Tumbal, Bunga Mawar Turun dari Kahyangan

catatan pementasan parade teater SOUND GARDEN- DENPASAR

TUMBAL DEWI COKEK;  kisah sedih di malam minggu, bunga mawar turun dari kahyangan
oleh. cok sawitri.

Tidaklah bisa disebut alkisah, apa yang dijadikan narasi dalam pentas 18 Januari 2014 di Sound Garden oleh Herlina Syarifudin tetapi itulah kenyataan-kenyataan getir, penuh linangan darah dan airmata yang kerap menimpa rakyat di negeri ini, kerap pula terlupakan buat dicatatkan dalam sejarah, terlupa pula sebagai kabar berita. Disitulah momentum ketika teater menjalankan kewajibannya; menyuarakan yang terbisukan, menerangkan yang digelapkan.

Pembantaian terhadap kelompok minoritas di berbagai pelosok wilayah negeri ini selalu terjadi dan (akan dipelihara untuk terjadi lagi dan lagi) dan selalu didorong alasan-alasan politik sempit dan ganas, selalu pasti memakan korban; kematian seorang gadis bernama Romlah misalnya, anak keturunan Tionghoa yang ketiban pulung dalam tradisi Cokek, bintang panggung; penari dan penyanyi di rumah kawinan seorang babah, menjadi kenyataan yang tak terbantahkan; negeri ini terlalu banyak memiliki halaman-halaman kisah berlinang darah dan airmata.

Melalui pentas yang menawan; satire dan bergaya lenong yang interaktif dengan penonton mengungkapkan  bagaimana tradisi gambang kromong di wilayah Batavia di masalalu, sejarah kelahiran seni pertunjukan di era kekuasaan Belanda oleh warga keturunan Tionghoa. Jenis kesenian ini sempat berjaya sebagai seni pentas elitis dan bergelimang uang, kemudian seni cokek ini dibrangus entah oleh siapa di awal kekuasaan orde baru.

Romlah, yang diyakini titisan Dewi Cokek serta  banyak orang lainnya, yang tak bersalah telah terimbas keganasan kekuasaan dan membenamkan begitu banyak kenangan indah. Kini hanya meninggalkan jejak ingatan yang menyakitkan.

Herlina Syarifudin telah membangun naskah dan pola pemanggungan yang tumbuh dalam 14 kali pemanggungan, pematangan pentas dilakukannya dalam proses perjalanannya dari satu panggung ke panggung yang lainnya, menjadi perjalanan proses kreatif yang menarik dan menginspirasi. Pentas Tumbal Dewi Cokek malam itu dimulai dengan sapaan gaya khas seni pertunjukan tradisi Betawi; kisah pun dimulai dengan gambaran mengenai bagaimana tradisi cokek itu  di masa lampau; sang bintang, dewi cokek akan selalu ditemani beberapa gadis lainnya yang disebut wayang cokek.

Alunan lagu pantun ritual, yang kata-katanya sangat indah, unik dan menyentuh yang mendengar mengalir dengan kecanggungan yang mengundang senyum, kemudian dilanjutkan dengan musik ‘sayur’ untuk memberi peluang penonton ngibing. Interaksi yang dibangun ini memang terpola dan suasana terasa makin menyentuh hati, saat syair khas gambang kromong menggema memenuhi halaman SOUND GARDEN: bunga mawar turun dari kahyangan…sayang di sayang…dst

Herlina memiliki pengalaman yang cukup untuk mensiasati beban kisah yang berat, yang harus dibawakannya sepanjang satu setengah jam. Pada adegan razia oleh kelompok ormas yang telah dimaklumi akan mengatasnamakan demi kepentingan ‘religius’ penonton mulai dijebak untuk masuk dalam wilayah panggung tanpa batas.  Tawa akibat penonton yang didaulat menjadi ‘wakil’ penjaga kesucian dan menafikan kegiatan seni cokek hampir tak putus sepanjang setengah jam, dialog dadakan, kerikuhan dan suasana kagok menjadi cermin; betapa sebetul kecanggungan itu telah terjadi pada hubungan keberagaman di negeri ini, lalu  ketercenungan silih berganti bermunculan dalam pentas itu ketika Herlina mengisahkan  ketragisan pembantaian di komunitas seni cokek itu.

Herlina berupaya untuk menjaga beberapa ciri gestur dari tradisi tua seni cokek seperti gerakan tarian; lalu menjaga kekhasan ‘cengkok’ saat menyanyikan lagu-lagu  gambang kromong versi cokek, sangat terasa ‘jeda’ pembedanya dan walau memang  akan banyak varian ‘style’ gambang kromong di wilayah Batavia kala itu, terutama dalam masalah dialek dan idiolek, malam itu pertunjukan Tumbal Dewi Cokek menjadi permenungan yang membuat semua orang terkesima, bahwa kekayaan seni tradisi di seluruh nusantara itu begitu banyaknya, begitu rupa terlupakan dan apalagi jika diberangus dengan kekerasan, maka keberadaannya pun seakan ‘tak pernah ada’.

Maka Herlina harus cukup cermat untuk tidak terjebak pada gaya lenong pop, yang sempat menjadi trend di wilayah audio visual ditahun 90-an, harus hati-hati masuk dan keluar dalam jebakan lawakan yang memang akan menyeret ke luar alur dan plot kisah menjelaskan kegetiran dan kesakitan dibalik warna-warni selendang dan busana sang Dewi Cokek. Kegamangan Herlina hanyalah satu, yakni eksploarasi naskah yang nampaknya belum tuntas dan improvisasi yang kadang membenamkan narasi penting mengenai ketragisan nasib komunitas cokek.


Namun malam itu, Sound Garden di bawah pimpinan Gung Anom, membukukan kurikulum programnya Tumbal Dewi Cokek  sebagai pentas ketiga (triwulanan) parade teater Indonesia, dengan warna-warna pementasan yang berbeda. Kelegaan lainnya, penonton teater di seputar Denpasar kini telah tahu, Sound Garden sebagai salah satu tempat untuk menonton teater yang mengasyikan.  Malam itu, di bayangi mendung tebal bergayut di langit kota Denpasar, halaman SOUND GARDEN dipenuhi  penonton dari berbagai kalangan;  penuh gelak tawa bercampur lecutan pedih untuk memasuki perenungan; bahwa komunitas seni di negeri ini, kerap menjadi sasaran keganasan peralihan kekuasaan, dan bahkan kini pun masih berlangsung  oleh kepentingan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan keyakinan tertentu, kerap melakukan pelarangan dan pembubaran bahkan disertai kekerasan,  hasilnya seperti biasa adalah linangan darah dan ingatan yang getir, lalu ekspresi itu pelahan dimatikan, kemunafikan pun disuburkan disemua lini.

(sound garden, denpasar, 2014)

No comments:

Post a Comment