Teater Adalah Kita






CATATAN TENTANG WORKSHOP TEATER ADALAH KITA


Tahun 2002 lalu, saya mulai memikirkan mengenai modul workshop teater yang tidak ala kadarnya. Sebab saya kerap mengamati dan mengalami, banyak pengetahuan mendasar mengenai teater tidak terbagi dalam proses pelatihan. Sebab kebanyakan pelatihan teater urusannya selalu disebabkan oleh tujuan target pementasan. Karena itu, workshop teater seharusnya berbagi akan pengetahuan teater, tidak terjebak dalam kisah-kisah definisi, mengulang penjelasan mengenai sejarah teater atau ceramah-ceramah yang diselipi contoh-contoh yang sepintas lalu, yang kesannya lintasan riuh, bergerombol dan berteriak-teriak. Akhirnya, pada tahun 2004 bekerjasama dengan Taman Budaya Bali, saya membuat workshop yang cukup panjang dengan sejumlah komunitas di Bali dan itu dengan ikatan hasil : yakni peserta didorong agar mau melakukan penulisan naskah dan disertai dengan janji, naskah yang terpilih akan didorong menjadi pementasan (sebagai produksi). Memang, proses yang panjang  itu memerlukan dana yang tak sedikit. Teater bukanlah jenis kesenian yang mudah mendapatkan dana, dan karakter yang harus dihadapi adalah keengganan untuk mau belajar dan berbagi pengetahuan, apalagi jika sudah merasa senior. Dan memang, harus berani menulikan telinga, menjalankan proses penawaran pembelajaran semacam ini pun pastilah tak lepas dari rasa suka dan tidak suka. Gratis sekali pun, akan tetapsaja ada prasangka.

Kegiatan tahun 2004 itu- pada tahap tertentu- berhasil melahirkan satu buku naskah karya anak-anak muda remaja dan kemudian mereka pun berproduksi dan pentas di Taman Budaya Bali. Dan setelah itu, saya memutuskan untuk melihat dari jauh, apa sebenarnya dampak proses workshop itu untuk beberapa kawan muda. Sebagian memang terus berkarya diberbagai kesukaan mereka, sebagian akhirnya lenyap menjadikan workshop tahun 2004 itu hanya sebagai kenangan. Namun sejak tahun 2009 ketika saya kembali ke Bali setelah perjalanan keliling ke luar daerah, saya kembali mengamati; bahwa proses latihan teater tidak memberi perbandingan yang jauh dengan apa yang saya amati sebelum tahun 2002.  Namun saya memutuskan untuk lebih banyak menulis dan berkarya lebih individual dengan beberapa teman dan komunitas yang secara kenyamanan bisa membuat saya lebih nyaman. Dan saya hampir melupakan modul workshop teater saya itu, hingga tanpa sengaja ketika saya menonton launching album svara semestanya Ayu Laksmi di Jakarta, saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Aceh.

Dan tahun ini, tahun 2015, saya digugah oleh sahabat saya, begitu tiba di Aceh, sahabat saya meminta saya mengenalkan teater melalui workshop, tentu saja saya harus menjelaskan lebih awal, sebelum menyanggupinya; workshop yang saya rancang untuk teater tidaklah berbentuk ceramah, namun proses kreatif; bahasa kerennya itu seperti orang punya motor pergi ke bengkel, sudah bisa naik motor tetapi harus distune-up mesinnya. Sebab saya percaya, semua orang walau tidak pernah berlatih teater sekalipun, namun pastilah pernah menonton seni pertunjukan; dari pentas tari sampai musik, bahkan pastilah pernah ditugaskan oleh gurunya baca puisi, bernyanyi atau membaca Pancasila disaat upacara bendera. Berdiri di depan banyak orang atau menonton adalah elemen pengalaman yang paling kuat untuk mempercayai; proses belajar itu sebenarnya tidaklah sulit, semua orang mempunyai potensi untuk 'berkeinginan' pentas. 

Itu sebabnya, saya percaya melalui workshop teater sebenarnya adalah kebersamaan dalam waktu-waktu untuk menggugah potensi dalam diri atau talenta yang tak terduga, yang sebenarnya tidak tersadari atau tersimpan oleh ketiadaan kesempatan.

Sejak lama, saya percaya naskah teater (lakon, drama) adalah alat belajar dan pembuka bagi proses belajar teater juga membuka wawasan latar belakang peristiwa dan karakter, riwayat penulis dan penulisan naskah teater selalu memberi pengetahuan yang mengejutkan. Untuk Workshop berjangka waktu 6 hari, naskah harus dipilih kategori naskah drama pendek. Naskah yang teruji selalu menyediakan petunjuk-petunjuk untuk berpentas. Saya memilih naskah untuk 'workshop teater adalah kita'  empat naskah yakni: Lawan Catur, Kereta Kencana, Salah Paham dan Pinangan. Keempatnya itu akan dibedah dengan terukur. Teknik membedah naskahnya akan mengalirkan dampak pengenalan mengenai stop and go, top-tail; ini memberi peluang menjelaskan apa perbandingan perintah dalam neben teks dengan kemudian arahan sutradara saat melatih naskah. Seringkali sutradara dalam komunitas remaja dipilih karena dianggap lebih rajin atau lebih berpengalaman pentas. Padahal, naskah adalah sutradara terbaik dalam berlatih teater dan secara bersama sebenarnya jika bedah naskah berlangsung dengan baik akan terjadi penyutradaraan secara alamiah.

Langkah pertama adalah mendorong seluruh peserta menjadi kelompok kecil, empat naskah ini tak memerlukan banyak pemain. Jadi, idealnya jumlah peserta yang ikut  workshop memang 20 orang, di bagi menjadi empat kelompok. Setiap kelompok mendapat satu jenis naskah; yang segera dibaca

dengan cara seluruh dialog dibaca bergiliran- secara terus menerus. Dari sini, agar tidak jenuh dikenalkan kemudian Olah Vokal, Olah Tubuh; jadi setiap hari, naskah ini dijadikan pegangan, mengenalkan latihan berbisik, latihan senyap atau uji volume suara. Setelah itu mengenalkan rancang blocking, semua pemain harus melakukan perancangan blocking, sebelumnya dikenalkan mengenai apa itu area panggung, bagaimana membagi area panggung besar, sedang dan kecil. Dari naskah yang terbaca, kemudian berselang-seling dengan upaya memindahkan ke dalam rancang blocking dari komposisi sampai pose;dst. Baru kemudian mengenalkan tata krama pemanggungan, gesture, timing, dll; semua itu mengalir dari naskah masing-masing. Rancang Blocking akan sangat membantu semua peserta membayangkan posisi dirinya, pergerakannya di panggung; kemunculan dan

kepergiannya dari panggung;  rancang blocking ini akan sangat membantu untuk membuat semua peserta tidak kebingungan; sebab ada peta dirinya saat membaca dialog. Rancang blocking sebenarnya draft yang kelak akan terevisi oleh perkembangan latihan. Jika telah final akan menjadi informasi bagi penata panggung, penata lampu; dll.

Modul disusun dengan cermat,  walau sebenarnya sangat fleksibel jika memang telah terbiasa dengan tradisi membaca naskah atau memiliki pengalaman memainkan beragam naskah, namun tiga hal seperti Olah tubuh, Olah Vokal dan Olah Rasa menjadi menu harian yang dikenalkan; variasinya sangat luas untuk hal ini. Jadi pembagian waktu; dan memahami kemampuan peserta sangat akan membantu lancarnya workshop; terbukanya kemungkinan untuk menginformasikan berbagai teknik; seperti teknik berimaji, teknik muncul, sehingga proses mengenalkan pemeranan akan mengalir alami,  sementara naskah terus menerus menjadi tumpuan dan tanpa disadari ketika diajak berdiskusi mengenai isi cerita, alur dan plot, semua peserta dalam jangka waktu tiga hari akan dapat menjadi teman diskusi yang asyik, tidak akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan atau keluar jalur.

Dengan desain 6 hari workshop ini, walau dengan berbagai kemungkinan daya tahan peserta seperti gangguan barier psikologis, rasa enggan, merasa diri 'minder' ternyata akan diketahui tidak mampu tampil, menjadi salah satu kendala paling penting untuk diamati dan diatasi dengan pendekatan. Disiplin waktu kedatangan, istirahat harus diberlakukan ketat; dengan tujuan; pementasan di panggung memang tidak bis memaafkan ketidakdisiplinan.  Proses worskhop model ini mendorong semua peserta membangun kerjasama antar kelompoknya. 

Banyak yang bertanya, apa lalu pencapaiannya? Bahkan ketika saya meminta tolong beberapa teman untuk membantu proses workshop ini; tidaklah mudah menjelaskan bahwa workshop ini gratis  dan anak-anak ini setiap hari, dari jam 9 hingga jam 5 sore harus ada dalam proses pelatihan, dan anak-anak tidak semuanya orang mampu, pertanyaan mereka adalah:  apa out put-nya? Jika saya menjawab gagah; kalau mau revolusi mental, mulailah dengan mengubah stigma workshop-workshop itu dari ceramah sporadis menjadi pembelajaran praktek, maka pencapaiannya adalah minimal ketika hari terakhir, peserta siap melakukan  play reading; itu pertanda peserta sebenarnya telah siap pentas. Pertanda punya keterampilan public speaking, mengalami perubahan perilaku dalam mengelola kebersamaannya, sebab jika menjawab hanya dengan tujuan pelatihan teater secara murni, pastilah kerap seakan teater itutak ada gunanya dalam kehidupan ini. Padahal, pembelajaran teater tidaklah hanya untuk pertunjukan, pembelajaran teater justru memberi kesempatan untuk semua orang bercermin dengan kenyataan hidup disekitarnya, asalkan proses pembelajarannya itu berpihak kepada tahapan-tahapan yang sesuai kadar.

Kemudian mengenalkan manajamen, tata kelola pelatihan misalnya, sangatlah penting, ini bagian mengorganisasikan dari itu perencanaan pertemuan akan selalu bertujuan. Dari rancangan pelatihan akan diketahui kapan sebenarnya pemain misalnya dapat 'Lepas naskah' dan untuk drama pendek tidaklah memerlukan waktu yang panjang untuk hapal naskah dan lepas naskah. Dua minggu seharusnya pemain mulai memasuki tahap stop and go. Atau dicek dengantop and tail jika telah mulai melibatkan property dalam berlatih.

Pelatihan teater di sekolah misalnya, kerap mendapatkan pertanyaan dengan tanda tanya besar; sebab pelatihan hanya hidup jika akan ikut perlombaan. Padahal, jika basis naskah dan pelatihnya membuka wawasan seluas mungkin; proses berlatih teater ini akan menemukan relevansinya dengan banyak ilmu di sekolah; belum lagi nantinya elemen pendukung untuk pentas; dari manajemen produksi sampaipun tata panggung,

busana, dll.  Pelatihan teater berkemungkinan untuk terbuka bagi banyak pelatihan keterampilan dari menjahit, make-up sampai kelistrikan.

Itu sebabnya, saya agak enggan diminta memberi workshop teater, jika cuma sehari, apalagi setengah hari. Lebih baik tidak usah. Sebab citra pelatihan teater, workshop teater yang tidak disertai dengan kemauan untuk  berbagi pengetahuan ilmu praktek teater akan membuat pelatihan teater terkesan asal-asalan dan tanpa tujuan. Jika itu hanya untuk seolah-olah ada workshopteater, saran saya mungkin agak keras, sebaiknya tidak usah dilakukan.

Bagi saya, tahun ini keberuntungan buat saya, sebab sahabat saya Anisa di Aceh, telah mendapatkan dukungan lingkungan kampusnya ( Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip Unsyiah- Banda Aceh) untuk menjalankan proses workshop teater yang cukup padat dan mengejutkan tentunya, karena suasananya memang akan berbeda dengan workshop-workhop yang biasanya terjadi.  Workshop teater adalah kita, tahun ini, memberi banyak perenungan bagi saya juga mendapat pengalaman tambahan dan yang tetap hanyalah bahwa kita semua memerlukan katalis untuk mengenali hidup ini. Proses pelatihan teater akan memberikan hal itu, apabila dibekali oleh semangat berbagi pengetahuan dan tentu adalah modalnya penuh sabar mendorong peserta mengikuti tahap-tahapannya. Sekian laporan saya dari daerah paling barat di nusantara ini. Semoga bermanfaat. (cok sawitri, musafir pencari gagal mencari batu)

No comments:

Post a Comment