Mungkin Engkau Bahagia

Mungkin kini engkau bahagia, ah, itu relatif. Bangkit dari rasa kehilangan, tetaplah tak membuat hati seketika nyaman. Seperti ranting patah, tak mungkin disambung utuh. Potong saja, biarkan ranting lain tumbuh dan barangkali akan lebih subur, daunnya akan rimbun, membuat hati jadi teduh. Mungkin jauh di dalam hati, engkau merindukan sebuah pertemuan, tempat bercerita tanpa beban, menangis ataukah mengeluh, bercerita tanpa dihakimi; tentang kelemahan diri, kekhawatiran akan kesendirian. Mungkin tak akan terpikirkan, sekelilingmu berbagai wajah yang memproklamirkan diri sebagai sahabat, yang barangkali bagai saudara, menyaksikan kesedihan, berbeda pendapat namun tetap dekat. Namun tak cukuplah itu, ada bagian dalam hati, yang tetap saja tak nyaman mengisahkan, betapa kepedihan itu terasa menyengat walau telah ditanam dengan pikiran yang rasional, perpisahan mungkin itu yang terbaik, kita kelak bisa menjadi teman atau sahabat, tetapi dibalik semua itu ada yang tergiris, yang sulit diungkapkan.

Lalu Dimanakah Keberanian Sesungguhnya Berdiam (?)

semisal kita bercakap dalam keterbataan, namun hati adakah yang tahu, mungkin aliran sungai akan iri, tak terbendung kecipaknya dari hulu ke hilir. tapi biarlah percakapan menjadi ranting patah, kadang tak lepas dari cabangnya. semisal itu terjadi, lalu dada menjadi sesak antara hangat dan kenyerian, tak tahu mesti mengurai yang mana mesti dijelaskan. Apakah iya, aku pernah membencimu? ataukah diam dan membiarkan kediaman mendekatkaan, memandang bayangan yang jatuh, nafas yang tertahan, lalu dimanakah sesungguhnya keberanian berdiam? biarkan itu, biarkan meminang dan mencairkan jarak, menghancurkan sekat. semisal engkau di dekatku, membiarkan percakapan menjadi jauh dari rasa hati. maukah minum secangkir teh? atau bolehkah aku merokok di teras? dering telpon dan kerisauan, meminang diam itu kembali datang, membiarkan kita tahu: keberanian telah lenyap oleh keangkuhan...

Siapa Diantara Kita Yang Akan Menyapa Lebih Dahulu

bayangkan bila kegilaan merasuki kepalaku. akal sehat lenyap dan keangkuhan berganti menjadi kata hati. pasti aku akan menelponmu. tak perduli apa reaksimu. geraham ini mengatup, air yang tersedot dari tanah mendengung. mungkin beberapa hari lagi, sarapan pagi bersama mempertemukan kita. kembali kerikuhan itu menandai kita. membuatku membisu seakan tak perduli, walau dalam hati, betapa bahagiaku jika itu terjadi kembali.lalu kembali, kerikuhanmu memberiku aku tempat untuk diam membisu.Lalu, siapa, diantara kita yang akan menyapa lebih dahulu atau nujum ini mengutuk harapanku, jantungku berdetak dan keasingan membuatku membisu, memandang potret di dinding yang setiap saat dapat kutatap.

Bulan Sabit di Langit JAKARTA

entah. kenapa wajah bulan saat sabit di langit jakarta jadi tegas dan terang. wajahmu juga serentak demikian benderang dalam ingatan. segelas red wine ditangan membawa ke masa lalu. memandangmu dari dekat, dalam diam, engkau selalu bersemangat untuk membuatku nyaman.berusaha dengan kerikuhan untuk membuatku merasa dekat. menawarkan makanan kecil, mereweli asap rokok, juga kadang duduk dekat seolah membiarkan semua orang melihat, engkau dekat denganku. Tapi jauh dalam hati, saat itu aku risau, seperti bulan sabit yang kelak akan utuh menjadi bulatan.

Tak mungkin hari akan menahan kejadian sang bulan memenuhi dirinya. Aku pun tahu itu, suatu ketika engkau, pacarmu dan yang lainnya, akan tahu kemana hati perginya menerawang, membiarkan diam dan ketidakperdulian seolah jemu, berjarak, beku, membangun wajahnya yang mengasingkan, membuatmu kuncup dengan segala pertanyaan. hingga kemudian segelas red wine tumpah ke kolam. Membentuk sabit yang mendarahi ingatan...

Bakal MANUSIA SUCI

Kamu (kusebut demikian agar lebih intim) ketimbang kalian, mungkin hari ini harus merelakan harapan pada cinta, sebab seseorang telah menyatakan cinta melalui sms; padahal belum pernah bertemu muka dan cinta menjadi sebatas pesan pendek; tanpa keagungan, tanpa geletar, tetapi sms itu diterima dengan gelisah; seperti ada ruh yang terguncang, begitulah, ketika suatu malam seseorang yang memujamu sedemikian rupa, masih muda, jauh masih muda setengah memohon ingin singgah di kamarmu. Lalu kamu merasakan pula kehangatan dan rasa sunyi, hingga akhirnya kamu harus menyuruhnya pulang, sebab tidaklah mungkin memberi tumpangan padanya, bukan karena tak menyenangkan, tapi rasa takut bila kemudaan itu akan membawamu pada masalah yang sama sekali tidak akan menghangatkan hati. Tidak juga karena takut hatimu tak hangat, suatu hari di luar kota, entah apa alasannya, akhirnya kamu pun meniduri pasangan temanmu, padahal waktu bertemu serba kebetulan, semacam kekagetan, sebab tak menyangka bertemu dengan orang yang tak dikenal di suatu tempat yang asing. Lalu usai itu kamu akan menelpon seseorang, yang sebenarnya dimata banyak orang dia itu kekasihmu, pembicaraan yang menyenangkan, dari soal pekerjaan sampai soal membeli kursi kerja baru! Sedang di televisi hampir serentak keluar cacian bila diberitakan seorang teman ternyata berpoligami atau prihatin dengan perpisahan karena selingkuh, bukankah tidak harus berpisah karena selingkuh? mestinya ada cara yang cerdik, menjaga perasaan-perasaan kuno yang masih banyak bersemayam di banyak hati orang. Bukan kuno, perasaan keagungan, yang juga ada dalam hatimu, yang terus dijaga, itu pasti. Tersenyum disaat makan siang, menyapa seseorang lalu teringat, bahwa menjaga perasaan itu penting dengan mengabaikan perasaan pula. Keduanya tak mungkin berdampingan, sama persis dengan apa yang kamu rasakan; dari dunia antah berantah tiba-tiba ada isyarat yang baru kamu sadari, bahwa dulu, sebab musabab perpisahan-perpisahan sewaktu masih memiliki perasaan kuno itu disebabkan hatimu mulai melihat bahwa mantan dari pasanganmu lebih menggairahkan, lebih membuat hatimu bersorak saat bertemu, lebih meliarkan ketika mantan pasanganmu itu yang bermanja-manja, berceloteh tentang hidup yang sehat; dari jangan merokok, harus makan teratur, pergi ke salon, spa, atau berlibur ke tempat-tempat suci; ziarah-ziarah yang rela kamu ikuti saat itu, bukan untuk mencari ketenangan jiwa, lebih pada agar dekat dengan mantan pasanganmu. Membuatmu tersenyum sambil membiarkan sapaan datang di keramaian, membiarkan teman sekerja memujimu sebagai si orang taat, pagi kerja, sore pulang. Atau si lajang yang semangat bara, kritis, cerdas dari soal kemanusiaan sampai soal korupsi, dari politik sampai soal kesehatan. Beredar dari citos sampai istana negara, berlibur dari Bali hingga nepal, mengobrol dengan teman kecil sampai mantan menteri yang keseleo karena salah menuruni anak tangga rumahnya. Sekaligus rindu pada sebutan pemberontak, yang merdeka, independen, yang idealis, yang bertekuk pada aturan kerja,membuatmu sesekali harus kompromi dengan rasa sakit, tapi tetap kritis pada penindasan yang lain. Penindasan yang tidak hendak dipercakapkan.

Kisah Cacing Yang Sederhana

Suatu hari Rsi Abyasa, Rsi yang menguasai ilmu di tiga dunia berjalan di jalan raya ramai penuh kereta, tak sengaja ia menunduk dan melihat ada seekor cacing yang melintas diantara roda-roda kereta dengan gerakan gila. Dengan heran Abyasa memperhatikan, hingga si cacing tiba di tepi jalan. Lalu disapanya si cacing dengan bahasa cacing,"Hai, temanku, kenapakah engkau melintas sedemikian rupa.."
Si cacing menjawab,"Hamba benar-benar takut dengan derak-derak roda kereta, suara derit lecutan penghela kerbau...hamba takut tergilas. Hidup ini tuan, sungguhlah berharga, hamba tak mau meninggalkan surga kehidupan lalu menuju neraka kematian...Hanya karena hamba tak berusaha menghindari roda-roda kereta itu.."

Setelah Rama Patahati...

Setelah Rama patahati, sebab harus membuang Sita di tepi gangga, demi menjaga citra sebagai lelaki dan raja; sebab tidaklah mungkin berdebat dengan seluruh rakyat untuk menjelaskan kalau Sita itu tetap setia walau sudah diculik berbulan-bulan oleh Rahwana. Sudahlah. Rama memilih menjadi raja patahati dan menyibukan diri dengan pekerjaan mengurus rakyat, sehingga lupa akan rasa patahatinya.

Biarlah demikian, pikirnya, dengan hati berderak pedih. Selalu tegak, agung dan berwibawa walau hati tersaya-sayat dalam rindu nestapa; rasa bersalah juga tak berdaya! Ah, pagi itu seperti biasa, Rama dengan semangat sudah memulai pekerjaannya sebagai raja, memberi keadilan kepada rakyatnya. Diperintahkannya Laksamana,"Bawalah semua orang yang meminta keadilan kehadapanku, tak perduli siapapun dia bawalah, sebanyak apapun, bawalah kepadaku...mahluk apapun!"

Sembada, Dari Kisah Tantri Kamandaka: Kematian Karena Bercerita Tanpa Bukti dan Saksi

Entah. Entah apa yang menuntun Patih Sembada pagi itu mendekati tepi danau. Tak ada kerisauan, tak ada kekecewaan. Hatinya lapang, pikirannya terang. Pekerjaannya baik-baik, keluarganya pun baik-baik. Kesehatan dan kesejahteraannya pun baik! Namun entah kenapa, pagi itu ia melesat menuju tepi danau dan kemudian terpana saat menyaksikan, di seberang sana, di batas antara wilayah kerajaan hutan, di bibir danau; istana indah telah berdiri megah.

Patih Sembada benar-benar tercengang, bagaimana tugasnya sebagaimana patih adalah berkeliling, memeriksa dan memastikan wilayah kerajaan hutan aman dan tentram, menjaga kewibawaan dan martabatnya sebagai wilayah. Di bawah pimpinan maha raja harimau bergelar Sang Mong yang memiliki pasukan tak terkalahkan, ratusan srigala, ribuan kera, jutaan semut merah, maka hutan dandaka ini adalah hutan yang paling ditakuti oleh siapapun ia, jika bukan warga negara kerajaan hutan. Kini, apa maksudnya istana megah dibangun dibatas wilayah kerajaan? Malah kaki-kaki bangunannya seolah sengaja menjuntai ke bibir danau! Lalu apa maksudnya nyanyian, musik dimainkan demikian keras seakan menyampaikan; pesta tengah dimulai, seolah tak peduli akan keagungan Sang Mong. Patih Sembada mendengus, berpikir keras, menduga-duga...