Pentas Teater End Game Diperasaan Remaja


CATATAN DRAMATUR; SEBELUM LAYAR DIBUKA DI TANGGAL 16 SEPTEMBER 2015, END GAME- DI PAMERAN TUTUR NYATUR

Proses kreatif teater modern di Bali atau mungkin Indonesia, dipastikan proses yang kesepian dan sendiri, terutama tak ada proses kritik pentas teater yang memadai. Kalau ada tulisan tentang pentas teater bahkan di koran dan majalah utama di Indonesia, biasanya sifatnya informatif kalaupun berusaha mengkritisi kebanyakan sangat jauh dari apa yang dimaksud dengan penulisan kritik. END GAME, naskah karya teater Samuel Beckett, pemenang nobel kelahiran negeri Irlandia. Dikenal dan dihormati tak hanya sebagai penulis yang handal tapi juga dalam jajaran filsuf. Naskah ini menjadi syarat bagi proses untuk memasuki salah satu jenis teater absurd. Tidak mengherankan, beberapa kelompok teater tak hanya di Indonesia dan di belahan dunia lainnya, yang pernah mencoba mementaskan naskah ini akan tanpa sadar (atau sadar) melakukan 'peniruan' pada pentas pertama END GAME yang konon disutradari langsung oleh Samuel Bekcett sendiri, terutama pada tafsir setting: tengkorak dan drum-drum besar. Padahal, tafsir terhadap terhadap naskah, artinya proses memahami secara menyeluruh untuk menuju apa yang diungkapkan oleh Esslin mengenai teater absurd :  "Dunia yang masih dapat dijelaskan meskipun dengan penjelasan yang keliru merupakan dunia yang kita kenal. Namun, sebaliknya di dunia di mana ilusi-ilusi dan harapan tiba-tiba direnggutkan, manusia merasa terasing, merasa sebagai seorang asing. Pelariannya tidak merupakan pengobatan bagi dirinya karena kenangan terhadap dunianya yang telah hilang dan pengharapannya terhadap negeri yang penuh harapan, telah direnggutkan. Perpisahan ini antara manusia dengan kehidupannya, antara aktor dengan lokasi ceritanya, merupakan perasaan absurditas"

Ada setahun saya berupaya mempelajari naskah END GAME ini, kemudian dengan tertatih-tatih menerjemahkannya ditemani sahabat saya Suliati Boentaran, lalu mencari orang yang saya syaratkan dalam kondisi alami berada dalam absurditas ketika diminta bermain teater. Dewa Ayu Eka Putri, dalam profilenya dituliskan seperti ini:  DEWA AYU EKA PUTRI, PANGOSEKAN 13 OKTOBER, SMA 1 UBUD, ANTROPOLOGI UDAYANA. Mengikuti Sanggar Cudamani dari usia 5 tahun, mulai dari belajar menari dasar dan tradisi kemudian usia 8 tahun mulai belajar gamelan dengan belajar semua jenis gamelan, gangsa, ugal, jegogan, kemudian menetap menjadi tukang kendang sampai sekarang dengan group gamelan bajang-bajang Cudamani, kedua orang tua seniman, Ibu guru tari dan pemain kendang dan ayah pelukis. Pengalaman pentas luar negeri di Jepang, Eropa, Amerika, Australia, pengalaman kerja sama kolaborasi dengan Ragamala Dance (India) Minnesota 2009, kerja sama dengan seniman Jepang (Taiko group) tahun 2010, kerja sama dengan seniman Belanda dalam garapan Sekala Niskala di Tong Tong Festival 2010 (SEMUANYA BERSAMA SANGGAR CUDAMANI) mendapatkan Andrew Fellowship di Canada pada tahun 2011 (mengikuti kelas Tari Afrika, Musik Korea dan Musik Afrika), Scholarship ke Perth (pernah mengikuti Aborigin class) (SENDIRIAN) Pada tahun 2013 mengikuti International Body Music Festival bersama Cudamani. Mendapatkan banyak pengaruh musik dan tari dari seniman berbagai negara, karena Cudamani seringkali bekerja sama dengan seniman luar negeri, pengaruh musik dan tari tradisi kuat didapat dari keluarga (karena memang hampir semuanya seniman, tari, musik dan komposer). Tahun 2007 pernah menggarap Tari Bungah bersama teman2 Cudamani. Pengalaman karya sebelumnya hanya sekedar menyumbangkan ide. Pengalaman Teater pertama di Jepang pada tahun 2010, kemudian pentas Jirah  karya Dayu Arya Satyani dan Cok Sawitri dalam Deklatari.

Perasaan absurditas itu menjadi dasar memasuki pentas teater absurd. Eka Putri latar belakangnya bukan pemain teater, namun menguasai beberapa kebutuhan dari proses kreatif teater. Karena itu, suasana absurditas itu otomatis muncul ketika menjawab akan bagaimana bentuk pementasan itu yang akan dipilihnya. Memilih medium teater gerak dan body music, mengisyaratkan kemana akan proses tafsir dalam tempo permainan, bagaimana timing antara gerak dan dialog itu menjadi pertunjukan absurd. Dan bagaimana nanti reaksi penonton. Jarang dalam konteks apresiasi teater di Bali dan Indonesia, membekali akan kisah riwayat pementasan teater absurd yang paling mengesankan dalam dunia teater adalah penantangnya sekelompok narapidana di penjara San Quentin, yang menonton pertunjukan Menunggu Godot dan ternyata penonton didalam penjara lebih menikmati secara cerdas bahkan ekspresif terhadap tontonan yang ditahun 1953- itu dalam partitur musik jazz, menggegerkan para penikmat seni di seluruh eropa dan amerika; sebab sikap penonton di penjara itu menjadi tandingan kepada mereka yang berada situasi kondisi katanya lebih siap menonton pertunjukan avant garde, ternyata justru menjadi kerdil dengan bentuk pementasan baru.

END GAME ditangan Eka Putri, bersama dua kawannya (Eka Kusumayani dan Yu Dek), masih belum jauh dari perasaan remaja. Perasaan yang dalam siklus psikologis itulah perasaan absurd dalam pertumbuhan manusia. Biasanya keutuhan pentas teater akan dirujuk pada plot, perkembangan perwatakan, dialog; dstnya. Tapi dalam END GAME itu semua dapat dihakimi oleh para penonton seintelek apapun akan segera mengenali; apa saja yang dibutuhkan kenyamanan menonton teater (yang normal) itu semua dikurangi.  Pada dasarnya akarnya adalah pada Albert Camus dengan Mitos Sisipusnya, yang bisa saja kita jejerkan nama-nama lain untuk belajar memahami absurditas ini. Kita kerap melupakan bahwa unsur murni teater abstrak dalam teater absurd merupakan satu aspek sikap yang antisastra dan sikap penolakan terhadap bahasa sebagai alat ekspresi makna. Hal inilah yang sering kali dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh teater absurd seperti Genet, Ionesco, Adamov, Tardieu, dan Beckett. Landasannnya suatu kesadaran bahwa teater bukanlah sekedar bahasa. Bahasa  dapat dibaca, akan tetapi teater sejati hanya dapat mewujud dalam "pertunjukan".

Eka Putri mengikuti intuisinya yang dekat dengan seni tradisi, janganlah lupa elemen-elemen pertunjukan absurd itu adalah tumpang tindihnya inspirasi dari pertunjukan-pertunjukan seni pentas kuno. Dalam tulisan Esslin (1961:xix), dikutip pendapat Ionesco mengenal absurditas dalam karya-karya Kafka yaitu "absurd adalah, apabila tanpa tujuan... terenggut dari akal religi, metafisik, dan transendental, manusia menjadi kehilangan; segala tindakannya tidak masuk akal, absurd, sia-sia "

Sebagai dramatur dengan saran membiarkan proses tumbuh keutuhan END GAME ditangan Eka Putri dari proses pengalaman mementaskannnya dengan membaginya halaman per halaman. Maka ini melawan tradisi pentas dilakukan apabila seluruh naskah telah dihapal dan dilatih atau  meringkasnya agar menjadi pendek (terfragmen). Absurditas yang di hati remaja ini menjadi penambahan baru mengenai apa yang terjadi dalam proses mengenalkan teater absurd . Teater absurd (Beckett dan Ionesco) berusaha mengekspresikan keadaan manusia itu dengan cara yang lepas bebas dan acak. Inilah yang kemudian dipresentasi oleh Eka Putri dari Sanggar Cudamani. Tantangan baru bagi kalangan seni di Bali, untuk tidak menjadi 'jebakan' bahwa bisa kita ucapkan: teater absurd tidak lagi membicarakan absurditas keadaan manusia, akan tetapi langsung menyajikannya dalam sebuah bentuk, yaitu ungkapan-ungkapan panggung yang kongkret. Dan itu pun akan berlawanan dengan harapan kebiasaan menonton pentas konvesional.

Maka selayaknya menghadapi absurditas dari perasaan remaja ini, mengingatkan bahwa sungguhlah berbeda dengan teater konvensional (pentas teater modern), sebabnya teater absurd menampilkan perilaku tokoh yang tidak diarahkan melalui silogisme yang logis.  Teater absurd tidak berjalan dari A ke B (kecuali karya Sarre dan Camus), melainkan bergerak dari premis yang tak dapat diketahui untuk menuju konklusi Y. Sangatlah wajar jika akan muncul keluhan pada tanggal 16 September 2015 nanti;  bahwa  penonton akan banyak merasa tidak mengetahui maksud naskah  atau sutradara. Sebab  mereka tidak merasakan kenyamanan seperti yang biasanya sangat menonton  teater konvensional. Sebaliknya, hal-hal yang paling tidak diharapkan dan tidak diperkirakan betul-betul terjadi. Kebosanan, ketidakmengertian, hilangnya kenyamanan, berada dalam situasi absurditas dalam menonton. Namun keremajaan Eka Putri, pendekatan sosiologis dan psikologis terhadap naskah tetaplah mendorongnya untuk 'mengurangi' eksterimitas dari kebutuhan teater absurd, mengingat penonton di Bali dan lingkungan seni yang terbiasa 'dimanjakan' dengan pertunjukan 'utuh' serta celoteh-celoteh yang mengira ada dalam kesepahaman akan teater dan seni pertunjukan, mengimbangi proses Eka Putri untuk masih akan berpegang pada ritme yang patah, dialog yang dipendam, artikulasi yang diucapkan secara datar. Hampir seluruhnya karakternya flat! Datar tanpa ekspresi. Maka ini mungkin tanjakan atau dalam kelak proses selanjutnya Eka Putri akan mengalah pada ketidaktahuan penonton, yang akan menuntutnya untuk me'utuh'kan pementasannnya dalam 'bingkai pertunjukan' yang menyenangkan dari kebiasaan dan selera agar mudah bertepuk tangan. Tapi sebelum memusingkan, mari menonton BAGIAN 12 HALAMAN PERTAMA DARI NASKAH END GAME pada tanggal 16 september 2015, jam 19.00 wita dalam rangkaian PAMERAN TUTUR NYATUR, di bentara budaya bali.

No comments:

Post a Comment