Chandra Bherawa Bagian 1


NOVEL CHANDRA BHERAWA
BY. COK SAWITRI

PROLOG:
Perang kurusetra merengut korban hampir 4 juta orang, ribuan kuda, gajah, dan derita perempuan-anak mengawali kemenangan Pandawa kembali ke Hastina. Perubahan tak terelakan, generasi baru menjadi pimpinan di berbagai negara yang semula memiliki jaringan hubungan yang kuat oleh ikatan perkawinan maupun keyakinan. Kemenangan perang itu sekaligus kekalahan wangsa kuru juga dimulainya  ideologi agama dalam menata negara. Ketegangan antar negara akibat lahirnya peradaban baru menjadikan kaki zaman begitu pilu memasuki peradaban baru.

BAGIAN 1

     Perang Kuru sudah usai.

     Tinggal puing.

     Remah.

     Anyir darah mengering, hamburkan aroma yang menyesak. Angin seolah menikmati permainannya, setiap saat seolah sengaja menggembur debu agar bau darah yangmengering itu tercium.

     Masih dengan bekas luka di lengan serta bahu, goresan di kulit yang masih rekah walautelah mengering. Bima, putra kedua Kunti, siang itu nampak berjalan, berjalan diantara serakan tumpukan sampah perang. Di langit, itu burung-burung pemakanbangkai sesekali  memutar diri,terbang serendah mungkin, singgah sebentar ke tanah lalu melesat naik dengankibasan sayap keras, melesak kasar, terbang menjauh ke langit dengan jeritan kecewa. Tak ada lagi sisa mayat buat dicabik-cabik, pesta pora telah usai. Semuamayat, entah itu prajurit Korawa  ataukah prajurit Pandawa, sudah dibakar dalam upacara yang menggempar langit dan bumi.

     Upacara pembakaran jutaan mayat pahlawan perang itu telah membuat penghuni surga terbatuk-batuk. Menyebabkan para dewa melongok ke bumi. Menyaksikan asappembakaran mayat membumbung, menjadi mendung tebal, selimuti hampir seluruh langitdipenjuru wilayah Negara Hastina, ditutup kabut, meniru awan hitam disaatpuncak musim penghujan.  Asappembakaran mayat itu berbulan-bulan menyelimuti seluruh negeri. Seakan berusaha sembunyikan semua wajah sedih dari sinar matahari, menutupi rasa kehilangandari angin yang ingin tahu. Membatasi pertukaran pandangan mata. Kabut itu hanya menyelimuti!  Hanya menyelimuti. Tak akan menghilangkan rasa hampa yang seperti gerowong disemua hati, menggerogoti isi dada, menyedot seluruh semangat hidup, mendiamkan kepedihan dalam satuliang kehilangan, lebih mirip kesuburan semak yang semakin merimbun setiap kaliada tarikan nafas, kepedihan dari rasa kehilangan akan kematian-kematian,sekalipun atas nama perang suci, tetaplah kepedihan yang tiada tara.

     Bima,Sang Perkasa, setelah dipulihkan di rumah sakit istana. Sesungguhnya masihseperti yang lainnya, hatinya tergoncang. Anak, keponakan, sepupu, kenalan,teman, paman, kakek, guru, betapa setiap tarikan nafas yang memasuki dadanyaterasa menjadi himpitan. Namun hidup tak usah dikeluhkan. Ia memiliki tugasdemi hidup, mengembalikan Hastina menjadi negeri yang seperti yang diimpikan.

     Namun Bima harus segera  memimpin sebuah tim khusus, tim yang dibentuk oleh Dewan Kerajaan Hastina, untuk mendata kerusakan akibat perang.

    Ya,Perang telah usai. Kemenangan telah diraih. Tapi Hastina tidak merayakankemenangan itu. Jalanan sunyi, airmata mengalir tanpa suara isakan, tak ada jerit histeria. . Inilah kemenangan yang mengasingkan seluruh hati.

     Perkabungan tak akan terhapus oleh upacara-upacara, penghiburan apapun, tak akan memulihkan hati yang hampa. Hampir semua negara yang terlibat perang kini dibawah kondisi darurat. Bumi ini kehilangan kemudaannya, kehilangan pimpinannya.Perempuan-perempuan kini menjadi ayah sekaligus ibu bagi persiapan masa depan,yang entah bentuknya seperti apa yang akan datang.

     Bima nampak tercenung di atas sebuah batu. Melepas pandangannya sejauh mungkin. Medan tempur Kuru, kini seperti kapal karam, tak berdaya dengan beban kepedihan;rongsokan-rongsokan itu sungguh mencekam hati.

     Lapangan Kuru menghampar luas dan sesak oleh sampah perang  menenggelamkan kehadiran Bima dan para pengawalnya.  Dari langit, memancar panas matahari, tetap menyengat walau kabut tebal masih membatasi pandangan. Angin berhembus kencang setiap Bima mengingat sesuatu dari kejadian perang, angin itu seolah menyahuti pikiran, menerpa tubuh Bima yangtinggi besar. Matanya kerap menyipit menahan desau debu. Kilatan ingatanmemasuki keterdiamannya berkali-kali.

     Saatdelapan belas hari perang besar itu, ingatannya mulai bicara, angin seperti iniadalah tanda jatuhnya banyak kematian.  Sebab dengan angin seperti ini, mata anak panah sering meleset; hantaman gada, tusukan tombak, semua tidak terarah, nyawa disaat seperti itu seperti daun-daun kering di dahan lampuk, sekali hempas bahkan hanya dengan tepukan tangan; maut merengut, menjatuhkannya ke bumi, melapuk seluruh hati. Berdebam-debam tubuh-tubuh itu berjatuhan. Bima seperti mendengarkembali riuh kematian itu. Bibirnya mengatup, pelipisnya memperlihatkan ototketegangan, matanya memerah. Dialihkannya pandangan, diusirnya ingatan-ingatanitu.

     Bima melangkah dengan pijakan yang menekan, menahan kegoyahan. Ah, kereta-keretayang hangus, remuk oleh hantaman senjata bercokol disetiap ujung kakinya.Senjata-senjata patah mengkarat, lalu busur patah berjejalan meniru dempetanrumput dimusim hujan.

     Bima menelan ludahnya berkali-kali, jakunnya turun naik saat memperhatikan rongsokansebuah kereta yang amat dikenalinya. Dengan jemari gemetar ia menjangkau,hendak menyentuh, lambang kebesaran gurunya terukir di cangkang depan, benderayang robek-robek miring menjuntai ke tanah, Bima menahan gemuruh isi dadanya,seperti kembali dilihatnya kepedihan sorot mata Guru Drona. Lalu di sebelahrongsokan kereta itu  teronggok pulalambang Negara Gandara, lambang kecerdikan Sang Sangkuni. Bima melangkahmendekati, matanya makin menyipit. Di sinikah dirinya beberapa bulan lalumenghantam kepala Sangkuni dengan gada?

Bimamenghela nafas.
     Sungguhsusah isi kepalanya mengingat, bagaimanakah dirinya saat itu. Amarah dan dendamtak miliki jejak. Hanya dadanya kini terasa demikian kosong, teramat kosong. Kemanaamarah dan dendam itu pergi? Tak ada lagi bayangan wajah Drupadi beruraiairmata, wajah yang membuat seluruh tidurnya sebagai pecundang. Kemanakegeraman menyambut pagi itu?

     Hamparanonggokan sampah perang, angin yang menderas seperti miliki ujung tajam, kerapmenusuk lobang pori, dingin itu menyusup ke kulit. Kabut asap yang belum pupus dan burung-burung bangkai yang kerap putus asa terbang kosong, jeritan kehilangan kemanjaan bermangsa setelah berhari-hari selama perang berlangsung, pesta pora telah usai. Kini jeritan itu adalah pekik kecaman.

     Pihak Pandawa telah kehilangan dua puluhsatu ribu delapan ratus tujuh puluh kereta kuda, dalam jumlah yang sama pasukangajah,  pasukan penunggang kuda ,prajurit penyerbu : telah gugur seratus sembilan ribu tiga ratus lima puluhorang.

     "Berapa jumlah yang gugur itu?" Bima bergumam seperti menanyai dirinya sendiri, parapengawalnya hanya terdiam, terkagum-kagum dengan pemandangan yang terhampardisekeliling mereka.

     Sebagai prajurit muda, para pengawal yang direkrut sebulan lalu itu nampak pucat dalam keremajaan. Betapa menakutkan kisah-kisah peperangan yang mereka dengarbeberapa bulan lalu dan setiap saat jerit tangis terdengar dari semua rumahdimana mereka tumbuh, begitu cepat mereka harus meninggalkan masa remaja. Kini sepertimimpi mereka mengawal salah satu pahlawan besar perang kuru, yang nampak berdiridengan wajah lelah dengan kerut kepedihan di dahi. Wajah kemenangan yang jauhdari bayangan mereka. Wajah sedih, tak seperti yang pernaha mereka bayangkan.Kemenangan perang itu bukankah seharusnya memberi wajah menyala-nyala dalamkemegahan rasa gagah?

     Bima melangkah lagi, pikirannya melesat jauh. Kembali seperti gumam ia berkata, "Ketika upacara pembakaran jenasah itu, tak lagi kita sempat menghitung. Yang dapatkuingat jumlah pasukan kita hanya tujuh divisi, hampir satu juta lima ribu enamratus orang, sedangkan dari pihak Kurawa, mereka memiliki dua kali lipat besarpasukan, ada sebelas divisi, itu yang tercatat, tentu saja ada yang lupadicatatkan, mereka para relawan perang, mereka yang datang dipertengahanpeperangan…mereka yang lari dari perang pun kemungkinan berjumlah ribuan.."

     "Tuanku, ada yang mendekat…"
   
     Bima seolah tidak mendengar bisikan salah satu pengawalnya. Ia tetap berusaha mengingat, " mungkin sekitar empat juta yanggugur…"

"Tuanku…"
      Bima tersenyum dingin, "Maut telah kenyang, walau memang kerakusannyatak akan pernah dicukupkan oleh jutaan nyawa. Usah dipikirkan, siapapun yangdatang…"

     Dalam kabut apapun kerap  menipu pemandangan.  Selama persiapan perang yang begitumenekan, ketegangan yang luarbiasa seperti meledak di medan pertempuran, laluusai itu, rasa kehilangan membuat semua hati dibaluti was-was, seluruh negerimasih merasakan rasa mengambang antara percaya dan tidak, jalanan begitukosong, hati lebih kosong lagi.

"Tuanku…"
     Bima mendongak dan menatap ke arah datangnyasuara langkah, yang berjalan pelahan di atas berbagai sampah perang itu. Dalamkabut yang tak memberi jarak pandang yang jelas, ia memastikan yang datang ituseorang perempuan dan di belakangnya nampak puluhan sosok yang juga belum jelasterpandang mata.

"Salam damai, Bima…"

     Bima melengak sejenak, tersirat keterkejutan diwajahnya. Suara perempuan itu menyebut namanya dengan begitu karib, "siapakahyang datang ke medan pertempuran yang tengah tidur ini?"

     Dalam sekali langkah Bima dan semua pengawalnyatak mampu menutupi ketercengangan mata mereka, perempuan jelita dengan wajahyang sempurna begitu pula perempuan-perempuan lain yang mengiringi dibelakangnya, berdiri berjejer dalam hembusan angin dan kabut yang menipis pelahan, memberi kesempatan mata melihat lebih jelas.

     "Siapakah kalian?" Bima yang tak pernahberbasa-basi dengan sorot mata penuh selidik menatap tajam.

     "aku buyutmu, aku ibu dari kakekmu, Bismapewaris Kuru…"

     Bima tertegun, perang mendidiknya untuk tidaksegera percaya apapun. Ia hanya menatap dengan otot-otot yang seketikamenandakan kewaspadaan dirinya .

     Perempuan yang mengaku ibu dari Bisma tersenyumdatar, begitu pula perempuan-perempuan yang mengiringinya seolah serentak ikut tersenyum.Senyum itu seolah memaklumi sikap Bima yang nampak kaku dan waspada. Perangmemang sudah usai, namun ribuan prajurit yang lari dari medan perang masihmemiliki alasan untuk sesekali muncul melampiaskan amarah. Bahkan berkali-kalibanyak perempuan dengan kenekadan yang sempurna melakukan serangan kepadakeluarga Pandawa.

     "Marilah mencari tempat untuk duduk sejenak,aku hendak mengajakmu mengenal seluruh ibu dalam keluarga kuru…"

     Bima nampak mengerutkan dahinya, bibirnyabergerak sedikit. Sorotan matanya begitu menghujam,"apakah engkau tidakmendengar, bahwa seusai perang, banyak perempuan menjadi gila oleh perasaankehilangan? Apakah telingamu tuli bahwa mereka tak segan-segan menyerang siapasaja yang dpikir oleh mereka telah menewaskan lelaki kesayangan hati mereka?"

     Para pengawal pelahan bergerak membentukformasi siaga. Telah banyak kematian sia-sia seusai perang bahkan disaat upacara pembakaran jenazah begitu banyak perempuan mengamuk, menyerang bahkanmembunuh siapa saja. Duka cita telah menggelapkan banyak mata seusai perang.Rasa kehilangan telah banyak membuat perempuan begitu menakutkan ketikaterjebak rasa kepedihan.

     "Jika kau memang ibu dari kakek bisma, menjauhlah…Bukansaatnya untuk duduk bercerita. Aku bertugas saat ini membersihkan lapangan ini,buat meringankan mata dan hati yang memandanginya…"
Perempuan yang mengaku sebagai Dewi Gangga,tersenyum hampir berkedip cahaya dimatanya, lalu entah mengapa kabut menepi seketika, "Hai, putra bayu, ini hari terakhirku dapat berjumpa dan menolongtugasmu, sebab putaran semesta akan mematahkan jarak kita. Ingatlah, kau masih dalam jangkauan waktuku…kubersihkan lapangan ini, seperti yang engkaupikirkan.."

     Mata Bima makin jelas melihat, kabut disapuangin, santun menghindar. Semua pengawal hampir terbuka mulutnya saat jelasmelihat betapa wajah perempuan-perempuan itu seperti pualam bermata cahaya, ah,kecantikan seperti ini sungguhlah bukan kecantikan duniawi, ini pastilahtipuan. Sontak makin siagalah sikap mereka.

     Bimamengedik bahunya, tersenyum pahit, "tipuan apa lagi yang dimainkan oleh maut?Tidakkah Indra puas dengan kepedihan hati dunia, bukankah kalian perempuan yangseharusnya merasakan pedihnya rahim saat berjuta-juta anak, suami, kekasihgugur di sini?"

     "Aku bukan utusan Indra, dia memang tuan diistana langit, aku datang sebagai ibu bagi kalian, aku memang pemilikkelahiran, tetapi perang adalah keputusan kalian…"

     "Oh begitu? Lakukanlah…menyapulah, berbenahlah,apa kalian dengan jemari yang ringkih itu akan mengeser ribuan rongsokankereta, tulang belulang berbagai senjata?" Bima menyahut dengan suara pelan,menyimpan keketusannya di ujung lidah. Kelat rasanya mulut.

     Bima melangkah setindak demi setindak, tidakmenutupi kegusaran hatinya yang entah mengapa seperti mengusik, matanyamenyiratkan kejengkelan, "aku bukan Arjuna, yang akan sangat suka berbincangdengan perempuan. Aku juga bukan Yudistira yang akan selalu merasa bersalah padaperempuan, juga aku bukan Nakula dan Sadewa. Jika kau dan teman-temanmu takmenyingkir, aku yang akan menyingkirkan kalian dari tempat ini, dan janganmengusik tugasku…"

    "ah, putra bayu….baiklah, yang tak percayakata-kata, aku gangga yang akan membasuh lapangan perang ini, aku tidakamenawarkan, tapi sikap semua ibu adalah seperti yang akan kulakukan…"

     Bima mengerutkan dahinya, hatinya bergetarmenahan kejengkelan, makin waspada dirinya, makin terasa dirinya disudutkan.Sepintas ia melihat tangan perempuan itu, yang mengaku Dewi Gangga merogohsesuatu di balik lipatan selendang yang melilit di pinggang lalu sebuah tongkatberujung tajam bergerak memutar. Bima begitu cepat melompat jauh ke belakangmeraih patahan tombak yang berserakan, begitu pula para pengawal segera mengeluarkansenjata. Kesiagaan begitu rupa tumbuh dalam diri Bima. Namun perempuan ituseperti mencari ruang bergerak untuk menari, tak menggubris sikap Bima dan parapengawal. Ujung tombaknya digerakan ke tanah, seolah menuliskan sesuatu. Taklama kemudian gemuruh terdengar, "menyingkirlah Putra Kunti, carilah tepiantinggi tunggulah di situ, nanti kami menghampiri setelah pembersihan inikuselesaikan."

     Bima membekukan dirinya dengan senjata siapmenepis. Begitu pula para pengawal siaga menanti serangan. Namun muncratan airdan suara gemerincing yang memekak terdengar begitu tiba-tiba,"Menyingkirlah, Putrakunti. Atau tanganku yang akan membawamu ke tepi lapangan…"

     Seperti mimpi begitulah bila bertemu keajaiban.Bima tergugu menatap lapangan yang tadi penuh rongsokan perang kini berubahmenjadi danau luas dengan puluhan perempuan melayang di atas permukaan air.Angin kembali menderu dipinang air yang terus menerus seperti dimuntahkan dariretakan tanah. Lalu gemerincing itu henti. Suara angin mendesis entah dari manadatang arahnya, suara itu mirip tenggorokan yang sekarat, suara gemeretak,besi-besi yang berpadu meniru pertemuan ratusan pedang. Bima terpana danmengingatkan akan dirinya untuk tetap waspada.

     "Kau sama sekali tak terkesan…" teguran itumembuat Bima menoleh, perempuan yang mengaku Gangga entah kapan telah berdiridi sebelahnya. Bima tersenyum,"apa lagi yang dapat mengesankan bagiku juga bagiwaktu yang teralami? Justru menyakitkan jika keajaibanmu itu hanya untukmembersihkan rongsokan peperangan…"

    "Engkau seolah menanyakan, mengapa aku takmenolong wangsamu? Mencegah peperangan atau bahkan menyelamatkan putraku?"

     Bima kini tersenyum pahit, kepalanyamenggeleng,"kalian penghuni istana langit senang sekali membuat keajaiban,menduga-duga waktu dan kami di bumi masih saja diselimuti kabut asap daribakaran tubuh kami. Apa kabar Dewa Indra, apakah ia telah terpuaskan oleh mabukkebahagiaan perang?"

     "aku tidak mencampuri putaran karma, tapi akukemari seperti kataku, di akhir zaman aku harus menemuimu, untuk terakhirkaliaku ingin mengatakan tentang masa yang akan berganti. Bisma adalah tanjakanterakhir dari wangsa kuru. Walau garis lahir dapat meneruskan wangsa kuru,namun sesungguhnya wangsa kalian telah berakhir, sebab Bisma bukanlah bersetia kepadasumpah di dunia, dia itu sesungguhnya wasu…"

     "Wasu?" Bima bergumam, menatap gelombang airyang mulai bergerak, membuncah seperti mengaduk isi di bawahnya,"aku memangtidak pernah berpikir. Menggunakan pikiranku untuk hal-hal yang rumit. Tapi takmungkin aku menceritakan apa yang kurasakan saat perang usai, sebab engkau dankalian di langit sana hanyalah penonton…"

     "semoga tidak mencari kambing hitam untuksebab-sebab perang ini…" perempuan itu menyahut dengan suara lembut. Mendengarucapan itu, Bima memutar tubuhnya, memandang air yang mulai bergerak lambat, "akanengkau biarkan tempatnya ini menjadi danau?" tanyanya dengan datar, seperti takada lagi rasa dalam nada suaranya.

    "Lewati purnama sekali saja, tempat ini akan kembali menjadi lapangan kering, kembalimenjadi semak belukar…"

     "Semak duka cita…" Bima tersenyum dingin.Kembali memandang kejauhan. Dahinya berkerut seolah tak peduli dengan kehadiranorang-orang disekelilingnya.

     "Putra Kunti…aku tahu, engkau tak sudimendengar kisah, aku hanya hendak mengenalkan, beberapa perempuan yang menjadileluhur wangsa kuru. Kumohon pandanglah mereka…"

     Bima memutar pandangannya pelahan,  dengan tatapan datar menatapperempuan-perempuan yang berdiri berjejer di belakang perempuan yang mengakudewi gangga itu. Wajah-wajah yang sama, mirip dalam sorot mata datar. Lalukabut mendekat seperti diperintah, bergerak menyelimuti para perempuan itu.Bima hanya berdiri tegak saat gemeretak dari langit menjatuhkan sebatang pohon,pohon yang begitu rindang, hanya saja pohon itu tak menyentuh tanah, mengambangdengan akar-akarnya di atas, membuat Bima mendongak sejenak, lalu perempuan ituberucap," kelak sampaikan…engkau telah bertemu dengan Asokandari, akar keluargaYayati. Engkau harus memahami hal itu, ketika  engkau paham kaum Yadawa dan Kaum Puru, kalian mengenangBharata, dari Shakuntala, lalu barulah engkau akan memahami dimana Santanudengan aku…"

     Hening. Bima mengerutkan dahinya, hanya menatapke arah pohon mengambang itu dengan desis,"lalu apa yang harus kupahami, akubukan pemikir. Juga apa gunanya aku menghapalkan silsilah, ibuku masihhidup…dia sebab aku ada"

     Tak ada sahutan. Hanya suara gemeretak, hinggakabut makin tebal, hingga udara makin mendingin, Bima masih tegak berdiridikitari para pengawalnya. Hingga pohon itu lenyap dan lapangan itu masihbagaikan danau yang dangkal. Bima tak tahu, apa benar ia tadi bertemu denganGangga, ibu Bisma, yang membantunya membersihkan lapangan tempur itu.

    "Kita pulang…" Bima berucap dengansuara datar, memerintah para pengawalnya. Mereka beranjak pergi, sedikit puntergugah dengan kejadian yang baru teralami. Perang mungkin telah mencuriperasaan mereka dan menyembungikan pada rasa hampa di hati.

    Dalam kegelapan mereka berjalan memutar, tidakmungkin menyeberangi danau buatan Gangga. Bima melangkah dengan wajah membeku,dahinya berkerut dan rambutnya tergerai. Ia membiarkan dirinya melangkah tanpatujuan. Ketika gelap tiba, ia menjejakan kaki di area yang dahulu digunakanoleh Kaurawa sebagai perkemahan.

     "Nyalakan unggun…" Bima memilih salah satubekas kemah yang masih utuh buat bermalam. Dengan sigap para pengawalnyamenyalakan unggun. Namun Bima urung melangkah memasuki kemah itu, entah mengapaaroma dari kemah itu membuat nafasnya terganggu.

     "Periksa sekelilingnya dan yang lain carilahsesuatu untuk dimakan…" Bima berucap dengan sorot mata hampa, membuangtatapannya jauh-jauh. Lalu langkahnya begitu lampai menuju suatu titik,membiarkan dirinya melihat kejauhan.

     Lama Bima berdiri di hadapan tenda-tenda yangbeberapa diantaranya telah mulai miring, tapi tenda yang letaknyaditengah-tengah nampak masih kokoh. Bima kenal tenda itu, tenda tempat parapetinggi kaurawa berkumpul, bertukar pikiran merencanakan kematian jutaanmanusia. Begitu pula dipihaknya, betapa setiap malam perdebatan dilakukan hanyauntuk mempercepat kematian lawan.

     "Bakar semua tenda-tenda itu, kita lanjutkanperjalanan…" Bima tak mau diusik oleh ingatan-ingatan yang membuatnya merasakembali menghadapi wajah para sepupunya.

     Tak lama seperti ladang api tempat itu. Bimamelangkah menjauh mengikuti kata hatinya, hingga pagi tiba barulah merekamenemukan batas sebuah desa. Para pengawalnya dengan hati-hatimengingatkan,"tuanku, desa ini dahulu adalah desa yang menjadi dapur umum bagiprajurit Kaurawa…"

     Bima mengangguk, "tenanglah, bersikap seolahtak mengerti. Tugas kita tak hanya membersihkan rongsokan perang, tapi jugamembersihkan mereka yang tak inginkan kedamaian…"

(BERSAMBUNG, cuplikan novel ini sengaja diSAJIKAN  untuk menyambut PERAYAAN TUJUH BELAS AGUSTUS, BAGI BANGSA INDONESIA DI TAHUN 2013 YANG DENGAN KEGUNDAHAN / COK SAWITRI/resepsion lontar chandra bherawa)

No comments:

Post a Comment