Ngembak gni, Kenapa gni?

Ngembak secara rasa bahasa Bali artinya dimulainya perubahan, kata ini juga dipakai untuk menandai pertumbuhan jakun anak lelaki disebut 'ngembakin': tanda beranjak dewasa, juga diartikan mulai mengalir, mulai tampak. Dan Gni dalam tradisi Hindu Bali adalah tak sekedar api. Dalam kitab Sasrasmuscaya dituliskan dengan indah mengenai agni ini: "...manglelana amuja ring Sang Hyang Tryagni ngaranira Sang Hyang Apuy Tiga, praktyakanya, ahawaniya, grhaspatya, citagni, ahanidha ngaranira apuy ring asuruhan, rumateng I pangan, grhyapatya ngaranira apuy ring winarang, apam agni saksika kramaning winarang ikalaning wiwaha, citagni ngaranira apuy nring manusawa, nahan ta sang hyang tryagni ngaranira sirata puja..." arti bebasnya yakni: taat memuja kepada tiga api suci yang digelari Tryagni; yaitu ahawanya, grhaspatya dan citagni. Ahawanya artinya pemasak makanan, grhaspatya artinya api upacara perkawinan, sebagai saksi, citagni artinya api pembakar jenazah. Itulah tiga api suci, api itu harus dihormati dan dipuja.

Api juga disebut sebagai sang pemimpin (agne naya); juga sebagai pendeta (purohitam) sebab Ida Sang Hyang Widi Wasa telah mengizinkan adanya matahari, sifat tuhan yang tak terbantahkan dalam diri api yakni sebagai saksi semesta.Demikian pula seorang pendeta dalam memimpin upacara akan mewujudkan diri sebagai Siwa Raditya dengan cara menghidupkan astra dupa dipa mantra; inilah yang memimpin upacara itu. Dalam konteks sastra dupa adalah aksara tattwa dan dipa adalah sakti tattwa, sebab datangnya dupa dari alam semesta, sedang dipa dari ardha candra gunanya untuk meneguhkan, memantapkam, menajamkan sembah. Ardha candra adalah hulu lambng purusa dari ongkara sedang Omkaranya lambang pradana. Perhatikan weda pedenta disaat melaksanakan surya sevana di pagi hari; yang disebut mantra asep; itulah seruan suci memohon kepada dewa agni untuk menyucikan dan mempersilahkan memimpin upacara.

Ajaran suci mengenai agni itu juga nampak pada tri sadaka; sang katrini; tiga pendeta sebagai pemimpin upacara di bali; ketiga dianugrahi senjata yakni sang siwa senjatanya agni angalayang, sang budha geni sinarasara, sang bujangga bersentakan Gnisara. Dengan gni itu, ketiganya menyucikan tri bhuwana, di sebut juga dengan tri bhuwana katon (usana bali). Dalam tradisi yang lebih tua lagi, bagaimana pemangku melakukan 'sehe' dalam lontar Gagelaran pemangku: "pukulun paduka bhatara brahma, bhatara wisnu, bhatara iswara, bhatara mahadewa, bhatara siwa, bhatara sadasiwa, bhatara paramasiwa, bhatara triguna sakti, bhatara maka lingganing bhuwana kabeh, malingga ring kahyangan iriki, punika pedekan para sedahan anguntap manuhur paduka bhatara dewa gana. Malejeg sang hyang homa ring kukus menyan, majagau, cendana, tumedun pada paduka bhatara bhatari ring kahyangan sakti"

Karena api ini pula arah sembahyang ke arah timur; ke arah matahari terbit, sebab matahari adalah segala sumber api; dia sang pemimpin upacara, pemimpin sembahyang, saksi yang tidak terbantahkan. Bayangkan jika hidup tanpa matahari (?). begitu pula arah tidur; kepala dianjurkan mengarah ke arah timur. Begitu pula sarana api linting, yang biasanya setiap sore dinyalakan di penjor saat galungan tiba; sayangnya tradisi ini sering dilupakan, tradisi menyalakan linting di senja hari di bagian sanggah penjor; yang tujuannya tiada lain; terus menerus mengingatkan mengenai tujuan hati dalam proses hidup ini.

Kisah agni ini memang tak sederhana; bahwa api juga dilambang sebagai nafsu yang berkobar-kobar, tak kenal siapapun disaat murka; akan menghancurkan apapun tanpa kenal ampun. Agni juga mendapat gelaran sarwa baksa; pemakan segalanya. Namun jika api dipahami maka seperti api takep, yang dibuat dari dua belah serabut kelapa, dasarnya ada tapak dara; lambang harmoni inilah juga oleh para cendekiawan disebut Yoga Jiwatman; yang menolak dari segala godaan. Dikenali pula prakpak dan obor; keduanya adalah penenang bhuta kala, penunjuk arah kemana bhuta kala itu harus menuju, kemudian dikenal pula api tetimpug, dibuat dari tiga potong bambu, jika bambu itu dibakar akan menimbulkan ledakan; namun syaratnya di ujung bambu itu dibuatkan sampian; symbol bahwa bambu itu telah dihidupkan. Kemudian dikenali pula api tabunan; serupa dengan api unggun, digunakan sebagai penyucian darah yang tercecer karena kecelakaan; darah yang menetes diyakini dalam tradisi bali akan hidup sebagai kekuatan jahat. Dari sejak lahir hingga mati; maka sang api ini akan terus membantu, menemani; bahkan pemberian nama bayi pun di bali ditentukan oleh pilihan nyala linting. Tradisi lama ini sangat menarik dimana calon nama bayi digantungkan di batang linting; lalu dinyalakan, mana pilihan nama yang terakhir terbakar; itulah nama si bayi.

Karena itulah; usai nyepi, hari pertamanya disebut ngembak gni;....memasuki perubahan dengan agni sebagai pemimpinya. Sebuah harapan akan kebaikan kelahiran, arah perubahan dalam hidup ini…selamat tahun baru icaka, semoga damai di hati di bumi dan semesta.
XQHD8FP2CV6G

No comments:

Post a Comment