Belum matahari terbit benar, saya sudah di IRD sebuah rumah sakit di kota kecil. Ayah saya, pasien pertama hari ini, melegakan sebab perawat dan dokternya sigap. Tapi ibu saya terus menerus mengingatkan; uangnya sudah di bawa? Saya mengangguk memperhatikan proses perawatan terhadap ayah; jasa pelayanan dan jasa sarana di hari kerja; sebab tarifnya ada dua macam; di luar hari kerja dengan harga berbeda. Istilah-istilah itu saya baca di dinding depan, dekat ruang tunggu setelah ayah diharuskan observasi terlebih dahulu; apakah akan rawat inap atau rawat jalan: tergantung dari hasilnya nanti; tensi diperiksa lalu diambil tindakan medik. Ibu saya sekali lagi mengingatkan, apakah saya sudah bawa uang?
Saya maklum akan pertanyaan ibu; berjuta-juta warga negara ini sepakat; kesehatan itu mahal. Ada uang ada obat, ada uang ada dokter; tapi percayalah; pagi ini saya merasa perawat dan dokter di kota kecil ini tidak menanyakan apa-apa kepada saya, selain bagaimana kronologi kenapa bapak saya sakit. Lalu segalanya berjalan dengan baik, begitu pun pasien selanjutnya; pasien terjatuh dari motor dengan luka di dengkul dan telapak tangan, setelah itu datang lagi pasien yang agak parah, jatuh dengan kepala robek; pelayanan di IRD ini cukup bagus. Sembari menemani ayah, saya memperhatikan prosedur kerja di sekitar saya; dan saya maklum; betapa tidak tahannya jika dalam keadaan panik misalnya, tanpa askes harus mencari surat rujukan, surat ini-itu, atau jika dirawat inap; saya masih ingat, keluarga pasien harus mencari obat entah yang cair ataukah yang padat; mencari bantuan darah; dsbnya.Setiap saat entah teman, kenalan jika sesekali membezuk ke rumah sakit cerita tentang nasib pasien di rumah sakit akan selalu terdengar, terutama bagi pasien yang tak memiliki uang dan tanpa asuransi kesehatan, tanpa askes; pastilah ketegangan bertambah sepuluh kali lipat bagi keluarga pasien; dari memilih kamar; kamar kelas tiga, dua ataukah satu; berapa harganya sehari? Biaya pengobatannya? Biaya perawatannya? Dst. Sekalipun kemudian ada uang; tetaplah keluarga pasien akan stand by di dekat si pasien; berjaga-jaga, entah jika terjadi sesuatu memanggilkan perawat, entah harus tiba-tiba membeli obat tambahan; dstnya.
Saya pun maklum jika ada keluhan kepada sikap perawat ataukah dokter yang terkesan lamban; keluhan semacam itu memang selalu terdengar; tetapi keluhan perawat dan dokter di kota kecil? Jarang ada yang mau dengar. Sekali waktu, saya ingat pernah memperhatikan kampanye seorang calon kepala daerah; yang menawarkan pengobatan gratis. Saya jujurnya; tertegun lama, berpikir keras. Dan kenakalan pikiran saya menghitung jumlah kecamatan dalam satu kabupaten, lalu desa dan kemudian banjar yang dikoordinasikan dalam lingkungan. Benarkah bisa ada pengobatan gratis? Sebab pasti ada batas minimum kegratisannya. Bukankah rumah sakit sejak lama adalah wujud paling kokoh dalam soal menjaga ‘pengkelasan’ warga yang sakit? Apakah rumah sakit negeri ataukah swasta; jelas di sana mecitrakan ‘kelas’ si pasien saat memasuki jenis kelas kamar rawatannya. Uang menentukan kualitas perawatan (?) walau jika dibaca dalam dinding pemberitahuan mengenai hak dan kewajiban pasien dan keluarganya; terasa melegakan, namun jika memperhatikan pada butir kewajiban; tetap harus ada penyelesaian administrasi dan sebagainya; artinya pembayaran rawat inap, rawat jalan; jasa sarana, jasa pelayanan,dst. Entah kenapa; tipe rumah sakit pun ada jenjangnya; tergantung dari suatu penilaian, dari fasilitas, effektvitas pelayanan, dst; entah apapun itu; lebih mendorong kemudian kebijakan yang sering dilakukan adalah memperbaiki bangunan rumah sakit, merenovasi bangunan puskesmas; tetapi jarang terdengar; upaya memperbaiki semangat kerja para perawat dan dokter di desa-desa kecil dan di kota kecil, yang jelas tidaklah semakmur di kota-kota besar.
Saya maklum kenapa ibu saya terus bertanya; sudah bawa uang ataukah belum? Kesehatan itu di mata masyarakat adalah proses jual-beli; bukan proses perawatan semata. Dan pemerintah memang terus berupaya untuk memperbaiki prosedur administrasi, kualitas pelayanan, dst. Namun tetaplah ‘pengkelasan’ dan kepercayaan diri lebih didapatkan jika ada uang di kantong.
Saya jadi tertegun ditengah kelugasan pelayanan di IRD itu; semuanya berjalan lancar, walau memang harus sesekali rajin memanggil perawat; mengingatkan, apa yang mesti dicek lagi di tubuh ayah saya yang sudah renta. Rasanya sudah ada perubahan pelayanan; artinya ada harapan akan ada perubahan lebih besar lagi jika suatu ketika siapapun yang sakit; tidak khawatir menuju rumah sakit! Tidak khawatir lantaran tak memiliki uang.
Membayangkan itu; andai potensi masyarakat melalui banjar; dengan pendataan yang akurat lalu dikoordinasi dengan ketua lingkungan lalu desa, kecamatan; diserahkan pengerjaannya dari kelian; secara bersama dengan tujuan data penduduk nyata; lalu dari situ digerakan gerakan semacam tabungan kesehatan; atau sebaliknya; pemerintah daerah melalui kebijakan alternative; tidak konservatif; artinya jalurnya harus menunggu kebijakan dari pemerintah tingkat di atasnya; baru berani mengambil kebijakan kesehatan daerah; pemerintah daerah dengan keterbukaan mengajak warga menghitung kemampuan dirinya memberi biaya operasional manajemen rumah sakit; dan dimana singsalnya; bayangkan andai ini kemudian menjadi gerakan terbentukan jaminan kesehatan social (model jimpitan): yang akan otomatis diketahui seluruh warga; dimana mereka akan dapat setiap sangkep (rapat) di banjar mengetahui berbagai perkembangan informasi gerakan social kesehatannya. Mungkin awalnya tidak mulus, namun ini minimal tidak muluk-muluk; membayangkan tak ada satu pun warga yang takut sakit; dan jargon ‘kesehatan itu mahal’ akan pelahan hilang; berganti kesadaran akan perlunya menjaga kesehatan untuk proses kreatif hidup.
Bukan janji gratis, namun bagaimana mengembalikan proses hidup merawat hidup bersama ini melalui kebijakan pengayoman dan perlindungan kesehatan nyata dari pemerintah; bukan pemanjaan, namun suatu kesadaran dimana semua orang akan dapat saling tolong menolong, tanpa terbebani; dan otomatis sebab jika ada jaminan dari komunitas, organisasi adat maka prosedur administrasi serta ketakutan pasien kabur akan lenyap; rumah sakit tak akan rugi sebab informasi data akan dapat secara serentak mengungkapkan data social warganya, dimana secara otomatis tagihan yang ditanggungnya akan dibayarkan secara jimpitan…..
Jam pagi bergerak cepat, saya masih duduk diam di IRD: menunggu resep untuk di bawa ke apotik; beberapa obat cair harus dikembalikan, begitu pula alat suntik harus dikembalikan; sebab tadi dalam perawatan; statusnya meminjam. Saya berjalan ke apotek di bawah gerimis; berdoa semoga nyepi esok hari akan memberi kedamaian, kesehatan kepada semua warga dimanapun berada, sekalipun harus sakit semoga anda dengan penuh optimis akan mendapatkan perawatan dan pelayanan yang menenangkan hati; sehingga kesembuhan lebih cepat datang. Selamat hari raya nyepi…
Saya maklum akan pertanyaan ibu; berjuta-juta warga negara ini sepakat; kesehatan itu mahal. Ada uang ada obat, ada uang ada dokter; tapi percayalah; pagi ini saya merasa perawat dan dokter di kota kecil ini tidak menanyakan apa-apa kepada saya, selain bagaimana kronologi kenapa bapak saya sakit. Lalu segalanya berjalan dengan baik, begitu pun pasien selanjutnya; pasien terjatuh dari motor dengan luka di dengkul dan telapak tangan, setelah itu datang lagi pasien yang agak parah, jatuh dengan kepala robek; pelayanan di IRD ini cukup bagus. Sembari menemani ayah, saya memperhatikan prosedur kerja di sekitar saya; dan saya maklum; betapa tidak tahannya jika dalam keadaan panik misalnya, tanpa askes harus mencari surat rujukan, surat ini-itu, atau jika dirawat inap; saya masih ingat, keluarga pasien harus mencari obat entah yang cair ataukah yang padat; mencari bantuan darah; dsbnya.Setiap saat entah teman, kenalan jika sesekali membezuk ke rumah sakit cerita tentang nasib pasien di rumah sakit akan selalu terdengar, terutama bagi pasien yang tak memiliki uang dan tanpa asuransi kesehatan, tanpa askes; pastilah ketegangan bertambah sepuluh kali lipat bagi keluarga pasien; dari memilih kamar; kamar kelas tiga, dua ataukah satu; berapa harganya sehari? Biaya pengobatannya? Biaya perawatannya? Dst. Sekalipun kemudian ada uang; tetaplah keluarga pasien akan stand by di dekat si pasien; berjaga-jaga, entah jika terjadi sesuatu memanggilkan perawat, entah harus tiba-tiba membeli obat tambahan; dstnya.
Saya pun maklum jika ada keluhan kepada sikap perawat ataukah dokter yang terkesan lamban; keluhan semacam itu memang selalu terdengar; tetapi keluhan perawat dan dokter di kota kecil? Jarang ada yang mau dengar. Sekali waktu, saya ingat pernah memperhatikan kampanye seorang calon kepala daerah; yang menawarkan pengobatan gratis. Saya jujurnya; tertegun lama, berpikir keras. Dan kenakalan pikiran saya menghitung jumlah kecamatan dalam satu kabupaten, lalu desa dan kemudian banjar yang dikoordinasikan dalam lingkungan. Benarkah bisa ada pengobatan gratis? Sebab pasti ada batas minimum kegratisannya. Bukankah rumah sakit sejak lama adalah wujud paling kokoh dalam soal menjaga ‘pengkelasan’ warga yang sakit? Apakah rumah sakit negeri ataukah swasta; jelas di sana mecitrakan ‘kelas’ si pasien saat memasuki jenis kelas kamar rawatannya. Uang menentukan kualitas perawatan (?) walau jika dibaca dalam dinding pemberitahuan mengenai hak dan kewajiban pasien dan keluarganya; terasa melegakan, namun jika memperhatikan pada butir kewajiban; tetap harus ada penyelesaian administrasi dan sebagainya; artinya pembayaran rawat inap, rawat jalan; jasa sarana, jasa pelayanan,dst. Entah kenapa; tipe rumah sakit pun ada jenjangnya; tergantung dari suatu penilaian, dari fasilitas, effektvitas pelayanan, dst; entah apapun itu; lebih mendorong kemudian kebijakan yang sering dilakukan adalah memperbaiki bangunan rumah sakit, merenovasi bangunan puskesmas; tetapi jarang terdengar; upaya memperbaiki semangat kerja para perawat dan dokter di desa-desa kecil dan di kota kecil, yang jelas tidaklah semakmur di kota-kota besar.
Saya maklum kenapa ibu saya terus bertanya; sudah bawa uang ataukah belum? Kesehatan itu di mata masyarakat adalah proses jual-beli; bukan proses perawatan semata. Dan pemerintah memang terus berupaya untuk memperbaiki prosedur administrasi, kualitas pelayanan, dst. Namun tetaplah ‘pengkelasan’ dan kepercayaan diri lebih didapatkan jika ada uang di kantong.
Saya jadi tertegun ditengah kelugasan pelayanan di IRD itu; semuanya berjalan lancar, walau memang harus sesekali rajin memanggil perawat; mengingatkan, apa yang mesti dicek lagi di tubuh ayah saya yang sudah renta. Rasanya sudah ada perubahan pelayanan; artinya ada harapan akan ada perubahan lebih besar lagi jika suatu ketika siapapun yang sakit; tidak khawatir menuju rumah sakit! Tidak khawatir lantaran tak memiliki uang.
Membayangkan itu; andai potensi masyarakat melalui banjar; dengan pendataan yang akurat lalu dikoordinasi dengan ketua lingkungan lalu desa, kecamatan; diserahkan pengerjaannya dari kelian; secara bersama dengan tujuan data penduduk nyata; lalu dari situ digerakan gerakan semacam tabungan kesehatan; atau sebaliknya; pemerintah daerah melalui kebijakan alternative; tidak konservatif; artinya jalurnya harus menunggu kebijakan dari pemerintah tingkat di atasnya; baru berani mengambil kebijakan kesehatan daerah; pemerintah daerah dengan keterbukaan mengajak warga menghitung kemampuan dirinya memberi biaya operasional manajemen rumah sakit; dan dimana singsalnya; bayangkan andai ini kemudian menjadi gerakan terbentukan jaminan kesehatan social (model jimpitan): yang akan otomatis diketahui seluruh warga; dimana mereka akan dapat setiap sangkep (rapat) di banjar mengetahui berbagai perkembangan informasi gerakan social kesehatannya. Mungkin awalnya tidak mulus, namun ini minimal tidak muluk-muluk; membayangkan tak ada satu pun warga yang takut sakit; dan jargon ‘kesehatan itu mahal’ akan pelahan hilang; berganti kesadaran akan perlunya menjaga kesehatan untuk proses kreatif hidup.
Bukan janji gratis, namun bagaimana mengembalikan proses hidup merawat hidup bersama ini melalui kebijakan pengayoman dan perlindungan kesehatan nyata dari pemerintah; bukan pemanjaan, namun suatu kesadaran dimana semua orang akan dapat saling tolong menolong, tanpa terbebani; dan otomatis sebab jika ada jaminan dari komunitas, organisasi adat maka prosedur administrasi serta ketakutan pasien kabur akan lenyap; rumah sakit tak akan rugi sebab informasi data akan dapat secara serentak mengungkapkan data social warganya, dimana secara otomatis tagihan yang ditanggungnya akan dibayarkan secara jimpitan…..
Jam pagi bergerak cepat, saya masih duduk diam di IRD: menunggu resep untuk di bawa ke apotik; beberapa obat cair harus dikembalikan, begitu pula alat suntik harus dikembalikan; sebab tadi dalam perawatan; statusnya meminjam. Saya berjalan ke apotek di bawah gerimis; berdoa semoga nyepi esok hari akan memberi kedamaian, kesehatan kepada semua warga dimanapun berada, sekalipun harus sakit semoga anda dengan penuh optimis akan mendapatkan perawatan dan pelayanan yang menenangkan hati; sehingga kesembuhan lebih cepat datang. Selamat hari raya nyepi…
No comments:
Post a Comment