Baruni Jambatan SURGA


Cerpen
By Cok Sawitri
BARUNI JEMBATAN SURGA

Setelah berjam-jam mematut diri di depan cermin, Baruni meyakini dirinya telah mati. Ia tidak merasa lapar, tidak merasa haus, juga tidak ingin kencing ataukah kentut. Ia juga tak merasa gerah ataukah kedinginan. Baruni merasa hatinya begitu segar, bebas dan melebihi kelegaan yang pernah dirasakan. Dengan langkah pelan ia ke luar kamar, menuju ruang makan. Adiknya tidak menyapanya seperti biasanya. Baruni sejenak merasa tak enak hati, kemudian tersenyum, bukankah jika sudah mati tidak perlu mengobrol? Tetapi mengapa adiknya nampak terlalu tenang menikmati sarapannya? Kenapa tidak menangis atau meraung? Kenapa adiknya tak bersedih, bukankah kakaknya mati?
"Kau memikirkan apa lagi?"

Baruni tersentak. Itu suara adiknya. Tetapi orang mati tidak bisa ngomong bahkan sekalipun dalam mimpi. Baruni tidak menyahut, adiknya pastilah ingat kebiasaan di waktu pagi, saat sarapan akan menegurnya untuk tidak banyak melamun,"Makanlah, aku menyiapkan sejak subuh makanan ini…"

Baruni hampir mengangguk, baiklah, bukankah orang mati juga disuguhi makanan dan minuman? Iya, Baruni pun mulai menikmati sarapannya. Mengunyah pelahan-lahan, tidak ada rasa apa-apa, semuanya terasa hambar. Jadi seperti ini rasa makanan dalam kematian?
"Kau memikirkan apa lagi?"

Baruni tersentak, kenapa suara adiknya begitu jelas terdengar. Lalu ia mendongak,"Tidak memikirkan apapun!" Sahutnya, dan yakin pasti adiknya sedang berkhayal mengobrol dengan dirinya.

"Kerjakanlah sesuatu agar pikiranmu tak kemana-mana. Jangan sampai sakit lagi, harga obat sekarang mahal. Gajiku tak naik-naik…"
Suara adiknya begitu keras dan lantang. Baruni bimbang. Namun hatinya yakin, dirinya telah mati. Baruni menghela nafas. Jadi dirinya belum mati? Tadi saat bercemin ia yakin, dirinya sudah mati. Dengan pelahan ia benahi meja makan. Lalu membersihkan dapur, ruang tengah, semua kamar ia rapikan. Lalu ia pun mencuci semua pakaian, menjemurnya dengan cermat. Adiknya sudah berangkat kerja dan akan pulang di malam hari. Kemudian Baruni kembali ke kamarnya, kembali mematut dirinya. Ya, aku sudah mati, yakinnya dengan mata memincing. Lalu ia kembali ke luar kamar, dan semakin yakin akan kematiannya. Sebab meja makan masih berantakan, cucian masih menumpuk, ah, semua yang dikerjakannya tadi ternyata hanya harapannya dalam kematian. Ya, harapannya. Lalu ia ingin menguji kematiannya dengan mengulangi kembali mengerjakan semua pekerjaan rumah itu. Kembali ia membenahi meja makan, kembali mencuci piring dan gelas, lalu membersihkan dapur, membersihkan seisi rumah, mencuci, menjemur…

Baruni termangu. Apakah kini benar ia melakukan atau itu hanya harapannya dalam kematian? Dengan langkah pelahan ia menuju meja makan. Meja makan itu bersih, ke dapur, ke tempat cucian, cucian itu sudah terjemur dengan rapi. Hm. Siapa yang mengerjakannya? Baruni takjub. Pasti ada orang lain yang mengerjakannya. Baruni termangu-mangu, mematut dirinya di depan cermin hingga malam tiba, hingga adiknya tiba dan mengomel panjang pendek,"Tidak bisakah kau membersihkan bekas makananmu? Membantuku mencuci dan membersihkan rumah? Kau terlalu asyik dengan dirimu, selalu terjebak dengan lamunanmu…"

Baruni tersenyum, orang mati manalah bisa membersihkan rumah ataukah mencuci. Baruni tersenyum,"Aku sudah mati, tidak bisa membantumu lagi…"
"Apa?" Adiknya dengan masih pakaian kerja membersihkan meja makan, bergerak ke tempat cucian, merendam baju-baju kotor dan kemudian mulai menyapu,"Jadi sekarang kau merasa sudah mati?"
"Bukan merasa, aku sudah mati!"
"Baiklah, kalau kau sudah mati, apa yang kau lihat di jembatan surga dan neraka, dan mengapa kau masih di sini?"
Baruni tersenyum," setelah tiga hari, barulah aku bisa meninggalkan rumah ini. Melayang jauh…seperti burung…"

Adiknya sudah selesai menjemur, lalu menyiram halaman. Malam semakin gelap. Baruni hanya berdiri seperti patung di tengah ruangan. Jadi setelah tiga hari ia akan melangkah memasuki jembatan surga dan neraka? Baiklah selama menanti ini ia akan mengingat-ingat semua kesalahan dan kebaikan. Baruni bertekad akan menghadapi malaikat-malaikat penghitung kebaikan dan keburukan dengan gagah. Ia akan menjawab semua pertanyaan.
"Mandilah, badanmu sudah bau…"
"Orang mati dimandikan…"

Adiknya tertawa dengan sorot mata sengit, " Baiklah, kepada saudaraku yang mati. Di beberapa negeri ada mayat bisa berjalan sendiri menuju kuburnya, bisa mandi sendiri, bisa membersihkan rumah…Bahkan bisa berdansa…"
"Benarkah?"
"Iya…Maka sekarang, mandilah..."

Baruni pun mandi, membersihkan dirinya. Kemudian mendandani dirinya. Lalu membaringkan dirinya. Memejamkan matanya. Rasanya tak sabar menunggu waktu tiga hari itu. Pastilah malaikat-malaikat itu sudah tak sabaran menantinya. Dan pastilah akan bertanya dengan suara garang,"Apakah kau pernah mesum? Apakah kau pernah berzinah…."
Baruni tersenyum puas, ia sudah menyediakan jawaban untuk semua pertanyaan yang paling sulit sekalipun.
"apakah kau masih mati?"

Pagi itu adiknya dengan suara lantang menghardiknya. Baruni tersenyum. Mungkin seperti itu suara malaikat penjaga jembatan surga,"Ya..aku mati, tidak mungkin hidup kembali.."
"Siapa bilang?"
"Maksudmu?"

"Ada cerita tentang orang mati bisa hidup kembali. Asalkan ada yang mau memperjuangkannya kepada para penjaga malaikat maut…"
Baruni terbelalak,"Benarkah?"

"Benar, banyak cerita mengenai itu. Jadi dahulu kala ada dua saudara, kakak beradik yang saling menyayangi. Kakaknya itu pintar dan baik hati, tetapi lugu. Keduanya hidup berbahagia, tekun mengisi hidup mereka. Sampai suatu ketika, kakaknya dikhianati oleh kekasihnya dan menjadi patahati. Ia pun mengurung dirinya, tidak mau makan, tidak mau minum, akhirnya mati. Adiknya sedih sekali dan tidak terima dengan kematian kakaknya itu, maka ia pun berangkat mencari jembatan surga. Adiknya setiap pagi berangkat, malam kembali ke rumahnya. Hingga akhirnya ia menemukan jembatan surga itu dan melihat kakaknya tengah diikat oleh dua malaikat yang garang…"

Baruni mengerutkan dahinya,"Lalu…?"

"Adiknya itu memohon, oh malaikat, kakak saya belum pantas mati, ia belum menikah. Dia baik dan bertanggung jawab, semasa sekolah dia juara. Jika dia mati maka berkuranglah isi kebaikan di dunia, karena itu izinkan ia kubawa kembali ke rumah…"
"malaikat itu menjawab apa?"
"kedua malaikat itu terharu dan berkata, kau adik yang setia, baiklah kukembalikan kakakmu dan ia akan hidup dengan usia yang panjang, menjadi pekerja yang baik dan menjadi penjaga kebaikan…"
"Jadi kakaknya hidup kembali?"
"Iya…"

Baruni menarik nafas,"lalu?"
"Nah, kamu tahu bukan? aku setiap pagi pergi dan pulang malam, kamu pikir aku kemana? Aku mencari jembatan surga. Dan sudah kutemui jembatan surga itu, tadi sore aku memasuki jembatan surga itu! dan dua malaikat itu sudah mengembalikanmu, untuk hidup kembali…"

Baruni tersentak. Menatap adiknya dengan tak percaya,"benarkah?"
"benar sekali! Kapan pernah aku berbohong padamu?"
"Lalu aku hidup kembali?"
"Iya, kau hidup kembali."

Baruni kembali mematut dirinya di depan cermin. Ia merasa sangat lapar, merasa sangat haus, lalu hatinya terasa sepi sekali. Jadi, begini rasanya hidup kembali? Baruni ke luar kamar, membenahi meja makan, membersihkan rumah, mencuci dan kemudian menghidupkan televisi….Jadi, begini rasanya hidup kembali? Baruni termangu lama dan bergumam tanpa henti.
"Aku hidup kembali!" keluhnya kepada dirinya sendiri.

(LATIHAN MENULIS CERPEN, awal des)

No comments:

Post a Comment