Matinya Penguasa

KALAPA (Matinya Penguasa)
sebuah novel

 BAGIAN I
     Disambut tamparan ombak yang tak henti, Jukung yang membawa Ki Juluk merayap mendekati batas teluk, makin dangkal lautan, tamparan ombak menjadi tempias yang mengalir, seperti barisan riuh yang tak henti-henti  menyoraki badan jukung; seperti suara geraman angin yang kehilangan akal sebab Jukung jadi berayun-ayun seakan tak beranjak, diam tergantung di air, tak juga maju-maju bergerak; ah, jarak daratan seakan tetap demikian jauh; kadang Ki Juluk merasa jukung digeser kesamping ditarik tempiasan ombak atau terasa mundur seperti ada tali yang diseret seribu tanganyang kuat.
     Ki Juluk merapatkan kain yang bergerak mau lepas, kembali dirapatkan agar menutupi kepala sampai pusar, kain tenun berwarna hitam yang tidak kering lagi, telah lembab oleh percikan air laut. Di langit, masih penuh bintang. Sungguhlah menakjubkan kegelapan malam di laut, sebab dimata justru benderang; sebaliknya, yang membuat gigir hati adalah kesenyapan, yang sesekali  menyelinap, seperti sekat menahan kecipak air, lalu anginakan menjerit halus mengundang kembali gemuruh angin memekakan telinga; saat seperti itu, rasa asing menyergap pikiran; rasa sunyi mencekam hati mengundangrasa takut, membuat tubuh menciut, menjadi kecil dihamparan laut luas yanggagah melepas gemuruhnya.
     Ki Juluk melepas pandangannya, berusaha menembus kegelapan, mencari kerlip-kerlipcahaya  untuk menenangkan hati:itukah Kalapa? Dadanya berdebar penuh harap, mulutnya terasa demikian kering,kulitnya terasa kebas karena didera rasa dingin. Ki Juluk meluruskan kakinya, berusaha duduk tegak di selang kayu, lalu, dengan mata setengah memincing karena angindingin terus menerus menampar wajahnya. Ki Juluk berusaha menatapi  tukang jukung di ujung seberang yang damai tertidur ; hampir tidak perduli pada jukung ini, apakah  masih bergerak ataukah sudah terseretarus.
     Ki Juluk menghembuskan nafasnya kuat-kuat lalu mengedarkan pandangannya.  Dibuangnya gundah dengan memperhatikan airlaut yang mulai meriak meninggi seakan hendak berlomba melompat ke dalam jukung.Ini tanda-tanda pagi mendekat, pikir Ki Juluk  sedikit lega, makin lega saat mendengar kecipak air yang kianlama kian jelas terdengar, jukung mulai dihempas-hempas sehingga bergerak oleng,membuat air laut dengan tak henti menepias masuk ke dalam membasahi kaki.  Ki Juluk segera menguras air sambil mencari dari mana arah datangnya matahari; yang didapatinya angin kian rajin mendera wajahnya hingga berderit daun telinga; tak juga ada tanda-tanda dimanakah arah terbitnya matahari. Rasa dingin tak lagi membuat gigi gemeletuk tetapi membuat jemari kemas menahan gemetar. Ki Juluk mencari-cari pematik api di bawah selangkayu. Kini, ia mahir menyalakan api dalam hempas angin laut; dekatkan pematik ke permukaan air, maka hempas angin tak akan menepias percik api. Tak berapalama batang jagung kering itu terbakar, segera ia masukan ke dalam tungku,menimbuni dengan arang kayu.
     Isi jukung ini hanya gentong air ukuran sedang, yang dibebat tali rotan dan diikat erat secara terpentang kekiri dan ke kanan kemudian cekel-cekel dari buah wila kering  yang diisi penuh air, digantungkan berenteng disisi badan jukung lalu bekal yang lain adalah garam, gula aren dan arang kayubeserta tungku kecil yang dibebat sedemikian rupa agar tidak melompatkemana-mana; kini air di semua cekel telah habis;  isi gentong tinggal sedikit, masih ada gula aren dan garam.
Pastilah pagi kian mendekat.
     KiJuluk merasakan rasa dingin menusuki tulang, giginya mulai gemeletuk saat tungku mulai menghembuskan asap,"Mungmang…." Ki juluk menggoyangkan tubuh si tukang jukung dengan ujungkakinya,"banyak jukung di depan…."
Mungmang dengan malas menggeliatkan tubuhnya. Masih terpejam, ia sudah tersenyum lebar lalu membuka mata dan  menatap Ki Juluk dengan mesra.
     KiJuluk menghela nafas,menahan gejolak dalam hatinya. Tiga hari belakangan inisaat jukung  tak lagi merapat dipantai manapun, mulai mengarungi laut dalam, entah apa sebaabnya,  Mungmang merayu-rayu Ki Juluk sepertikemasukan setan,"apakah kita sudah dekat dengan Kalapa?" tanya Ki Juluk dengankaku.
     Mungmang tidak menyahut, ia malah melongokkan kepala ke luar, menarik satu utas tali lalu menghentakkannya ke atas menarik beberapa ekor ikan, yang tak sempat melepaskan diri telah menggelepar di dekat tungku,selalu mendatangkan rasa kagum di hati Ki Juluk, bagaimanakah caranya ikan-ikan itu tergoda mengikuti tarikan seutas tali milik Mungmang?
     "Sebaiknya kita makan dulu,nantilah kita akan tahu, di pelabuhan mana kita akan merapat…"suara Mungmang sayup terdengar karena ditindih angin. Kecipak air makin menderas meninggalkan percik di kulit. Ki Juluk mendengus menggetok kepala ikan dengan potongan arang kayu, kemudian meletakkan ikan-ikan di atas tungku. Mungmang mengeluarkan dayungnya,"bersikaplah sebagai nelayan…" memberi isyarat  saat beberapa jukung lain mulai mendekat.Dengan cepat Mungmang memunggungi Ki Juluk, menghadap  ke depan dengan dayung di kedua tangan, Ki Juluk menariknafas lega untuk sesaat bebas dari serbuan mata Mungmang, yang tiga haribelakangan ini menciutkan hatinya.
     Mungmangmelepaskan jaring dan tali-tali, menyalakan pelita yang minyaknya seakan takpernah habis. Sikapnya benar-benar sebagai  nelayan. Menarik jaring berulangkali, memenuhi badan jukung dengan berbagai macam ikan.
     "Untuk apa semua ikan ini?" Ki Juluk bertanya heran namun Mungmang menyahut dengankedikan kepala memberi isyarat untuk tak banyak bertanya. Tugas Ki Juluk terusmengayunkan dayung, menyisir diantara arus yang hendak menarik jauh Jukung untukkembali ke tengah laut. Pelahan rasa dingin berganti, desau panas mulai menyapakulit. Matahari ternyata terbit dari arah punggung. Mungmang mematikan pelitadan dengan satu tangan mencokot seekor ikan yang baru masak setengah matang,ikan segar memang terasa manis, jauh berbeda bila ikan-ikan ini sudah sempat disinggah di darat, tak ada lag icecap manisnya di lidah. Ki Juluk pun mulai menggigiti seekor ikan.
     Cahaya matahari mulai mendatangkan kemilau yang gemerlap, seolah memantul dari bawah laut.  Punggung Ki Juluk terasapanas walau dari kepala sampai setengah tubuhnya masih diselimuti kain.Mungmang mengayunkan dayungnya mengikuti arus yang menuju pantai. Lalu melompatdengan tangkas, mencebur ke air.
     Ki Juluk terpana saat melihat Mungmang dengan begitu kuat mendorong jukung mendekati tepi pantai. Tak lama sebelum Ki Juluk sempat berpikir apa yang mesti dilakukan, para pembeli ikan telah mendekat, melongok-longok ke dalam jukung.
Mungmang dengan cekatan menarik jukung hingga menjauh dari tempiasan air. Ki Juluk menangkap isyarat dari Mungmang agar bersikap sebagai nelayan, ia pun melompat dan segera menarik cekel-cekel memasukan ke dalam jukung.
     Para pembeli ikan mulai berlomba membujuk Mungmang untuk menjual ikan secara borongan. Mungmang awalnya pura-pura tidak setuju, membiarkan para pembelimendesaknya dulu dengan berbagai bujukan. Akhirnya, keranjang-keranjang ikan itu datang, dua lelaki muda dengan cekatan melompat ke dalam jukung,memindahkan ikan ke dalam dua keranjang dalam sekejap mata. Entah berapa kepeng Mungmang dapat jualan; di semua pelabuhan menggunakan mata uang kepeng, mata uang cina; seribu kepeng sama dengan satu kepeng perak, seribu kepeng perakmenjadi dua kepeng emas; bisa dipakai beli sepetak sawah.
     Mungmang mendekati Ki Juluk,"bawalah buntalanmu, masukan dalam keranjang…" Rasa gerah yang aneh mulai dirasakan Ki Juluk, matahari pagi lebih terasa menyengat sebab tubuh lekat oleh garam. Mata Mungmang tak lagi membuatnya ciut, kini datar dan beku seperti wajah nelayanyang baru pulang melaut.
    Dengan terseok Ki Juluk mengikuti langkah Mungmang, tak bisa memandangi barisan perahuyang  berjejer, bersandar rapidengan bayangan-bayangan di air ; indah sekali nampak dimata saat matahari menyeruak diantara pancang-pancang  tiangnya; dengan tangga-tangga tali yang dijulangkan kelangit. Ki Juluk tak sempat ternganga mengagumi, sebab harus bersikap sebagai nelayan, yang terbiasa melihat keadaan pelabuhan. Masih ada lain hari untuk melihat-lihat isi Pelabuhan Kalapa,"hati-hati membawa keranjangmu, di sini banyak perogoh dan  pencopet!" Mungmang  sigap menjejeri langkah Ki Juluk saat memasuki pasar pelabuhan, yang  keriuhannya disertai desir bau amis  menyengat.
     Mungmang memang bukan sembarang tukang jukung, ia seorang pemating laut yang telah teruji, prajurit penyerbu yang telah bersumpah mati, tanpa  ragu memasuki lorong diantara sesaknya para pedagang dan para pembeli.
     Akhirnya  langkah kaki ke luar dari keriuhan pasar, memasuki jalan sepi, menjauhi keriuhan dan sengatan bau amis.  Kini,Ki Juluk tertegun, betapa luasnya Pelabuhan Kalapa.
     "Kitamemutar…Kalau lewat gerbang, banyak Bayangkara …" Jelas Mungmang sambil terusmelangkah ke depan mendahului Ki Juluk yang masih tertegun.  Entah kapan Mungmang mengetahui selukbeluk jalan jalan pintas di Pelabuhan Kalapa; Ki Juluk di bawa melewati ladang-ladangkelapa, melompati parit-parit yang airnya rembesan air payau. Tanpa sempat banyak bertanya, saat Ki Juluk merasa sudah teramat lelah, Mungmang berkatapendek,"itu pondok istriku…"
     Ki Juluk menegakkan tubuh dengan nafas terengah, memandangi pondok yang ditunjuk Mungmang, yang satu pastilah dapur sebab atapnya hitam kelam, pondok yang lainbarulah pondok istri Mungmang.
     "Wari…..Wariii…"Sambil memanggil-manggil Mungmang mengajak Ki Juluk memasuki halaman pondok. Bautai babi menghembus sedikit menyengat dan kokok ayam yang terkejut sejenak mendatangkan suara riuh, tidak ada yang menyahut.
      Mungmang dengan cekatan menarik pintu bamboo dapur, melongok-longok ke dalam," Warimungkin ke pasar…" gumamnya menjelaskan mengapa tidak ada orang di dapur.Mungmang tak menemukan istrinya, pondok yang lain pintunya terikat tali.
KiJuluk hanya mengangguk, kakinya lemas dan mulutnya terasa kering. Dilepasnya keranjang dari punggungnya dengan gontai.
     "Masuklah…Aku nyalakan perapian, kita mesti makan yang benar…." Ajak Mungmang kepada Ki Juluk memasuki dapur, melihat balai tikar serta bantal yang menghitam, lalu satu balai yang lain dipenuhi berbagai barang; dari kuali, keranjang sampaitali-tali utas; bahan pembuat jaring,  bertumpukan hampir berantakan. Saat Mungmang menyalakanperapian, Ki Juluk ke luar dari dapur, kepalanya berdenyut, ia membutuhkan udara segar dan berusaha meredakan rasa penat di sekujur tubuhnya. Ki Juluk melangkah tak tentu arah di halaman pondok, mengamati pondok yang setengah bangunannya dibuat dari tanah lalu dinding atasnya disambung dengan anyaman daun rumbia. Lalu mengamati babi yang mendengus-dengus mencungkil tanah dengan ujung mulutnya. Ki Juluk tersentak, bagaimana caranya      Mungmang mendapatkan pondok dan ini?  Sambil terus melangkah, Ki Julukmenerka-nerka kehidupan Mungmang. Ah, upah pemating memang tinggi; walau nasib hidupnya tidak jelas; sumpah yang mengikat para pemating sampai tujuh turunan…Mungmang,entah berapa lama sudah dikirim ke daerat Barat, entah sebagai telik sandi,entah sebagai paku pendam, dan setiap enam bulan sekali harus melaporkan dirinya ke junjungannya. Seorang pemating keterampilannya berbeda-beda. Mungmang mungkin keturunan nelayan, pastilah bagian prajurit laut yang terpilih dan barangkali pernah melakukan kesalahan sehingga dijadikan pemating, prajurityang sesungguhnya sudah dianggap mati.
     "Mungmaaang…"
     Ki Juluk tersentak, suara nyaring itu, suara perempuan, pastilah istri Mungmang,segera ia membalikkan tubuh, melihat perempuan dengan tinggi tubuh sedang,berambut tebal, berkulit langsat yang setengah berlari dengan keranjang dipunggung menuju dapur.
Taklama kemudian wajah Mungmang telah nampak dari pintu bambu dapur, menyambut kedatangan istrinya,"kemana kamu…?" Suara  Mungmang begitu keras, menyentak  di telinga Ki Juluk, entah kenapaa membuat dadanya sedikit sengal, dihelanya nafas panjang; teringat sepanjang lima haridi jukung bersama Mungmang, teringat pula saat-saat Mungmang merayu-rayu bagai orang gila. Birahi  hampir membuat Mungmang hilang pikiran.
     Ki Juluk melangkah pelahan mendekati dapur,"nah itu, si  Juluk, dia masih keluargaku…dia seorang pelukis…akan kukirim ke Dayoeh…" Kata Mungmang mengenalkan Ki Juluk kepada istrinya.
     Wari menatap Ki Juluk dengan lama, tersenyum lebar dengan mata berkedip menggoda,"pasti belum disuguhkan apapun. Hayolah, masuk ke dapur…Ada oleh-oleh makanan pasar…"
     Mungmang tertawa melihat kerikuhan Ki Juluk,"Wari…jangan kau goda dia, dia masihperjaka…anak baik-baik dia…"
"Sudahketahuan dari baunya…" Wari mencubit perut Mungmang, yang tergelak-gelak sambil menjulurkan tangan meremas payudara Wari.
Ki Juluk membuang pandangannya. Duhai, kerikuhan sungguh-sungguh membekukan tubuh KI Juluk. Namun mata Mungmang memberi isyarat agar ia menguasai diri, segera ia mendudukkan tubuhnya di lantai dapur, terasa empuk dipantat.
      Ah,lantai tanah yang dipadatkan puluhan kali, pelapis dalamnya pastilah tai sapi,makanya padat empuk dan sejuk di pantat, Ki Juluk mulai merasa agak nyamanmemandangi Wari dan Mungmang silih berganti.
     "Akulelaki beruntung, Juluk. Aku ketemu Wari saat mau beli ladang kepada Aki-nya… Ehtidak tahunya, Akinya bilang, beli ladang tapi kawini cucuku!...Wah, aku waktuitu kebingungan tapi setelah melihat dia, aku mau saja…kubayar ladang ke Akinya,aku dikawinkan dengan cucunya!" Mungmang mulai menuturkan kisah perkawinannya dengan Wari. Ditimpali Wari dengan senyum dengan senyum lebar sambil sesekali tangannya mencubit paha Mungmang.
      Ki Juluk berusaha tetap nyaman, mengarahkan pandangan ke perapian dengan kayu yang menyala, membakar pantat kuali membuat air didalamnya bergolak melepas gelembung-gelembung tipis. Dengan cekatan Wari memotong-motong jahe dan gula aren lalu memasukan ke dalam kuali, mengaduknya dengan sendok kayu sampai gulanya hancur.
Membuat air jahe tidaklah lama, tak berapa lama Wari mengaduk, bumbung bambu mulai diraihtangan kirinya, lalu dengan hati-hati Wari menyendok isi kuali dengan batokkelapa yang telah diparas halus,"minumlah. Biar tubuhmu menghangat, sebentarl agi aku masakan nasi ubi dan ikan teri…"
      "Jangan lupa sambal pedas, Wari…" Mungmang menyeruput isi bumbung bambunya. Wari terkekeh sambil melepas kerlip birahi di ujung matanya, Ki Juluk sungguh rikuh melihatsikap Mungmang dan Wari, pelahan ia bangun,"aku mau mencari angin…" Pamitnya dengan suara lemah.
     "Aduuh,pakailah pondokku untuk rebahan…" Tiba-tiba Wari melesat lincah, menarik tanganKi Juluk hingga hampir oleng. Mungmang tertawa melihat kerepotan istrinyamengajak Ki Juluk ke luar dapur dan menarik-narik menuju pondok,"masuklah danrebahan…Nanti kalau sudah selesai makanan, aku bangunkan…"
      Akhirnya,Ki Juluk dapat sendirian, terbebas dari Mungmang, terbebas dari kerikuhan. Rasalelah itu merayap ke seluruh tubuhnya, sebelum sempat ia meluruskan tubuhdengan benar, ia telah jatuh lelap. Lelap tidur membawa ingatan melayang jauh,meresahkan hati di tubuh yang lelah. Ki Juluk terjaga dengan tubuh lengket dantak nyaman. Dibukanya mata, seluruh badannya terasa seperti habis dicambuki.Pelahan ia berusaha menggeliat. Sayup-sayup ia mendengar suara Mungmang, sudahsorekah? Ki Juluk berusaha bangkit, kini ia merasakan tubuhnya tak mengikutiperintah pikirannya. Dengan terhuyung ia melangkah menuju pintu.
     "Haa,sudah bangun rupanya…" Mungmang hanya dengan kain menutupi kemaluannya tengahmemotong-motong kayu untuk dikeringkan sebagai kayu bakar.
     KiJuluk masih oleng dan bingung. Ini rupanya mabuk laut itu, akhirnya ia terdudukdi ambang pintu pondok, Wari kemudian datang,"minumlah jahe hangat ini,sebentar lagi makanlah bubur ubi…Kamu mabuk laut…"
     KiJuluk hanya mengangguk, tanpa pikir meminum isi bumbung bambu, kemudian menyuapkan isi batok kelapa, rasa manis membuatnya berkerut di dahi, lalu tak lama Wari muncul kembali,"sini punggungmu, dibalur dengan boreh kencur, biarcepat keluar angin tubuhmu…" Mungmang menertawai keadaan Ki Juluk yang olengantara sadar dan tak sadar. Setelah menghabiskan sebatok bubur dan air jahe sebumbung, Ki Juluk dipapah ke balai oleh Wari, begitu rebah, mata Ki Juluk langsung terpejam, jatuh tertidur dan tak tahu berapa lama Wari membaluri seluruh tubuhnya dengan boreh kencur.
     Ada empat hari Ki Juluk seperti masih berada di atas jukung, kepalanya berputar-putar dengan denyut yang menyakitkan di pelipis.  Wari dengan cermat merawatnya dan Mungmang setiap saat mendampinginya memijat bahu dan betisnya. Mabuk laut memang penyakit aneh, begitu tiba-tiba menyerang kemudian lenyap seketika, Ki Juluk saat terjaga  pagi itu terpana sendiri, hanya merasa lemas,pusing yang berputar-putar itu entaha pergi kemana,nyeri di bahu dan betisnya pun lenyap tanpa sisa, sungguh ajaib.
     Begitu melihat Ki Juluk telah terbebas dari mabuk laut, Mungmang segera mengajak KiJuluk ke pancuran,"kamu harus berendam, mengguyur kepalamu, keramas dan bersihkan mulutmu; nanti siang kita mesti membuat upacara selamatan, Wari sudah menyiapkan perlengkapannya, biar nanti kamu tidak lagi diiikuti sama parapenghuni laut.."
      Mandi di pancuran dengan kucurannya sebesar pohon kelapa, berendam dan menggosoktubuh, melepas lekat air garam dan daki, kemudian keramas dengan santan kelapa berulangkali, hingga kulit Ki Juluk menjadi keriput barulah kaki terasa kembali menjejak tanah, pikiran bekerja dan menyadari dimana kini diri berada. Rasa asing kini mulai menyergapnya, tetapi ada Mungmang juga ada Wari. Lalu ia ingat buntalan bekalnya. Ki Juluk menenangkan dirinya, semoga isi bekalnya tidak hilang…
      Dengan gontai, ia mengikuti Mungmang kembali ke pondok disambut Wari yang telah menyiapkan sajen untuk doa keselamatan. Wari dengan cekatan memberi petunjuk apa yang mesti dilakukan oleh Ki Juluk kemudian doa pendek dipimpin oleh Mungmang. Setelah itu mereka bertiga makan dengan lahap sajen yang tadi telah dipersembahkan kepada hyang dan leluhur berupa tumpeng kuning dan ayam panggang, sambel pedas dan ketimun muda.
      "Nah sekarang, barulah kamu kembali ke darat, pulang ke bumi…" kata Wari setelahmelihat Ki juluk kekenyangan dan matanya mulai bercahaya, tidak kuyup lagi.
      Mungmang tertawa dan menepuk pundak Ki Juluk berulang-ulang,"sekarang kamu bisa mulai menyiapkan bahan-bahan melukismu…" Ki Juluk seperti tersengat hatinya. Pulihkini kesadarannya secara utuh, tugasnya ke sini adalah melukis. Duhai, iatersipu dan membiarkan tubuhnya digoyang-goyang oleh tangan Mungmang yangkekar.
      "Mungmang sebelum Kadasa berakhir, baik sekali mulai mencari daun lontar…"
      "Hanya di sekitar Kalapa adanya lontar, di tempat lain, hujan turun tak mengenal musim. Sudah kutahu dimana tempatnya, ladang-ladang itu milik Aki Burun, dia pembuat tuak yang terkenal… memiliki puluhan pohon lontar!"
      Mungmang memang pemating yang terlatih,kegilaannya di tengah laut tak berbekas, walau nampak kasar, Mungmang cerdikdan taat, juga kewaspadaannya tinggi, saat Wari pergi ke pancuran, Mungmang mengingatkan Ki Juluk,"tetaplah hati-hati kepada Wari sekalipun, tetangga terdekat itu kakak si Wari, semua orang di sekitar ini adalah kerabat Wari, kadang kemari singgah juga ada beberapa orang lain  datang membantu Wari membuat gula dan minyak, jika ditanya,buatlah cerita mengenai hubungan keluarga kita…Kamu mengerti yang kumaksudkan?"
      Ki Juluk mengangguk, sebelum berangkat ia memang sudah mendapatkan bekal mengenai gambaran daerah yang akan dituju: Negeri Sunda.
      Pelahan dadanya berdebar. Betapa jauh kini terasa kampung halamannya, jauh di sana di Jawa Timur, tepatnya di ibu kota Majapahit.      Oh, betapa malang kelahiran bila kegemarannya menggambar menjadi  hukuman bagi seluruhkeluarganya. Mata Ki Juluk berkaca-kaca, rasa pedih menusuk hatinya.
      Mungmang menepuk pundak Ki Juluk,"sudahlah, tenangkan hati, kamu tak sendiri mengalaminasib seperti ini, banyak yang lain…Serahkan kepada hidup, jalani…" Mungmang menenangkan Ki Juluk yang tiba-tiba terisak, kini nampak benar betapa masih belia Ki Juluk, yang bernasib malang justru karena bakatnya menggambar…
      "Sudah…Sudah,hapus airmatamu!..."
Jauh dari keluarga, jauh dari keriangan. Mungmang mengajak Ki Juluk memasuki ladang-ladang menjauhi wilayah pelabuhan Kalapa. Udara panas laut masih terasa namun tempat kian meninggi. Ki Juluk tersenyum saat mulai melihat barisan pohon lontar. Mungmang hanya menjadi penunjuk jalan mencari pondok Aki Burun, pembuattuak yang terkenal di Kalapa.
        "Itu Lontar betina…"
        Mungmang mendongak hampir tertawa,"Lontar betina?"
       Ki Juluk mengangguk,"Lontar itu ada yang betina dan yang jantan, yang ada buahnyaitu betina.."
Mungmang kini tersenyum lebar,"Ah, semua pohon lontar berbuah.."
       " Perhatikan Mungmang, buah yang jantan kecil-kecil, tidak bisa dimakan, kalau buah yangbetina bisa dimakan…"
Tiba-tiba suara Aki Burun terdengar,"Mungmaaang, kaukah itu….?"
      "Iya…..Aki, iyaaa…"
      Setengah berlari Mungmang melangkahi jalan tanah yang dibuat mirip undakan ditahan kirikanan dengan batu-batu.
Aki Burun masih tegap dan gesit, Ki Juluk diperkenalkan oleh Mungmang sebagai sepupunya,"Jadi kau pulang ke Jawa untuk jemput adik sepupumu ini?...Bagaimanakeadaan di Jawa?"
     Mungmang hanya tersenyum-senyum,"Juluk ini tukang gambar, jadi kalau di pelabuhan masihbisa gambar mendatangkan kepeng. Kalau di dusun, jadi bahan tertawaan, Ki…"
      Aki Burun tertawa mendengar penjelasan Mungmang,"Iya, kalau di pelabuhan, inimengadu peruntungan. Kalau Jung orang kocindatang, orang dari negeri-negeri jauh, biasanya mereka juga beli apa saja…Siapa tahu mereka juga nanti menyukai hasil gambarmu…"
KiJuluk hanya tersenyum tipis, mengalihkan pandangan, menatapi deretan cekel wiladi dinding pondok Aki Burun, dihirupnya bau nira yang tengah disadap di pohon.
      "Hayolah, cicipi tuak manis bikinan Aki Burun…"
Mungmang dengan senang hati menerima satu bumbung tuak manis, lalu menyampaikan niat untuk membeli daun lontar kepada Aki Burun.
      "Ah,tak usah dibeli…Nanti kalau gambar si Juluk ada yang beli, barulah membeli daun lontar. Tapi kau akan pakai yang pucuk atau yang batang?"
"Kalau bisa yang batang, lontar bulan, Aki…"
     Mungmang tersentak,"Lontar bulan?"
Aki Burun terkekeh,"kau mungmang, mana mengerti jenis lontar….Ada beberapa pohon lontar bulan, kau bisa manjat sendiri?"
      Ki Juluk mengangguk. Mungmang mengeryitkan alisnya,"biar aku saja yang manjat…"
     "Jangan,nanti kamu salah memotong…" Aki Burun dengan cepat mencegah niat baik Mungmang,"Biar kau tahu Juluk, si Mungmang ini tidak ada peruntungannya denganpohon, tak bisa bikin tuak, bisanya hanya minum. Jadi pohon jakamu siapa yangmengurus? Masih si Bangu?"
      Mungmangmengangguk, tersipu malu. Ki Juluk hanya tertawa, memang tidak mudah membuattuak, tidak sekedar memotong batang buah lalu menyadap. Harus rajin mengetuksetiap pagi batang buah pohon jaka yang terpilih untuk disadap tuaknya.
Hampir setengah hari Ki Juluk diawasi oleh Aki Burun memetik daun lontar. Mungmang mengumpulkannya dan merasakan bulu-bulu daun lontar menimbulkn gatal ditangan.Ki Juluk nampak cekatan memetik daun lontar dan tak nampak risau dengan bulu batangan lontar.
      "Ah,sekarang ada orang yang bisa kusuruh bersihkan pohon lontar…." Aki Burun terkekeh,"Aku sudah tua, banyak pohon kubiarkan tak dipotongi, sudah lama akutak menjual daun lontar untuk dianyam…"
      Ada dua pelukan Ki Juluk banyaknya daun lontar yang terkumpul. Mungmang dengan gesit segera memanggul satu peluk dan peluk yang lain dipanggul Ki Juluk,keduanya meninggalkan pondok Aki Burun yang lega memandangi pohon-pohon lontarnya yang kini nampak lebih ringan dan bersih; kelak batang bunganya akangemuk bisa disadap untuk menjadi tuak yang manis rasanya.
      Sambil bersisian memanggul daun lontar, Ki Juluk menerangkan cara membuat daun lontaryang akan digambari,"Dijemur dulu sampai kering Mungmang, kalau sudah kering benar baru diasapi di perapian…setelah itu baru direbus…"
Setibanya di pondok, Mungmang mencari galah bambu mulai memancangkan untuk tempat menjemur daun lontar. Wari yang sudah kembali dari pancuran melongok sejenakdari pintu dapur, melihat suaminya dan Ki Juluk sibuk menyiapkan tempat menjemur lontar,"Biar tidak diberaki ayam…belum lagi kalau babi lepas.."Mungmang memang cekatan, akhirnya ada pancang penyangga untuk menjemur daunlontar,"kalau malam, lontar ini dipindahkan ke dapur?"
      KiJuluk menggelengkan,"Biarkan saja, kena embun, kena hujan….itu membuat kuat lembarannya…"
"kapanmulai mengasapi?"
        "Setelah benar-benar kering, kita mesti membuat penyekat di atas perapian, jaraknya dengan tungku perapian dua lengan…pengasapannya lama Mungmang, enam purnama.."
Mungmang nampak terkejut, lalu tertawa,"Lama benar membuat lontar…."
      "Memang lama…" Ki Juluk tersenyum,"Kita juga harus mencari daun pudak.."
      "Pudak harum? Banyak di tepi pantai, di sebelah utara banyak betul…" Wari menyahut dari dalam dapur.
      Bagi Mungmang apapun perintah Ki Juluk, ia akan mematuhi dengan caranya sendiri,yang ia jaga adalah agar istrinya tidak curiga kalau Ki Juluk bukanlah keluarganya. Karena itu dengan suaranya yang meledak-ledak kadang ia terdengar seakan memarahi Ki Juluk, biasanya Wari akan mengingatkan,"Sabarlah Mungmang,Juluk masih muda…"
      Ki Juluk mengerti sikap Mungmang, sebab bila salah bersikap akan ketahuan siapa Mungmang sebenarnya dan akan menyulitkan dirinya menyelesaikan tugas.
     Akhirnya  daun-daun lontar itu berderet, mulai dijemur. Mungmang terkekeh puas dan mengajak Ki Juluk memasuki dapur. Wari mengingatkan Mungmang agar membersihkan kulit kelapa,"besok aku mau membuat minyak, sudah habis daganganku…"
Disamping membuat minyak, Wari juga kadang membuat gula aren, tetapi mendapatkan tuak untuk dijadikan gula tidaklah mudah, belum lagi Wari hanya mengandalkan sepupunya si Bangu untuk menyadap tuak, Mungmang tidak bisa diharapkan untuk belajar menyadap tuak, Mungmang lebih suka melaut, kini Wari berharap Ki Juluk bisa membantunya menyadap tuak,"Juluk kami bisa menyadap nira?"
     "Iya bisa sedikit, tapi mencampur lau saya kurang mahir…"
       "nanti tanyakan pada Aki Burun.." Mungmang tersenyum kecil, Aki Burun pasti senang adatenaga baru yang bisa membantunya membuat tuak. Musim panas akan segera tiba,tiga bulan ke depan pelabuhan akan ramai didatangi Jung-Jung dari berbagainegeri. Tuak akan laris manis. Pelepas dahaga dan pelupa beban hidup.
       Ki  Juluk merebahkan badannya, masih tersisa lemas dari mabuk laut itu. Sambil menerang memandang langit-langitkamar, airmatanya membuncah. Sayup ia mendengar suara Mungmang memanggil Wari,samar ia mendengar suara ayam-ayam yang berebut makanan juga dengus babi….kapan aku pulang? Ki Juluk tersengal menahan isaknya. Mengapa nasibnya harus merantau sejauh ini?   Mengapa bapanya tega menyerahkannya ke karang kepatihan? Ki Juluk tidak habis mengerti, mengapa dirinya yang terpilih di kirim ke negeri yang tak pernah ia bayangkan hanya karena ia  menggambar seorang puteri yang tak sengaja ia lihat?
Airmata Ki Juluk mengalir deras hingga dadanya tersengal menahan isak, lalu lelah pedih membawanya jatuh dalam tidur yang sedih, dengan bibir meracau memanggil ibunya.

(BAGIAN I, (MATINYA PENGUASA, sebuah novel, by cop sawitri/ 2007)

No comments:

Post a Comment