BRAYUT

MEN BRAYUT:pada sebuah Galungan

Perempuan itu bernama Brayut. Anaknya delapan belas. Jadi proses ngidam, hamil, melahirkan: hamil terus menerus itu hampir ketika anaknya belum 'lepas' dari proses menyusu. Dikisahkan bagaimana suatu hari Galungan tiba; suaminya sejak kemarin telah menyiapkan sajen, dari majejahitan sampai membuat sate calon, sate galungan bahkan tulang iga goreng. Lalu di pagi hari saat matahari belum terbit, suaminya telah pergi mandi membersihkan diri, memakai kain yang paling bagus yang masih tersisa, selembar kain lapuk. Hingga selesai menghaturkan sajen; Men Brayut diceritakan belum terjaga, ia tidur ke 17 anaknya, sebab yang satu masih dalam kandungan. Jadi kalau wayan, made, nyoman, ketut; anak kelima kembali memakai wayan, made, nyoman, dan: hingga empat kali berulang, plus akan memasuki hitungan kelima kali putaran nama itu; Men Brayut diceritakan dalam situasi paling miskin, dari rumah yang compang-camping, hingga kain dan tubuhnya pun dipenuhi kutu. Rambutnya lekat oLeh ketombe, kutu, kain yang melilit tubuhnya penuh jaritan dan tambalan. Hingga wajah dan penampilan men brayut begitu tidak karuan.

Begitu lelah ia dengan ke tujuh belas anaknya dan satu anak dalam kandungan; yang diceritakan di pagi Galungan itu tidur tumpang tindih; ada yang menggelendot di lengan, paha, ada yang tidur menungging; dst. Lalu salah satu anaknya digigit kutu, melengkingan tangis tinggi menjadi alarm membangun anak-anak yang lain; yang segera ikut menangis dengan berbagai gaya; dari yang tersengal, sampai yang meraung; dst. Lalu Men Brayut terjaga justru oleh gatal-gatal diseluruh tubuh dan kutu-kutu dirambutnya yang merayap ke leher. Dan begitu usai menggaruk tubuhnya, turun melangkah setindak demi setindak disebabkan anak-anaknya ada di kanan-kiri, belakang,ada yang menggayut di lengan, digendongan, dipunggung; setiap tindak ia harus menyeimbangkan badannya.

Begitu sampai di halaman; ia melihat sajen-sajen yang dipersembahkan; lalu mengambil dan membawanya ke dapur, namun melarang enam belas anaknya ikut masuk ke dalam dapur; men brayut makan di sana, menghabiskan sate calon, sate galungan, iga goreng hanya ditemani anaknya yang paling terkecil.

Di luar pintu dapur; anak-anaknya menangis meminta izin masuk ke dalam dapur. Hingga suaminya datang, dan terkejut dengan keadaan anak-anaknya, lalu memaksa membuka pintu dapur, melabrak istrinya yang tetap asyik makan, seolah tak peduli dengan caci maki suaminya,bahkan suaminya mengatakan, jika sekalipun diceraikan, siapa yang akan menerima men brayut yang tampang dan sikapnya sudah tak karuan itu? Usai makan sambil menyirih barulah men brayut menyahut, dengan gagah mengatakan bagaimana keterampilannya menenun, memasak; dst bahkan pekerjaan lelaki pun ia bisa lakukan dengan baik di waktu muda, kini tak lagi bisa ia lakukan, disebabkan kelahiran anak-anaknya; ia tak mungkin menggugurkan kandungannya, karena taat akan perintah suami dan ajaran agama.

Lalu terjadi salah menyalahkan mengenai kesuburan men brayut, siapa sebenarnya yang paling bersalah dalam soal kesuburan seluruh anak-anaknya yang tak pernah henti itu? Lalu keduanya terdiam, saat menyadari; keduanya memiliki anugrah yang luarbiasa akan kesuburan rahim dan kelahiran anak yang begitu kuat dan sehat justru dalam kondisi ekonomi mereka yang begitu buruknya. Lalu keduanya memperbaiki diri, sikap; dan diceritakan kemudian rejeki itu tiba, anak-anak pasangan brayut tumbuh cantik dan gagah; hampir semua anak lelakinya berkumis, semuanya pintar dan tekun bekerja, semuanya mendatangkan rejeki dan mendapatkan jodoh yang menyenangkaan hati. Dan disaat segalanya menaKjubkan bagi semua orang; dari pasangan suami istri yang tidak karuan hidupnya disebabkan kelahiran anak yang begitu banyak, kini justru menjadi kekaguman semua orang. Disaat itulah pasangan itu mulai menyiapkan diri untuk memasuki hidup spiritual, dengan jalan budhapaksa; keduanya bertapa dibawah pohon kepuh yang memiliki goa; akhirnya mantap hati mereka berdua untuk pergi menyepi; dan sebelum itu membagikan warisan kepada semua anaknya; baik kepada anak perempuan maupun lelaki.

Begitu rupanya kisah Brayut ini; dan selama ini banyak sekali yang mengucapkan: bagaikana men brayut ketika melihat seseorang dikerumuni anak-anak....dst; dan kisah ini makin jarang diceritakan; terutama ketika kampanye KB dikumandangkan; banyak anak, banyak rejeki, tersingkirkan oleh cukup dua anak: laki perempuan sama saja.......yang menarik; adegan dramatiknya kisah brayut ini justru terjadi pada hari Galungan. Maka selamat galungan.

(satua sane karingkes olih cok sawitri; cerita ini sudah teramat jarang diperdengarkan; dalam salinan lontar koleksi Pak Catra; ini merupakan geguritan dengan pupuh tikus mepanting, dalam tradisi yang berbeda; tembangnya disebut gula ganting; cara menembangkan gaya gula ganting ini hampir dipastikan sudah punah).

No comments:

Post a Comment