(catatan kecil; apresiasi seusai menonton)
Tahun 2011 ini adalah tahun yang padat bagi Dayu Arya, yang lebih dikenal sebagai Dayu Ani, putri tertua Ida Wayan Granoka, figur utama dalam komunitas Maha Bajra Sandhi, yang banyak diingat masyarakat Bali dengan berbagai gerakan budaya terutama pada kemampuan mengelola seni sebagai persembahan yang terbebaskan dalam proses kreatifnya.
Biasanya, dalam tradisi seni persembahan, kerikuhan yang paling utama adalah pemahaman kesakralan; seni persembahan terkadang berakhir sebagai seni yang diam, nyaris tidak membuka peluang untuk diapresiasi, sebab persembahan; seakan harus bebas dari kemungkinan pembaharuan. Namun Ida Wayan Granoka membuka wawasan baru dan menularkan kepada putri tertuanya, bahwa seni yang ditujukan untuk persembahan adalah wilayah luas dan mendalam untuk digali, dikembangkan sehingga mencapai pencapaian estetika, yang tak cuma memenuhi tata krama pemanggungan namun memberi daya sentuh ke hati.
Dalam seni pertunjukan dikenal apa yang dimaksudkan dengan pencapaian penampilan dan gaya dalam bahasa lain menuju karakter pencapaian, yang jika dalam puitika selalu pencapaian itu adalah sublimasi; kekuatan yang meringan dalam pemilihan diksi sehingga daya pukau itu menyampaikan pesannya tanpa bertele-tele. Dayu Ani (33 th), ditahun 2011 ini menampilkan beberapa karya tarinya: Tari Rejang Revolusi di Grebeg Aksara, Dang Manik Angkeran sebuah karya dekonstruksi drama tari berbasikan Baleganjur tampil mewakili Desa Nongan Karangasem dalam Pesta Kesenian Bali, dan yang paling menarik adalah Legong Tantri, yang merupakan karya atas dorongan Ida Bagus Balik Ambara; yang menempatkan Dayu Ani sebagai koregrafer tari dari generasi muda Bali dengan nyali dan proses kreatif dengan pencapaian puitika gerak yang kuat secara berani membedakan diri dari jebakan nujum tari-tari kreasi bali masa kini yang kerap terjebak pada pembangunan gerak yang riuh oleh kostum warna-warni namun kadang nyaris tak berarti.
Legong Tantri adalah fase yang menarik dari berbagai karya Dayu Ani. Bahwa tradisi tidaklah jebakan dan kurungan namun justru dapat menjadi pijakan kuat ketika ingin melakukan tanjakan dalam proses kreatif. Pola gerak yang diciptakan oleh Dayu Ani, jelas memiliki akar tak hanya pada pemahaman Gambuh sebagai ibu tari, tak sebatas gerak legong sebagai puitikanya tari, namun pemahaman mendalam akan prinsip menari itu adalah solah (sikap),bahwa masolah adalah penyikapan diri dalam wujud karya, sebuah dinamika.
Kisah Tantri diangkat oleh Dayu Ani menjadi seni pertunjukan yang tak hanya menampilkan sublimasi gerak untuk merakit keutuhan kisah bagian awal dari kisah Tantri, yakni ketika Ni Diah Tantri menyerahkan dirinya kepada Eswaryadala, raja Patalinagantun. Sebuah karya seni pertunjukan yang berani menawarkan blocking dan moving yang tak terduga; kadang gerak berhamburan, natural dari puluhan anak-anak menjadi penyampai pesan; betapa rindu kita akan tradisi didongengi, betapa menyentuh saat anak-anak itu dibiarkan menjadi dirinya sendiri di sebuah kalangan yang sesungguhnya terbatas, namun justru mereka nampak terbebaskan. Sebaliknya, betapa tersentaknya akan pola gerak penampilan dan gaya pengolahan tari pada condong, yang mendoyongkan posisi rajeg, berdiri tegap menjadi dalam posisi miring dan mendongak, mengingatkan kembali bahwa pola agem tari Bali tidaklah ukuran matematika; pengajaran agem tari bali dimasa sekarang dari latihan sirang pade sampai agem kanan-kiri; gerak dasar yang kini justru terkungkung oleh suatu pola pelatihan seragam, yang melupakan prinsip bahwa agem adalah pegangan mendasar untuk mendapatkan karakter bila kelak menari. Dayu Ani membuktikan keberaniannya ketika kemiringan dan mendongak; dagu terangkat, mata kosong melamun ke langit dan lengan diayun jatuh tanpa kembangan jemari, menjadi gerakan estetik yang membuat penonton terhenyak. Bandingkan dengan tari bali yang kini banyak diciptakan, banyak memenuhi panggung-panggung festival selalu sembunyi pada pengolahan ‘bunga-bunga’ entah pada jemari atau pada moving yang berubah-ubah, selalu menuntut kekompakan rapi, namun kosong; sebab sering tidak menampilkan inti tujuan menari: solah! Sikap dan penyikapan diri menyampaikan peristiwa dari kisah.
Dayu Ani secara naluriah menjawab bahwa tari dengan prosesi geraknya adalah juga membutuh plot (sebab-akibat) bukan semata pada alur kisahnya namun pada keutuhan tari itu ketika ditarikan secara individual; wiraga, bagian terpenting dalam tata krama mendasari diri dalam tradisi seni di bali mendapatkan ruangnya ketika Eswaryadala dan Ni Diah Tari menampilkan kisah bagaimana upaya Ni Diah Tantri berkisah; sublimasi gerakan legong sungguh memasuki puitika gerakan, yang saat ini banyak dihindari oleh para pekerja seni tari di Bali. Begitu pula Wirasa, merasakan apa yang disolahkan, apa yang dikisahkan; dan pesan itu tidak slogan ataukah vulgar; namun memberi inspirasi. Pada berbagai perpindahan posisi sang penari jelas: Dayu Ani telah menuju wirama; secara mendalam menjawab bahwa disharmoni adalah juga harmoni; ketajaman memahami filsafat bedha-abedha, wilayah abu-abu dalam kebeningan.
Dayu Ani, mungkin kerap dilupakan dalam pembahasan dunia seni tari di Bali, sikap kesehariannya yang rendah hati dan bekerja keras untuk sesuatu yang mungkin saat ini menjadi sikap langka yaitu: bersikap sang sisia (murid) kepada gurunya; guru itu tak cuma ayahnya, tapi kepada semua orang, kepada anak-anak, dan menguji batinnya sendiri dalam proses yang kadang hampir tanpa dukungan dana. Kesantunan juga kekerashatian, telah membuat tahun ini, hampir dipastikan Dayu Ani telah menempatkan dirinya ; mencapai masolah di setiap karya-karyanya, kecil ataukah besar panggung itu, tetapi Bali sepatutnya berbahagia sebab menari sepertinya ditangan karya cipta Dayu Ani akan menuju sebuah sikap: masolah. (by. cok sawitri)
No comments:
Post a Comment