Kisah Negara Tetangga Saya


KISAH NEGARA TETANGGA SAYA
By Cok Sawitri

Halaman pertama

Seperti layaknya politisi muda yang naik daun, entah mengapa kalau karier membaik itu disebut naik daun. Saya pun membuka halaman pertama dari rencana mulia dalam kepala saya, yaitu melahirkan genre baru dalam sastra; sastra prosa fisbuk. Karena itu, dengan wajah berminyak menahan gejolak ide-ide yang berlompatan dibalik dahi, jadi jelas tidak akan nampak dan tidak akan teraba, saya cukup tersenyum, bersuara santun, teratur untuk menjelaskan, bahwa saya bukan mata-mata, bukan penulis sejarah, bukan juga orang yang suka bergosip. Saya di negara saya, termasuk warga negara dengan nomor induk yang tidak cantik, jadi kategori pelengkap derita, kelas bukan menengah, juga bukan berat-ringan. Tetapi karena itulah, saya memiliki kesempatan banyak mengamati negara tetangga saya. Itu sejak lama, kalau saya boleh berkata; lamaaa sekali itu terjadi, tanpa saya sengaja, tanpa saya rencanakan, sebab hampir sejak saya sadar mulai ingat bahwa ada negara yang sibuk sekali mengurus agama warga negaranya, setiap berita kenegaraan yang disiarkan secara internasional, saya sukaa tertegun-tegun, betapa religiusnya negara tetangga saya itu. Sedangkan negara saya, yang luasnya cuma satu setengah are, bangun dengan batako kualitas tiga, bukan kategori hak guna pakai ataukah hak guna bangunan; saya itu mengontrak wilayah negara saya itu, hampir sekitar sepuluh tahun; sukurlah hak tanah dan air yang saya tempati, yaitu pemiliknya, bukan penguasa, bukan presiden, gubernur, bupati, camat, lurah, ketua kampung, RW, RT, kelompok, semuanya itu tidak ada dalam tata negara rumah kontrakan saya. Negara saya itu memang jauh dari riuh rendah investasi, lebih banyak riuh rendah suara nyamuk, kodok, dan hubungan-hubungan dengan pihak luar; dengan negara-negara tetangga sebelah menyebelah juga sangat santai, kadang peduli, kadang tidak. Oh, saya hampir melantur. Kembali ke soal mengapa saya akan menulis kisah negara tetangga saya, itu disebabkan dimotivasikan oleh ketidakmampuan saya untuk mengisi waktu sebagaimana dituntut oleh zaman; pekerjaan saya tidak jelas, jelas banyak waktu saya menonton tivi, membuka internet. Oh, saya harus mengembalikan ke wajah politisi muda itu; wajah santun, perutnya bulat, jalannya ngangkang, dan tutur katanya sopan, sekali lagi teratur.
Bagi saya, sungguh menarik berbagai berita di dunia ini, semua negara berlomba-lomba mengabarkan kejadian atas dirinya; kejadian olah raga, kejadian bintang film cerai, dukun hebat, tokoh agama yang maksiat; segala macam berita bermunculan dan biasanya, saya takjub, karena ternyata tugas media itu adalah memberitakan apa saja.
Sekali waktu mediaa negara tetangga saya itu begitu getol sangat semangat memberitakan seorang lelaki muda dengaan rambut yang nampak aneh, mirip wig, dan ternyata wig, kata berita itu dia itu koruptor. Luarbiasa, masih sangat muda, pangkatnya tidak tinggi, tetapi luarbiasa jumlah korupsinya bahkan kemudian bisa jalan-jalan saat ditahan. Bagaimana saya tidak takjub. Sejak tahun 1997, sekitar bulan Juli, saya sudah takjub dengan negara tetangga saya itu. Waktu itu belum trend HAM, belum, baru segelintir orang yang ribut soal HAM. Juga waktu itu belum fasih sekali orang bicara gender dan politik, baru draft pembicaraan, kata kolega saya dari tetangga negara yang lain. Nah, halaman pembuka ini, halaman pertama ini, semacama uji nyali ingatan. Bahwa peristiwa itu, suasana sangat terik, di bawah lampu yang tidak terlalu terang, saya membaca berita yang menurut saya itu; sesuatu yang mengejutkan, sebab selama saya tahu mengenai negera tetangga saya itu, jarang sekali ada berita sedahsyat dan sepertinya sedang ada proses goyangan politik kepada pemimpin negara tetangga saya itu, ya, maklumlah, saya selalu takjub, bahwa negara tetangga saya itu tampilannya tidaklah semencekam kisah negara-negara eropa timur dan beberapa negara yang dipimpin otoriter, negara tetangga saya itu, malah kesannya manis, banyak senyum, sekali lagi religius. Aduh, saya mau mengembalikan tujuan halaman pertama saya ini; melahirkan genre baru; prosa status fisbuk. Lalu perut saya mengembung, saya mesti makana banyak buah, minum susu, makan makanan sehat. Ya, tujuan mulia itu membuat saya teringat struktur negara itu mempengaruhi watak penghuninya; di negara daripada tetangga saya, siapa saja merasa di ibukota sepertinya merasa lebih maju, lebih tahu, lebih modern, lebih prihatin, lebih boleh gila; sindrom ini saya sebut, sindrom merasa dipusat, macam naik gunung, mencapai puncak menancapkan bendera, berada di pusat, merasa mencapai puncak. Nah, puncak di negara tetangga saya ada namanya Monas, itu tugu, dan sepertinya jadi banyak berita saat ini, saya memikirkan genre sastra baru. Lalu lalang pikiran saya ini selalu menyiksa, saya ingin segera memasuki halaman kedua, apapun kelak ceritanya, tetapi kepengaruhannya akan menjadi catatan penting di dunia maya.
HALAMAN KEDUA
Entah tanggalnya berapa itu, saya lupa, saya bukan pencatat yang baik itu rasanya hari minggu, dan semampu saya ingat, itulah pertamakali saya memperhatikan wajah ibu negara daripada tetangga saya itu; bulat dan cantik. Ibu negara yang sepanjang saya tahu selalu memakai kain dan kebaya, dan sesekali memakai rok terusan, warna bunga-bunga dengan kacamata, wajah umumnya nenek-nenek yang bersih dan penyayang. Nah, katanya ibu negara tetangga saya yang sekarang, kurang saya perhatikan, walau ada yang percaya, menurut artikel di internet; wajah bulat, wajah rembulan, wajah hoki buat kekuasaan suami. Tetapi itu hari apa ya, hari Minggu, saya mulanya agak malas menghidupkan televisi, sambil mata meremang, mata menahan kantuk, terhuyung ke kamar mandi.
Duduk melepas kencing dengan mata setengah menerawang, lalu mencuci muka berulang-ulang, sayup-sayup terdengar; ibu negara tetangga saya dinyatakan wafat! Meninggal; pergi ke dunia lain. Dengan mengerutkan dahi, saya berdiri di depan televisi, mencari stasiun yang lebih bisa dipercaya, kabar itu ternyata kategori breaking news, segera menjadi berita utama disemua televisi yang bisa antene jangkau. Saya teringat bahwa dalam kepercayaan-kepercayaan kekuasaan yang abadi, klenik adalah satu menjadi gosip utama. Para dukun adalah juru siar secara diam-diam mengenai bagaimana memberi tips kepada siapa saja yang ingin berkuasa. Dari puasa ini-itu, pantangan ini-itu, tumbal ini-itu, menanam pohon jenis tertentu bahkan dalam memilih menantu; hari lahirnya harus diteliti, bukan latar belakang keluarga, pribadi alias watak. Ah, watak kata ini sudah lama saya tak dengar. Watak! Watak manusia itu memang jerih pada sesuatu yang sulit dibayangkan, sulit dijangkau, selalu mencurigai kegelapan, lebih nyaman di suasana terang. Asal muasal lampau ketika listrik belum ditemukan, kegelapan justru menyilaukan, justru menginspirasi. Aduh, mulai lupa, melantur, kembali saya melihat televisi; iya benar, duka cita yang dalam, teka-teki nasib penguasa itu pun dimulai, itu dimulai di hari minggu, rasanya itu bulan april, saya lupa-lupa ingat.
Bapak tua itu, pemimpin negara tetangga saya sesungguhnya ganteng, manis dengan suara yang meyakinkan. Rapi, cermat juga tidak emosional. Menurut saya pandai mentatakramakan berbagai hal, menjadi sesuatu yang berjarak dan dingin. Hari itu pun nampak berwajah tenang, penguasaan diri yang luarbiasa. Menakjubkan. Didampingi putrinya yang menurut gosip internasional akan menjadi penggantinya, nampak jauh kualitas dalam berbagai hal. Seperti umumnya anak-anak yang dimanja dan dalam asuhan kekuasaan yang lama dan rigid, nampak rawan bahasa tubuhnya. Oh, barisan orang-orang yang datang itu, televisi selalu pandai membuat pertannyaan di hati. Tetapi itulah pengaruh visual. Saya ke dapur, menyalakan kompor, memanaskan air. Berpikir untuk beberapa hal, apakah saya akan makan di luar atau masak ala kadarnya dan menonton televisi. Televisi adalah hipnotis sejak keberadaannya makin tak terkendali.
Jangan-jangan benar ya, istri itu berpengaruh kepada kekuasaan lelaki. Saya mengaduk kopi, mencicipi dan mencoba memahami logika yang dirasakan seorang lelaki tua setelah puluhan tahun hidup dengan istrinya. Tiba-tiba saya terharu, dapat mengerti jika ada salah satu komentator yang culas mulai menganalisa mengenai hari-hari akhir seorang pemimpin. Saya menghela nafas. Itulah hidup, itulah.
Lalu entah kapan kemudian, saya merasa negara tetangga saya tidak menarik lagi, untuk ditontoni beritanya, saya membeli setumpuk film serial kungfu dan serial detektif, tidak ingin lagi mengetahui kisah negara tetangga saya itu. Hingga suatu hari, lupa lagi saya tanggalnya, itu bulan juli, dan ada berita mengenai kisah orang-orang hilang. Ah, negara tetangga saya memang menarik, tidak ada yang bisa menebak, tidak yang bisa meramal, ketika suatu hari dollar melambungkan dirinya ke harga yang luarbiasa, negara-negara tetangga saya; mulai berhitung soal biaya impor dan biaya eksport. Menjadi lucu, ahli ekonomi baru menyadari ternyata membayar dengan dollar bisa mengambrukkan ekonomi dalam negeri apalagi jika itu menyangkut bahan baku untuk barang-barang konsumen. Itulah kisah para naga dihanguskan oleh harga paman sam. Itulah alasannya, saya kembali menontoni negara tetangga saya, mengamati apa yang mendorong keberanian-keberanian itu muncul, entah berupa komentar, entah demo....
saya lapar.

No comments:

Post a Comment