Tari Sakral dan Tari Profan


Jauh tahun terlampui, para pemikir Bali telah menyiapkan 'benteng' yang kelak akan menjadi diplomasi menghadapi arus globalisasi. Ditengah ngambang argumen para pejabat tinggi menghadapi klaim-klaim Negara malaysia terhadap berbagai ragam karya seni Indonesia; betapa sejuk jika mengenang Profesor Ida Bagus Mantra (Mantan Gubernur Bali), mengenang profesor Bagus, Pak Panji, dan sederet nama para pemikir yang tak habis-habisnya di tahun 74-an mulai membuka cakrawala pemikiran baru, menjadi kebijakan yang tak lagi bersifat terkurung di ruang-ruang sebatas desa-kala-patranya Bali; pemikiran visioner itu salah satunya adalah menegaskan antara tari sakral dan tari profan; dalam kerangka bertanding dengan kepentingan pengembangan pariwisata, yang tentu saja, pariwisata itu soal 'jualan' perhitungannya untuk rugi, jual-beli; tidak akan perduli pada saatnya akan stilisika yang terkandung dalam estetika bali: didalamnya ada rohanian, religius dan tata krama persembahan, yang jelas akan eksostik, unik, bahkan juga menjadi avant grade ketika dilihat dari kaca mata pemanggungan. Adakah panggung yang seradikal pementasan tari-tarian sakral di Bali (?) dari linier ke harmoni, dari harmoni mencapai puncak keterampilan, lalu dibaurkan dalam ekspresi keseharian (?) bahkan sekali waktu dileburkan!

Tari dalam kehidupan masyarakat Bali jelas terbagi dua: tari sakral dan tari profan, orang Bali membedakannya dengan penanda ada Tari Wali, kemudian tari bebali dan tari balih-balihan. Namun pemilahan itu tidaklah demikian tegasnya, sebab semisal tari topeng yang sering dipentaskan sebagai tontonan, namun ada jenis tarian topeng yang ada dalam transisi antara wali (untuk upacara) dengan bebali (pelengkap/penyempurna) upacara, yakni tari topeng sidhakarya. Tak semua penari yang bisa menari topeng berani menarikan tari topeng sidhakarya dalam upacara. kemudian tari rejang, hampir semua desa kuna di bali juga desa bali madia memiliki tradisi ngerejang dan tari baris, perhatikan dalam jenis yang lain ada juga tari baris tunggal, tari jauk, namun banding telek wali dengan telekbalih-balihan yang dijeniskan sebagai tari profan. Kemudian gendre tari mistis dimulai dari tari sanghyang, yang jumlahnya hampir puluhan jenis, ini termasuk jenis tari ruwatan, bandingkan kemudian tradisi nyalonarang, sebagai tari pertunjukan sekaligus ruwatan. Demikian pula tari pendet, ada yang sifatnya wali, seperti nyiwagare, ngedari, dll, berbeda jauh dengan tari penyambutan yang diklaim oleh malaysia itu, yang sejajar dalam kolom tari panyembrama, puspawresti, dllnya.Kemudian perhatikan gendre tari legong, yang jenisnya juga puluhan dengan style berbeda-beda. Yang jadi brand dikenali tourism hanyalah tari legong kraton. Kemudian jenis tandingannya adalah joged pingitan. Dan barulah memasuki tari pergaulan dari dari joged bumbung sampai janger. Belum lagi kecak, cakepung, genjek.....waduuh!!!

Lalu dari barisan tari yang mengandung kisah: gambuh, parwa, arja, prembon sampaipun sendratari, memiliki stylenya sendiri-sendiri, ciri khas menari bali utara berbeda dengan bali timur, demikian juga bali selatan juga dengan bali barat. Karena itu sungguhlah tidaklah mudah ketika berbicara soal paten mempatenkan mengenai kekayaan tari, yang tentu saja 'patennya' tari bali adalah pada taksunya, pada alasan tari itu tercipta; semua tari di bali adalah persembahan, ada tata krama pemanggungan yang jelas; sekalipun itu untuk pertunjukan, menghibur penonton; tetaplah ada proses didalamnya keyakinan akan sang penguasa tari yakni Siwanataraja! Yang ketika menari, kosmis pun bergerak sehingga kehidupan ini terus bergerak, sang kala terus bekerja. Menari adalah meniru kerja sang kosmis. Kalaupun kemudian dalam tata krama pelatihan, itu tidak diucapkan, itu disebabkan oleh tata krama maguru sisia: yang disampaikan kepada sang murid adalah memperilaku wiraga, wirama dan wirasa, itupun tidak dalam bentuk definisi. Orang bali tak banyak berteori dalam konteks pewarisan; namun perilaku: depang anake ane ngadanin (biarkan orang lain yang memberi penilaian bahkan namanya).

Masih banyak jika didetailkan, masih terasa kurang jika dituliskan mengenai banyak hal, yang tiba-tiba saya merasa; negara saya melalui pejabat-pejabatnya; sesungguhnya tidak paham kekayaan budayanya sendiri, lalu bicara ngambang, serba tak jelas, sesekali emosi seolah tengah menjaga harga diri bangsa. Padahal, dapat dimaklumilah bila tak mengenal diri sendiri, bagaimana bisa merasa memiliki dan menjaganya; karena itu, saya tersenyum mengenang para pemikir bali: terima kasih para pitara, leluhur tityang....jauh hari, anda semua telah membekali kami untuk bertanding dalam dunia yang makin tak berbatas. Tak akan ada yang lebih paten, dari perilaku sejati: de ngaden awak bise...dalam esteika, dalam keindahan ada keterampilan, namun dalam keterampilan belumlah tentu ada keindahan, belum tentu ada taksu itu!

No comments:

Post a Comment