Mengenali kembali & Mengenang Tradisi Tapa Brata Hindu BALI

Ditengah arus trend spiritual berlabel universal, ditengah upaya rasionalisasi apa saja mengenai tindakan keagamaan; kemeriahan penerbitan berbagai buku agama dan kemegahan perlengkapan upacara agama; Kritik terhadap umat Hindu Bali selalu adalah pada banyaknya upacara yang dilakukan.
Padahal, upacara bagi umat Hindu Bali adalah salah satu bentuk ‘brata’, pelaksanaan dari tapa; upaya pengendalian diri, meluangkan waktu, mengorbankan kesenangan diri untuk menumpahkannya pada proses menyiapkan hingga mempersembahkan sesuatu yang diyakininya.

Setiap agama memiliki keciriannya. Tentu saja, yang berkutat pada argumen itu masih saja akan dipertanyakan oleh yang tengah dilanda trend spiritual universal ataulah yang memasuki fase bulan madu dengan rasionalisasi agama, pertanyaan mereka : lalu bagaimana ‘ pengisian kedalam diri?’, sebab upacara dengan proses persiapannya lebih banyak didikannya pada ‘sekala’,  sedangkan yang kelahiriah begitu rapat ribetnya, lalu bagaimanakah dengan pengisian yang kedalam diri? Yang kebatiniah? Hampir dipastikan, banyak yang hebat mejejahitan, rajin menghaturkan sajen, tetapi tidak tahu maknanya.

Begitulah silang pendapat, kritik dan jawaban sahut menyahut. Bahkan seringkali yang hanya berbekal pengetahuan buku ‘penerbitan’ akibat rasionalisasi agama, yang berupaya meniru pola dogmatis; kadang mencetuskan bukan hanya kritik tajam, tetapi kadang mencela agama hindu bali. (maaf, saya jujur saja mengungkapkan ini).

Dalam kesempatan ini, masih dalam rangkaian Galungan Kuningan, saya sengaja meluangkan waktu menemui beberapa orang tua dan membaca secara hati-hati beberapa refrensi (salinan lontar) petunjuk pelaksanaannya mengenai ‘pengisian ke dalam diri’ yakni yang dalam tradisi spiritual agama Hindu bali disebut tapa brata, yang sebenarnya kategori jarang dibicarakan, jarang diungkapkan kepada umum, sehingga pewarisannya menjadi sangat terbatas, namun menghadapi gejala trend maraknya laku spiritual universal ataukah yang spiritual kesurupan; ada baiknya, saya pikir; menggugah dengan tulisan kecil ini, bahwa Hindu Bali sangat kaya dengan jenis tapa brata; jadi tidaklah elok jika dicari-cari pada kebiasaan agama lain ataulah sekte lain. Agama Hindu Bali telah memiliki tradisi puasa, yang berjenis-jenis dengan kuta mantra, aturan, tata krama; yang memang itulah jalan keyakinannya.

Tapa demikian diartikan sebagai upaya untuk mengendalikan diri; ada enam musuh dalam diri yang akan terus menerus memusuhi diri manusia dan kemanusiaannya; itu dari  moha, krodha, lobha, mana, mada dan harsa. Keenam musuh ini diterjemahkan sebagai nafsu, amarah, lobha, kesombongan, mabuk, dan bersenang-senang secara berlebihan. Keenam musuh  tersebut akan selalu menggoda manusia, itulah keyakinan Hindu Bali; bahkan disaat akan melaksanakan upacara sekalipun; keinginan membuat upacara besar-besaran tanpa mengukur kemampuan diri, atau  mabuk akan jabatan hingga melupakan etika: dst; sekalipun nampak indah dan mengagumkan dihadapan pandangan orang lain, namun jika tidak berhati-hati; akan memasuki area kekalahan oleh sad ripu itu sendiri.

Semoga direnungkan, jika Moral itu adalah kesepakatan sosial; kesepakatan bersama mengenai hidup dalam kebersamaan, namun meningkatkan moral dan mengendalikan dirilah; itulah tujuan keagamaan Hindu Bali dalam kerangka keharmonian. Karena itu dikenalkan apa yang disebut diksa, jalan kesucian dan brata, yaitu pengendalian indria; bahwa tidak ada satu orang pun akan luput dari kesalahan, tak satu orang pun akan terbebas dari janji karmaphala. Karena itu upaya untuk menjalani kehidupan dengan optimis di jalan suci dikenalkan tapa brata.

Dalam tradisi Hindu di Bali; dikenal pembratayaan, ini adalah tindakan dari tapa; brata; jadi jika dalam kisah-kisah suci itihasa, dikisahkan seseorang menyepi ke gunung, ke suatu tempat, menjauhi keramaian untuk bertapa, maka itu setanding dengan jika dengan penuh kesadaran dan berkeyakinan; menuangkan keinginan tapa itu dengan ‘tindakan’ brata.  Ada sekitar 36 jenis brata yang saya teliti, yang jelas-jelas menjawab pertanyaan kaum spiritual universal maupun yang merasionalisasikan keagamaannya; bahwa tradisi Hindu Bali memiliki tatacara bahkan tatakrama dalam mewujudkan ‘sang ayat’ suci itu dalam tindakan dalam kerangka menyucikan batiniahnya, yaitu kesadaran akan diri bahwa pastilah tidak mungkin menghindari kesalahan, maka brata adalah penyeimbangnya.

Dari 36 jenis brata itu, yang menarik perhatian saya adalah brata nyarining galungan; hampir ada di tiga refrensi kategori pitutur, artinya kategori ajaran suci yang saya baca; bahwa perayaan galungan yang begitu panjang rangkaiannya juga ada yang disebut dengan brata nyarining galungan; saya kutip  dalam kesempatan ini tetapi tanpa kuta mantranya; “Ana brata nyarin galungan. Abanten sarimpen. Sawiji sowang. Henah-akena ring hareping sanggar Kadi kramaning banten kang lagi. Kang ring tengah wuhana burat wangi, lenga wangi. Mwang beras kalih catu, harttha, 225. Pinuja sapari krama. Angabhakti. Wusing angabhakti, amangan sarimpen. Ryuwusing amangan sarimpen, amangan sakawana…dst” Brata ini menjelaskan bahwa bukan hanya persiapan persembahan sajen dan prosesi upacara saja yang dilakukan namun juga ada yang dimaksud dengan brata galungan yaitu dalam bahasa gaul; bagaimana menghisap sari pati kesucian galungan itu, untuk kebaikan diri, manusia, kemanusiaan, dan jagat raya. Dalam pelaksanaannya brata ini juga disertai pengucapan kuta mantra; proses inilah yang biasanya memerlukan konsentrasi, keiklasan dan kesabaran. Dalam tradisi Bali, kuta mantra tidak dapat disebarluaskan secara terbuka kecuali kepada yang meyakini dan akan melakukan kesadaran untuk bersetia melakukan brata tersebut.

Kemudian brata yang lain, saya pikir ini sifatnya umum dan penting bagi generasi muda yaitu brata Aji Sasrawasti: “byasakena teka ning dina, saniscara, umanis, watugunung; CA, wetoning Saraswati, saprakara ningbanten, sarwwa suci, tan kari bubur precet, bubur prajnan, bubur cendol, saraswati saha hasep, menan cendana, prasiddha prajnan kita, ping 7 anjadma, tan kahilanganing saraswati, byasakna, ping 7, ring dina samangkana;…dst lalu petunjuk ini dilanjutkan dengan kuta mantra. Dalam lontar yang lain akan ada tata caranya melaksana brata ini. Biasanya, sekolah-sekolah di Bali pada Hari saraswati melaksanakan persembahyangan bersama; ini seperti umumnya persembahyangan yang dikenal, sehingga kemudian menimbulkan pula sikap kritis dari kaum spiritual universal, seolah-olah itu semata kegiatan formal semata.

Kemudian sederet brata lainnya; hampir 36 jenis memberikan gambaran mengenai betapa meriah dan mendalamnya perilaku spiritual agama Bali, yang kini memang jarang dilakukan bahkan mungkin banyak yang tidak dikenal lagi atau jarang dilakukan. Ini disebabkan oleh proses membawa ajaran agama ke sekolah, kegugupan menghadapi rasionalisasi keagamaan, yang memang membuat tradisi; kebiasaan lama tersingkirkan, apalagi jika dalam kurikulum pendidikaan hal-hal yang dipentingkan bukanlah ‘laku spiritual’ tetapi hapalan-hapalan untuk pengetahuan umum mengenai kehinduan.

Maka tidaklah aneh, jika enam musuh dalam diri itu kian lama justru kian mengendalikan diri atau banyak pihak berupaya mencari dengan ‘cara lain’ salah satunya adalah dalam pola ‘kesurupan spiritual’ yakni menyerahkan diri pada kegiatan-kegiatan spiritual model baru atau perilaku spiritual dalam bimbingan seorang guru, yang belum tentu memahami pembratayaan; akhirnya; justru menimbulkan; tradisi klenik baru atau kultus tokoh suci baru, yang sebenarnya dalam tradisi Hindu Bali, itu tidak dikenal. Sebab di bali hanya dikenal maguru sisia dan masurya! : hubungan sang umat dengan pemimpin spiritualnya, hubungan umat dengan guru spiritualnya, dalam konteksnya yang sangat berbeda dengan tradisi hubungan guru-murid, atau umat dan pemimpinnya yang kini kadang membuat banyak orang tertegun dan terheran-heran; diakibatkan munculnya; perilaku fanatik, kecirian baru yang secara tidak langsung membuat model perilaku spritual yang mendekati fashionable; fanatisme yang kadang justru mendangkal pengetahuan dana perilaku spiritual; inilah bagian dari nujum itu; bahwa mega trend spiritual, keelokan agama timur, dieksploatasi ke ruang-ruang jelajah yang mendekati kapitalisasi; dimana dominannya adalah munculnya sang guru yang kadang tidak lebih dari seorang pengajar kursus atau semacam artis penghapal ayat suci dan lagu-lagu rohani.

Karena itu, sangatlah penting, ketika kritik, dan pertanyaan mengenai tradisi spiritual Hindu Bali ditanyakan; maka, jawabannya bukan hanya tradisi upacara yang Hindu Bali miliki, Hindu Bali pun memiliki tradisi puasa, tradisi tapa brata; hanya saja memang tidak untuk diinfotainmentkan, tidak untuk dipublikasikan; sebab dasarnya, pertama dari kesadaran, kedua keyakinan (sraddha) dan yang terpenting, kesiapan diri untuk memasuki pelaksanaan brata itu; sebab dalam tradisi Hindu Bali; tidak diperkenankan sang amangkurat (Negara, sekolah, bahkan guru) mengintervensi kesadaran itu; entah dengan cara himbauan apalagi dengan menjadikan dogma; dan jika berkaitan dengan keyakinan, itu tidak diperbolehkan. Karena itu, tradisi ini hanya akan menemui yang diketuk kesadarannya,  bagi yang menyadari ada sesuatu dalam dirinya kurang, barulah jantera laku spiritual itu akan berdentang, memintal kemauan untuk memasuki pengisian diri.
Demikian, selamat paing galungan.
(By. Cok sawitri).

No comments:

Post a Comment