Bim Desa Batu Jong


Cerpen
by Cok Sawitri
BIM DESA BATU JONG

Rasa nyeri di kaki Bim begitu menyakitkan, tetapi dua lelaki setengah baya  yang menolongnya dengan tenang mencari ranting-ranting kayu, menarik dengan cepat rumput tebal," Kakimu patah, untuk sementara dibebat kayu dan rumput gambut. Nanti setelah tiba di kampung, ada dukun tulang…"

Setelah itu Bim tidak ingat apa-apa. Tidak mendengar apa-apa. Tak tahu kemana di bawa oleh dua lelaki setengah baya itu. Ketika tersadar Bim sudah berada di sebuah rumah sederhana, dengan atap ilalang yang diikat rapi, sayup telinganya mendengar suara keluhan sapi, kokok ayam yang akan menaiki sarang, embikan kambing bahkan ringkik kuda. Bim berusaha bangkit, kakinya masih terasa nyeri, tetapi kini sudah dibalut dengan tebal sekali dengan boreh yang baunya menyengat, itu bau bawang merah! Bim menoleh, ia melihat ransel dan kamera serta Hpnya ada di pojok ruangan di atas lantai tanah. Bim berusaha mendongak, ada listrik, desa ini ternyata sudah menggunakan listrik! Walau lampu yang dipasang mungkin hanya 15 watt, tetapi tidak apalah, artinya, Hp dan laptop akan bisa dinyalakan, bahkan mungkin ia akan bisa on line dari sini.

Sedang asyik mengamati seluruh sudut kamar itu, suara gemeresak terdengar mendekat sepertinya itu semacam cikar yang ditarik kuda, berhenti dengan gumam suara mendecak-decak menenangkan kuda penariknya, Bim menatap pintu, menanti siapa yang datang, mungkin pemilik rumah yang menampungnya.
"ha…sudah bangun rupanya…"

Bim tersenyum dan mengangguk pada lelaki yang membuka pintu lebar-lebar dan di belakang lelaki itu ada beberapa orang lain," Saya Bim…" Bim berusaha mendudukan dirinya dengan kaki masih menjulur lurus karena ditahan oleh ikatan tali rotan tipis dengan tujuan agar patah tulangnya tidak bergeser-geser.

"Jangan bangun. Berbaringlah…Kakimu masih sangat rawan. Tadi dukun tulang sudah mengobatimu. Untungnya kamu masih pingsan, jadi tidak merasakan kesakitan saat kakimu ditarik untuk diluruskan. Dengkulmu bergeser dan ada bagian yang patah di bagian tulang betis…"

Bim mengangguk,"Terima kasih, Pak…Bapak sudah menolong saya.."
Lalu lelaki itu masuk diikuti beberapa orang. Bim menghitungnya dalam hati, ada sekitar lima orang, semuanya seperti sebaya, mungkin para tetua desa, pikir Bim.

"Ini rumah pondok, jika menjelang musim panen barulah kami menempatinya. Tapi di sekitar rumah ini banyak saudara-saudara  kami. Jadi tidak usah takut, kamu akan ada yang mengurus sampai sembuh…"

"Terima kasih, Pak. Ini sudah bagus sekali, saya biasanya kemah kalau ke desa…"

"Oh, jadi tujuanmu kemana, Nak?"

Bim merasa nyaman, tidak ada rasa canggung atau was-was walau semua lelaki itu mengawasinya dengan cermat bahkan walau ke lima lelaki  itu menyebar di seluruh ruangan, berdiri dekat jendel  dan hanya diam cuma tersenyum sesekali , hati Bim begitu nyaman, tidak merasa terancam," Saya sedang liburan, Pak. Kami berenam dan sebenarnya sudah biasa berkemah di bukit di atas desa Bonang. Biasanya kami berkemah di sana…"

"Oh…tapi kamu malah melewati sungai dan kami temukan justru di batas desa Batu Jong!"
Bim mengangguk,"saya dan teman-teman berpencar, mencoba rute yang berbeda-beda, sebenarnya saya ditemani seorang teman, cuma dia berbalik sebab menduga rute ini akan kembali ke desa Bonang, karena setelah sungai kami malah menemukan jalan setapak…"

"Baiklah, besok pagi kami akan ke atas, menemui teman-teman kalian untuk mengatakan kalau kamu sedang dirawat kakinya…"
"terima kasih, pak…"

Lalu salah satu dari lima lelaki itu menekan saklar, lampu 15 watt itu menyala muram. Tetapi ruangan masih diterangi oleh sisa cahaya matahari yang akan segera tenggelam. Bim menarik nafas, pastilah teman-temannya sudah resah menanti. Tapi sebentar lagi, ia akan mengirim pesan singkat. Hpnya dan BB-nya masih banyak punya sisa baterai.

"Nanti ada Wasa namanya, yang akan menemanimu di sini dan membawakan makanan, kami harus kembali ke dalam kampung, besok kami datang lagi menemuimu sekaligus membawa dukun tulang…semoga cepat sembuh!"
Setelah para lelaki itu pergi,  Bim berusaha menjangkau ranselnya, dan menyeretnya mendekati pembaringan. Dirogohnya kantong teratas, BB-nya nampak masih berkedip: segera ia menulis pesan: aku ada di desa Batu Jong, kakiku patah dan sudah ditolong oleh penduduknya. Tenang dan sabar, besok mereka akan menemui kalian!"

Seusai Bim mengirim pesan singkat, suara gemeretak cikar terdengar lagi, kali ini kuda penariknya meringkik, tak lama terdengar suara langkah-langkah, lelaki yang muncul di pintu agaknya tergopoh-gopoh, begitu membuka pintu langsung menyapa Bim,"Saya Wasa…."
Bim hanya mengangguk, dan dengan sangat cepat Wasa mondar-mandir menyiapkan makan malam bahkan ada tungku tanah mungil di bawa oleh Wasa,"Ini buat menghangatkan kopi…" jelasnya, "malam-malam udara di sini dingiin sekali…"

Makan malam yang sulit dijelaskan, segar namun enak, entahlah Bim sudah sering blusukan ke berbagai desa-desa terpencil, selalu menemukan makanan-makanan khas yang rasanya berbeda-beda.
"Apakah di sini ada pencolokan…?"
"Pencolokan?"
"Saya hendak mencharger baterai saya…"

Wasa melengak, agaknya bingung, lalu Bim menjelaskan pelahan. Wasa terkekeh-kekeh kemudian," ada tapi letaknya di luar. Bim menarik nafas lega,"Tidak mengapa, besok saya akan memerlukan aliran listrik untuk alat-alat saya…"
Dalam keremangan lampu Wasa bertanya macam-macam pada Bim. Bim sungguh merasa ditemani dan nyaman di hati, akhirnya ia tertidur lelap dan terjaga saat dingin begitu menyengat namun matahari nampaknya sudah mulai meninggi. Bim menoleh mencari Wasa. Agaknya Wasa sudah pergi. Lalu ia berusaha bangkit, memeriksa kakinya. Ah, luarbiasa pengobatan tradisional itu. Bim tersenyum lebar, rupanya Wasa sudah menyediakan tongkat untuk dirinya. Ah, betapa hebatnya dukun tulang itu. Bim berusaha bangkit dari tidurnya dan meraih tongkat. Walau masih terasa agak nyeri.

Tiba-tiba Wasa menyembulkan kepalanya dari balik pintu,"Ah…sudah bisa berdiri, dukun patah tulang desa kami memang sakti! Hayolah dicoba berjalan…"

Diawasi Wasa, Bim terseok-seok melangkah, ke luar dari kamar. Tersenyum lebar walau kakinya terasa sangat nyeri, rumah ini memang pondok begitu ke luar langsung disambut teras lebar dengan satu balai-balai dan Wasa agaknya sudah selesai menyiapkan makanan,"makanlah…"
Bim tersenyum,"saya sudah dua hari tidak sikat gigi….Apakah ada tempat membersihkan diri…?"
"Ada kocor di belakang.."
"Kocor…?"

Wasa menjelaskan jadi di belakang pondok ada kendi besar yang diisi air penuh untuk membersihkan diri, selebihnya jika ingin mandi dan kalau buang air besar harus ke sungai,"Tenanglah, nanti kutumpangkan kamu di cikarku itu…" Wasa menunjuk kendaraannya. Ah, betapa romantiknya desa ini, pikir Bim. Tangannya sudah gatal-gatal ingin menjangkau kameranya. Ah, kali ini semoga blusukannya mendapat hasil pemotretan yang unik dan membuat semua orang tercengang.

Sambil makan, entah jam berapa saat itu, Wasa dan Bim bertukar cerita,"Ah, jadi kau tamasya…"
Bim tertawa,"Bukan, saya sedang belajar memotret dan juga menulis, jadi bersama beberapa teman setiap liburan kami melakukan perjalanan, pernah kami ke Kalimantan, ke Papua…."

Wasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Bim tahu, bahkan sudah terlalu sering bertemu dengan pemuda desa yang lugu, yang berusaha mengerti, berusaha pula untuk menyenangkan hati.

Bim akhirnya bisa menemukan pencolokan itu dan dibantu Wasa, isi ranselnya di keluarkan. Dengan berdebar diperiksanya laptop dan kamera, kemudian perbekalan makanan kering seperti mie dan kopi instan. Semuanya masih lengkap walau ranselnya memang nampak terbalur oleh lumut dan tanah. Entah apa yang terjadi kemarin tiba-tiba saja ia merasa terdorong dan jatuh dalam posisi telungkup. Untunglah dua lelaki setengah baya itu menemukannya. Kalau tidak betapa akan menyedihkannya di tepian lereng dan sungai, pastilah di sana tidak ada signal untuk mengirim kabar dan meminta pertolongan.

BB-nya berbunyi, ah akhirnya ada jawaban,"Sukurlah Bim, kami cemas…baru kami terima pesanmu. Kami memutuskan untuk kembali ke desa Bonang, sebab GPRS di sini tak bekerja dengan baik dan kami tidak tahu arah menuju desa Batu Jong. Sabar menunggu jemputan kami…"
Bim menjawab dengan cepat,"tenanglah, aku baik-baik, kakiku mulai sembuh dan aku sudah mulai bisa berjalan dengan tongkat. Dan ada listrik di sini, juga sepertinya aku akan mendapatkan obyek pemotretan yang bagus…"

Kling. Lagi jawaban itu datang,"dasyaaar kamu, hayolah, kami segera meluncur…Semoga dengan cepat kami bisa menemukanmu dan bersaing menjepret!"

Desa Batu Jong sepertinya terletak di celah lembah, memang terisolir, tetapi Bim sungguh kagum ketika Wasa mengajaknya menaiki cikar. Ladang-ladang yang terhampar, pohon-pohon buah-buahan yang berjejer rapi. Juga di kejauhan ada pondok-pondok yang mengeluarkan asap, tanda kegiatan memasak dilakukan di setiap pondok.

"Kemana kalian jual hasil ladang dan buah yang begitu berlimpah…"
"Kami tidak menjual….sulit membawanya ke pasar..kami makan sendiri! "
"Ohh…" Bim menghela nafas, beginilah negeriku, masih juga ada desa terisolir dan pastilah di peta dan statistik tak nampak desa ini dalam catatan pemerintahan. Alat transpotasinya masih cikar ditarik kuda,"ah, di sini masih banyak kuda…" Barulah Bim penuh terkejut dengan pemandangan yang nampak, segerombolan kuda liar nampak merumput.

"Itu kuda-kuda liar…" jelas Wasa,"Tidak boleh diambil sembarangan, jika kami memerlukan kuda, kami harus melakukan upacara…"
Bim mengangguk. Dimana-mana desa-desa di pelosok memiliki tradisi, kepercayaan mengenai kekuatan alam.
"Nah, kita sudah tiba di permandian umum, bersihkan dirimu, rendam kedua kakimu, semoga cepat sembuh…"

Bim sungguh menikmati mandi di tepian sungai, airnya jernih dan bening, walau dinginnya memang menyengat di kulit. Tetapi begitu ke luar dari rendaman air, tubuh terasa begitu segar. Wasa kemudian mengajak Bim ke pondok dukun tulang yang menyambut kedatangan Bim dengan senyum datar, hampir menjebikan bibirnya. Mata itu tajam dan bangga melihat dampak pengobatannya,"Hah…tinggal diurut sedikit, diurapi minyak, besok kau bisa lari sekencang kuda…"

Saat matahari nampak meredup, Wasa mengajak Bim kembali ke pondok, menyiapkan makan malam dan berbincang-bincang apa saja. Bim mengirim pesan melalui BB-nya. Mencoba pula Hp-nya untuk menelpon nomor teman-temanya, tapi rupanya signal tidak kuat. Bim hanya bisa mengirim pesan-pesan melalui BB, telponnya tak bisa digunakan. Teman-temannya menjawab silih berganti bahwa mereka baru memasuki batas desa Bonang. Jadi mereka juga jalan seharian.
"Jadi kalian juga mencari ikan di sungai?"
"Iya…ikan-ikan akan banyak jika musim hujan…" Wasa menjelaskan,"Kami juga berburu, tetapi tidak boleh sembarangan. Aturan desa kami keras untuk banyak hal, sebab banyak tempat-tempat keramat di sekitar desa kami…"

Bim mengangguk, memahami cerita Wasa. Ya, banyak tempat-tempat yang dikeramatkan di seantero tanah air ini. Ah, Bim berdoa, semoga desa ini tetap seperti ini, damai dan menghormati alam. Lalu Bim bercerita tentang desa Bonang, yang kini sudah berubah," Perkembangan desa itu begitu cepat, sebab semua pejalan seperti kami yang akan melakukan kemah dan tracking pasti bermalam di sana, di sana ada posko untuk para pecinta alam. Sekarang desa itu sudah banyak ruko, tempat penyewaan mobil….juga guide liar…"
"Guide liar?"
"Penunjuk jalan…" jelas Bim dengan senyum lebar. Wasa terkekeh. Bim baru teringat akan kotak rokoknya…
"hah akhirnya ketemu…"
"apa itu…" Tanya wasa melihat kotak kecil ditangan Bim.
"Kotak rokok.."
Wasa penuh minat mengamati. Bim menyodorkan sebatang rokok,"Cobalah…"

Lalu keduanya merokok, mengobrol dan bahkan kemudian Bim mengajarkan Wasa memasak Mie instan. Lalu setelah itu udara dingin datang menusuk, Wasa mengajak Bim masuk ke dalam pondok, lalu Bim dengan cepat lelap. Begitu lelap

Suara-suara gemuruh itu terdengar. Sepertinya ada rombongan pemusik yang kurang latihan. Mungkin sekelompok anak-anak muda yang mengisi kekosongan harinya. Bim berusaha membuka matanya, tersenyum mendengar suara penggorengan dipukul, kentongan bamboo…dan teriakan-teriakan; hoiii….nini dan kaki penguasa lembah dan gunung, tolong kembalikan anak-cucumu, dia anak baik….masa depannya di luar sana…
Bim terjaga, suara-suara yang dikenalnya terdengar.
"Bim…akhirnya kau terjaga…"
"Aku tidur.." Bim bangkit, kakinya tak lagi terasa nyeri, telah sembuh.Hebat dukun tulang itu. Ditolehnya kiri kanan, semua mata menatapinya.

Bim mengerutkan dahinya,"Wasa dimana?"
"Siapa Wasa?"
"Dia salah satu penolongku…"
Semua mata menatapinya dengan takjub juga ada beberapa nampak seperti menyimpan ketakutan. Bim bangkit dan berdiri,"Ranselku…"
"Bim, duduklah…"

Lalu seorang lelaki tua pelahan menceritakan kepada Bim, bahwa Bim ditemukan di jalan setapak, tidur berbantal ransel. Satu per satu yang lain menambahkan bahwa desa Batu Jong itu, desa yang hilang, itu desa tempat jin dan wong samar. Desa yang tak pernah ada, walau dipercaya desa itu masih ada…

Bim terpana, menatap semua orang, ada petugas polisi, Tim SAR, dari seragam mereka, Bim tercekat,"Kami melakukan pencarian selama tiga hari tiga malam…"
"Tapi saya sempat BBM dengan kalian…"
"Tidak ada pesan darimu…"
"Kalian menjawab…"

Bim mengatupkan bibirnya. Lalu orang-orang mengajaknya naik ke dalam kendaraan. Bim duduk di depan di sebelah sopir, wajah Wasa, wajah para lelaki itu, semuanya rasanya mustahil, lalu kuda-kuda liar itu…

Bim merogoh saku-saku ranselnya, bukankah dukun tulang itu memberi minyak untuk diurapkan di kakinya?
Bim tersentak,"Ya, ini bumbung berisi minyak itu…." Namun ia memilih diam, diam sepanjang perjalanan menuju kota kelahirannya. Tapi bumbung minyak itu akan ia simpan, ia yakin itu desa memang menyembunyikan dirinya dari amukan kemajuan zaman yang melenakan…
"kasihan si Bim, kata tetua kampung, dia harus diruwat agar tidak terkenang-kenang sama desa itu, jika tidak dia bisa dijadikan penghuni desa jin itu…" bisik-bisik itu samar terdengar.

Bim menghela nafas, wajah Wasa begitu nampak jelas. Wasa yang lugu dan sangat baik hati.

Tiba-tiba rem diinjak begitu mendadak. Semua penumpang menjerit kaget."Maaf…" kata sopirnya, "Matahari hampir tenggelam…"
Semua menoleh ke sebuah celah, seperti kata tetua desa bonang, jika matahari akan tenggelam, orang-orang desa Batu Jong akan terjaga dan mencari orang yang dirasanya pantas menjadi saudara mereka. Semua pori penumpang mobil itu merebak. Ada desir yang aneh. Mobil-mobil petugas  mengawal di belakang kendaraan mereka sudah mulai mendekat, mulai menyemprotkan lampunya seterang mungkin. Sopir itu kembali menekan gas, wajahnya nampak agak cemas, rasa takut jelas terlintas dalam gerakan jemarinya yang memegang setir. Kendaraan kembali bergerak dan selintas Bim melihat sekelompok orang berdiri di tepian jalan….diantara semak-semak…

Setelah lewat jauh, barulah Bim sadar, itu Wasa dengan lima lelaki itu! Namun Bim menelan suaranya. Ia tahu, sungguh sulit menceritakan kenyataan yang sebenarnya. Sebab tercekam dengan rasa ketakutan  oleh bayangan desa jin dan wong samar yang mengerikan…padahal, itu desa yang damai dan tanpa beban kehidupan.

Lalu kling…
kling….
kling!
Semua BB berbunyi silih berganti.
Semua teman Bim serentak berteriak; astaga, benar ternyata kau mengirim pesan, benar rupanya kau ada di desa yang hilang itu…

Bim menghela nafas.
Kling! Bim membuka pesan itu: "Bim, jangan takut, kami akan menjadikan selalu sebagai saudara. Wasa!

Hah?
Bim menyeringai, mengangguk takjub: mungkin benar, mereka jin. Bim sadar pesan itu, yang masuk ke BBnya tidak ada penanda dan nomornya. Itu nomor Jin. Tanpa pin, tanpa provider…

 (latihan yang ketiga, memahirkan menulis)

No comments:

Post a Comment