Sembada, Dari Kisah Tantri Kamandaka: Kematian Karena Bercerita Tanpa Bukti dan Saksi

Entah. Entah apa yang menuntun Patih Sembada pagi itu mendekati tepi danau. Tak ada kerisauan, tak ada kekecewaan. Hatinya lapang, pikirannya terang. Pekerjaannya baik-baik, keluarganya pun baik-baik. Kesehatan dan kesejahteraannya pun baik! Namun entah kenapa, pagi itu ia melesat menuju tepi danau dan kemudian terpana saat menyaksikan, di seberang sana, di batas antara wilayah kerajaan hutan, di bibir danau; istana indah telah berdiri megah.

Patih Sembada benar-benar tercengang, bagaimana tugasnya sebagaimana patih adalah berkeliling, memeriksa dan memastikan wilayah kerajaan hutan aman dan tentram, menjaga kewibawaan dan martabatnya sebagai wilayah. Di bawah pimpinan maha raja harimau bergelar Sang Mong yang memiliki pasukan tak terkalahkan, ratusan srigala, ribuan kera, jutaan semut merah, maka hutan dandaka ini adalah hutan yang paling ditakuti oleh siapapun ia, jika bukan warga negara kerajaan hutan. Kini, apa maksudnya istana megah dibangun dibatas wilayah kerajaan? Malah kaki-kaki bangunannya seolah sengaja menjuntai ke bibir danau! Lalu apa maksudnya nyanyian, musik dimainkan demikian keras seakan menyampaikan; pesta tengah dimulai, seolah tak peduli akan keagungan Sang Mong. Patih Sembada mendengus, berpikir keras, menduga-duga...

Patih Sembada mendekat, melangkah dengan kaki-kaki yang terlatih, matanya menyala kuning, tajam, memastikan bentuk istana itu. Hm.Pasti yang ia lihat, demikian jelas dan nyata. Dijilatnya kaki bangunan istana itu, dikencinginya sebagai penanda bahwa ia telah berkunjung ke tempat itu. Lalu segera ia membalikan tubuhnya, melesat secepat angin menuju istana Sang Mong, yang pagi itu dengan penuh wibawa tengah duduk di atas istananya dikelilingi seluruh bawahan yang dipercaya, sedang di setiap sudut, pasukan srigala berkerumun, sesekali melolong, sesekali menggeram sambil tak henti-henti mencabik-cabik daging segar, mungkin seekor kijang, mungkin celeng hutan.
Sembada mendengus, mengabaikan amis yang menusuk perutnya, rasa lapar sempat membuat pikirannya hilang langkah.

"ah, sembada tiba terlalu pagi, sepupu jauhku, si harimau hitam... si macan kumbang saudara serumpunku; penguasa pohon. Ada apakah? Apakah yang membuatmu nampak lusuh dan kumismu berdiri tegak?" Sang Mong dengan suara menggeram menyambut kedatangan Sembada, yang segera menghaturkan sembah.
"Tuanku, maharaja hutan, mohon maaf menganggu kebahagiaan tuanku...menganggu sidang pagi, juga menganggu sarapan pagi tuanku..."
Sang Mong tergelak,"Kau petatah petitih, katakan ada apa!" gelegar itu membuat semua srigala mengkerut takut.
"Hamba baru saja ke tepi danau, ke watas kerajaan. Oh, tuanku, hamba sungguh tercengang, sungguh tak habis pikir, di sana telah berdiri istana megah, dengan suara-suara seakan ada pesta di dalamnya, ada nyanyian, musik...."
Sejenak Sang Mong dan para bawahannya terdiam, membiarkan angin berhembus, pohon-pohon berderak. Lalu Sang Mong mengaum,"benarkah...?" tanyanya tak percaya.
Srigala pun melolong,"Tak mungkin. Tak....tak....tak mungkin, kemarin hamba ke sana berburu, tak ada apapun di sana...sembada terlalu berkhayal tuanku....wakakakakakakak!
" dengan suara serak para srigala mengejek sembada, yang menggeliat, membuat tubuh hitamnya kian mengkilat.
"Demi penguasa hutan, pagi ini..hamba melihat, hamba menyaksikan, itu sebabnya hamba berani menyampaikan..."
Sang Mong mengaum,"Tidak mungkin, sepupuku...janganlah membuat hatiku gempar, mengusik pagi yang indah dengan ceritamu yang mendatangkan gundah..."
Sembada langsung mengaum,"Tuanku, hamba tidak berbohong..."
"benarkah?"
"kalau demikian, kita semua akan ke watas kerajaan, ke danau....tapi apa bila ceritamu bohong, dagingmu kami makan sebagai sarapan pagiku...."
Mendengar itu., Sembada mengaum menyetujui, para srigala, para pemangsa melolong senang, membayangkan daging segar sembada. Segeralah Sang Mong memberi perintah, menderu-deru derap para pemangsa ke watas kerajaaan. Sang Mong tiba terlebih dahulu, lalu para pemangsa dan disusul para srigala,"Manaaa istana itu, manaaaaa..."
Sembada beringsut dan memangdang ke bibir danau,terkejut ia, tak ada istana di situ, tak ada juga tak ada lagi sisa bau kencingnya, semuanya lenyap dicambuk kecipak air danau. Namun Sembada melompat, mendekati, mendengus-mendengus mencari lalu mengaum kecewa,"Demi tuhan, aku menyaksikan istana itu pagi ini.....demi tuhaaan..."

Sang Mong mengaum,"Kau menyaksikan, tapi adakah bukti? Bau kencingmu tak ada....adakah mungkin saksi? yang bisa menghindarkan engkau dari hukuman? Menipu rajamu sendiri dengan cerita bohong? membuat gempar negara...itu hukumnya, hukuman cabik dan terkam!"
Sembada lunglai, bersumpah atas nama langit dan bumi, bahwa ceritanya benar adanya, namun hingga senja tiba, tak ada bukti bahwa di sana pernah ada istana, juga tak ada saksi lain yang melihat bahwa pernah ada istana di sana.

Sembada meraung," Baiklah, hukumlah aku, namun demi tuhan, aku telah melihat istana megah itu, kaki-kaki bangunanya menjurai ke bibir danau, namun karena tanpa bukti, tanpa saksi....hukumlah aku!!...ohhh bahkan kencingku pun tak mau menjadi bukti.."
Sembada pun diterkam, mati, sebab tak bisa membela ceritanya, tak ada saksi, tak bukti....Mengaumlah Sang Mong menangisi kematian sepupunya, saudara serumpunya, melolong para pemangsa mencabik tubuh sembada, yang tetap yakin akan kebenaran yang dilihatnya .
"Janganlah lagi, satu diantara kalian, mengumbar cerita, bila belum ada bukti atau saksi..." Sang Mong kembali meraung, menangisi kecerobohan sepupunya dan segera menerkam daging yang tersisa.


(kisah ini, dari kisah lisan Tantri, kisah sembada, fabel yang banyak meriwayatkan kejadian hukum)

No comments:

Post a Comment