Hari itu Mbok Wayan, tetangga sebelah rumah sewaanku, bercerita bahwa ia harus meninggalkan segera pondoknya sebab pemilik tanah akan segera membangun villa! Cerita Mbok Wayan itu membuatku sungguh terkejut, begitu tiba-tiba, mendadak sekali. Dengan wajah murung, dengan suara datar seraya telunjuknya menusuk-nusuk kening, "pengeng tiang" Ucap Mbok Wayan berulangkali, sebab urusan pindahan dari pondoknya itu bukan perkara mudah. Disamping dua anak dan suami, ada beberapa ekor sapi, puluhan ekor ayam serta delapan ekor anjing kacang yang harus dipindahkan pula. Dan urusan pindahan itu tidaklah main-main, makin memusingkan karena dalam jangka dua minggu, pemilik tanah menegaskan; Mbok Wayan beserta keluarga plus semua peliharaannya harus sudah meninggalkan pondok itu.
"Ah, beginilah amun lacur, jeg keweh percayainne…." Ucapnya lagi dengan suara datar, apalagi saat melihatku yang tak bereaksi. Aku diam karena masih terkejut, aku juga berpikir-pikir risau, kemana Mbok Wayan akan pindah? Entahlah.
"Balik ke desa, mbok?" Tanyaku kemudian setelah menarik nafas dengan berat. Aku tahu, Mbok Wayan masih ada keluarga di desa begitu pun suaminya. Mbok Wayan menggeleng lemah, "Suami tiang tak senang kembali ke rumahnya di desa, takut katanya, di desa banyak kapetengan. Kalau ke rumah tiang, suami tiang juga tak senang, malu sama keluarga tiange. Pengeng tiang!" Jawabnya menjelaskan sikap suaminya, lalu mata Mbok Wayan berkelebat. Bintik hitam matanya menahan getir, nampak pelahan makin memuram wajahnya, dahinya berkerut-kerut. Memuramkan pula hatiku, sebab tak akan bisa menolongnya. Aku pun hanya seorang penyewa di daerah sini, daerah perumahan di pinggiran kota di pulau Bali, pulau tujuan wisata dunia. Bedanya, aku menyewa rumah, sedang Mbok Wayan penyakap; menyewa tempat tinggal dengan jerih tenaganya; mengurus tanah, berupa ladang kering yang luasnya kira-kira sepuluh are. Konon, pemiliknya orang kaya raya, yang tak sudi menjual tanahnya, demikian banyaknya punya tanah, sehingga tak terurus lalu Mbok Wayan memberanikan diri mengajukan dirinya menjadi penyakap, itu cerita lama, saat anak sulungnya masih berumur tiga bulan, masih berupa bayi merah.
"Coba bicara lagi sama suami, Mbok. Siapa tahu, dia berubah pikiran!" ---Kembali ke desa mungkin jalan ke luar yang terbaik. Namun Mbok Wayan tertawa kecil menanggapi usulanku itu, sambil menghela nafas, telunjuknya tetap menekan-nekan pelipis, dia berkata dengan suara serak, "Suami tiang anak pengkung, penakut, sudah begitu tak mau dia ikut membantu mencari tempat tinggal yang baru, tiang saja yang keliling mencari-cari…." Mbok Wayan menghentikan perkataannya, tersenyum jengah, wajahnya adalah wajah orang kalah, mengandung keringat ketidakberdayaan, "dari mana ya dia dapat sifatnya itu, sudah bodoh, pengkung! Mungkin dari ayah mertua tiang ya? Mertua tiang begitu memang sifatnya, malas dan pelit! Tidak peduli dengan keluarga!"---Ah, Mbok Wayan masih dengan suara memaklumi, memahami benar keadaan suaminya yang telah memberinya dua orang anak. Segala keluhan tentang suaminya tidaklah bentuk ketidakpuasan, hanya gerutuan sayang, yang kadang membuatku jengkel mendengarkannya, karena Mbok Wayan punya banyak alasan untuk tetap membela sifat suaminya yang memang pemalas dan lambat!
Yah! Suami Mbok Wayan, menurutku, memang sedikit berbakat membangkitkan mengkal hati, dia tipe lelaki yang lambat, tetapi tidak benar-benar bodoh! Dan dimata Mbok Wayan, suaminya itu tetap bertanggungjawab sebab setiap hari, suaminya itu masih mau menghantar-jemput anak-anaknya sekolah; dengan naik motor bekas yang dibeli oleh Mbok Wayan dari hasil menjual seekor sapi, "setelah delapan tahun jadi penyakap sampi, baru tiang punya seekor…" Dan sekarang Mbok Wayan telah punya beberapa ekor sapi, yang lainnya adalah sapi-sapi sakapan.
Pekerjaan Mbok Wayan kalau diiklankan di koran mungkin kategori pekerja serabutan; pada musim panen dia jadi buruh derep, pada saat yang lain dia jadi buruh angkat pasir, lalu buruh angkut batako; buruh apa saja, semua pekerjaan diambilnya, yang penting ada penghasilan dan di sore hari bergiliran dengan suaminya; pekerjaan tetapnya adalah memotong rumput! Sebenarnya pekerjaan tetap Mbok Wayan adalah Pemotong rumput untuk sapi-sapinya!
Tentu saja sulit membayangkan di daerah perkotaan seperti di Bali ini ada keluarga yang keadaannya seperti Mbok Wayan, pemburu rumput di pinggiran kota, yang setiap hari menyaksikan sawah-sawah lenyap berubah jadi perumahan ataukah villa. Setiap hari bergulat dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lainnya!
Dengan tubuh kurus lampai, Mbok Wayan memang jauh nampak lebih tegar dan kukuh dibandingkan suaminya, yang memang hanya bisa senyam-senyum jika ditanya sesuatu, "suami tiang, buta huruf….tiang baru tamat SD, lalu jadi buruh galian C di Kelungkung, di situ tiang ketemu dia…Lalu setelah anak pertama lahir, pindah ke sini…" Riwayat Mbok Wayan dengan mudah terekam dalam ingatanku, hampir setiap sore dia mampir, duduk sejenak dan bertanya padaku secara rutin, apa ada yang perlu dia bantu? atau adakah yang harus dia kerjakan? Kadang Mbok Wayan hanya datang untuk cerita ngalor ngidul, dari soal kenapa tidak pasang bendera di hari Tujuh Belas Agustus; yang dijelaskannya dengan lugu, "Tiang bukan petinggi, dan hanya buruh, apa pentingnya pasang bendera?" Atau suatu hari di ‘musim’ pemilu, Mbok Wayan setiap siang memanggilku dari balik pagar dengan bangga memamerkan baju-baju kaosnya, "ini hasil sekali kampanye! Berangkat ikut ke lapangan dapat kaos, dapat beras dan uang saku, dua puluh ribu!" Teriaknya dengan girang, artinya, ada dua puluh ribu dikalikan empat setiap kali berangkat kampanye! Sebab kedua anak Mbok Wayan diikutsertakan dalam hitungan jumlah kepala yang dikumpulkan oleh seorang pengempul massa, seorang calo yang katanya tidak menjadi anggota partai manapun tetapi disayangi oleh semua orang penting. Entah siapa namanya orang itu, yang penting bagi Mbok Wayan dapat upahnya! Satu orang, bayarannya satu paket! Namun lucunya, saat hari pemilihan tiba, Mbok Wayan sekeluarga tidak memilih, sebab tidak terdaftar dimana-mana; keluarganya di desa mengira Mbok Wayan didaftarkan di kota, sebaliknya Mbok Wayan mengira didaftarkan di desa, karena tak punya HP, jadinya saling duga menduga mengenai daftar mendaftar di pemilu itu; hasilnya pada hari pemilihan Mbok Wayan sibuk seharian mengurus sapi-sapinya di pondok, dia bilang kepadaku, tidak berani ke luar rumah, takut ditanya-tanya oleh masyarakat sekitar; soal dimana dia menggunakan hak pilih, sedangkan suaminya, jelas tidak berminat untuk menggunakan hak pilihnya, alasannya jelas; dia malu kalau ketahuan buta huruf, sebab tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap kertas pemilihan umum yang menurutnya rumit dan memusingkan!
Empat tahun lebih aku bertetangga dengan Mbok Wayan, aku kenal sifatnya, kenal keuletannya dan selalu ringan tangan menolongku; dari membeli canang sampai membuangkan sampah. Selalu, Mbok Wayan berkata dengan gayanya yang khas, "sama Ibu Cok saja tiang berani meminta…" Ucapnya seringkali disertai dengan tawa lepas, dan jujurnya aku merasa itu sebuah pujian luar biasa, sebab aku merasa tak banyak menolongnya, yang dapat kulakukan hanyalah berbagi sedikit dengan mbok Wayan; dari baju bekas sampai sisa lauk pauk kadang nasi basi yang dijemur kering untuk makanan ayamnya. Sebaliknya, Mbok Wayan pun sering memberiku pisang atau pepaya dari hasil menanam di sebelah pondoknya, yang menurut dia tidak pernah menghasilkan buah yang bagus karena selalu terserang virus. Jadi menurutku hubungan kami pertemanan yang menyenangkan, sangat menyenangkan. Mbok Wayan tidaklah mau menerima pemberian begitu saja, selalu dia pun mengimbangi dengan membagi miliknya kepadaku. Ah, Mbok Wayan, aku ikut jatuh risau, jika dalam jangka dua minggu, dia tak dapat tempat tinggal, bagaimana nasib anak-anaknya? Sapi? Ayam? Dan juga anjing-anjingnya?
"Aduh, tiang akhirnya dapat meminjam tanah untuk sapi-sapi tiange, tapi anak-anak yang punya tanah meminta sewa…Setahun satu setengah juta." Tutur Mbok Wayan dengan suara datar, tetap membuat wajahku berubah seketika, entah, apakah aku sedih ataukah senang, kabar itu disampaikannya beberapa hari kemudian sambil mengikat-ikat sampah dalam tas plastik di halaman rumahku. Namun belum sempat aku bertanya apa-apa soal tempat tinggal untuk sapi-sapinya itu, aku dan Mbok Wayan serentak menoleh berbarengan ke arah jalan; deru dua buah truk lewat dengan buruh-buruh di dalam baknya, membuat aku dan Mbok Wayan hanya memandang, berhenti bicara, hilang komentar. Segera kulihat buruh-buruh itu sigap melompat dari truk, dengan cekatan bergerak lalu suara gergaji terdengar nyaring; mereka memotong rimbun bambu di sekitar pondok Mbok Wayan, "yang punya tanah akan membangun villa…" Ucap Mbok Wayan memecah kebisuan, suaranya tetap datar, bibirnya nampak mengering kini.
Aku mengalihkan pandangan, berusaha untuk tak berkomentar, Mbok Wayan kembali memunguti sampah dan tentulah sambil masih memikirkan mesti pindah kemana?….. Sedangkan suaminya yang lambat itu tentu tetap masih kukuh tak mau kembali ke desa, begitu pula anaknya yang sulung, yang baru saja masuk sekolah kelas satu es-em-pe, mendukung sikap bapaknya: menolak pindah ke desa….
Mbok Wayan tak perlu menjelaskan kepadaku, pastilah dia yang harus berkeliling mencari calon tempat tinggal yang cocok, tidak hanya untuk diri dan keluarganya, tapi juga untuk ayam, sapi dan anjingnya, sedang suaminya hanya diam di rumah, "suami tiang penakut, tak berani bicara sama orang lain, selalu takut!… Bahkan kalau kenaikan kelas anak-anak, tiang juga yang harus ke sekolah, sebab dia takut nanti disuruh tanda tangan…"
Aku risau, tak berdaya, tak habis pikir, hilang akal dan komentar. Setiap senja aku menunggu kedatangan Mbok Wayan. Berpikir-pikir terus, bisakah Mbok Wayan pindah sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan? Sungguh, aku tak tahu mesti bagaimana. Setiap senja kulepas pandangan ke arah pintu gerbang, menanti kedatangan Mbok Wayan, yang selalu dengan suara datar memanggil namaku, mendorong pintu gerbang dengan derit yang nyaris mirip suara gesekan besi karatan. Setiap hari berganti, disaat bangun pagi, aku dilanda kerisauan; duh, semoga Mbok Wayan mendapatkan tempat tinggal yang baru…
Ah, akhirnya.
Akhirnya…..Mbok Wayan, suami, anak-anaknya serta ayam, sapi dan delapan ekor anjing kacang itu dapat tempat tinggal baru! Dengan sumingrah Mbok Wayan mengabarkan kepadaku bahwa di tempat tinggal barunya nanti, dia tak perlu lagi bayar listrik dan air, "tiang dapat kerja, jadi buruh membuat batako…" Jelasnya singkat, nah! Nah! sapi-sapinya pun telah mendapatkan tempat tinggalnya, entah dengan bayar sewa ataukah tidak, yang pasti suatu pagi barisan sapi melewati jalan depan rumah sewaanku, Mbok Wayan dan suaminya mengiringi di belakang dengan wajah yang begitu riang. Namun masalah yang lain masih memusingkannya, bagaimana nasib para anjing dan ayam-ayamnya? Sebab dua mahluk itu tak mau sukarela meninggalkan tempat lamanya. Maka demi dua mahluk itu, setiap senja Mbok Wayan datang untuk bujuk membujuk, saling kejar-kejaran dengan suami serta anak-anaknya menangkapi ayam-ayam, lalu setiap senja pula satu per satu anjing-anjing itu mulai sadar akan juragannya yang tidak lagi berdiam di sana….
Sepi. Hatiku sungguh sepi.
Pondok itu pun kemudian sepi, tanah sekitarnya dengan cepat merimbun oleh semak-semak, tak terurus, pohon pisang mulai menghilang, papaya meranggas berganti dengan semak belukar yang jelas mengundang ular-ular membangun sarang. Setiap hari, aku melihat ke arah pondok itu, rumah Mbok Wayan dahulu. Dan selalu membuat alisku berkerut, membuatku berpikir-pikir, sebab hingga tahun baru datang berganti, tak juga-juga ada villa di bangun di sana.
Saat senja kembali tiba, ketika Mbok Wayan singgah seperti biasa, aku menanyakan soal villa itu, "kok villanya belum dibangun, Mbok?"
Jawaban Mbok Wayan seperti biasa dengan suara yang datar, "Tiang belum ketemu pemilik tanahnya, nanti kalau ketemu, tiang akan minta izin lagi untuk kembali tinggal di sana…" dengan mata penuh harap Mbok Wayan memandangi hamparan semak belukar, "jadi buruh batako itu, berat dan menghabiskan waktu…Tiang tak bisa kemana-mana, cari rumput pun hanya bisa di waktu malam!"
Ah, Mbok Wayan, perempuan yang satu ini, sungguh-sungguh memiliki tempat dihatiku! Tak dia persoalkan bagaimana kepindahannya yang dulu begitu tergesa-gesa, yang membuatnya pusing berhari-hari, yang dibatasi oleh jangka waktu! Kini, dengan mata penuh harap, dia tak peduli villa itu dibangun ataukah tidak, atau itu cuma alasan untuk mengusirnya dari tanah itu. Mbok Wayan tetap merasa nyaman jika diperbolehkan kembali bertempat tinggal di pondok itu. Aku tak berani menyahuti, tak berani mengingatkannya, biarlah dia setidaknya memiliki harapan, terasa pedih jauh di dalam hatiku, sebab harapan itu sungguhlah tipis, sungguhlah kelam seperti senja yang akan berlalu.
Kini, setiap senja, Mbok Wayan melintasi jalan di depan rumahku sambil tetap berharap-harap bertemu dengan pemilik tanah…..Berharap-harap diizinkan kembali menempati pondoknya itu, berharap kembali sepekarangan dengan anjing, ayam dan sapi-sapinnya…Ah, Mbok Wayan, semoga harapan itu terpenuhi, tipis sekalipun, semoga Mbok!
Note:
pengeng tiang: saya pusing
kapetengan; kekuatan mistik
amun lacur, jeg keweh percayainne: kalau miskin, susah mendapat kepercayaan
penyakap sampi : pemelihara sapi dengan upah bagi hasil
derep: memotong padi
pengkung; keras kepala
tiang: saya
anjing kacang: anjing kampung
"Ah, beginilah amun lacur, jeg keweh percayainne…." Ucapnya lagi dengan suara datar, apalagi saat melihatku yang tak bereaksi. Aku diam karena masih terkejut, aku juga berpikir-pikir risau, kemana Mbok Wayan akan pindah? Entahlah.
"Balik ke desa, mbok?" Tanyaku kemudian setelah menarik nafas dengan berat. Aku tahu, Mbok Wayan masih ada keluarga di desa begitu pun suaminya. Mbok Wayan menggeleng lemah, "Suami tiang tak senang kembali ke rumahnya di desa, takut katanya, di desa banyak kapetengan. Kalau ke rumah tiang, suami tiang juga tak senang, malu sama keluarga tiange. Pengeng tiang!" Jawabnya menjelaskan sikap suaminya, lalu mata Mbok Wayan berkelebat. Bintik hitam matanya menahan getir, nampak pelahan makin memuram wajahnya, dahinya berkerut-kerut. Memuramkan pula hatiku, sebab tak akan bisa menolongnya. Aku pun hanya seorang penyewa di daerah sini, daerah perumahan di pinggiran kota di pulau Bali, pulau tujuan wisata dunia. Bedanya, aku menyewa rumah, sedang Mbok Wayan penyakap; menyewa tempat tinggal dengan jerih tenaganya; mengurus tanah, berupa ladang kering yang luasnya kira-kira sepuluh are. Konon, pemiliknya orang kaya raya, yang tak sudi menjual tanahnya, demikian banyaknya punya tanah, sehingga tak terurus lalu Mbok Wayan memberanikan diri mengajukan dirinya menjadi penyakap, itu cerita lama, saat anak sulungnya masih berumur tiga bulan, masih berupa bayi merah.
"Coba bicara lagi sama suami, Mbok. Siapa tahu, dia berubah pikiran!" ---Kembali ke desa mungkin jalan ke luar yang terbaik. Namun Mbok Wayan tertawa kecil menanggapi usulanku itu, sambil menghela nafas, telunjuknya tetap menekan-nekan pelipis, dia berkata dengan suara serak, "Suami tiang anak pengkung, penakut, sudah begitu tak mau dia ikut membantu mencari tempat tinggal yang baru, tiang saja yang keliling mencari-cari…." Mbok Wayan menghentikan perkataannya, tersenyum jengah, wajahnya adalah wajah orang kalah, mengandung keringat ketidakberdayaan, "dari mana ya dia dapat sifatnya itu, sudah bodoh, pengkung! Mungkin dari ayah mertua tiang ya? Mertua tiang begitu memang sifatnya, malas dan pelit! Tidak peduli dengan keluarga!"---Ah, Mbok Wayan masih dengan suara memaklumi, memahami benar keadaan suaminya yang telah memberinya dua orang anak. Segala keluhan tentang suaminya tidaklah bentuk ketidakpuasan, hanya gerutuan sayang, yang kadang membuatku jengkel mendengarkannya, karena Mbok Wayan punya banyak alasan untuk tetap membela sifat suaminya yang memang pemalas dan lambat!
Yah! Suami Mbok Wayan, menurutku, memang sedikit berbakat membangkitkan mengkal hati, dia tipe lelaki yang lambat, tetapi tidak benar-benar bodoh! Dan dimata Mbok Wayan, suaminya itu tetap bertanggungjawab sebab setiap hari, suaminya itu masih mau menghantar-jemput anak-anaknya sekolah; dengan naik motor bekas yang dibeli oleh Mbok Wayan dari hasil menjual seekor sapi, "setelah delapan tahun jadi penyakap sampi, baru tiang punya seekor…" Dan sekarang Mbok Wayan telah punya beberapa ekor sapi, yang lainnya adalah sapi-sapi sakapan.
Pekerjaan Mbok Wayan kalau diiklankan di koran mungkin kategori pekerja serabutan; pada musim panen dia jadi buruh derep, pada saat yang lain dia jadi buruh angkat pasir, lalu buruh angkut batako; buruh apa saja, semua pekerjaan diambilnya, yang penting ada penghasilan dan di sore hari bergiliran dengan suaminya; pekerjaan tetapnya adalah memotong rumput! Sebenarnya pekerjaan tetap Mbok Wayan adalah Pemotong rumput untuk sapi-sapinya!
Tentu saja sulit membayangkan di daerah perkotaan seperti di Bali ini ada keluarga yang keadaannya seperti Mbok Wayan, pemburu rumput di pinggiran kota, yang setiap hari menyaksikan sawah-sawah lenyap berubah jadi perumahan ataukah villa. Setiap hari bergulat dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lainnya!
Dengan tubuh kurus lampai, Mbok Wayan memang jauh nampak lebih tegar dan kukuh dibandingkan suaminya, yang memang hanya bisa senyam-senyum jika ditanya sesuatu, "suami tiang, buta huruf….tiang baru tamat SD, lalu jadi buruh galian C di Kelungkung, di situ tiang ketemu dia…Lalu setelah anak pertama lahir, pindah ke sini…" Riwayat Mbok Wayan dengan mudah terekam dalam ingatanku, hampir setiap sore dia mampir, duduk sejenak dan bertanya padaku secara rutin, apa ada yang perlu dia bantu? atau adakah yang harus dia kerjakan? Kadang Mbok Wayan hanya datang untuk cerita ngalor ngidul, dari soal kenapa tidak pasang bendera di hari Tujuh Belas Agustus; yang dijelaskannya dengan lugu, "Tiang bukan petinggi, dan hanya buruh, apa pentingnya pasang bendera?" Atau suatu hari di ‘musim’ pemilu, Mbok Wayan setiap siang memanggilku dari balik pagar dengan bangga memamerkan baju-baju kaosnya, "ini hasil sekali kampanye! Berangkat ikut ke lapangan dapat kaos, dapat beras dan uang saku, dua puluh ribu!" Teriaknya dengan girang, artinya, ada dua puluh ribu dikalikan empat setiap kali berangkat kampanye! Sebab kedua anak Mbok Wayan diikutsertakan dalam hitungan jumlah kepala yang dikumpulkan oleh seorang pengempul massa, seorang calo yang katanya tidak menjadi anggota partai manapun tetapi disayangi oleh semua orang penting. Entah siapa namanya orang itu, yang penting bagi Mbok Wayan dapat upahnya! Satu orang, bayarannya satu paket! Namun lucunya, saat hari pemilihan tiba, Mbok Wayan sekeluarga tidak memilih, sebab tidak terdaftar dimana-mana; keluarganya di desa mengira Mbok Wayan didaftarkan di kota, sebaliknya Mbok Wayan mengira didaftarkan di desa, karena tak punya HP, jadinya saling duga menduga mengenai daftar mendaftar di pemilu itu; hasilnya pada hari pemilihan Mbok Wayan sibuk seharian mengurus sapi-sapinya di pondok, dia bilang kepadaku, tidak berani ke luar rumah, takut ditanya-tanya oleh masyarakat sekitar; soal dimana dia menggunakan hak pilih, sedangkan suaminya, jelas tidak berminat untuk menggunakan hak pilihnya, alasannya jelas; dia malu kalau ketahuan buta huruf, sebab tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap kertas pemilihan umum yang menurutnya rumit dan memusingkan!
Empat tahun lebih aku bertetangga dengan Mbok Wayan, aku kenal sifatnya, kenal keuletannya dan selalu ringan tangan menolongku; dari membeli canang sampai membuangkan sampah. Selalu, Mbok Wayan berkata dengan gayanya yang khas, "sama Ibu Cok saja tiang berani meminta…" Ucapnya seringkali disertai dengan tawa lepas, dan jujurnya aku merasa itu sebuah pujian luar biasa, sebab aku merasa tak banyak menolongnya, yang dapat kulakukan hanyalah berbagi sedikit dengan mbok Wayan; dari baju bekas sampai sisa lauk pauk kadang nasi basi yang dijemur kering untuk makanan ayamnya. Sebaliknya, Mbok Wayan pun sering memberiku pisang atau pepaya dari hasil menanam di sebelah pondoknya, yang menurut dia tidak pernah menghasilkan buah yang bagus karena selalu terserang virus. Jadi menurutku hubungan kami pertemanan yang menyenangkan, sangat menyenangkan. Mbok Wayan tidaklah mau menerima pemberian begitu saja, selalu dia pun mengimbangi dengan membagi miliknya kepadaku. Ah, Mbok Wayan, aku ikut jatuh risau, jika dalam jangka dua minggu, dia tak dapat tempat tinggal, bagaimana nasib anak-anaknya? Sapi? Ayam? Dan juga anjing-anjingnya?
"Aduh, tiang akhirnya dapat meminjam tanah untuk sapi-sapi tiange, tapi anak-anak yang punya tanah meminta sewa…Setahun satu setengah juta." Tutur Mbok Wayan dengan suara datar, tetap membuat wajahku berubah seketika, entah, apakah aku sedih ataukah senang, kabar itu disampaikannya beberapa hari kemudian sambil mengikat-ikat sampah dalam tas plastik di halaman rumahku. Namun belum sempat aku bertanya apa-apa soal tempat tinggal untuk sapi-sapinya itu, aku dan Mbok Wayan serentak menoleh berbarengan ke arah jalan; deru dua buah truk lewat dengan buruh-buruh di dalam baknya, membuat aku dan Mbok Wayan hanya memandang, berhenti bicara, hilang komentar. Segera kulihat buruh-buruh itu sigap melompat dari truk, dengan cekatan bergerak lalu suara gergaji terdengar nyaring; mereka memotong rimbun bambu di sekitar pondok Mbok Wayan, "yang punya tanah akan membangun villa…" Ucap Mbok Wayan memecah kebisuan, suaranya tetap datar, bibirnya nampak mengering kini.
Aku mengalihkan pandangan, berusaha untuk tak berkomentar, Mbok Wayan kembali memunguti sampah dan tentulah sambil masih memikirkan mesti pindah kemana?….. Sedangkan suaminya yang lambat itu tentu tetap masih kukuh tak mau kembali ke desa, begitu pula anaknya yang sulung, yang baru saja masuk sekolah kelas satu es-em-pe, mendukung sikap bapaknya: menolak pindah ke desa….
Mbok Wayan tak perlu menjelaskan kepadaku, pastilah dia yang harus berkeliling mencari calon tempat tinggal yang cocok, tidak hanya untuk diri dan keluarganya, tapi juga untuk ayam, sapi dan anjingnya, sedang suaminya hanya diam di rumah, "suami tiang penakut, tak berani bicara sama orang lain, selalu takut!… Bahkan kalau kenaikan kelas anak-anak, tiang juga yang harus ke sekolah, sebab dia takut nanti disuruh tanda tangan…"
Aku risau, tak berdaya, tak habis pikir, hilang akal dan komentar. Setiap senja aku menunggu kedatangan Mbok Wayan. Berpikir-pikir terus, bisakah Mbok Wayan pindah sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan? Sungguh, aku tak tahu mesti bagaimana. Setiap senja kulepas pandangan ke arah pintu gerbang, menanti kedatangan Mbok Wayan, yang selalu dengan suara datar memanggil namaku, mendorong pintu gerbang dengan derit yang nyaris mirip suara gesekan besi karatan. Setiap hari berganti, disaat bangun pagi, aku dilanda kerisauan; duh, semoga Mbok Wayan mendapatkan tempat tinggal yang baru…
Ah, akhirnya.
Akhirnya…..Mbok Wayan, suami, anak-anaknya serta ayam, sapi dan delapan ekor anjing kacang itu dapat tempat tinggal baru! Dengan sumingrah Mbok Wayan mengabarkan kepadaku bahwa di tempat tinggal barunya nanti, dia tak perlu lagi bayar listrik dan air, "tiang dapat kerja, jadi buruh membuat batako…" Jelasnya singkat, nah! Nah! sapi-sapinya pun telah mendapatkan tempat tinggalnya, entah dengan bayar sewa ataukah tidak, yang pasti suatu pagi barisan sapi melewati jalan depan rumah sewaanku, Mbok Wayan dan suaminya mengiringi di belakang dengan wajah yang begitu riang. Namun masalah yang lain masih memusingkannya, bagaimana nasib para anjing dan ayam-ayamnya? Sebab dua mahluk itu tak mau sukarela meninggalkan tempat lamanya. Maka demi dua mahluk itu, setiap senja Mbok Wayan datang untuk bujuk membujuk, saling kejar-kejaran dengan suami serta anak-anaknya menangkapi ayam-ayam, lalu setiap senja pula satu per satu anjing-anjing itu mulai sadar akan juragannya yang tidak lagi berdiam di sana….
Sepi. Hatiku sungguh sepi.
Pondok itu pun kemudian sepi, tanah sekitarnya dengan cepat merimbun oleh semak-semak, tak terurus, pohon pisang mulai menghilang, papaya meranggas berganti dengan semak belukar yang jelas mengundang ular-ular membangun sarang. Setiap hari, aku melihat ke arah pondok itu, rumah Mbok Wayan dahulu. Dan selalu membuat alisku berkerut, membuatku berpikir-pikir, sebab hingga tahun baru datang berganti, tak juga-juga ada villa di bangun di sana.
Saat senja kembali tiba, ketika Mbok Wayan singgah seperti biasa, aku menanyakan soal villa itu, "kok villanya belum dibangun, Mbok?"
Jawaban Mbok Wayan seperti biasa dengan suara yang datar, "Tiang belum ketemu pemilik tanahnya, nanti kalau ketemu, tiang akan minta izin lagi untuk kembali tinggal di sana…" dengan mata penuh harap Mbok Wayan memandangi hamparan semak belukar, "jadi buruh batako itu, berat dan menghabiskan waktu…Tiang tak bisa kemana-mana, cari rumput pun hanya bisa di waktu malam!"
Ah, Mbok Wayan, perempuan yang satu ini, sungguh-sungguh memiliki tempat dihatiku! Tak dia persoalkan bagaimana kepindahannya yang dulu begitu tergesa-gesa, yang membuatnya pusing berhari-hari, yang dibatasi oleh jangka waktu! Kini, dengan mata penuh harap, dia tak peduli villa itu dibangun ataukah tidak, atau itu cuma alasan untuk mengusirnya dari tanah itu. Mbok Wayan tetap merasa nyaman jika diperbolehkan kembali bertempat tinggal di pondok itu. Aku tak berani menyahuti, tak berani mengingatkannya, biarlah dia setidaknya memiliki harapan, terasa pedih jauh di dalam hatiku, sebab harapan itu sungguhlah tipis, sungguhlah kelam seperti senja yang akan berlalu.
Kini, setiap senja, Mbok Wayan melintasi jalan di depan rumahku sambil tetap berharap-harap bertemu dengan pemilik tanah…..Berharap-harap diizinkan kembali menempati pondoknya itu, berharap kembali sepekarangan dengan anjing, ayam dan sapi-sapinnya…Ah, Mbok Wayan, semoga harapan itu terpenuhi, tipis sekalipun, semoga Mbok!
Note:
pengeng tiang: saya pusing
kapetengan; kekuatan mistik
amun lacur, jeg keweh percayainne: kalau miskin, susah mendapat kepercayaan
penyakap sampi : pemelihara sapi dengan upah bagi hasil
derep: memotong padi
pengkung; keras kepala
tiang: saya
anjing kacang: anjing kampung
No comments:
Post a Comment