Catatan Proses Drama Tari Percakapan Sunya Nirvana (2)


Dari PUYUNG ke ASIBAK (setengah)

Tiga minggu pertama, proses pelatihan Drama tari Percakapan Sunya Nirvana ini mulai membuat saya terdesak oleh kenyataan; pilihan untuk melibatkan remaja yang belum bisa menari; (alasannya agar proses penularan  pola gerak panji tidak tercampuri  oleh 'kemampuan' menari yang kini berkembang jauh dari pelatihan dasar): untuk jatuh risau: apakah mereka akan sanggup melewati fase latihan dasar ini?

Saat risau itu, jumlah yang berlatih mulai menyusut dari hitungan 16 menjadi 14 orang: namun yang empat belas orang itu pun kadang tidak kompak datang latihan: saya masih ingat, beberapa yang datang berlatih dengan rajin dan bersemangat, berkisar antara tiga sampai enam orang, walau sejumlah itu yang datang, saya tetap latih, dan ternyata memberi keuntungan bagi saya, untuk dapat melatih satu per satu sekaligu mengenali karakter mereka:  disaat itulah dayu ani datang dan kemudian membuat proses latihan menjadi sangat ketat, ketika empat belas orang anak  datang secara kompak kebetulan itu hari jumat, sabtu dan minggu.

Maka pada hari minggu dayu ani meminta mereka datang berlatih jam tujuh pagi! Mungkin bagi tempat lain itu ajakan berlatih yang wajar, namun desa sidemen, penduduknya tersebar di selingkaran bukit, yang diselang-selingi sungai-sungai besar, hujan di desa ini sangat rajin turun, tak ada hari tanpa diderasi hujan. Sungguh, titik balik di hari minggu itu, membuat saya berkeyakinan proses ini akan terlewati; anak-anak itu memutuskan datang! Melewati bukit dan sungai dalam gerimis yang tebal, jumlah mereka dua belas orang: itulah orang yang tersisa, yang bertahan terus dalam proses latihan ini. Hal yang lain yang membuat saya bersemangat adalah: anak-anak kecil mulai ikut berlatih,para ponakan dan anak-anak tetangga mulai tergugah, mereka meminta dilatih menari, akhirnya dibuatkan jadwal: anak-anak latihan di malam hari antara jam 6 hingga jam tujuh malam. Maka jadwal melatih menjadi sangat ketat: sore jam 3 sampai jam enam melatih para remaja dalam pola gerak panji, di malam hari melatih anak-anak menari tari baris dan legong. Dayu ani dan saya bergiliran berjaga untuk mereka: Bertahan untuk lebih mengenalkan dasar tari, bukan 'ileh' tari.  Dan yang membuat saya kuat bertahan adalah bagaimana dukungan seluruh keluarga di Jro Gde Sidemen, Ibu Dayu Mas, menjadi penerjemah dari ide desain saya, Wak alit menjadi penaksir warna kain yang akan dipilih; pilihan saya dan dayu ani adalah warna bali lama. Ada beberapa kain segulung, sisa simpanan di lemari tua dijadikan dasar untuk memilih warna. Kemudian dayu ani mulai mencari informasi dari gelung sampai model-model busana bali lama yang jauh dari prada. Pelibatan kain tenun, membuat proses ini mulai membutuhkan dana yang tidak sedikit, kemudian gelung untuk gambuh, tidaklah umum dipakai, tidak mungkin disewa. Tapi seluruh keluarga dengan ringan mengatakan," latihan terus, kamu sudah menggunakan bale pegambuhan di becingah, artinya, akan banyak jalan ke luar dari kesulitan proses tarian itu," hanya kepada viebeke, saya sempat bercerita mengenai keinginan saya untuk tidak membuat gelungan yang 'asal gelungan'. Lalu Gus yudha triguna pun menelpon, memberi saya semangat bahkan ngurah harta, semuanya mengatakan,"jangan khawatir, lanjutkan…kalau ada apa-apa, kita semua akan back up!"


ASIBAK

Dalam proses pelatihan, saya mulai mengenali pemanggungan lama, yang menurut prof made bandem sangat avant grade. Dari Ida Wayan Padang, saya memahami mengenai prinsip 'ngatang' dan 'prinsip kontrol' pemanggungan ketika pemain lupa pada peran dan geraknya dipanggung. Di wilayah Budhakeling dan sekitarnya: prinsip ini disebut ngantang diambil dari titik-titik panggung, yang ditandai dengan tombak dan kober: ini sebut satang, batasan yang akan menjadi tanda kapan pemeran dipanggung memutar, mengubah posisi dan motiv pemain untuk bergerak (moving). Tidak ada istilah membelakangi panggung, penonton dibayangkan berada melingkari pertunjukan. Gambuh belum mengenal langse, tirai pembatas untuk in-outnya penari: namun pemain memiliki gerakan menarikan langse! Kemudian pengulangan gerak terjadi beberapa kali: selalu ada pilahan ke kanan dan kekiri dan memutar; bagi saya sangat menarik, karena ini mengingatkan akan saya konsep  jeleme 'asibak' : asibak artinya setengah, jadi setengah manusia (jeleme). Sebuah nasehat mengenai manusia di dunia selalu tak sempurna, diandaikan sebagai yang masih 'terbelah', yang akan terlengkapi bila memiliki kesadaran suci. Dalam konsep pemanggungan gambuh, nampak benar proses melengkapi 'asibak' ini dilakukan dengan ketat.

Dari proses memahami pemanggungan ini saya memahami makna sekala dan niskala itu yakni, 'yang berada dalam waktu' dan 'yang di luar waktu'. Karena itu, panggung itu ditempatkan dalam konteks semesta baru, dunia yang akan diisi dari kekosongan.

Dalam pola gerak: puluhan 'sebutan baru' mulai saya kenali: agem misalnya, itu nama gerak dasar yang biasa dikenalkan kepada mereka yang melatih menari namun saat proses ini, mulailah dikenali apa itu rajeg, sebuah posisi yang tegak dan kuat, dengan satu tangan di atas, kemudian 'nyiku' gerakan tangan lebih kepada bagaimana siku untuk yang menjadi 'pemandu' gerak tubuh, ngeringit (seperti bentuk wayang kulit), kemudian nengkleng, ini membuat saya sadar, bahwa nengkleng adalah bagian 'penting' dalam konsep spiritual bali, terutama untuk posisi yoga dan proses mistik, mengangkat satu kaki kanan, dan kaki kiri menginjak ke bumi: konsep yang mengingatkan akan tentang dunia hidup yang disangga oleh sang bapa agung dengan satu kakinya. Dayu ani dan saya memiliki latar belakang pengalaman bahasa bali yang sama: sehingga dengan mudah saling memahami, dari kata 'pilak', nyengkodot, ngalelitri, nyeruyung, mekakeb, dst. Mungkin bagi generasi muda bali, kata-kata ini adalah kata-kata asing. Dalam proses latihan ini, semua kata ini berhamburan, kembali hidup dan menjadi kata yang hidup.

Pada hitungan melewati satu bulan, saya mulai membawa peralatan musik yang tak seberapa dari denpasar: dalam bayangan pastilah musiknya,musik gambuh. Namun saya tahu, itu tak akan cukup untuk membuat greget pada pengkisahan. Secara naluriah, saya mulia memukul semua alat yang ada, inilah awalnya kenapa dalam percakapan sunya nirvana dihadirkan tambur, geguntangan, dsbnya, sebenarnya karena pada awalnya para pemusiknya belum terlibat latihan dan para penari mulai memerlukan ketukan dan suasana. Dayu ani berkata pada saya," musik mbok cok ini dipake ya, kayaknya unik…" baru setelah itu, saat saya tidak menginginkan ada adegan peperangan dengan senjata; saya meminta dayu ani mengkontak gus torang, adik bungsunya dayu ani. Bagi saya, peperangan dalam adegan ini adalah perang dilangit,' nyiatin langit' ada di luar waktu, maka panah itu harus diarahkan ke langit, bunga-bunga harus diluruhkan dari atas. Dan perdebatan mengenai keyakinan, agama dan caranya menertibkan manusia, saya bilang ke dayu ani: pakai permainan kendang. Perkusi adalah musim universal, degup jantung dunia. Biarkan itu yang dijadikan simbol perdebatan antara jayantaka dan Sutasoma; bukan adegan adu pedang ataulah adu dialog. Biarkan menjadi percakapan sunya dan nirvana.

Saya beruntung: komunitas di desa tanpa sengaja terbentuk, kemudian inilah proses yang harus mendisplinkan saya, yakni menarasikannya. Sebab proses ini kelak akan menjadi perbandingan, ketika bali tengah risau dengan lenyapnya berbagai style tari bali, maka proses pelatihan sunya nirvana ini tanpa sengaja menjawab: bagaimana satu pilahan jalan ke luar untuk menyelamatkan salah satu style tari itu, ditengah penyeragaman tari yang tengah menindas dunia tari di bali.

Dan ini yang menyadarkan saya mengenai prinsip dari puyung ke asibak: yang tak sempurna akan disempurnakan oleh proses…..dan saya dan dayu ani tahu, bahwa barangkali ketika anak-anak ini menari dihadapan komunitas tari bali akan dikatakan: belum bisa menari!....sebab memang apa yang akan mereka tunjukan bukan 'tarian' gemah gemulai penuh bunga-bunga gerakan, seperti umumnya tarian bali masa kini: mereka akan menari dalam pola gerak yang berbeda, jauh dari 'ngalegong'. Seleksi dan pencegahan masuknya 'ngalegong' ini sangatlah ketat ditontoni oleh para orang tua disekitar bale pegambuhan di jro gde sidemen: kata dayu ani, kalau ini lomba, pastilah kalah….katanya dayu ani sambil tertawa. Namun inilah style, yang memang menjenguk kadar pengalaman penonton mana yang paham, mengenai kekhasan dan karakter, yang terbentuk bukan oleh keseragaman.

No comments:

Post a Comment