengkapan banten pajati, sudamala, pengambian, dll. Boleh kemudian bayangkan untuk tingkat madia dan utama.

Namun syarat upacara ini kerap terlewati, dengan mudah, dengan cepat. Teman, kenalan, dan juga beberapa keluarga tiba-tiba berstatus menjadi pemangku; sebab merasa telah melewati proses upacara. Sehingga kesannya mudah menjadi pemangku asalkan sudah hapal mantra pemuspaan, ngatebang banten; dll, semua mantra-mantra yang diperlukan untuk ngatebang banten sekarang mudah diunduh bahkan atau dibeli secara mudah di berbagai toko buku. Namun yang terasa kemudian ada kesan; kedangkalan dan penyeragaman, ketika ditelisik dengan cermat. Seringkali yang muncul dihadapan banyak orang adalah; mudah kerauhan, mudah seolah-olah mendengar suara-suara, mudah melihat ‘sesuatu’,  mengartikan semua hal sebagai paica: dll. Kemudian begitu sibuk mencari tempat-tempat suci dan menterjemahkan diri sebagai yang siap menerima pawisik dan juga merasa ‘disayangi’. Kesannya memang atraktif sekali apalagi jika pergi berombongan dengan baju putih, kain putih, bija memenuhi dahi;dll.

Seperti biasa setiap kesempatan, saya selalu menyempatkan diri menemui para cendikia dan tentu dengan perasaan untuk meraihkan kebaikan

bersama. Beberapa waktu lalu, trend menjadi pemangku ini menjadi pemikiran, bahwa itu sangat bagus namun harus kemudian didorong agar menjadi;  ngaruruh ka jero, tan makeplag ka jaba. Harus disertai kemauan untuk memasuki diri, lapisan-lapisan tujuan dari dalam diri, tidak dibungakan hanya dengan penampilan dan kesibukan wara-wiri mencari tempat-tempat suci, menjungjung banten daksina, riuh murnama-tilem, namun sejatinya belum melakukan hal yang sebenarnya telah lampau ditawarkan oleh Yogin tertua di Bali dalam soal kepemangkuan oleh Sang Kul Putih.  Meski varian salinan lontar Sang Kul Putih bersisian dengan Kusuma Dewa begitu rupa banyaknya yang tersebar. Namun ada yang sepatutnya dijalankan sebagai dharma ing awak, yakni langkah-langkah Niyama Brata, bagian dari Yogan ning Yoga, yang mendasari sebagai latihan pengendalian diri. Sifatnya sungguh ke dalam diri, menata perilaku diri yang berkaitan dengan tujuan menjadi pemangku itu, yakni penyerahan diri dalam bentuk melayani sesama yang akan melakukan persembahyangan ke tempat suci.

Dalam pengamatan yang sederhana, ini juga ditemukan tata cara pengendalian diri pada para calon dalang, undagi; dll. Jadi memang ada

langkah-langkah melatih diri yakni; " Iti Sangkulputih.....Om Awighnamastu ya nama swaha. Nyan kramaning agem-ageman pamangku. Iti rumuhun kedehepakna ring sarira"  bahwa melatih ke dalam diri ini sangat diutamakan, sekalipun nanti kelak akan menggunakan tradisi puja yang beraneka ragam; tergantung nabe atau guru, atau desa, kala, patranya, namun untuk diri, penyucian diri inilah yang menurut hemat saya, sangat indah dan menggetarkan. Siklus kehidupan pribadi dalam pelatihan ini dimulai saat menjelang tidur," ri kala maturu, mantranya: Ong Sang Hyang Rambut Katomboh ngumandeling awah sarira ning hulun, guruning comma umanis, guruning suryya turu, swapna jagra ya nama swaha". Perhatikan kemudian bahwa hal-hal yang teramat pribadi pun disertai mantra; mawarih, makoratan, malamurud, masigsig (sikat gigi, dll), makramas, masuri (menyisir rambut), membuka pakaian, memakai busana, bahkan bila meludah, mencuci muka, atau akan berendam; mausuhan (menggosok badan), jika memakai kampuh, selendang, jika mengunyah sirih atau merokok, bila makan, memetik bunga, dst.

Langkah-langkah Niyama ini, pengendalian diri bagi  pemangku masa kini ini sering diabaikan, yang didorongkan justru penampilan phisik dan kesemangatan muspa ke berbagai tempat suci. Padahal, kunci dasar dari kebeningan kesadaran kemungkinan terletak pada fundamen ini.

Kebungahan hasrat untuk mendekatkan diri, dalam laku spiritual memang tidaklah mudah, namun kerap dikesankan mudah.  Kedamaian itu sesungguhnya sederhana, ke dalam diri, itu perlu proses yang panjang, jatuh bangunnya hanya diri yang tahu. Banyak sekali kitab penuntun untuk hal ini, dan memang seringkali banyak pihak mengira ini milik untuk golongan tertentu, sesungguhnya tidak. Yang membuat para guru suci enggan berbagi adalah sikap kita yang kadang hangat-hangat tai ayam, apalagi jika karena didorong oleh persoalan-persoalan pribadi; mewinten, menjadi pemangku, bukanlah katalis untuk melepas persoalan duniawi.  Persoalan duniawi harus dihadapi, harus pula dengan proses dan setiap saat disertai keinginan mendengarkan, bahwa perjalanan karma memang tidak terduga bagi siapa saja. (RENUNGAN NYEPI, seperti telur dierami kini, 2015)

No comments:

Post a Comment