Nang Oman Ditimpa Pawisik

    Gerimis bercampur angin masih terasa di kulit. Sesekali berhembus memasuki rumah. Pagi belum terang benar, tetapi  Nang Omang sudah berdandan; destar putih, baju putih, kain putih; semuanya serba putih. Istri Nang Oman, Mang Manik pun demikian, sudah selesai berdandan; kini tengah merapikan isi bokor, tempat kewangen dan canang, yang dengan suara pelan menanyakan kepada pembantunya, apakah sajen sudah siap?

    Pagi yang terasa berbeda dari biasanya, pikir Nang Omang! Lalu ia mengerutkan dahi, iya! Rasanya memang berbeda! Komat-komat Nang Omang memikirkan perasaannya; memang berbeda! Dengan langkah pasti, ia ke luar kamar,  "Bu, sudah siap? Bapak merasa Ida Hyang sudah memanggil…" Ucapnya dengan suara datar.

    "Sudah Pak…" Istri Nang Omang dengan kebaya brokat merk Paris model terbaru; lengket di badan memperlihatkan tubuhnya yang terjaga berkat Gym, Spa dan akupuntur; memberi isyarat pada pembantu agar menyunggi sajen ke garase. Lalu Mang manic melangkah pelahan mengikuti suaminya. Sopirnya sudah memanaskan mobil, banten dan peralatan sembahyang sudah ditata rapi di bagasi; Nang Oman memasuki mobil, disusul istri; tanpa harus banyak bicara, sopir Nang Oman menekan gigi satu; mobil pun meninggalkan rumah, menuju arah Barat Daya.

    Nang Oman duduk dengan menyenderkan tubuhnya penuh-penuh ke jok, terus menerus menarik nafas. Debaran dalam dadanya mulai terasa lagi; dipejamkannya mata, berusaha meredakan debaran itu. Istrinya yang duduk di sebelahnya, melirik sesaat lalu mengalihkan pandangan, menatap jauh ke depan, meluruskan kakinya, kemudian ikut bersender ke jok, memejamkan mata dengan nafas ringan. Dari spion, sang sopir mengintip; dua majikannya sedang terpejam; pastilah meditasi, pikirnya geli. Dua bulan belakangan ini, entah kenapa, majikannya tiba-tiba rajin benar sembahyang; setiap hari Minggu, sejak pagi sekali pastilah menuju ke sebuah pura besar; entah yang ada di dalam kota, entah di luar kota: pokoknya, setiap minggu harus satu pura yang dikunjungi. Entah mengapa, majikannya kini senang memakai pakaian serba putih; busana ala pemangku dan sering kini membicarakan pawisik! Membicarakan penampakan, keajaiban-keajaiban…

    "Bu…"

    Tiba-tiba keheningan dalam mobil itu mencair, suara Nang Oman terdengar berat dan seperti menahan beban, "ada apa, pak? Apa pawisik itu terdengar lagi?"  Tanya istrinya dengan sorot mata yang ngambang. Nang Oman menghela nafas, "sudah akan ada pawisik, tetapi entah kenapa bapak kali ini menunda mendengarkannya…"

    Istri Nang Oman menganggukkan kepala, menarik nafas, kembali memejamkan mata. Ah, sebenarnya jika boleh jujur, Mang Manik tak paham apa yang sebenarnya terjadi terhadap suaminya. Dua bulan ini tiba-tiba suaminya berubah drastis; mula-mula diawali dengan bermimpi yang sama berturut-turut, hampir dua minggu, tanpa henti, suaminya bermimpi hal yang sama! Tentu saja apa yang dialami suaminya itu  Mang manik dan keluarga resah gelisah; mimpi kok sama dan berturut-turut pula (?) Nang Oman yang biasanya sibuk ngurus bisnis, yang biasanya menyelesaikan urusan kegiatan upacara dengan uang, tiba-tiba ingin mencari Jro Tapakan!

    Aduh! Sebagai istri, Mang Manik berusaha bertanya ke banyak orang dimana ada Jro Tapakan yang cespleng? Akhirnya, setelah menghabiskan pulsa berpuluh-puluh ribu, Jro Tapakan cespleng itu ditemukan, tapi Jro Tapakan itu tidak disebut Jro Tapakan: Ini jro Tapakan modern, jelas teman Mang Manik yang memberi informasi; ini Jro Tapakan yang mendapat wangsit dari Betara Majapahit; jadi dipanggil pinisepuh.

    Ah, masa bodolah! Apapun sebutannya asal cespleng! Dan memang benar cespleng; di tempat Jro Tapakan modern itu alias pinisepuh: suaminya diruwat beberapa kali, beberapa kali juga kerauhan; meracau segala macam. Lalu pinisepuh itu meminta agar Nang Oman ikut latihan meditasi.

    Tapi kecesplengan itu tiba-tiba lenyap, suatu malam kembali Nang Oman bermimpi lagi, mimpi yang sama, yang juga berturut-turut; isi mimpi itu memerintahkan Nang Oman agar tidak sembahyang kepada Batara Majapahit, mestinya Batara leluhur; yang ternyata setelah ditanyakan ke kampung, asal leluhur Nang Oman bukan dari Majapahit, tapi dari Kadiri. Tentu saja Nang Oman merasa bersalah, tetapi Mang Manik dengan tenang menghibur: tenang, pak. Meleset sedikit, kadiri tetangganya majapahit kok! Jadi Bapak tak salah-salah banget!

    Kembali Mang Manik harus mencari Jro Tapakan baru, akhirnya seorang Tapakan tua ditemukan, yang gilanya adalah tetangga rumahnya! Yang berkata sederhana, pergilah sembahyang ke semua pura besar, usahakan setiap minggu. Teruslah demikian sampai pawisik itu ada…

    Nang Oman menarik nafasnya, "Bu….Ibu barusan dengar,bukan?"
    "Apa pak?"  Dengan setengah terpaksa Mang Manik membuka mata, menoleh, menatap suaminya, "Apa pak?"
    "Suara itu…"
    "Pawisik?"

    Nang Oman nampak berkerut, dahinya mulai mengkilap, bintik keringat nampak bersiap akan meletus dari pori-porinya. Mobil tetap melaju, dari spion sopir mengintip; waduh, kerauhan lagi ini! Harus cepat sampai di pura yang dituju. Gawat kalau kerauhan dalam mobil…

    "Tarik nafasnya, Pak. Tahan sebentar, sebentar lagi kita sampai kok…Betara pastilah tak mau turun menyampaikan pawisik di mobil, mobil ini kan belum disucikan…"

    Nang Oman menarik nafas, memejamkan mata. Dadanya nampak naik turun. Suara-suara itu terdengar di telinganya, bibirnya terasa kebas, seperti dihempas angin dari kipas angin. Mang Manik menoleh, memandangi suaminya, lalu berkata pada sopir, "Ngebutlah Made, bapak sudah mulai didatangi Ida Hyang…"


***

    Pemangku Pura, Mangku Lingsir, yang meladeni kedatangan Nang Oman dan istri, nampak maklum dengan sikap Nang Oman; yang sejak datang, langsung duduk bersila, langsung memejamkan mata, bahu bergetar disertai gumaman-gumaman yang tak jelas. Berbeda sungguh dengan sang istri yang dengan anggun meletakkan sajen, menyalakan dupa, tersenyum dengan mata seolah mengatakan; mohon dimaklumi, suami saya sedang mengalami perubahan batin!

    "Inggih, tidak apa-apa…Ini hal biasa bagi saya…" Jelas Mangku Lingsir dengan mata teduh, memahami kalau istri Nang Oman sebenarnya agak rikuh dengan sikap suaminya.

    "Mari kita sembahyang…" Ajak Jro Mangku Lingsir yang dengan suara tenang menghaturkan sajen, melakukan doa dengan bahasa sederhana, tanpa genta atau sikap yang diagung-agungkan. Mang Manik tersenyum senang, sebab sudah lama hatinya merindukan pemangku seperti ini; yang tidak berpura-pura seolah pendeta! Pemangku ini lebih afdol dengan bahasa leluhur, dengan sikap hati memimpin sembahyang…ah, sudahlah. Mang Manik melirik suaminya, yang masih duduk bersila, tetapi tidak lagi bergumam-gumam, "Pak, hayo, muspa…"

    Nang Oman manut, mulai mencakupkan tangan. Menarik nafas dan kembali bahunya gemetar hebat. Mangku Lingsir hanya memandang duduk di sudut,  pandangannya mengandung rasa iba. Usai sembahyang, Mang Manik tanpa diminta menceritakan kepada Mangku Lingsir berbagai kejadian yang telah dialami suaminya, " entah berapa pura sudah kami kunjungi, belum juga jelas apa yang sebenarnya akan terjadi, apa suaminya akan jadi pemangku atau balian, saya tak tahu…"

    Mangku Lingsir mengangguk, matanya teduh.

    "Pak Oman…" Sapanya pelan.

    Nang oman membuka mata, berusaha tersenyum, "maafkan saya, Jro Mangku. Begini keadaan saya, tak bisa saya kontrol diri saya ini, seperti semutan seluruh tubuh, selalu setiap jam-jam tertentu seakan ada yang hendak bicara, tetapi tak nampak…"

    "Sudah dua bulan ini, dialami suami saya, Jro..’" Mang manik menambahkan dengan senyum tipis. Mangku Lingsir mengangguk-angguk, "Nggih, sekarang ini memang banyak yang datang kemari dengan keadaan mirip dengan suami ibu…"

    "Oh ya?" Mang Manik tersentak, menatap takjub kepada Mangku lingsir, begitu pula Nang Oman,"maksud jro?"

    "Iya…."  Mangku Lingsir tersenyum lebar, giginya nampak menghitam akibat mengunyah sirih dan mengemut tembakau, " Tiang sudah jadi mangku di sini sejak masih muda, baru beberapa tahun ini tiang melihat kebiasaan baru para pemedek yang datang kemari…"

    "Kebiasaan baru? Oh, gaya sembahyang india nggih, jro?" Mang Manik dengan spontan berucap. Mangku Lingsir menggeleng, " Sering datang ke sini, rombongan orang-orang sembahyang tapi di waktu tengah malam, terutama kalau purnama, tilem, juga hari-hari tertentu. Mereka itu duduk seperti patung, berjam-jam…"

    "oh itu kelompok spiritual…" Mang Manik berucap dengan senyum lebar. Mangku Lingsir kembali tersenyum, "Yah…itu ya namanya, tapi setelah beberapa kali ke sini, terpaksa tiang larang meditasi di dalam…"

    "Loh, kenapa?" Nang Oman menyela, kaget, lenyap seketika rasa semutan di tubuhnya, mendengar Mangku Lingsir melarang pemedek meditasi, "meditasi itu kan bagus, itu bagian tata cara keagamaan kita…"

    Mangku Lingsir mengangguk, "kalau meditasi saja, tentu saja saya izinkan. Tapi ini ada kerauhan, ngomongnya ngawur…"

    Nang Oman tertegun, Mang Manik tertegun juga, " kerauhan itu di luar kemampuan kita, Jro. Ya, begitu saja terjadi, bukan? Bagaimana kalau Ida Hyang yang merangsuki?"

    Mangku Lingsir tersenyum, matanya berkilau. Pagi mulai pergi menjauh, matahari mulai meninggi, tak ada jejak jika semalam hujan lebat. Angin mendesir. Betapa sejuk udara di Pura ini, Nang Oman membatin, menarik nafas.

    "Di pura ini ada aturan, sejak dahulu, sudah diyakini turun temurun; tidak boleh kerauhan di sini. Jadi, kalau ada yang kerauhan, orang itu dianggap leteh…"

    "Oh ya? Bukankah banyak orang kerauhan jika ada upacara dan banyak kerauhan di pura? Bahkan banyak pemangku juga kerauhan.."

    "Inggih, tiang tahu, itu masing-masing punya aturan, tetapi yang paham mengenai kerauhan tentu tahu pula, jika mau sembahyang itu berbeda dengan proses upacara, kalau proses upacara, karena terharu, karena ini-itu orang-orang mudah menangis, mudah terharu, mudah berteriak karena gembira. Tetapi di pura ini, tidak boleh. Itu tata krama turun temurun di pura ini…kalau mau sembahyang batin bening, hati teguh, pasrah, tidak kerauhan; sembahyang ya hening…"

    "Oh…." Mang Manik menganggukan kepala, menoleh kepada suaminya, menganggukan kepalanya lagi, entah mengapa hatinya senang, penjelasan Mangku Lingsir ini masuk akal, sebab sejak kecil Mang Manik memang jarang melihat orang kerauhan di pura, tetapi beberapa tahun belakangan ini, entah mengapa banyak sekali orang mudah kerauhan, mudah sekali berkomunikasi dengan betara, bahkan ada guru spiritual teman bisnisnya, katanya bisa langsung bercakap-cakap dengan sesuhunannya. Mang Manik malas untuk berbantahan soal keyakinan, yang menurut kata hatinya agak tidak masuk akal itu,

    "lalu suaminya saya ini bagaimana, Jro?" Mang Manik mengalihkan ingatannya. Menatap takzim kepada Mangku Lingsir.

    "Tidak apa-apa….Belum kerauhan. Kalau bisa, jangan kerauhan. Kalau menurut tiang, Pak Oman ini serius, karena serius makanya sikapnya ya serius…Ketika ada masalah, ya serius…"

    Mang Manik tersenyum lebar, tepat, tepat sekali pendapat Mangku Lingsir ini, "Jro, suami saya ini sejak beberapa bulan ini mendengar pawisik…" dengan suara ringan, Mang Manik melegakan hati, mempertanyakan keadaan suaminya.

    "Iya, Jro. Susah sekali saya…" Nang Oman, mengurut dahinya, lalu mengangguk-angguk seperti diganduli beban kepalanya.

    Mangku lingsir menanggapi dengan senyuman, matanya berkerjap, "yang namanya pawisik itu susah terjadi, yang lebih sering itu kata hati, keinginan dari diri sendiri, yang tidak kita sadari tumbuh dalam hati…atau malu kita akui, itu akhirnya numpuk, seperti ledakan. "

    Nang Oman tertegun, "Maksudnya? Itu suara-suara bukan dari Ida Hyang?" tanyanya mirip gumam, ada rasa kecewa dalam hatinya. Benarkah bukan dari Ida Hyang?

    Mangku Lingsir kembali tersenyum, teduh sekali suaranya, "Saya bahkan pernah menegur keras seorang paranormalnya pejabat! Dia itu dengan yakinnya berkata, bahwa dalam meditasinya di pura ini, Ida Hyang merestui pejabat asuhannya sebagai gubernur…nah, itu kata hati, namanya. Manalah ada betara mengurus jabatan politik? Pernah juga ada yang datang dengan rombongan, membawa segala macam peralatan; katanya Ida hyang akan kodal, katanya akan memberi wangsit…lalu katanya ada betare dari cina, sumatera, dari mana-mana sedang melakukan pertemuan di sini. Itu kan semua keinginan hati, keinginan melihat sesuatu yang niskala.Sesuatu yang jelas dikatakan dalam ajaran suci, itu tidak bisa. Mata manusia sudah dibutakan untuk melihat, mendengar Ida Hyang. Yang ada adalah getaran hati, permohonan dan permintaan, keinginan tenang, damai, mengakui ketidakmampuan yang memang terbatas. Ada yang disadari, ada yang tidak. Pak Oman, kalau boleh tiang usul, coba diingat-ingat sebelumnya, apa yang kurang dalam kaitannya dengan sesuhunan? Pak Oman rajin apa tidak sembahyang? Melaksanakan upacara?"

    Nang Oman tertegun. Sungguh tertegun.

    Pikirannya tiba-tiba melambung jauh. Yah, benar juga kata Mangku Lingsir ini, bukankah selama ini dirinya sibuk berbisnis, bahkan sekedarnya kalau urusan upacara. Kalau membuat upacara, itu karena keharusan yang harus diikutinya, sebab kalau tidak, nanti diomongin keluarga dan masyarakat. Sewaktu muda dirinya sibuk kuliah sambil bekerja, lalu membuka usaha….

    Nang Oman tiba-tiba merasa dadanya kembali berdebar keras, rasa itu kembali muncul kembali; rasa yang berbeda. Ya, entah apa namanya, tapi hatinya memang terasa kerap kosong, seperti ada yang membetot dari jauh. Mang Manik melirik suaminya, nampak tenggelam dalam diam dibalik tundukan kepala.


***

    Nang Oman masih diam, masih nampak tertegun-tegun. Mobil melaju kembali menuju rumah. Istrinya diam dengan mata terpejam. Nang Oman teringat wajah ibunya, teringat wajah-wajah di Pura di desanya; wajah-wajah yang semangat, lalu wajah-wajah pengurus desa. Nang Oman menarik nafas panjang; yah, mereka itu yang membuat Nang Oman sempat menganggap dengan uang urusan partisipasi dengan upacara akan terselesaikan. Sebab para pengurus desa itu hampir setiap tahun menyodorkan map berisi permintaan sumbangan, makin besar sumbangan, makin menerima sambutan jika nanti datang di hari upacara. Tak akan ada yang membicarakan, semua orang di desanya menganggap Nang Oman dermawan; dijadikan panutan sebagai orang yang sukses, tetapi tetap ingat dengan desa, ingat dengan kawitan! Padahal, Nang Oman tujuannya, tidak mau dirumitkan. Bisnisnya begitu menyibukan dirinya! Dua puluh empat jam rasanya waktu masih kurang, ada saja yang belum selesai dikerjakan.

    Nang Oman menarik nafas, teringat-ingat kembali, apa sebenarnya yang diinginkannya. Rumah, mobil? Semua sudah dia punya, tetapi kenapa hatinya terasa kosong? Debaran itu terasa lagi, makin keras," Bu, dadaku…Bu…"

    Mang Manik membuka mata,"dengarkan pawisiknya, Pak. Dengarkan, apa saja kata Ida hyang, kita patuhi…."

    Nang Oman menarik nafas, memejamkan mata. Melesat begitu saja, bayangan dirinya sewaktu kecil, duduk di sebelah ibunya yang tengah menyusun sajen. Ah, itu rasa nyaman, rasa nyaman dekat ibu. Nang Oman bergumam, "ibu…"

    Mang Manik menoleh," apa?"

    "Ibu…"

    Mang Manik tertegun, suaminya memangil ibu mertuanya? Bukankah Nang Oman sudah sejak kuliah tidak mau bertemu dengan ibunya? Karena ibunya kawin lagi setelah ayah Nang Oman meninggal? Bukankah Nang Oman sangat kecewa dengan sikap ibu dan keluarga besarnya yang mendorong ibunya kawin dengan pamannya sendiri….

    "Ibu…"

    "Jadi, pawisik itu…"

    "Ya, aku sudah dengar…"

    Mobil itu melaju, lalu berbelok tidak menuju rumah, tetapi melesat ke luar kota, menuju sebuah desa, desa kelahiran Nang Oman.

(latihan menulis cerpen, batubulan, 2011)

No comments:

Post a Comment