Selintas Mengenai Dramatisasi Puisi Dan Fragmentasi Puisi

Beberapakali ada yang bertanya kepada saya, apa sebenarnya dramatisasi puisi itu (?) dan apa bedanya dengan fragmentasi puisi (?) Kedua pertanyaannya itu muncul karena sudah lama di Bali, disebabkan beberapa kegiatan sekolah dan festival yang menyebutkan ajakan untuk melakukan suatu model pertunjukan dengan teksnya (baca naskah) berdasarkan sebuah puisi.

Puisi dijadikan teks pertunjukan adalah tradisi yang cukup lama dikenal, merupakan pengembangan kreatif dari tradisi membaca puisi, kemudian dikenal pula tradisi deklamasi dan akhirnya munculah dramatisasi puisi; yang ditahun 70-an masih dilakukan dengan pola satu orang membaca utuh puisi itu lalu beberapa kata yang dianggap menyangatkan dalam puisi itu, yang dianggap memberi aksen dramatic dibacakan oleh beberapa orang lain secara serempak bahkan berulang-ulang: puisi yang laris saat itu dijadikan 'baca puisi bersama' adalah karya-karya chairil anwar, seperti Diponogoro, Aku ; atau puisi-puisi yang memiliki pesan kuat mengenai gugahan perjuangan.

Bibit Dramatisasi awalnya muncul dihari-hari kemerdekaan, biasanya menjelang upacara puncak Tujuh Belas Agustus; sekelompok orang bersikap sebagai pejuang dengan bambu runcingnya dipandu dengan pembacaan puisi, maka gemuruh di lapangan seakan menjadi situasi peperangan para pejuang kemerdekaan yang ‘endingnya’ adalah teriakan merdeka! Merdeka! Saat itu tidak disebut sebagai dramatisasi puisi; dalam judul acara biasanya disebut sebagai deklamasi puisi kemerdekaan. Dalam prosesnya kemudian muncul kritik terhadap kegiatan semacam itu, khususnya mengenai keutuhan puisi itu sebagai puisi, sebab dalam konteks seperti model pertunjukan itu seringkali pembacaan puisi hanya terkesan sebagai latar belakang bahkan kadang hanya sebagai tempelan semata! Keagungan pembacaan puisi jelas terganggu bahkan tujuan pembacaan puisi serta puisi itu sendiri mengalami kegegaran.

Pembacaan puisi apapun bentuknya; apakah poetry reading artinya teks dibaca, dan si pembaca masih memegang teks, disyarati dengan syarat puisi itu harus utuh sebagai puisi. Sebab penambahan, pengulangan kata, kalimat, atau wilayah improvisasi itu tidaklah boleh mengubah makna puisi itu, yang memang akan berubah ketika ada penambahan kata atau penekanan yang berulang-ulang pada suatu kata ataukah kalimat yang diucapkan diluar kata sebagai tulisan! Deklamasi pun demikian, daya hapal sang pembaca dengan dasar penghayatan yang kuat tetap ditentukan kepiawaiannya jika puisi itu tetap utuh dibacakan. Puisi dalam tradisi dan strukturnya memang kekuatannya adalah pada pencapaian sublimasinya. Karena itulah kemudian, proses kreatif yang berkembang, yang ingin menjadikan puisi sebagai naskah drama; harus dimulai dengan memproses puisi itu sebagai naskah drama terlebih dahulu.

Naskah drama dicirikan dengan narasi dan dialog. Dan bagaimanakah nasib puisi itu ketika telah melebur menjadi teks (naskah) drama?

Daya tafsir terhadap puisi itu; yakni menyelami sekiranya apa yang dikisahkan oleh suatu puisi, memang kerap tergantung kepada jenis puisi itu sendiri. Puisi yang sifatnya terbuka (ekstrovert); memberi jelajah yang kuat bagi seseorang untuk membayangkan apa sesungguhnya cerita yang dikisahkan oleh puisi itu sendiri. Daya tafsir inilah yang akan dijadikan pola bahkan struktur pengadegan dalam proses dramatisasi. Sedang isi puisi sebagai teks dapat dijadikan prolog, atau dibacakan dalam fase puncak kisah. Proses prosaic dari puisi ke narasi inilah yang menyebabkan kelahiran model drama puitik, salah satu jenis drama yang sangat populer di eropa pada era abad 18-an. Irama dialog dalam dramatisasi puisi pun akan didasarkan pada gaya pembacaan puisi, selalu dalam tarikan suara yang panjang dan lebih dramatic dibandingkan dengan dialog dalam pementasan drama yang lain. Kecirian puisi tidaklah lebur, habis total disebabkan karena telah menjadi drama; sebagai kisah yang dipertunjukan, namun semestinya terjadi penguatan, daya cekam makna terhadap puisi itu menjadi semakin kuat.

Pertanyaan lain adalah mengenai durasi pertunjukan dramatisasi, jawabannya adalah tergantung panjang pendeknya sang puisi atau daya tafsir dari yang melakukan proses prosaic, menuju naskah dramanya. Jika memilih puisi balada pastilah akan lebih panjang dibandingkan memilih sebuah puisi pendek, sebagai misal. Namun puisi pendek dengan daya tafsir yang kuat bisa juga melahirkan durasi yang panjang dalam proses dramatisasinya. Pada tahap pertunjukan, apapun itu batasan pertunjukan ketika puisi itu menjadi seni pertunjukan tetap mengikuti tata krama pemanggungan.

Kemudian mengenai fragmentasi, sebutan fragmen dalam tradisi seni pertunjukan teater di Bali dimulai ketika TVRI mulai siaran di Bali. Fragmen adalah tayangan pendek berdurasi 15-30 menit dengan kisah-kisah yang sederhana. Secara leksikal itu diartikan sebagai potongan, singkatan atau bagian dari keutuhan. Ketika puisi diproses menjadi fragmentasi puisi, disinilah kebingungan dimulai; sebab keduanya seolah-olah sama-sama singkat. Jelasnya, puisi memang nampak sebagai tulisan singkat dan padat namun dalam proses pemahamannya tidaklah singkat, kerap puisi memerlukan daya pemahaman yang lebih lama dibandingkan memahami jenis tulisan lainnya.

Lalu apakah bedanya fragmentasi dengan dramatisasi puisi? Jawabannya sederhana; kesamaannya adalah keduanya telah mendasarkan dirinya kepada puisi, yang memerlukan pertanggungjawaban ketika melakukan pembacaannya yakni keutuhan pada sublimasinya, sejauh apapun keliaran, improvisasi tetaplah puisi itu dibatasi oleh struktur dan pilihan katanya yang sudah menjadi rima dan maknanya sendiri. Perbedaannya, bahwa dramatisasi puisi akan lebih mensyarati proses itu pada lahirnya jenis drama puitik, yang durasinya tergantung dengan daya tafsir. Sedangkan fragmentasi memberi pilahan yang lebih pada proses narasi teks naskahnya yakni saat mempola menjadi seni pertunjukan mesti lebih simbolik, lebih pada bentuk bagaimana model tata krama pemanggungannya pada pertunjukan yang simbolik: semisal itu kisah burung, burungkah yang akan dipertunjukan atau berpura-pura sebagai burung? Fragmentasi bisa juga menjadi pengekstrakan proses penulisan naskahnya, namun tetap keutuhan puisi itu sebagai puisi harus terjaga.

Nah, jika memang berpihak pada proses kreatif; maka bekalnya ketika memilih kedua hal ini; dramatisasi ataukah fragmentasi adalah paham benar akan tradisi pembacaan puisi, kemudian paham benar mengenai tata krama pemanggungan drama. Sebab apapun itu dalam proses estetika; tetap ukuran dan takarannya adalah kebenaran pengetahuan mengenai dua bidang itu, yaitu drama dengan tata krama pemanggungan serta puisi dengan tradisi penulisan dan pembacaannya.

No comments:

Post a Comment