Ibu saya mengintip nyepi

Pagi sekali ibu saya bertanya pelan,"sekarang nyepi ya?" saya menjawab, ya. Ibu saya memang sudah sangat pikun, tak lama kemudian ia bertanya lagi,"hari apa ini?" saya menjawab,"nyepi..." Lalu ibu saya melangkah mendekati jendela, menyingkap korden dengan pelahan, ia mengintip ke jalan. Rumah kami memang letaknya di pinggir jalan dan di sebelahnya balai banjar." Tidak boleh ke jalan?" tanyanya kepada saya,"Ya, tidak boleh. Nanti ditegur sama pecalang..."

"Tidak ada yang jualan. Pasar tutup..." kata ibu saya sambil melangkah kembali duduk, minum kopi dan tersenyum,"tidak boleh menyalakan lampu nanti malam?" Ibu saya asyik sekali dengan dirinya,"artinya sipeng....dulu boleh ke luar, jalan-jalan tapi tidak boleh membawa apapun ditangan...kapan mulai pemerintah menjalankan sipeng?" tanya ibu saya. Saya tersenyum," sudah lama..."

Di siang hari, kembali ibu saya bertanya,"hari apa ini?" kembali saya harus menjawab,"Hari nyepi..." kembali ibu saya mengintip dari balik korden, melihat ke jalan,"Tidak boleh ke jalan ya?"

"ya, tidak boleh. Nanti ditangkap pecalang..." jawab saya. Ibu saya tertawa,"pecalang tidak menangkap, hanya menegur dan memberi denda, kalau dahulu di bawa ke jaba pura puseh, itu yang melanggar ke jalan saja, kalau di rumah, pecalang hanya boleh menegur...."--- Saya mengangguk, mengiyakan. Ibu saya dengan kepikunannya nampak mulai berpikir," ternyata mengalah juga kuasa pemerintah ya dengan tradisi kita....jalan sepi, pasar tutup...tapi kita di rumah hanya puik sama listrik, tidak mengeluarkan uang..." ibu saya tertawa sendiri, seolah dalam perasaan menang. Saya mencoba memancing agar ibu tetap dalam kondisi jernih diajak bercakap,"airport juga ditutup...semua toko ditutup..."

"Iya, jumah jak umahe ten kapiutangan sekenne jak duwen pemerintah-e..." ibu saya tersenyum, makan dengan nyaman. Mengangguk-anggukkan kepala. Dan saya tersenyum, mencoba memahami apa yang dipikirkannya. Bagi ibu saya, nyepi pemerintah, nyepi nasional sekarang ini mungkin sesuatu yang baru diikutinya, apalagi dengan gaya sipeng. Sebab dahulu ibu tahu banyak desa melakukan nyepi desa, dan nyepi desa sangatlah ketat. Tergantung jenis nyepinya. Jika desanya punya tradisi nyepi luh muani, maka akan terjadi perubahan arus relasi ke publik bahkan kewajiban domestik.Kalau nyepi desa, artinya sawah, ladang, dst akan tidak boleh dikunjungi. Semua diam di rumah, hanya disekitaran rumah. Namun brata penyepian yang sifatnya 'brata ke dalam diri' dibandingkan brata nyaraswasten, brata galungan, dst; lebih sifatnya kepada menjaga bhuwana agung. Ibu saya kembali mendekati jendela, kembali mengintip ke jalan," ibu mau melakukan brata penyepian?"

Ibu saya tersenyum," kan sudah, tidak jalan, tidak menyalakan listrik..." lalu dahinya berkerut," lentikan api di kayun ane pademang, ampunang ngae-ngae mantra...mapitulung ke gumi, apang buin mebayu, nak mula ngoyong di jumah... muspa ten dadi, batarane mase perlu istirahat. Nak mula patut; Ngoyong...oyongan ragane..." lanjutnya, ketika saya katakan, ada beberapa teman melakukan puasa, mirip monabrata hari ini...ibu saya baik bertanya,"gegodan napi? uli pidan nangun-ne?"

Serius, saya kehilangan kekuatan menjawab. Ibu saya paham tata krama brata, dan paham mengenai tata krama brata gumi. Jadi ada yang untuk dilapis luar diri, kembali ke dalam rumah, kembali ke dalam diri, membiarkan bumi, jalan, memahami ketiadaan terang benderang; dst, sebagai suatu hal yang membedakan tegas secara bayangan; dimana posisi bhuwana agung dan alit. Ibu saya sudah terlalu pikun, untuk menemukan suatu penjelasan mengenai brata gumi dan brata dalam diri; yang menurut ibu; dalam kepikunannya, anak nyepiang jagat, ten uyut, ten melali, ten ngujang-ngujang. Di jumah, ngerasaang elah ngelah umah. Ampunang ngartiang lebih, napi buin kanti matenget-tengetan...nyanan bingung idup-e. Nyanan makejang tepuk salah...

Kembali ibu saya mengintip jendela, melambaikan tangan, karena ada pecalang liwat,pecalang itu menoleh dan tersenyum,"sudah makan?" ibu saya menyapa dan tersenyum, menikmati sekali. Kuasa diri, kuasa rumahnya. Di luar sana kuasa publik terdiam. (MENIKMATI HARI NYEPI, TAHUN 2015)

No comments:

Post a Comment