Makaula Guru - Siwa Gama (BAG. 5)

Ketika film Mahadev ditayangkan di televisi. Banyak kawan yang saya kenal, menjadi penggemarnya. Banyak pula yang bertanya-tanya dalam hati, seperti itukah kisahnya Siwa (?) Bahkan kemudian beberapa kawan memasang potret-potret, lalu mengira itulah ‘rupa dan wajah’  dari hakekat. Bahkan beberapa diantaranya meniru-niru pola kostumnya, make-up: megoreskan cendana didahinya, mengalungkan kalung dan trend kemudian gelang-gelang dengan iming-iming 'tameng suci' dll. Sungguhlah berbeda jika belajar Ma-kaula guru ini dalam tradisi Siwa Gama. Bagian sargah yang akan memaparkan bagaimana ‘runutan’ kejadian penciptaan semesta itu akan menegur mereka yang menjadikan gambar dan khayalan kisah sebagai tindakan keseharian.

Tatwa-widhi (widhitatwa), begitu dinamakan, tatwa-mahasunya, itu juga namanya, tak terbayangkan. Pada bagian Raja Pranaraga (nama ini sesungguhnya juga nama hakekat), mempertanyakan tentang: kimpunah devamapnoti, catur lokapala jneyah, ghandarva vidhyadharasca, prassadhascaiva ucyate, kalimat ini adalah pertanyaan, walau dituliskan dan diucapkan dalam bahasa sansekerta, artinya begini ; dari manakah asal usul Sanghyang Catur Lokapala, Gandarwa, Kinnara dan Widyara? Itu sebabnya orang bali menggunakan gugon tuwon, tapi janganlah mudah idepan (janganlah mudah percaya)—sebab beberapa kawan mengira, asal dituliskan dan diucapkan dalam bahasa sansekerta itu mantra! Sehingga ‘mensucikannya’. Karena itu dalam Ma-kaula guru, prinsipnya adalah : harus bertanya kembali ke gaman (pegangannya) sendiri. Perhatikan kemudian bagaimana ketika Sanghyang Brahma selesai menciptakan alam semesta, dikisahkan dia segera melakukan Yoga, memusatkan batin kepada Sang Hyang Adisuksma, dia Sang Hyang Triwindu merupakan badan rahasia. Dari proses Yoga itu; muncul dari batin kehalusan (yang supra halus): sabda tan matra, itu yang sering dipanggil Sang Hyang Druwa. Lalu dari bayangan benih rupa, ini yang disebut rupa tan matra, ini dipanggil Sang Hyang Agni Dewa. Lalu dari lubuk batinnya muncul pradananya, Bhatari Uma sebutannya. Muncul dari yoga itu, dewi Prasuti dan Dewi Asiksiki. Dari batin purusanya lahir Sang Hyang Dharma, diberi tugas sebagai dewanya siang. Dari posisi Brahmayoganya, maka lahir pula Sanghyang Prajapati. Agar memudahkan mereka semua yang sebenarnya ‘tak terbayangkan’ dibayangkan sebagai putra dan putri dari ciptaan. Sama seperti bagaimana Sang Hyang Adi Suksma menyebut catur dewata ataukah saat menyebut Pratanjala dan Uma; sebagai putra-putrinya.Tetapi harus ini cara menjembatani keterbatasan manusia itu sendiri.Dari awal telah dikatakan; Sang Hyang Adi Suksma itu tak berwujud, tak berkelamin....serba tak, juga serba dapat; tanpa tangan pun dapat menjangkau, tanpa telinga dapat mendengar...betapa tidak mudah jika proses belajar ini dengan saklek seperti yang ‘sesungguhnya’ hakekat itu.

Perhatikan bagaimana dan dimana, lalu apa sebenarnya mereka yang dipuja itu. Lalu jika dilanjutkan bahwa dalam yoga Sang Hyang Brahma itu memusatkan batinnya ke Sang Hyang Adi Suksma,dalam antara-antara purusa dan pradana, muncul bayangan yang digerakkan oleh pranabayu (tenaga nafas kehidupan), terjadi dalam pertemuan air api, kejadiannya demikian dahsyat, meneggetarkan maka lahirlah Sanghyang Metrujala. Karena itu dalam keseharian orang membayangkan kelahiran dan kematian tak ubahnya membayangkan Kala Mertyu, begitu menggetarkan dan menciutkan hati, sebab keduanya digerakan oleh tenaga kehidupan yang kekuatannya tak tertandingi. Tak ada yang bisa mencegah kelahiran, begitu pula kematian. Tak cuma itu saja yang tercipta dalam Yoga Batara Brahma kepada Hyang Widhi, lahir kemudian bagi dunia fana yang dikenal dengan nama Dewi Tri Purusa; Dewi Saraswati, Dewi Sri dan Dewi Sadhana. Dari penciuman (ganda tan matra) dalam yoga agung itu muncul Bhatari Bumi, dari batinnya lahir Sanghyang Sanatkumara. Perhatikan baik-baik bagaimana cara Siwa Gama, sebagai dasar memahami ‘Widi” dan “Sunya”. Kemudian ketika Wisnuyoga menghadap batinnya kepada Hyang Widi; lahirlah Sang Budha, Sang Bala, Sanghyang swayambhumanu...dst, jumlah empat belas, semuanya lelaki. Lalu dari Iswarayoga; lahirlah Sang Kasyapa, Sang Balikilya, Sang Merdu. Sang Tumburu, Sang Kapila. Sebab semua memusatkan yoganya kepada Hyang Widhi maka dari Paramanirbhawa (nirwana tertinggi) lahir barisan ini Sang Pitra, Sang Marici, Sang Bhregu,Sang anggira, Sang Pulasti, Sang Pulaha, Sang Kretu, Sang Dhaksa, Sang Atri, Sang Garga, Sang wasista, Sang Nilalohita. Semua itu adalah maharesi surgawi.

Dalam Ma-kaula guru ini bila berpegang kepada Siwa Gama, perhatikan Daksa paranem akhyatam, jadi ciptaan Brahmayoga itu bernama Sang Prasuti dan Sang Asiksiki dikawinkan dengan Sang Daksa yang tercipta dari Iswarayoga.Tidaklah sama seperti membayangkan perkawinan antar manusia, dengan tubuhnya ini; mereka itu sesungguhnya berbadan mulia;inilah yang biasanya lama sekali menjadi bagian perenungan, perdebatan,agar jangan jatuh dalam langgam mudah idepan. Inilah juga menjadi tanda pembeda Hindu Bali dengan Hindu di India. Tak akan ditemukan nama-nama dalam di pura ataukah merajan orang bali: gambar atukah lukisan ‘merupakan’ wajah-wajah itu. Bahkan kisah Sang Daksa, yang kelak nantinya menjadi ‘pembayangan’ yang paling dekat dalam batas memahami elemen-elemen kesemestaan dari berbagai unsur yang bermuara kepada sabda tan matra, rupa tan matra, dan ganda tan matra. Itu sebabnya, Siwa Gama ini begitu berat dipelajari kecuali dengan cara Ma-Kaula Guru itu. Jika dipelajari dengan harfiah, jatuhnya akan kepada khayalan-khayalan, mengira itu dongeng. Padahal, bagaimana Hindu Bali memberi kesantunan pikiran untuk memahami awal mula penciptaan itu, memberi dasar-dasar keyakinan bagaimana lapisan-lapisan supra-misteri yang harus pelahan dipahami, tidak mudah idepan, itu kata orang tua bila menasehati bila ada anak-anaknya tiba merasa tahu akan betara-betaranya. Sebab kemampuan filologi dan idiomatika, sangat diperlukan untuk perlahan-lahan memahami bagaimana perilaku spiritual itu dalam Hindu Bali, bagaimana tubuh religius yang hadir dalam upacara-upacara, dan bagaimana bait suci weda itu yang dipilih bagi kehidupankeseharian, agar seperti yang telah disampaikan; jika tak tahu yang disembah,pastilah ucapan doamu juga tak sampai. Jika tak tahu menyembah, pastilah takada yang disembah. Sembah ini sebenarnyaa kunci pembeda Hindu Bali dengan Hindu lainnya di dunia ini.

(BERSAMBUNG- mulai letih pikiran ini, semoga dicerahkan hati)

No comments:

Post a Comment